Chapter 11. Dunia Yang Baru

2081 Kata
“Apa aku benar-benar harus pergi? Atau ini hanya bagian dari permainan Paman juga?” tanya Nero begitu Viola keluar dari ruangannya. Biasanya, Nero jarang lupa waktu kecuali ia sedang melewatkannya bersama Muti. Dengannya, Nero tidak pernah ingin waktu beranjak pergi yang membuatnya harus berpisah dengan gadis itu. Apapun yang Muti lakukan, tidak akan membuat Nero merasa bosan. Bahkan jika ia hanya duduk dan memandangi gadis itu menggambar. Akan tetapi, hari ini nyatanya ia menikmati waktu sarapannya bersama dengan orang yang sama sekali asing baginya. Ia tidak pernah bisa memulai pembicaraan dengan mudah, tetapi bersama Viola, rasanya seperti mereka sudah lama saling mengenal. Seakan memang mereka adalah dua orang teman yang sangat dekat. Teman. Rasanya menyenangkan, sekaligus mengerikan. Ia tidak pernah menjalin hubungan dekat dengan seseorang, selain dengan yang dianggapnya nyaman. Muti adalah orang pertama yang bisa membuatnya percaya lagi pada hubungan antar manusia setelah apa yang terjadi padanya dan Andhita. Oke, mungkin ia dekat dengan Paman Stevan dan juga keluarganya, tetapi itu sama sekali berbeda. Ia mengenal mereka sejak dirinya masih kecil, dan orang-orang itu sudah seperti keluarga baginya. Berbeda dengan Muti yang sama sekali tidak ia kenal, juga sama sekali berbeda dengan dirinya. Kini, ketika ia merasakan hal yang sama pada Viola, sedikit kengerian kembali melingkupinya. Bagaimana jika nanti Viola melakukan sesuatu yang menyakiti hatinya seperti yang pernah dilakukan Andhita dulu? Bagaimana jika semua ini hanyalah kenyamanan semu karena ia, setidaknya, menemukan bagian dari keluarga yang pernah ia kenal di Jakarta? Hanya saja, meskipun tahu bahwa akan ada banyak kemungkinan terburuk dari hubungan pertemanan ini, Nero tidak bisa menahan diri untuk menjaga jarak seperti yang seharusnya. Hubungan mereka di sini hanyalah hubungan atasan dan bawahan. Tidak peduli siapa gadis itu, seharusnya Nero tetap menjaga jarak. Namun, Nero menyadari bahwa ia menyukai cara Viola yang makan dengan lahap tanpa memedulikan kalori atau apapun itu yang banyak dikeluhkan wanita. Ia menyukai bagaimana mata wanita itu berbinar-binar saat menceritakan sesuatu yang ia sukai. Suka senyum cemerlangnya yang selalu mengingatkan Nero akan kehangatan sebuah keluarga yang ia dapatkan di Jakarta. Sedikit banyak, Viola mengingatkannya pada Muti. Mungkin hal itu juga yang membuatnya tidak bisa menjauh atau menjaga jarak. Karena Nero merasa menemukan lagi sesuatu yang baru saja hilang darinya di dalam diri Viola. Apakah itu salah? Apakah seharusnya ia tidak boleh seperti itu pada Viola? “Kau memang harus ke sana. Ini rapat dengan para investor perusahaan cabang kita di Los Angeles. Penjualan di sana selalu bagus dan mereka semua berharap bisa bertemu denganmu.” Paman Stevan menyerahkan sebuah tablet yang berisi grafik-grafik, angka-angka, dan juga laporan yang tidak Nero pahami. Biasanya, ia hanya berkutat dengan buku-buku di perpustakaan, atau laporan sederhana di kafenya. Melihat laporan sekompleks ini hanya membuat kepalanya berdenyut. “Apa Paman tidak bisa menjelaskan saja padaku daripada aku harus melihat semua ini sendirian?” tanya Nero sambil mendongak dari benda yang dipegangnya itu. “Itu laporan penjualan, rugi laba, dan potensi pendapatan jika kita membuka cabang kelima kita di sana. Selain itu, pasar online juga sedang bergeliat dan kita…” Nero menaikkan telapak tangannya hingga Paman Stevan terdiam. “Ini hari pertamaku dan aku sudah harus dihadapkan pada hal-hal semacam ini? Bukankah tugas Presiden Direktur hanyalah mendengarkan bagaimana hasil kerja para direktur?” Paman Stevan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Apa yang ada di hadapanmu itu adalah hasil kerja para direktur selama berbulan-bulan ini, Nak. Laporan dari direktur pemasaran, hasil pekerjaan para manajer lapangan, laporan direktur keuangan…” “Apa Paman akan menyebutkan semua laporan-laporan itu? Mendengarnya saja sudah membuat kepalaku pusing.” Lalu Nero mengingat sesuatu dari percakapan mereka tadi. “Apa Viola memang harus ikut ke Los Angeles? Atau itu…” “Itu bukan bagian dari permainanku,” gantian Paman Stevan yang memotong ucapannya. “Dia adalah salah satu kunci utama kenapa penjualan kita di sana sangat bagus. Ayahmu selalu mengajaknya setiap kali pergi rapat ke manapun. Pendapatnya adalah yang paling James percayai.” Ayahnya jarang mempercayai orang lain, dan jika ia melakukannya, orang tersebut pastilah memang benar-benar hebat atau setia. Tidak heran, jika Viola bisa mencapai posisinya sekarang di usia yang kurang dari tiga puluh tahun. Wanita itu sudah jelas anak emas ayahnya di perusahaan. “Apa Paman tidak akan memberiku kelonggaran? Ini hari pertamaku bekerja dan aku harus sudah menghadiri rapat di negara bagian lain? Apa kalian sudah menyiapkan perjalanannya?” “Pesawat jet pribadi sudah menunggu di atap, dan kita bisa langsung berangkat begitu Miss Aleyna siap.” Jet pribadi. Seharusnya Nero tidak heran kan? Ayahnya orang sibuk dan memiliki banyak cabang perusahaan di seluruh penjuru Amerika, bahkan mungkin juga Eropa, dan harus memiliki akses yang cepat untuk menghadiri rapat demi rapat. Seakan tahu jika dirinya sedang dinanti, ketukan pelan terdengar di pintu, dan ketika terbuka, wanita itu sudah siap dengan peralatan ‘perangnya’. Satu tas tangan berukuran sedang yang memang sering dibawa para wanita, juga tas lain yang jauh lebih kecil, kemungkinan berisi laptop wanita itu. Selain itu, Viola juga berganti pakaian. Ia jelas menyimpan pakaian ganti di ruangannya sendiri. Rok putih bernoda kari tadi sudah digantinya dengan celana panjang warna coklat, dalaman halus berwarna hitam, dan juga blazer senada dengan celananya. Untuk melengkapinya, sepatu hak tinggi warna hitam membuatnya terlihat jauh lebih tinggi beberapa sentimeter. Wajahnya juga sudah dirias ulang dengan riasan tipis. Keseluruhan diri Viola terlihat begitu berkelas, bersahaja, dan sangat percaya diri. Wanita itu menampilkan aura seseorang yang yakin dengan dirinya sendiri dan tidak kenal takut. Wajar, jika ia berhasil bertahan sendirian di kota sebesar ini dan mencapai posisinya sekarang. “Aku sudah siap. Kita bisa berangkat sekarang.” “Masih ada waktu sepuluh menit dari tiga puluh yang kau janjikan,” kata Paman Stevan sambil melirik arlojinya. Viola mengangkat bahu sambil menyeringai. “Aku sudah terlatih. Jadi, kita berangkat sekarang?” Nero tidak tahu apa yang harus ia bawa, atau apa yang harus disiapkannya, tetapi ketika Paman Stevan mengangguk padanya, Nero tahu bahwa tidak ada yang harus dibawanya selain tubuhnya sendiri. Lagipula, jika pria itu berada di sana bersamanya, Nero pasti tidak akan banyak dibutuhkan. Di mata para direksi atau pemegang saham, ia pastilah hanya dianggap sebagai anak muda yang tidak tahu apa-apa tentang bisnis. Ia tidak pernah terlibat langsung, ia tidak pernah menampakkan dirinya, apalagi terjun dalam rapat-rapat seperti ini. Ini adalah seperti dunia baru yang tidak pernah Nero kenal. Sama seperti dulu ketika ia melakukan keputusan spontan untuk tinggal di Jakarta hanya karena dirinya jatuh cinta pada Muti. Saat itu bahkan lebih terasa menakutkan lagi karena ia berada di tempat yang asing sendirian, masih berusia muda, dan gegabah. Seandainya saja dulu Nero memutuskan untuk tetap pulang ke New York setelah tidak berhasil bertemu dengan ibunya, apa keadaannya akan jauh lebih baik? Apa ia akan menjalani kehidupan seperti ini jauh lebih cepat? Pergi dari satu kota ke kota lain, ke berbagai negara seperti yang ayahnya lakukan? Lift yang membawa mereka ke atap berhenti, dan ketika benda itu terbuka, Nero tidak bisa lagi bersikap biasa-biasa saja. Setidaknya setelah melihat benda macam apa yang akan membawa mereka pergi ke Los Angeles. “Sialan! Itu Cesna!” bisiknya tak percaya saat melihat pesawat putih itu siap menantinya dan Viola. Paman Stevan yang berada di sisinya, mengangguk dan tersenyum. “Citation X. Yang tercepat di kelasnya.” Satu hal lagi yang membuat Nero tidak mengenal dunia ayahnya. Ia tahu pria itu memang kaya raya, tetapi sebagai anak tunggal, Nero bahkan belum pernah menaiki pesawat jenis ini. Ia selalu pergi dengan pesawat komersil setiap kali melakukan perjalanan udara. “Dad pasti sering sekali bepergian,” gumamnya saat dua orang pria mendekat dan menjabat tangannya. Mereka memperkenalkan diri sebagai pilot dan co-pilot yang akan mengantarkannya dan Viola. “Apa kita hanya akan pergi bertiga?” tanya Nero saat ia tidak melihat orang lain lagi di sana. “Sebenarnya, hanya kalian berdua. Aku harus tinggal di sini dan melakukan beberapa pekerjaan.” Kening Nero berkerut mendengar apa yang pamannya katakan itu. Bagaimana mungkin ia menghadiri rapat yang sama sekali tidak pernah ia datangi tanpa Paman Stevan? Apa pria itu sengaja mengumpankannya ke dalam kandang singa? Dan lagi, menghabiskan waktu lima jam ke depan dalam pesawat bersama Viola, dan jauh lebih banyak lagi ketika mereka rapat, bagaimana Nero harus melaluinya? “Miss Aleyna akan membantumu, Nak. Jika ada yang tidak kau mengerti, kau bisa menanyakan padanya. Dia tahu segalanya,” ujar Paman Stevan dengan kebanggaan yang tidak ditutup-tutupi. Satu lagi fakta bahwa Viola memang sangat kompeten di bidangnya. “Paman sengaja melakukan ini ya?” bisik Nero di telinga pria itu yang langsung disambut kekehan. “Kau pikir urusan pekerjaan aku sangkut pautkan dengan kesenangan pribadi? Kau salah, Nak. Memang seperti ini biasanya ayahmu pergi rapat.” “Berdua saja dengan Viola?” Paman Stevan mengangguk, dan tanpa bicara apa-apa lagi, pria itu meninggalkannya untuk bicara pada Viola yang sudah mendekati pesawat sebelum mengangguk diikuti senyum wanita itu. Ada banyak hal yang Nero pikirkan. Ia tidak ingin memikirkan sesuatu yang macam-macam, tetapi ayahnya tidak mungkin memiliki hubungan di luar professional dengan Viola kan? Wanita itu masih terlalu muda untuknya. Jika Dad memang ingin mencari pengganti Mama, seharusnya ia memilih wanita yang sesuai dengan usianya, dan seseorang yang penurut agar perpisahan tidak terjadi lagi. Viola jelas bukan wanita yang cocok untuk itu. “Ada yang mengganggu pikiranmu? Kau tampak tidak nyaman?” Nero mengangkat kepalanya untuk menatap Viola yang duduk dengan nyaman di kursi sampingnya. Saking sibuknya berpikir, Nero tidak memperhatikan interior pesawat yang begitu mewah ini. Ayahnya jelas telah mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk pesawat ini. Jok kulit putihnya begitu empuk dan mewah, kabinnya luas, dan ia menyadari ada pramugari yang siap memberikan apa saja yang dibutuhkannya selama perjalanan. “Kau sering bepergian dengan ayahku seperti ini?” Viola mengangguk. “James sangat sibuk dan sering menghadiri begitu banyak rapat. Entah di New York atau kota lain, dan biasanya, kami pergi berdua. Ia sering membutuhkanku untuk berkonsultasi tentang peluang keuntungan perusahaan di banyak rapat yang kami hadiri.” “Hanya itu?” Saat menanyakan hal tersebut dan melihat wajah Viola yang terkejut, Nero tahu jika ia seharusnya diam saja. Mungkin memang pikirannya yang terlalu berkelana ke mana-mana. Seharusnya, ia tidak mencurigai Viola seperti ini. Viola tidak mungkin mau berhubungan dengan pria yang lebih pantas menjadi ayahnya. Namun, siapa yang tahu kan? “Aku tidak tahu maksud pertanyaanmu itu, dan apapun yang kau pikirkan, jika itu tidak menyangkut pekerjaan, aku tidak mau menjawabnya,” sahut Viola dengan ketus. Wanita itu mengubah posisi duduknya hingga tidak menghadap ke arah Nero lagi. Dia marah, batin Nero menatap gerakan kaku Viola yang sedang mengeluarkan tablet dari tasnya. Dan kenapa, Nero merasa bersalah karenanya? Ia hanya bertanya, jika memang tidak terjadi apa-apa antara Viola dan ayahnya, seharusnya wanita itu tidak perlu marah kan? “Viola, aku…” “Kenapa kau terus memanggilku Viola?” potong wanita itu dengan nada tajam yang sama dengan tatapan matanya. Nero mengerutkan kening. “Bukankah namamu memang…” “Ya, namaku memang Viola, tetapi orang-orang memanggilku Ola, atau di kantor mereka memanggilku Miss Aleyna. Kenapa kau tidak seperti itu juga?” Apa alasannya? Nero sendiri juga tidak tahu kenapa ia menyebutkan nama lengkap wanita itu dan bukannya hanya ‘Ola’ atau ‘Miss Aleyna’ seperti orang-orang kebanyakan. Ia hanya…entahlah, wanita itu jauh lebih cocok dipanggil Viola. “Kau keberatan aku memanggilmu seperti itu?” Viola mengembuskan napas frustasi sambil menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Selama beberapa saat, Nero hanya memperhatikan wajah cantik Viola. Wanita itu tampak lelah. Lingkar hitam di matanya menandakan bahwa ia butuh tidur lebih banyak lagi. Riasan tidak mampu menyembunyikannya dengan sempurna. “Apa pekerjaan ini terasa sangat berat untukmu?” tanya Nero pelan. Lagi-lagi, ia menanyakan sesuatu di luar kebiasaannya. Viola memandanginya saat wanita itu membuka mata. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” “Kantong matamu. Kau pasti kurang tidur. Apa ayahku menyusahkanmu?” Tadinya, Nero pikir, wanita itu akan kembali marah kepadanya, tetapi di luar dugaan, Viola justru tersenyum mendengar pertanyaannya. “Damar bilang, kau pria yang dingin dan hanya memedulikan Muti. Tampaknya, anggapan itu salah. Kau jelas pria yang banyak ingin tahu.” “Kau keberatan?” Viola kembali memandangnya, dan entah bagaimana, dunia seakan mengabur di sekeliling mereka. Saat Nero menatap mata indah dan cemerlang itu, ia tidak tahu mengapa sebagian beban masa lalunya seakan tidak lagi menggelayutinya. Seakan dunianya yang baru sekarang ini, menjanjikan sesuatu yang jauh lebih baik daripada apa yang Nero tinggalkan. Nero tidak tahu apa yang berubah. Namun, entah mengapa, ia merasa jika kepulangannya kali ini ke New York adalah hal paling tepat yang pernah ia lakukan semenjak dirinya pergi ke Indonesia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN