Akram dan Mia tengah berjalan-jalan di Malioboro karena mengikuti Valga dan Delia. Tanpa sengaja mereka bertemu dengan Nasha dan Hilmi di salah satu mall di jalanan itu.
“Apa maumu?” tanya Akram saat tak sengaja berpapasan dengan Hilmi.
“Jangan lihat kekasihku. Sejak tadi kau melihatnya.”
Akram mendecih. Ia tak mengira Hilmi membuntutinya hanya untuk mengatakan itu.
“Aku datang bersama istriku. Aku tidak mungkin melihat kea rah perempuan lain.”
“Jangan sok setia. Dari tadi aku melihatnya.”
“Kau ada bukti?”
Hilmi pun maju beberapa langkah. Ia menarik kerah baju Akram dan bersiap memukul wajah pria menyebalkan itu.
“Ini tempat umum, jangan membuat masalah,” timpal Akram.
“Aku tak peduli.”
“Kau yakin?” Akram melihat ke pojok plafon toilet itu di mana terdapat sebuah kamera CCTV di sana.
“Sial,” umpat Hilmi yang kesal karena tidak bisa melanjutkan aksinya.
“Lebih baik kau jaga kekasihmu. Jangan buat dia terus menghubungiku.”
Mata Hilmi membola. Apa kata Akram? Nasha yang menghubungi? Bagaimana bisa?
“Jangan asal bicara!” seru Hilmi.
“Kau mau bukti?”
Akram bersiap mengeluarkan ponselnya. Ia ingin menunjukkan sesuatu yang sebenarnya bertolak belakang dengan fakta yang ada. Sejujurnya ia pun takut jika Hilmi benar-benar memintanya.
“b*****h, kau!”
Akram tersenyum sinis. Mau sebedebah apa pun dirinya, ia jauh lebih baik daripada Hilmi. Begitu pendapatnya.
“Lepaskan tanganmu,” ujar Akram karena Hilmi masih saja mengancamnya.
“Sialan, kau!”
“Lebih baik kau lihat ke dalam dirimu. Mengapa Nasha sampai tak bisa mencintaimu!” Akram menepuk bahu Hilmi seraya pergi.
Akram menyadari perbuatan spontannya kala itu menjadi bumerang baginya. Ia terlalu melibatkan diri berurusan dengan Hilmi. Akhirnya ia harus menelan getahnya sekarang. Hilmi yang merupakan salah satu putra pemilik Betamart, tempat di mana dulu ia bekerja memang terkenal arogan sejak awal. Akram tak seharusnya mengusiknya.
”Jawab pertanyaanku. Apa semua rekaman itu akan lenyap?” ulang Akram sambil menggertak Hilmi. Tampak sekali pria itu mulai ragu.
“Apa pilihanmu?”
“Lepaskan aku dulu,” ujar Akram sambil berusaha berdiri namun penjaga itu menggagalkannya.
“Biarkan,” perintah Hilmi. Ia justru merasa tertantang saat Akram semakin berani.
Akram memegang lengannnya. Berusaha menghilangkan sakit akibat perbuatan dua penjaga suruhan Hilmi. Ia berjalan mendekat kea rah Nasha dan Hilmi berada.
“Akram!” seru Nasha sambil menggeleng. Tidak mungkin ia setuju dengan opsi kedua itu.
“Kau akan menyetubuhinya? Di depanku?” tanya Hilmi tak percaya.
Akram tak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya sampai benar-benar berada di depan Nasha. Ia pandangi wajah orang terkasihnya itu. Nasha yang sangat berubah setelah bergaul dengan Hilmi.
“Enggak, Kram, enggak,” racau Nasha.
Akram mengukir senyum. Ia lepas jaket yang ia kenakan dan menutupkannya ke tubuh Nasha. Sejak tadi tubuh Nasha cukup tereskspos.
“Kau!” desis Hilmi tak terima dengan perlakuan Akram.
“Hapus rekaman itu sekarang juga,” ucap Akram tak kalah tegas.
“Kau belum memilih! Jangan coba-coba mengelabuhiku,” ancam Hilmi.
“Telepon kakak iparku sekarang. Aku memilih opsi yang pertama.”
Nasha dan Hilmi tersentak. Akram benar-benar akan menghancurkan kehidupannya yang sekarang. Bercerai dan meninggalkan kehidupan barunya? Apa itu mungkin?
“Kau tidak akan menyesal? Opsi pertama tidak bisa membuatmu memilih opsi kedua,” tawar Hilmi. Ia tak mengira Akram seberani itu.
Akram tersenyum hambar. Mensetubuhi perempuan lain di saat ia sudah bersama istrinya? Sungguh ia tak akan pernah melakukannya.
“Kau rela menceraikan istrimu hanya demi dia dan sahabatmu?” tanya Hilmi tak percaya.
“Sekarang lepaskan Rios.”
“Eitss tunggu dulu. Aku harus menelepon kakak iparmu. Dia bilang butuh waktu satu minggu untuk menghancurkan hidupmu.”
“k*****t kau, Hil!”
Bug!
Sebuah bogem mentah Akram tujukan pada Hilmi.
“Pak Hilmi!” seru penjaga Hilmi bersamaan. Mereka kompak menghampiri Hilmi seraya bersiap memukul balik Akram tapi Hilmi mencegahnya.
“Hahahhaha! Kenapa tidak dari dulu, Kram? Kenapa baru sekarang?” kelakar Hilmi. Ia justru senang saat rivalnya membalas. Ini yang ia tunggu sejak dulu. Sikap Akram yang sangat dingin malah membuatnya semain menjadi.
“Lepaskan Rios sekarang. Kau akan dapat kabar satu minggu dari sekarang.”
“Benarkah? Apa omonganmu bisa dijaga?”
“Hilmi!”
“Baik, baik. Aku akan menghubungi kakak iparmu dulu.”
*
Frans membawa pergi kekesalan dirinya. Ia yang selama ini seperti orang bodoh membantu kisah percintaan adiknya justru terluka karena sikap berlebihan yang ia tunjukkan. Selama ini nyatanya Mia tak hanya diam. Bahkan Mia mengetahui semua tabiat Akram tapi sengaja membiarkannya. Hal itu melukai harga dirinya.
“Arrghhh!” seru Frans sambil memukul keras kemudi mobilnya. Ia benar-benar kalah. Bagaimana Mia selalu membela Akram dan membanggakan sikap pemuda itu membuat jantungnya berkrenyut.
“Kau payah, Frans, payah,” tutur Frans pada dirinya sendiri.
Di tengah pergulatan batinnya. Di tengah rasa kesalnya yang memuncak, ponsel di saku celananya bergetar. Meski malas, Frans mengangkatnya.
“Hilmi?” ucap Frans ragu apakah perlu mengangkat atau tidak. Ia pun menunggu sampai getar ketiga dan akhirnya mengangkat juga.
“Ya. Bagaimana?”
Begitu Hilmi menjelaskan sedikit tentang apa yang terjadi, Frans langsung menginjak gas dan melaju kencang. Masalah ini sudah semakin melebar. Tujuan utamanya adalah rumah yang tadi pagi sempat ia datangi.
Setengah jam berselang, Frans tiba di rumah itu.
“Di mana mereka?” tanya Frans begitu sampai di depan gerbang. Ia sengaja menghubungi nomor Hilmi lagi.
“Datang saja ke lantai dua,” jawab Hilmi sangat arogan.
Frans pun bergegas.
“Hilmi!” seru Frans saat sampai di ruangan yang menjadi tempat kejadian.
“Wah, hebat sekali,” timpal Hilmi begitu melihat Frans datang untuk adik iparnya.
“Lakukan sesuai rencanamu, Frans!” ucap Akram dengan wajah yang sudah babak belur. Sambil menunggu kedatangan Frans, Hilmi memukulinya berkali-kali.
“Kau apakan dia, Hilmi!” sentak Frans. Ia bergegas mendekati Akram.
“Sejak kapan kau peduli? Bukannya kau berjanji menghancurkan hidupnya?”
“Kau tidak percaya denganku dan malah membuat drama seperti ini?”
“Selamatkan Rios, Frans. Aku mohon.”
“Rios? Di mana dia?”
“Di lemari.” Akram masih bisa menjawab meski darah di bibirnya mulai mengucur deras.
“Apa maumu, Hilmi?”
Hilmi tertawa lagi. “Kenapa semua orang tanya mauku? Apa aku begitu istimewa?”
“Hilmi!” sentak Nasha. Ia benci dengan sikap kekasihnya itu.
“Kau?” tanya Frans. Ia melihat Nasha dibawa Hilmi dan tak mengira justru berakhir seperti ini.
Sementara Hilmi maju beberapa langkah ke arah Nasha dan menamparnya. “Diam kau!”
Frans mulai memahami situasi. Ia berpikir cepat agar masalah ini teratasi.
“Apa yang benar-benar kamu inginkan, Hilmi?” tanya Frans dengan nada suara yang melemah.
“Dia memintaku menceraikan Mia dan kembali ke kehidupan awal. Tolong bantu aku mewujudkannya, Frans.”
Frans kembali melihat ke arah Akram. “Apa maksudmu?”
“Dari awal kau ingin kami berpisah. Ini kesempatan terbaiknya. Lakukan seperti niatmu tunjukkan pada Hilmi dan tolong selamatkan Rios.”
“Kau gila?”
“Lakukan, Frans. Kau satu-satunya orang yang bisa membuatnya percaya.”
Frans membelalak. Adik iparnya lebih menyedihkan dibandingkan dirinya. Ini jelas hal terkonyol yang pernah ada.
“Bagaimana? Apa kau bisa menjaminnya, Pak Frans?” Hilmi merasa di atas angin. Ia bisa mengendalikan semuanya. Satu kali dayung dua pulau terlampaui.
“Kram,” lirih Nasha yang sudah menderaskan tangis. Membayangkan Akram mengorbankan hidupnya demi ia dan Rios sangatlah tidak adil.
Frans bergeming. Ia tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat.
“Lakukan, Frans!” sentak Akram. Ia sudah mulai melihat aliran darah dari dalam lemari.
“Mia akan pergi ke Irlandia. Mereka memang berencana berpisah. Soal D and M? Kami membuatnya hanya untuk menghancurkan pemuda itu!” tunjuk Frans ke arah Akram.
“Menghancurkan? Apa maksud anda Pak Frans?”
“Sejak awal ayah kami memang meragukan kemampuan pemuda ini. Beliau juga tidak mau membangun toko dengan konsep seperti itu. Namun, Mia adikku memaksanya.”
Akram terperangah. Ia menimbang dengan logikanya ucapan Frans. Apakah itu nyata atau rekayasa.
“Karena dia bukan pebisnis?” tanya Hilmi mulai senang dengan cerita yang dikabarkan Frans.
Frans mengangguk. Ayahnya memang berpikiran seperti itu. “Dia hanyalah alat untuk kami melakukan banyak hal. Setinggi apa pun posisinya di keluarga, dia hanyalah karyawan. Tak akan menjadi pemilik karena bukan dia yang mendirikan.”
Kata-kata Frans sangat tajam. Apa yang dipikirkan selama ini oleh Akram tenyata benar. Ia tak pernah diakui kemampuannya.
“Kau tidak melihat fisiknya yang tidak sempurna?”
“Fisik?” tanya Hilmi melupakan sesuatu.
Frans mengangguk. “Cara berjalannya. Bukankah dia cacat?”
“Aaaaa benar sekali. Dia sempat kecelakaan karena ulah kekasihnya. Aaa itu kamu, Sha.”
Frans mengangguk lagi. “Benar. Perempuan itu mungkin penyebabnya. Jadi jangan pernah merasa tersaingi dengan seseorang yang bahkan tidak setara denganmu. Jangan buang watumu, Hil!”
Mendapat sanjungan sekaligus masukan dari Frans tak pelak membuat Hilmi melayang. Ia terbahak mengingat jarang sekali ada orang yang memujinya.
“Bagaimana? Apa kau yakin dengan ini semua?”
Hilmi mengangguk-angguk. Ia senang bukan kepalang. “Anda memang luar biasa Pak Frans. Pantas saja ayah saya bilang belajarlah dari anda.”
Akram tak menganggap ucapan Frans sebagi hinaan meski itu sangat mengarah pada dirinya. Ia mencoba berpikir jerniah bahwa Frans sedang membantunya. Sementara Nasha yang mendengar itu semua tak bisa menahan isak. Sungguh, hatinya ikut terluka.
“Saya akan mempercayai anda, Pak Frans. Rekaman itu tak akan sampai pada keluarga anda.”
“Baik. Sangat baik jika kita saling menjaga kepercayaan. Sekarang, lepaskan teman adik ipar saya.”
“Aaaa benar sekali. Dia datang ke sini hanya untuk menyelamatkan sahabat dan mantan pacarnya. Bukan pernikahannya.” Hilmi tersenyum penuh kemenangan.
“Pak Bam!” seru Hilmi dari sana.
“Baik, Pak.”
“Buka kuncinya.”
Pak Bam mengangguk. Ia melakukan perintahnya dengan benar. Bagitu lemari itu terbuka, Rios yang sudah babak belur terjatuh ke lantai.
“Rios!” ujar Akram penuh kekesalan. Bagaimana bisa Hilmi memperlakukan Rios sekejam itu.
“Saya tidak perlu mengantarnya ke rumah sakit, bukan?”
“Tidak perlu. Tolong angkat dia ke mobil saya,” jawab Frans seraya melangkah maju.
“Anda mau apa Pak Frans?”
“Nak Hilmi tadi bilang Akram datang untuk menyelamatkan sahabat dan mantan kekasihnya maka saya akan membawa perempuan ini juga.”
“Loh?”
“Tentu ayah anda akan sangat kecewa jika mengetahui pekerjaan anda di sini. Tolong, jangan libatkan mereka yang menaruh harapan besar pada kita berdua.”
Ucapan Frans tak bisa dibantah oleh Hilmi. Jelas ia tak ingin semua orang tahu tentang perbuatan menyimpangnya, terlebih sang ayah. Hilmi pun kalah. Ia tak bisa menahan Nasha sesuai dengan rencananya.