3. Tiga

1155 Kata
Awan mendung, tidak memberikan sedikit pun celah untuk sinar matahari menembus memberi silaunya pada bumi. Nigi mendesah menatap keluar jendela dari tempat duduknya di dalam kelas. Suasana mendung seperti sekarang ini membuat mood belajarnya turun drastis. Terlebih untuk pelajaran tambahan yang benar-benar tidak Nigi harapkan ada. Dalam benaknya seharian hanya detik-detik bel pulanglah yang dia nantikan. Agar dia bisa segera bergelung di balik selimut dengan cuaca yang sangat mendukung ini. “Apa udah masuk musim hujan ya?” gumam Nigi yang masih memandang ke luar jendela, menatap awan yang semakin bergumul hitam di atas sana. Aura yang duduk di samping Nigi melirik sahabatnya itu jengah. Sudah seharian ini Nigi seperti kehilangan nyawa dan tidak berminat melakukan apa pun di sekolah. Bahkan sering kali mengabaikan dirinya yang sedang bercerita panjang lebar, sementara benak gadis itu entah sudah melayang ke mana. “Lihat depan woy! Bu Vera masih sibuk ngejelasin juga!” bisikan Aura sukses membuat Nigi berdecak merasa keasikannya terganggu. “Bodo ah. Bu Vera nya aja resek, ngasih kelas tambahan di saat gue lagi badmood kayak gini.” “Ketua OSIS yang nggak patut dicontoh!” Nigi mengabaikan cibiran itu dengan menulikan telinga, pandangannya lalu kembali ke luar jendela. Tidak berapa lama bel tanda kelas tambahan berakhir menggema di seluruh penjuru kelas, bersamaan dengan rintikan hujan yang lebih menarik perhatian Nigi. Padahal bel yang sejak tadi ditunggunya sudah berbunyi, tapi dia tetap asik mengamati butiran-butiran air yang perlahan membasahi apa yang tersentuh olehnya. “Hujan pertama setelah kemarau panjang,” bisik Nigi dalam hati. Ketika Aura sibuk membereskan perlengkapan sekolah ke dalam tas, Nigi masih asik dengan lamunannya, melihat hal itu membuat Aura mengernyit bingung. Ditepuknya pundak Nigi yang hanya dibalas dengan sebuah gumaman oleh gadis itu. “Tadi lo bilang mau cepet balik? Kok malah bengong?” Nigi menoleh, mendapati Aura yang sudah memandangnya aneh. Tanpa memedulikan tatapan itu, Nigi akhirnya merapihkan peralatan sekolahnya dan memasukan ke dalam tas, mengabaikan Aura yang hanya bisa mencibir Nigi tanpa suara karena kembali tidak diacuhkan. Suara dering ponsel tiba-tiba menghentikan gerakan Nigi, gadis itu merogoh saku rok sekolahnya dan mendapati ponselnya berkedip. Sebuah panggilan dengan kode luar negeri tertera di sana. Senyum Nigi akhirnya terlukis saat menyadari kemungkinan seseorang yang tengah menghubunginya saat ini. Cepat-cepat Nigi menggeser icon hijau yang tertera di layar ponselnya, meraih tas sekolah yang sudah tertutup sempurna, lalu berpamitan pada Aura tanpa suara. “Halo, Kak Andra?” seru Nigi antusias. “Ih kok tahu sih? Nggak surprise dong?” suara pria bernama Andra itu terdengar dibuat kecewa. “Nigi gitu. Ke mana aja sih baru telepon? Sombong!” dengus Nigi pura-pura sebal. Pria di seberang sambungan sana tertawa. “Tiga tahun nggak ketemu kamu kayaknya masih sama aja ya? Doyan ngedumel!” “Enak aja! Gini-gini aku pemenang kendo se-DKI loh dua minggu lalu!” pamer Nigi bangga, meski mungkin ucapannya itu tidak berhubungan dengan apa yang Andra katakan sebelumnya. Tapi Nigi tidak peduli, terlalu banyak yang dia ingin ceritakan, dan dia tahu waktu yang Andra miliki tidak pernah banyak ketika menghubunginya setelah sekian lama. “Wow, hebat! Kakak nggak nyangka kamu serius ngejalanin beladiri itu. Kabar baik nih, tandanya kamu ada kemajuan.” Andra kembali terbahak di seberang sana. Nigi cemberut sambil terus melangkah melewati lorong-lorong sekolah untuk keluar dari kawasan SMA Nusantara. Sebelah tangannya yang bebas merogoh kantung kecil di samping ransel, di mana sebuah payung sudah disiapkan Mami untuk saat-saat mendesak seperti saat ini. “Eh, tapi bukan cuma kamu loh yang punya kabar baik. Kakak juga mau kasih kabar baik buat kamu.” Ekspresi cemberut Nigi sudah hilang entah ke mana, saat ini wajahnya terlihat sumringah dan antusias mendengar kabar baik yang akan disampaikan Andra. Tangan Nigi sudah sibuk membuka payung yang akhirnya mekar dan bersentuhan dengan rintikan hujan. Langkahnya perlahan meninggalkan kawasan sekolah, masih banyak siswa tertahan di sana karena tidak membawa payung atau perlengkapan pelindung mereka dari hujan. “Apa Kak? Apa? Kak Andra mau pulang ke Indonesia ya?” tanya Nigi tidak sabar. “Hampir bener sih, tapi bukan cuma itu.” “Apaan sih? Kak Andra sok misterius deh!” Sempat hening, hanya rintikan hujan yang bersentuhan dengan permukaan payung Nigi yang terdengar. Sebelum akhirnya suara riang penuh suka cita Andra kembali menelisik indra pendengaran Nigi. “Kakak mau nikah, Gi. Kakak pulang ke Indonesia untuk nikah sama Mia yang dulu pernah Kakak ceritain sama kamu itu!” Langkah Nigi terhenti, tubuhnya seketika membeku mendengar pernyataan mengejutkan yang ia dengar dari seorang Andra di seberang sana. Pernyataan itu bagai petir yang menghancurkan hati dan saraf-saraf dalam otak Nigi seketika. Dadanya bergemuruh menahan sakit yang baru saja menyerangnya. Penantiannya, harapannya, perasaan yang dia sembunyikan diam-diam selama ini, hancur dalam hitungan detik. Bahkan Nigi tidak bisa mengontrol ketika air matanya jatuh tanpa pertahanan. Andra Ciptonusa, tetangga sekaligus cinta pertama Nigi sejak gadis itu beranjak remaja kini akan menikah. Cinta diam-diam yang dia pikir akan berjalan baik jika dia bersedia untuk menunggu. Tapi mengapa justru seperti ini hasilnya? Lantas harus bagaimana dia menanggapi “kabar baik” menurut seseorang yang berada di seberang sana saat ini? Sementara hatinya hancur berkeping-keping pada detik yang sama. “Gi? Hei, Nigi? Kamu masih denger Kakak, kan?” seruan itu membawa Nigi kembali dari lamunan. Ia menghapus air mata yang tetap turun meski Nigi menghapus jejaknya berkali-kali. “Ehm,” gumam Nigi mengontrol nada suaranya agar tetap terdengar biasa. “Kamu nggak seneng denger kabar Kakak nikah? Nggak mau ngucapin selamat sama kakakmu ini, gitu? Adik macam apa itu,” keluh Andra kecewa, meski maksudnya bercanda. Nigi tersenyum kecut, merasa suaranya tercekat di tenggorokan. Namun sekuat tenaga gadis itu berusaha menyembunyikan, agar sekali lagi, pria yang saat ini sedang berada di benua yang berbeda dengannya itu tidak tahu apa yang terjadi pada Nigi, sama seperti dia berusaha menyembunyikan perasaan selama ini. “Selamat Kak, selamat atas rencana pernikahannya,” ucap Nigi dengan butir air mata yang kembali jatuh, meski tak jengah Nigi menghapusnya berkali-kali. “Maaf Kak Andra, Nigi ada urusan. Sampein salamku sama Kak Mia ya? Sekali lagi selamat atas pernikahan kalian.” Cepat-cepat Nigi memutuskan sambungan telepon itu, bahkan sampai lupa memberi salam karena perasaannya yang tidak karuan. Perlahan dia meluruh, berjongkok di tengah hujan dengan tangis yang pecah. Hujan mungkin bisa saja membuat Nigi jatuh sakit, tapi rasa sakit yang berasal dari hatinya sendirilah yang lebih mendominasi. Entah berapa lama Nigi terisak. Di mulai dari isakan kecil yang hanya terdengar olehnya hingga raungan yang pecah dan bisa saja menjadi perhatian banyak orang jika hari itu tidak hujan. Beruntung hujan turun deras, di sekitarnya tidak ada orang berlalu lalang seperti hari-hari biasa, hanya beberapa dan itu pun tidak begitu tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi pada Nigi. Tapi tidak lama berselang, langkah seseorang berhenti tepat di depan Nigi, membuat gadis itu menghentikan isaknya perlahan. Sepasang matanya yang mulai bengkak karena terlalu banyak menangis, menyusuri tubuh orang yang berdiri di hadapannya itu. Hingga pandangan mereka bertemu di garis yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN