Bab 2 | Astaghfirullohaladzim, Satchel

1788 Kata
“Dand hapemu tak bawa dulu yoo… ” “Ok lah, karepmu!“ "Ha ha sedino ae lah, oke!" Setelah mengantongi ponsel Dandy, Dimpa menancap gas motornya dengan kekuatan penuh. Dimpa meninggalkan Dandy di warung nasi langganannya untuk bersarapan pagi. Dandy hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dimpa yang menurutnya selalu semaunya. Selisih sekian menit Dandy pun menyusul Dimpa. Dandy menstater motornya dan berangkat kerja dengan santai. Tidak tergesa-gesa seperti yang dilakukan Dimpa. "Arek edyaaan senenge pencilak’an. " gerutu Dandy mengomentari kebiasaan Dimpa teman dekatnya itu. Dimpa Salaka berusia 21 tahun, saat ini bekerja di Perusahaan Asing sebagai Staf Production Control. Semula dia hanya seorang pegawai biasa yang ditugaskan menjaga gudang. Karena seorang Supervisornya mengetahui keahlian yang dimiliki Dimpa, maka di naikkannya jabatan Dimpa menjadi staf oleh Supervisor itu yang juga sebagai atasannya langsung. Salah satu keberuntungan yang diperoleh Dimpa. Yaaah, menurut keluarganya Dimpa itu adalah anak yang penuh keberuntungan. “Apa kabar Dimp?“ senior Dimpa bernama Siska yang biasa akrab dipanggil Mbak Sist selalu menyapa ramah setiap kali Dimpa datang menuju meja kerjanya yang memang bersebelahan dengan Siska. Dan Dimpa memang akrab dengan Siska, karena selain Siska memang ramah, dia juga banyak membantu kesulitan Dimpa di saat pertama kali Dimpa memegang amanah jabatan barunya. Dimpa dan Siska bukan hanya berbagi soal pekerjaan saja, kadang keduanya saling berbagi informasi tentang isu-isu dan gosip-gosip yang menyebar di perusahaan mereka. Gosip? Dimpa bergosip? Yah Dimpa memang hanya bagian pendengar saja ketika Siska menceritakan banyak hal yang terjadi di lingkup kantor dan ruangannya, bahkan hingga di luar jangkauan Dimpa. Menurut Dimpa, menjadi pendengar Siska adalah salah satu bentuk caranya untuk menghormati Siska yang banyak berbuat baik kepadanya. Seperti saat ini ketika Dimpa ingin langsung duduk di kursi kerjanya, Dimpa sempat berbasa basi kepada Siska, karena Siska masih memandang ke arah nya seperti menunggu di ajak bicara. “Apa kabar Dimp ?“ Siska mengulangi sapaanya. “Alhamdulillah baik mbak, sampeyan gimana kabarnya ? “ Dimpa membalas sapaan ramah Siska sambil menyalakan komputernya, kemudian Dimpa membenahi duduknya dan memutar kursinya menghadap Siska. “Waaah habis jalan-jalan sama Pak Nino kemarin yah, ha ha pantes lemburnya cepat he he…“ imbuh Dimpa sambil menunggu jawaban Siska, seperti biasanya. “Husssh!!! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya Dimp nanti ketahuan ha ha ha… “ tukas Siska sambil menyerahkan berkas lamaran seseorang ke arah Dimpa. Dimpa menerimanya, sambil membolak balik berkas lamaran itu. “Ha ha ha Mbak sist Mmbak Sist sampeyan itu bisa saja, lamaran siapa ini mbak ?“ tanya Dimpa sambil terus membolak balik dan membaca CV yang tertera di sana. “ Titipan dari Bu Ajeng, tapi Pak Budi ga cocok, “ jelas Siska singkat sambil menyisir rambutnya yang tidak berantakan. Dimpa mengangguk, dan meletakkan berkas tadi ke laci meja kerjanya. Dimpa kemudian mengeluarkan satu per satu isi daypack-nya. Adalah kebiasaan Dimpa, Sebelum bel masuk berdentang Dimpa membuat kopi di pantry untuk menemaninya bekerja, dan dia menyiapkan merk kopinya sendiri, yang selalu di simpan di daypacknya. “Eeh Dimp,“ panggil Siska cepat membuat Dimpa yang semula hendak bangun dari duduknya kembali terduduk. “Iyah mbak ?“ “Lihat deh, ini kan berkas lamaran kerja yang pernah kamu bawa kapan hari itu, kalau dia ajah gimana yah? Menurut kamu pak Budi cocok ga yah Dimp? Siska memutar layar komputer tipisnya ke arah Dimpa, dan Dimpa hanya terdiam melihat CV yang terlihat di monitor komputer Siska. Melihat Dimpa terdiam, Siska hanya memandang Dimpa dengan penasaran. “Dia cewekmu yah Dimp? “ Sekelebat Dimpa teringat masa-masa ketika dia bersama teman-temanya di tempat tinggal orang tuanya. Dimpa membandingkan kehidupannya yang lalu dengan kehidupannya yang sekarang. Membayangkan semua itu, hanya menghasilkan senyum di wajah Dimpa, senyum yang membuat alis Siska terangkat bersamaan. *** Dandy nampak gelisah menunggu Dimpa di halte depan gerbang masuk komplek kawasan Industri. Berkali kali dia melihat jam tangannya dan bergantian melihat arah jalan keluar kompleks kawasan Industri tempat dia dan Dimpa bekerja. Sudah lama dia menunggu tapi Dimpa tidak juga terlihat oleh penglihatannya. Sedikit kesal, Dandy beranjak dari duduknya dan menaiki motornya, Dandy sekali lagi melihat jam tangannya sebelum kemudian dia menstater motornya. Greeeeung.... Deuciiiiiiiiiit, bip bip “Daaaand! “ Dimpa memotong jalan Dandy sambil berteriak. Beruntung Dandy masih menstater motornya saja. Belum menancap gas motor nya. “Ckkkk, waduh bro bro jam berapa iki?“ “Sorry Sorry lembur sebentar bro, tadi mau pulang cepat tapi dipanggil sama Bos, Sorry yah, “ “Mana hapeku cepet!“ Hape? Oiyah aku baru inget dari semalam hape Dandy ku bawa, dan gadis nakal itu pasti menunggu balasan ku. “Astaghfirullohaladzim......” Mendengar Dimpa beristighfar, Dandy spontan mencebikkan bibirnya dan menggelengkan kepalanya, mukanya merengut. Sementara Dimpa hanya terkekeh melihat reaksi Dandy temannya. “Aku pulang sik lah hapeku bawaen saja.“ Dandy langsung menancap pol gas motornya dan meninggalkan Dimpa begitu saja. Dimpa masih dengan senyumnya ketika melihat Dandy meninggalkan dirinya. Dimpa masih berdiam di tempatnya sampai punggung Dandy tidak lagi terlihat di penglihatannya. Masih duduk di atas motornya, Dimpa mengeluarkan ponsel Dandy dari daypacknya. Dia terlupa dengan kejadian semalam, karena pekerjaannya hari ini begitu melelahkannya. Kondisi jalan sudah sangat gelap, dan ponsel Dandy hanya ponsel jadul dengan fitur seadanya. Dimpa merasakan kesulitan membaca sms dari si gadis nakalnya. Dimpa pun mengantongi kembali ponsel Dandy, dan menstater motornya, dan dia mencari minimarket yang menyediakan kursi dan meja di area parkirnya. +628133330455* [I'm not Virgin] Bekasi, 23 Desember 2006 23.59 wib Dimpa kembali membaca berulang ulang pesan itu. Dimpa berpikir keras apa maksud pesan itu. Dimpa menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan menyelonjorkan kakinya. Membuat badannya sedikit nyaman. Geraah, Dimpa melepas baju seragam kerjanya dan menyisahkan kaos oblong yang menempel di badannya. Bentuk badan nya yang atletis pun terpampang jelas, mengundang perhatian perempuan-perempuan yang berlalu lalang keluar masuk minimarket. Sambil menyeruput sebotol kopi dingin yang tadi dia beli di minimarket, dia mencoba membalas pesan itu, tapi Dimpa bingung hendak menulis apa. Dimpa membuka diarypocket yang berisi jadwal kerja dan catatan pekerjaannya, disana pula Dimpa biasanya mencatat segala yang menurutnya perlu untuk dicatat. Dan ada robekan kertas terselip di antara lembaran halaman diarypocketnya. Dimpa membukanya dengan malas dan betapa terkejutnya Dimpa ketika membaca isi tulisan di robekan kertas itu. +628133330455* Satchel Satchel ? Dimpa menarik tubuhnya dan duduk tegap dengan wajah yang sangat serius, diraupnya mukanya dan disamakannya nomer telepon yang tertera di robekan kertas itu dengan yang ada diponsel Dandy. Dan, terkejut dua kali, hingga Dimpa harus menutup mulutnya dengan tangannya. Astaghfirullohaladzim.,,, Satchel, kamu ini kenapa? Guyonanmu ndak lucu sama sekali Chel… Dimpa mengangkat alisnya dan kemudian bergegas membuat pangilan suara untuk menelepon Satchel, yang sekarang mulai diingatnya. Dan betapa gemasnya Dimpa, panggilan suaranya selalu terjawab oleh mesin operator. Satchel, atau Satchelia Atmajaya adalah temanku, temanku di sekolah SMA. Kita hanya satu kelas saat kita kelas satu, yah hanya kelas satu saja, setelahnya kita tidak pernah lagi satu kelas. Entah kenapa kita tiba-tiba menjadi sangat dekat. Dekat sebagai teman pastinya bukan sebagai kekasih atau apa saja yang semacamnya. Sebetulnya bukan tiba-tiba juga. Aku ingat, waktu pertama kali bertemu dia, waktu pendaftaran sekolah, nomor urut dia pas ada di bawah namaku karena nilai dia ada di bawah nilaiku. Yah, bisa di artikan nilaiku lebih bagus lah dari nilainya, dan artinya lagi aku lebih pinter darinya. Aku memang pernah menggodanya. Yah menggoda biasa saja, biasa lah laki-laki bertemu perempuan, sekedar bertanya nama dan dari mana dengan sedikit dibumbui senyum manis ha ha ha senyum manis ala Dimpa Salaka yang menawan dimasanya. Dia, berkerudung manis sekali tapi hemat senyum, waktu ku tanya siapa namanya dia hanya menatapku dari atas sampai bawah, kemudian pergi. Aku biasa saja dibalas seperti itu. Biasa perempuan malu-malu meong. Ha ha ha ha. Setelah nya, ternyata kita berada dalam satu kelas yang sama, ha ha kalau jodoh ndak bakal kemana. Dan kita berdua sering terlibat di suatu kondisi yang harus selalu melakukannya bersama-sama. Aku sih suka-suka saja, ndak tau deh kalau dia, sepertinya dia tersiksa ha hahaha. Pada Akhirnya, kita berdua menjadi teman baik, dia sering membutuhkan aku, kalau sedang ujian apalagi ujian matematika dan agama. Yah begitulah Satchel, menurutku dia cukup pintar tapi entah mengapa dia begitu suka tidak mengerjakan tugas-tugas sekolahnya dengan baik. Di sekolah dia sering mendapatkan kasus, meskipun bukan dia yang melakukan, tapi teman-teman bermainnya di sekolah sangat membahayakannya. Nasehat dariku pun tidak dihiraukannya. Sesungguhnya dia memang sangat menarik tapi juga teramat sangat keras kepala. Setelah lulus sekolah kita terpisah. Aku tidak pernah lagi mendengarkan kabarnya. Terakhir beberapa bulan ini, tiba-tiba aku mengingat dia. Kebetulan orang tua Satchel mengenal aku dengan baik, jadi aku memang sengaja ingin bertamu ke rumahnya. Bukan hanya ingin mengetahui kabar Satchel tapi juga ingin bersilaturahmi mengunjungi orang tua Satchel. Dari orang tua Satchel inilah aku tau bahwa dia sedang di luar kota ikut dengan pamannya. Itu pun ibu Satchel menceritakan betapa keras kepalanya Satchel ingin mencari uang di luar kota padahal orang tuanya ingin Satchel bekerja di kota tempat tinggalnya saja. Bukan Satchel kalau tidak mengundang bahaya. Mengingatnya aku hanya bisa menghela napas saja. Terakhir aku meninggalkan nomor telepon Dandy, karena saat aku meminta nomor Satchel orang tua Satchel belum mengetahuinya. Untuk menghubungi Satchel , mereka biasanya menghubungi melalui paman Satchel. Setelah kutinggalkan nomor Dandy, harapanku Satchel akan segera menghubungiku, bagaimana pun juga aku punya keyakinan bahwa dia pasti senang aku mencarinya. Tapi sekian lama tidak ada kabar dari Dandy bahwa Satchel mencariku. Dan aku sangat percaya Dandy, dandy ndak akan main-main denganku apalagi sengaja menggodaku, bukan tipenya sebagai lelaki penggoda ha ha haa haha. Kali ke dua aku berkunjung ke rumah Satchel dan Alhamdulillah aku sudah mendapatkan nomor telepon Satchel, dan aku ndak bisa menghubunginya karena selain aku belum punya ponsel untuk langsung menyimpan nomernya, aku juga lupa menyimpan nomer Satchel dimana. Maklumlah aku pegawai baru yang sedang begitu banyak pekerjaan, diperbantukan disemua divisi hanya untuk menjaga amanah jabatan yang baru ku emban. Tak lama setelah itu, Satchel meneleponku. Pastinya melalui nomer Dandy yang kuberikan kepadanya melalui ibunya. Aku ingat sekali dia selalu tertawa ceria. Setiap kali aku meneleponnya lagi, dia selalu ceria dan bahagia. Dia gadis periang. Aku menyimpan nomor Satchel dan pastinya bukan nomor yang mengirim pesan kepadaku saat ini. Huffffffft kenapa dulu kamu ga jadi pacar ku saja sih Chel,… “Biiiip Bipppp “ “Biiiip Bipppp” “Biiiip Bipppp” Ayooo Chel angkat telepon nya ..... “Biiiip Bipppp “ “Biiiip Bipppp” “Biiiip Bipppp” “Hallo“ terdengar suara lembutnya dari kejauhan. “Hallo“ kataku berat “Haaaaai Dimpaaaaa, Apa kabaaaaaar…“ Dasar, gadis nakal aku di sini gelisah memikirkanmu, sementara kamu di sana berteriak ceria seperti itu. “Aku pingin ketemu.“ hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutku yang keluh. Jantungku berdegup tak beraturan dan sesungguhnya aku tidak tau apa maksudnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN