Aku menghampiri Vika yang sedang asyik ngrumpi sama Dinda dan Lala di depan kelas. Ada beberapa deret kursi disana yang biasanya dimanfaatkan buat nongkrong para siswa gabut sebelum pelajaran dimulai.
"Heh tumben pakai sweater?" tanya Vika matanya meneliti setiap detil penampilanku pagi ini.
"Niih... liat, bajuku kaya gini, aku nyetrika kemarin angus." jawabku sambil membuka sweater dan menunjukan bekas setrika yang failed di balik punggungku.
"Ya ampunnn Sya, kamu ketiduran? tanya Dinda.
"Enggak Din..."
"Lahhh terus kamu tinggal ngapain Sampek kaya gitu." tambah Vika. Tentu saja nggak mungkin aku bilang kalau aku tinggal ciuman dengan Dani kan.
"Ya kecelakaan aja." aku memakai kembali sweaterku.
"Vik... anterin ke Koperasi Siswa yuk, aku mau beli seragam baru."
"Sekarang?"
"Iya... takut keburu bel."
"Iya ayook." ucap Vika
Baru saja kami mau melangkah, Dani datang dan menyerahkan sebuah bungkusan plastik. Aku membukanya ternyata seragam baru. Aku dan Vika saling berpandangan.
"Udah ganti sana..." kata Dani sambil menuju tempat duduknya.
Aku diantar Vika ke kamar mandi buat ganti seragam ku. Habis itu aku masih mematut-matut diri didepan cermin. Pas banget, dia ngerti ukuranku.
"Kenapa bisa, Dani gantiin baju kamu?" tanya Vika kemudian dengan insting wartawan.
"Ehmm itu..." ucapku langsung memaksa otak buat cari jawaban.
"Iyaa itu..." sela Vika.
"Jadi gini, kemarin waktu aku nyetrika Dani datang ke rumah. Dan kami ngobrol lama Sampek aku lupa dengan setrikaku." jawabku.
"Belum jadi alasan yang kuat kenapa ini jadi salah dia, dan gantiin baju kamu. Kalian ngobrol apaan?" tanya Vika lagi.
"Ehmmmm..." aku masih cari alasan lagi.
"Nggak pakek ehmm kelamaan." sahutnya.
"Dia nembak aku..."
"Hahh?? terus??"
"Aku nggak mau, karena ada alasan yang nggak bisa aku ceritain."
"Ohhh ok... terus??"
"Terus apa..ya udah gitu doang." jawabku.
"Point dia bikin kesalahan yang mana, Munaroh??" tambahnya.
"Teliti banget kek detektif." ujarku.
"Udahh gak pake basa basi... dia apain kamu? dia maksa dan cium kamu?" tebak nya.
"Iyaaa..." jawabku kesal.
"Berapa lama Sampek setrika kamu angus?"
"Tau ahh... udah ayo balik." ajakku.
"Hehhh berapa lama woeee..."
Aku pura-pura tidak mendengarkannya dan berjalan cepat-cepat ke kelas. Kemudian duduk di bangku ku dan menyimpan sweater serta seragam lamaku ke dalam tas.
"Aku pernah nyetrika sambil ndrakor loh, lama tapi gak Sampek hangus baju ku, jadi berapa lama kalian berciuman Sampek hangus gitu."
"Udahlah Vika... jangan dibahas lagi, malu kalau ada yang denger, dan kejadiannya gak seperti itu, sebelumnya kita udah ngobrol lama jadi ya maklum lah kalau aku lupa masih nyetrika."
"Ohhh gitu... kirain." ucapnya.
Beberapa saat kemudian, Bella muncul, dia dari kelas sebelah. Bella tergopoh-gopoh dan langsung ke mejaku.
"Ada apa Bell?" tanyaku penasaran.
"Kamu udah tau belum Nicko sama Ryan, lagi taruhan di lapangan basket?"
"Taruhan? taruhan apa? ya udahlah biarin aja urusan cowok bukan urusan kita." ucapku pada Bella yang panik.
"Mereka berdua taruhan buat dapetin kamu, siapa yang berhasil menang, ya itu yang berhak deketin kamu, kemudian lainnya harus mundur." jelas Bella, aku Vika, Dinda dan Lala melongo.
"Samperin Sya..." kata Dinda.
"Iyalahh ini menyangkut harga diri dan martabat perempuan." tambah Lala.
"Ya udah ayo kesana, dimana sih?" tanyaku.
"Lapangan basket." jawab Bella.
"Buruan yukk, keburu baku hantam." ajak Vika.
Dan benar saja begitu sampai di lapangan basket, mereka berdua sudah saling pukul satu sama lain. Agak takut sih, tapi mereka berdua berantem karena aku, jadi aku harus mengakhirinya.
"Kalian berdua... udah cukup, ngapain sih kaya gini?" aku menarik salah salah satunya untuk menengahi.
"Tuh kamu nggak lihat, dia milih aku daripada kamu, jadi udah cukup jangan kebanyakan halu buat bisa dekat sama dia." kata Nicko.
"Jangan GR dulu, tanya aja ke dia, yang jelas dia pasti pilih yang sepadan sama dia, bukan yang suka bikin onar di sekolah." tukas Ryan.
"Bikin onar otak lu kosong?? hahhh, bukannya kamu tadi yang mulai rusuh duluan, ya udah kalau kalah, kalah aja terima kenyataan dong, malah mukul aku." Nicko membela diri,
"Aku nggak akan mukul kalau kamu nggak bicara sampah di depanku." Ryan nggak mau kalah, aku nggak ngerti kejadiannya kaya gimana, tapi malu banget diliatin banyak orang.
"Sampahhh apa...?" Nicko kembali berteriak dan mulai memukul Ryan lagi.
"Udah.. udah, kalian nggak malu apa, diliatin banyak orang." Aku berusaha menghentikan mereka, namun Nicko yang kelewat batas emosinya, justru mendorongku sampai jatuh. Lala dan Bella segera menolongku.
Nggak tau sejak kapan Dani ada disana, namun begitu melihatku jatuh karena mereka yang sudah gak bisa dikendalikan lagi. Dani segera mencengkeram kerah Nicko dan memukul nya sekeras mungkin. sama halnya dengan Ryan yang tidak luput dari hantaman Dani.
"Udah puas kalian... jangan kaya anak kecil Napa? kalian pikir dengan bikin taruhan kaya gini bisa juga dapetin dia? kalian nggak sadar telah mempermalukan diri sendiri, dan kalian udah nyakitin dia, jadi cowok lemah banget, bersainglah yang sehat jangan sok jagoan kaya gini, dan lagi cewek tuh bukan barang untuk dipertaruhkan."
"Aku tau aku bakalan kena masalah karena telah mukul kalian berdua, tapi kalau nggak, kalian nggak bakalan berhenti, jadi temui aku di ruang BK, kita selesaikan bertiga, sama aku juga berstatus siswa bermasalah, jadi dewasalah dan temui aku disana." kata Dani kemudian.
"Kamu nggak papa?" tanya Dani padaku.
"He em nggak papa, makasih." ucapku baru kali ini ada keributan dan aku jadi biangnya, syok juga rasanya. Btw aku benar-benar tulus berterimakasih dan meminta maaf karena aku, dia jadi siswa bermasalah.
"Ya udah kamu balik ke kelas lagi, aku mau nyelesaiin urusan mereka." lanjutnya.
"Maaf ya, kamu jadi dapat masalah gara-gara aku."
Bukannya menjawab dia hanya mengacak-acak rambutku kemudian pergi sambil tersenyum.
"Kalau di lihat-lihat Dani emang beneran keren ya, belain cewek sampek kena masalah." kata Dinda.
"Iya nggak heran penggemarnya bejibun." tambah Lala.
"Kadar kegantengannya naik 200%." kata seorang cewek yang berdiri dibelakang ku.
"Katanya udah jadian sama Nadia?"
"Ya elahh pasti halu Nadia, Dani masih free masih milik bersama."
Mendengar itu, aku, Dinda, Lala juga Vika, hanya geleng-geleng kepala, mereka yang gak pernah campur sehari-hari sama Dani nggak tau gimana ngeselinnya dia.
Kami berempat kembali ke kelas, aku masih aja kepikiran sama Dani, gimana kalau harus panggilan orang tua, yahh kasian sih. Cuma gara-gara nolongin aku.
"Dani lama banget ya ga balik-balik?" ucap Vika
"Fix... panggilan orangtua, secara dia ketua OSIS gitu, pake mukul anak-anak." sahut Lala.
"Tapi mungkin kalau dijelasin guru BK bakalan paham deh situasinya gimana." terang Dinda.
"Lagian Dani harusnya gak ada disana sih ya, tapi kasian juga kamu Sya kalau sampai kena pukul salah satu dari mereka." keluh Lala kemudian.
"Jelas aja Dani bakalan ada disana, karena dia kan belain Syaluna, asal kalian tau, Dani crushing ke Syaluna, udah nembak juga tapi nih anak gak mau." kata Vika ember ke mereka.
"Whatttt yang bener?"
"Kenapa nggak mau, buat aku aja nggak papa?" sahut Dinda sambil tertawa.
"Ada kok alasannya, rumit kalian gak akan paham." jawabku.
"Ohhh okee aku nitip sandal dulu nih, kalau ada kabar mereka jadian panggil ya." kata Dinda pada Lala.
"Ashiiaappp aku ngeship mereka nih, kita tunggu aja kabar selanjutnya." tambah Vika.
Akhirnya yang kami tunggu-tunggu datang juga, Dani masuk diiringi senyumannya yang bikin hati siapa saja meleleh.
"Gimana...?" tanyaku.
"Nggak papa sih, udah beres."
"Kamu gak dapat masalah atau panggilan orang tua gitu?"
"Enggak lah, aku sudah menjelaskan permasalahan nya dan Bu Mirna paham kok." jelasnya.
"Ohh syukurlah kalo gitu..." ucapku senang, gak harus nimbulin masalah baru dikeluarga kami.
"Sebagai gantinya... nanti sore temenin futsal, aku nggak mau dengar penolakan" katanya.
"Maksa??"
"Iyaaa..." jawab Dani.
"Terus aku ngapain? nungguin kamu futsal bengong kaya orang bego?"
"Ya terserah kamu mau ngapain, tapi yang jelas aku mau kamu nemenin. ok?"
"Ya liat aja nanti, kalau aku ada waktu bakalan aku temenin."
"Ok..." ucap dia.
"Fix nunggu detik detik mereka jadian." ucap Lala.
"Apa sih... kalian mau juga nemenin dia futsal, nih sana temenin, kalau saja saking gak balas Budi aku ogah."
"Jangan gitu awas kemakan omongan sendiri loh." kata Dinda.
***
Dan sesuai janji sore ini pulang sekolah, sekitar jam 4 setengah 5 lah, aku nemenin dia futsal, aku duduk di deretan kursi penonton.
"Kayanya masih lama deh, dan aku mulai bosan." aku bermonolog dengan ujung sepatuku. Kulihat ponsel Dani tergeletak gitu aja diatas ranselnya. aku pernah lihat sih pola kuncinya, kalau belum diganti mungkin masih bisa hehehehe.
Aku mulai kepoin isi dari hp nya Dani, kalau WA nggak lah itu privasi dia, mungkin galeri saja. Aku buka gallery tak ada apa-apa.
"Sayang mau kemana?" tanya Dani saat melihatku pergi.
"Nggak kemana-mana, jalan-jalan di depan bentar." jawabku.
Dia ngangguk sambil senyum-senyum. Dan aku baru ngeh, ngapain aku nengok pake jawab pula pas dia panggil sayang, pencitraan di depan teman-temannya.
Sampai rumah aku langsung mengintrogasinya.
"Apa maksudnya panggil sayang-sayang tadi?"
"Nggak ada maksud apa-apa kok, cuma pingin aja." jawab Dani Asal.
"Kamu nih suka nyari ribut emang ya sama aku."
"Emang kenapa sih kalau aku panggil sayang? segitu marahnya." lanjutnya kemudian.
"Dan... tolonglah, aku nggak mau sampai kita melewati batasan kita." ucapku berusaha mempertegas status diantara kami.
"Batasan seperti apa Sya? seperti ini?" dia mendekat, menyelipkan tangannya ditengkukku lalu sedetik kemudian kurasakan sesuatu yang hangat singgah di bibirku.
Aku mendorongnya kuat-kuat, lalu kulihat kesekitar takut ada om dan Tante yang berada dirumah.
"Sakit kamu Dan..." ucapku sambil meninggalkannya sendirian di ruang tamu.