"Assalamualaikum, Gia sayang," sapa Niko ketika sosok kecil Gianara memasuki ruangan praktik bersama kedua orang tuanya. Tidak akan ada yang tahu jika sebenarnya mereka sudah tidak terikat pernikahan. Mereka terlihat begitu serasi, meski tinggi badan Intan hanya sebatas d**a Alif. Pemandangan itu membuat Niko lemas, dia cemburu, mungkinkah Intan menggantung perasaannya karena Alif?
Lantas Intan dan Alif duduk di kursi depan meja kerja Niko setelah pria itu mempersilakan mereka menempati dua buah kursi dengan jok terbuat dari kulit sintetis.
"Waalaikumsalam, doktel, ada hadiah buat gia?"
"Pastinya ada dong, anak salihah biar dokter periksa dulu, ya."
Gianara mengangguk Antusias, Niko selalu senang melihat mata bulat Gia, persis seperti milik Intan. Gadis kecil itu berusaha naik ranjang periksa seorang diri. Niko yang sedang membaca catatan kesehatan Gia buru-buru berdiri untuk membantunya. Tetapi terlambat, Alif sudah lebih dahulu mengangkat tubuh mungil putrinya, sekilas dia mencium pucuk kepala Gia.
Niko mencelos, entah mengapa ada rasa sakit di sudut hatinya. Dia tidak suka melihat kedekatan Gia dengan Ayah biologisnya. Apa-apaan kamu Niko, dia ayahnya, kamu siapa?
"Tidak terasa, ya Ntan. Enam bulan sudah Gia lalui dengan baik. Berat badannya nambah banyak. Dia sudah sehat," papar Niko, Intan tersenyum semringah. Manis sekali, membuat hati Niko diliputi perasaan tenang dan sejuk, seperti gurun kering yang disirami hujan lebat.
"Terima kasih, dokter Niko sudah menyembuhkan Gia," ucap Intan dia melihat senyum Niko tidak sampai ke matanya. Seperti sedang menyimpan beban berat.
"Jangan berterima kasih pada saya, Allah yang menyembuhkan," sahut Niko. Dia melirik Alif sekilas, aura perang terasa begitu kuat di ruangan kecil itu.
Niko mengusap pipi Gia yang lembut, kemudian memberikan satu set mainan perlengkapan dokter yang terbuat dari plastik. Gia girang, Intan mengulurkan tangan kemudian mendudukan Gia di atas pangkuannya.
"Niat bener, ya nyogok anak orang pakai mainan," ejek Alif.
"Jaga mulutmu, Lif!" bentak Intan. Niko sebetulnya panas, dia ingin membalas ucapan Alif, tetapi dia menahan diri mengingat di mana tempatnya berada sekarang.
"Ini, untuk memastikan, cek darah dan rontgen ulang." Niko menyerahkan secarik kertas pengantar langsung kepada Intan.
"Oh, harus ya?" tanya Intan.
"Iya, kalau sudah ada hasilnya langsung saja bawa kesini, tidak perlu bawa nomor antrian lagi."
Sepeninggal mereka dari ruangannya, Niko memeriksa ponsel sekilas, ada satu pesan masuk. Dari Intan.
[Tidak usah cemburu, gantengnya ilang entar.]
Mau tidak mau senyumnya terbit, dia kembali menyelesaikan tugasnya dengan tenang.
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Niko sampaikan pada Intan hari ini. Tetapi karena Intan datang bersama Alif dan banyaknya pasien membuat Niko mengurungkan niatnya.
Mengunjungi Intan sore hari di rumahnya mungkin adalah pilihan tepat. Tetapi ketika Niko sampai di sana dia tidak bertemu dengan Intan. Midah bilang, Intan pergi bersama Gia dan Alif.
Begini rasanya cemburu, dia menyambut datangnya malam dengan muram. Meski gemintang menghiasi cakrawala yang Niko lihat adalah gelap. Hatinya yang sedang gelap, meredup dibakar rasa cemburu.
[bagaimana bisa aku tidak cemburu, sementara sang kekasih hati sedang bersama dengan mantan suaminya]
Terkirim, kemudian dia menatap layar ponselnya, foto Intan yang dia ambil beberapa hari lalu di tempat kursus, dengan senyumnya yang manis, dan manik mata yang selalu dia tutupi dengan softlens aneka warna.
"Selamat tidur, bidadari. Aku tidak tahu sampai kapan hatiku sanggup menunggu," bisik Niko sebelum matanya terpejam dan memeluk guling.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali Niko sudah mendatangi Intan Fashion. Intan sedang memberikan arahan kepada seorang laki-laki yang memakai kemeja berwarna merah muda dan menyampirkan selembar pita ukur di bahunya. Tangan Intan yang lentik begitu lincah, rambut coklatnya berayun mengikuti gerak tubuh saat dia berbicara.
Lalu, Intan menyambar tasnya dan bergegas menaiki sepeda motor yang terparkir di depannya. Sebelum dia pergi, Niko berhasil mencegahnya.
"Niko, maaf aku sudah terlambat. Ada meeting sama orang dinas Sosial." Intan menangkupkan kedua tangannya. Dia mengerjap, bulu matanya yang lentik bergerak-gerak membuat Niko semakin terpesona mengagumi indahnya ciptaan Tuhan itu.
"Aku antar, ya?" pinta Niko.
"Aku bisa sendiri, beneran, aku sudah ditunggu. Janji, deh. Nanti kalau sudah selesai aku WA kamu. Oke?"
Niko mengangguk, kemudian mundur, motor matic itu kemudian melesat dengan cepat, meninggalkan seorang pria yang sedang berdiri dengan perasaan kecewa.
Sudah tidak ada waktu lagi, Niko harus segera menyampaikan hal itu kepada Intan.
"Hei, dek, kusut amat. Dari mana?" Sapa Rifki ketika Niko baru saja sampai rumah. Rifki terlihat antusias melihat Rosmala memandikan si kembar.
Niko bergabung, dia menjawil pipi salah satu keponakannya.
"Ko, kapan mau nambahin cucu buat Mama?" tanya Rosmala, wanita tua itu menyabuni seluruh tubuh cucunya dengan telaten.
"Kalau lamaran Niko diterima, mama langsung punya cucu yang cantik dan lucu," ungkap Niko. Gerakan tangan Rosmala terhenti, dia memalingkan wajah dari gembilnya tubuh sang cucu dan menatap tajam ke arah putra bungsunya.
"Tenang, Ma. Niko gak nanam saham duluan. Niko dapat satu paket." Rosmala mengembuskan napas lega.
"Intan, ya?" tanya Sara, dia datang memangku salah satu bayi kembarnya yang sudah dipakaikan baju.
Niko mengangguk, "tapi susah bener, dia narik ulur terus."
"Bawa sini, mama mau ketemu," titah Rosmala.
"Atau langsung aja kita datengin ke rumahnya, kita lamar buat Niko," timpal Rifki.
"Jangan dulu, nanti kalau dia bilang iya aku langsung ajak Papa dan kalian semua buat lamar dia. Tapi Mama gak apa, dia punya satu anak?"
"Salahnya dimana? Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua, begitupun dengan dia, siapa namanya tadi?"
"Intan, Ma. Dia cantik lho, mandiri dan dewasa, pas lah buat dampingi anak bungsu Mama yang kekanakan itu." Sara menjelaskan. Bayi dalam gendongannya kini berpindah tangan, Niko membawanya.
Suatu saat nanti, aku akan menggendong bayiku sendiri, bayi kita, Ntan. Kata batin Niko.
Nyatanya sampai saat ini, dia sulit meraih Intan, bahkan ketika hari sudah berganti janji Intan untuk memberinya kabar lewat pesan w******p tidak dia tepati. Niko merasa Intan semakin jauh, semakin sulit dia raih.
Surat elektronik yang Niko terima minggu lalu harusnya membuatnya senang, tapi kini dia bimbang. Berkali-kali dia menatap isi surat itu. Ini adalah keinginan terbesar Rosmala, tetapi itu artinya dia harus meninggalkan Intan untuk sementara waktu.
Jika saja Alif tidak datang mengusik ketenangan Niko dia akan pergi dengan tenang. Kini Niko cemas, dia terlalu takut tidak mendapatkan cinta Intan. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam kepada sosok Intan.
Motor sport berwarna kuning yang ia pinjam dari Rifki meninggalkan pelataran rumah Intan. Lagi-lagi dia pergi dengan tangan hampa. Midah bilang Intan sedang menjemput Gia di rumah Alif. Gadis kecil Intan itu kini sering dibawa ayahnya.
Niko pernah terang-terangan bertanya kepada Intan tentang kedekatan Gia dan Alif. Tetapi jawaban Intan benar-benar membuatnya tertohok dan malu, "Gia itu anak perempuan, seburuk apa pun ayahnya di mataku dia tetaplah ayahnya Gia. Seseorang yang berhak menikahkan Gia kelak."
Dari situ dia tahu, sosok Alif akan selalu jadi bayang-bayang dalam kehidupan cintanya dan Intan. Meski pada akhirnya Niko menyadari hanya butuh perjuangan lebih keras lagi untuk dapat diterima oleh Intan.
Namun, kini, di atas motor yang melaju sepanjang jalanan aspal dia merasa sedikit lelah. Haruskah dia pergi tanpa jaminan Intan akan kembali ke pelukan Alif.
***
"Sudah dapat tempat tinggal di sana, Ko?" Tanya Rosmala. Niko memasukkan beberapa lembar pakaian, buku-buku dan perlengkapannya kedalam koper.
"Sudah, Ma. Alhamdulillah, pemilik rumahnya baik. Niko sudah bayar sewa untuk enam bulan ke depan."
"Tidak sekalian satu tahun? Kamu di sana lama, lho."
Niko menghela napas, "bagi-bagi uangnya, Ma. Takut tidak cukup untuk bayar ini, itu."
"Papa sama Mas Rifki kan siap bantu kamu, Ko," papar Rosmala, dia mengusap kepala putranya lembut.
"Tabungan Niko masih ada, Ma. Nanti kalau habis Niko minta sama papa deh."
"Besok berangkat jam berapa?" tanya Rosmala.
Niko menggeleng lemah, kemudian melingkarkan tangannya ke pinggang sang Mama. Dia memeluk surganya, mencari sebuah ketenangan di sana.
"Soal Intan?" Rosmala menebak dengan benar. Niko kembali mengangguk.
"Apa perlu kami datang dulu melamar dia sebelum kamu pergi?"
"Dia bilang belum siap, Ma. Niko sudah melamar dia berkali-kali bahkan kemarin meminta langsung pada ibunya. Ibunya bilang Intan ketakutan, luka yang di torehkan mantan suaminya membuat dia takut untuk memulai berumah tangga."
"Lantas, kenapa kamu seperti ini?"
"Niko terusik, Ma. Akhir-akhir ini mantan suaminya ada terus di sekitar Intan."
"Jodoh gak akan kemana, Ko. Kalau jodoh, sejauh apa pun kamu pergi, sekeras apa pun Intan menghindar kalian akan tetap bersama. Sebaliknya sekeras apa pun usaha kamu untuk dapetin dia, kalian tidak akan pernah bisa bersatu."
"Jangan sampai, Ma. Jangan sampai Niko tidak berjodoh dengan Intan." Rosmala melepaskan pelukannya terhadap Niko.
Wanita itu tersenyum lembut, "rayu Allah, Dia yang menggerakkan hati manusia."
Perasaan Niko menghangat, seorang ibu selalu mampu menciptakan ketenangan bagi anak-anaknya yang tengah gelisah. Seperti Niko saat ini, dia yang tengah galau karena akhir-akhir ini tidak dapat menemui Intan kini bisa tidur dengan nyenyak.
Sebelum matanya sempurna terpejam, dia merapalkan sebaris doa. Merayu Sang Pemilik kehidupan agar berkenan menjodohkan dia dengan wanita pujaannya. Dengan begitu, besok dia bisa pergi dengan tenang. Karena sudah menitipkan hati Intan langsung kepada Allah.