"Jadi kamu memilih mundur?" Kastara menggeram, menahan gejolak kekecewaan di hatinya.
Barika mengangguk, namun memandang ke arah lain. "Kamu harus berbakti pada mamamu. Dan untuk melakukannya Kak Kastara tidak perlu punya hubungan apapun denganku."
"Kamu tahu, kan dari awal kita memang tidak pernah punya hubungan apapun?" Kastara mendengus, setengah mengejek.
"Lebih baik lagi. Berarti tidak ada penyesalan diantara kita, kan?"
Kastara menjatuhkan sendok yang ia pegang. Pada saat itulah ia kembali ke masa kini. Ia lalu mengerang pelan sambil memijat-mijat pelipisnya. Ia harus berhenti untuk memikirkan kenangan-kenangan itu lagi.
Malam ini Charis membiarkannya makan malam seorang diri. Gadis itu sedang duduk di lantai ruang tengah dengan laptop di hadapannya. Satu telinganya tersumbat earphone. Sesekali ia terlihat tertawa sendiri sebelum mengetik sesuatu di laptop-nya. Sudah pasti ia mengerjakan hasil wawancaranya dengan Revid.
Rajin sekali Charis mengerjakan tugas yang baru akan dikumpul minggu depan itu sekarang?
"Apa kamu tidak makan?" tanya Kastara dengan suara cukup besar.
Charis terlambat dua detik ketika menjawab, "Aku masih kekenyangan dari makan siang di pabrik tadi."
Kastara meringis kecil. Ia ingat Charis dan Revid memang sama-sama menambah makan siang tepat dihadapannya. Keduanya juga terlibat perbincangan seru yang tidak tentu arah hingga hampir melupakan dirinya. Revid beberapa kali memberinya lirikan dan gedikan kepala, tanda mengusirnya. Tapi Kastara bergeming dan tetap duduk menunggu sanpai Charis menyadari kekesalannya dan pamit pulang...
"Kalian sepertinya benar-benar saling menyukai, ya?" Kastara sambil melanjutkan makannya.
"Pak Revid punya kepribadian yang mudah untuk disukai," jawab Charis dengan pandangan masih tertuju di laptop. Kemudian ia seperti teringat sesuatu. "Jadi bagaimana kalian bisa berteman?" Kastara meliriknya Charis memberinya pandangan penuh harap.
"Kukira dia sudah menceritakannya padamu?" Kastara lalu menyuap makanannya.
"Aku tidak menanyakan itu padanya. Bukannya aku harus sedapat mungkin menghindari kesalahpahaman?" kata Charis tajam, dengan senyum yang tidak sampai ke matanya.
Untuk urusan mengembalikan perkataan orang, Charis jagonya. Salah satu hal yang Kastara pelajari dari gadis itu.
Jadi akhirnya ia menjawab, "Revid dan aku telah berkawan sejak SMA. Lalu orangtuanya bercerai dan dia dibawa ke tanah kelahiran ibunya selama beberapa tahun sebelum kembali ke sini."
"Jadi ke mana dia ketika kamu menikah dengan Mbak Verda?" Kastara menaikkan alisnya begitu menyadari Charis tidak memasukkan dirinya "di hari itu."
"Untungnya disaat yang tepat si b******k itu dipaksa ibunya untuk menyelesaikan studinya di sana yang telah dia tinggalkan begitu saja."
Kastara kemudian mengerjap. Ia bahkan tidak pernah menceritakan tentang Revid sampai sejauh ini pada Verda. Namun Charis tampak benar-benar tertarik,
"Oh, jika saja beliau tidak pergi waktu itu, hari ini beliau pasti memperlakukanku dengan berbeda." Charis seperti mengatakan hal yang tidak penting. "Aku bersyukur kami tidak bertemu hari itu."
"Jadi kamu memang benar menyukainya sebesar itu." Kastara mengulang lagi kalimatnya. Ia telah kehilangan selera makannya.
"Tidak perlu cemburu begitu." Charis memutar bola matanya. "Anda harus lebih pandai menyimpan perasaan, Pak Kastara. Kalau tidak justru Anda-lah yang akan menyebabkan kesalahpahaman."
Charis mengedipkan sebelah matanya sebelum kembali mengetik sesuatu di laptop.
Ya, Tuhan. Anak ini....
***
"He's cute!" komentar Tessa ketika melihat foto Pak Revid keesokan harinya di food court kampus. "Tapi dia kelihatan seperti vampir. Mungkin karena matanya."
Charis memandangnya tidak percaya. "Kamu bisa melihat matanya hanya dari foto?"
Tessa merapikan poninya ke belakang. "Tidak sulit, kok. Tapi beliau kelihatannya menyukaimu." Tiba-tiba sebuah pesan w******p masuk ke ponsel Charis. "Well, he really likes you."
Charis terkejut melihat nama Pak Revid tertera di layar ponselnya. Dia tidak yakin karena tiba-tiba ia bisa membayangkan ekspresi mengeras Kastara di depan matanya.
"Kenapa tidak kamu jawab?" Tessa sambil memandangnya ingin tahu.
"Ayo, kita harus masuk kelas sekarang." Charis menarik tangan Tessa agar bangkit.
"Ibu Nova, kan selalu telat." Tessa menarik Charis duduk kembali. "Tinggal saja dulu. Aku ingin tahu Pak Revid menginginkan apa darimu."
Charis akhirnya menyerah, kemudian kembali membuka ponselnya. Pesan itu masih di sana dan belum berani ia buka...
Tiba-tiba ia ngeri dengan dua tanda centang biru itu...
"Nanti saja!" serunya setelah kembali berdiri dan menarik lengan Tessa. "Kita harus masuk kelas sekarang!"
***
Kastara memerhatikan sedari tadi Revid terus saja mencuri pandang ke arah ponselnya selama mereka mengawasi perginya baju-baju kaos dan beberapa pesanan kain yang akan dikirim menggunakan mobil boks.
"Pesan dari siapa yang kamu tunggu?" bisik Kastara setelah mereka berdiri berdampingan cukup dekat.
"Charis," jawabnya dengan raut kecewa. "Sudah sejam yang lalu aku mengiriminya pesan, tapi sampai saat ini dia belum juga menjawab."
Kastara mengerjap, menoleh ke arah Revid cepat. "Kenapa pula kamu mengiriminya pesan?"
"Memangnya tidak boleh?" Revid mundur selangkah darinya. "Aku menanyakan apa dia masih memerlukan bantuanku apa tidak."
"Kalaupun dia menginginkan bantuanmu dialah yang akan menghubungimu lebih dulu." Kastara sedapat mungkin menjaga nada bicaranya agar tetap netral sambil melirik arlojinya. "Lagipula dia sedang kuliah sekarang."
"Sedang kuliah? Darimana kamu tahu kalau dia sedang kuliah?"
Kastara mengutuk dirinya sendiri dalam hati lalu berdeham keras. "Maksudku mungkin saja sekarang dia sedang kuliah." Beberapa karyawan mereka sekarang membungkuk pamit sebelum masing-masing masuk ke mobil boks mereka. "Jadi apa alasanmu sebenarnya mengiriminya pesan?"
Ia mendengar Revid menghela napas panjang. "Charis membuatku ingin menceritakan segalanya, kamu tahu. Ya, walaupun dia tidak secantik gadis-gadis yang biasa aku pacari. Ada suatu hal yang membuatku menjadi diri sendiri selama bersamanya."
Kastara mendadak membeku sejenak sebelum mendapatkan kembali kesadarannya. "Tapi kamu baru sekali bertemu dengannya," Kastara, lamat-lamat.
"Justru karena aku baru bertemu dengannya sekali makanya aku ingin lebih mengenalnya. Aku rasa perbedaan tiga belas tahun bukanlah penghalang diantara kami."
Revid kemudian menepuk-nepuk pundak Kastara sebelum berbalik badan meninggalkannya dengan pikirannya sendiri...
***
Charis merasa tercabik ketika memandangi pesan Pak Revid yang belum ia buka. Toh, pria itu telah bersedia membantunya. Akan sangat kasar rasanya jika ia menghindarinya begitu saja.
Charis merasakan Tessa terus saja mencuri pandang ke arahnya selama gadis itu mengantarnya pulang. Hingga akhirnya Tessa mengatakannya keras-keras apa yang ada di kepalanya ketika ia berhenti di depan lobi apartemen Charis.
"Balas saja pesannya, kenapa sih? Jawab dengan kalimat yang sesingkat-singkatnya. Biasanya pria akan mundur sendiri kalau kamu sudah merespon seperti itu!" Tessa terdengar kesal sekali.
Seandainya Tessa tahu apa yang sedang berkecamuk di hatinya...
"Lagipula kenapa, sih kamu bingung begitu? Dari ceritamu aku asumsikan Pak Revid itu single. Kamu juga sedang tidak ada pacar..." Tiba-tiba ia berhenti sebelum menyeletuk. "Jangan bilang kamu jomblo- taken?! Jomblo, tapi terikat perasaan dengan orang lain?!"
Charis nyaris berteriak memberitahu Tessa kalau ia sudah menikah, namun ia menggigit bibirnya rapat-rapat. "Bodo', ah. Terimakasih untuk tumpangannya!" Charis segera turun dari mobil Tessa, tanpa menghiraukan teriakan sahabatnya itu.
Charis menarik napas berulang kali selama ia berada di dalam lift. Pak Revid adalah sahabat sekaligus rekan kerja Kastara. Charis tidak ingin salah mengambil langkah karena ia yakin setelah satu pesan ini akan ada pesan-pesan lain yang menyusul.
Apalagi ditambah dengan tatapan tajam Kastara. Membuatnya merinding disekujur tubuh...
Hari ini adalah hari terakhir kunjungan Kastara. Mudah-mudahan pria itu tidak menyadari apapun...
***
Entah kenapa hari ini Kastara merasa lelah bukan main. Ketika ia memberesi barang-barang masuk ke laci meja kerjanya, ia tidak sengaja meraih kotak beludru biru yang telah lama terlupakan. Kastara mendesah panjang lalu menarik kotak itu keluar. Di dalamnya terdapat kalung emas putih dengan bandul berbentuk panah.
Seharusnya kalung ini ia berikan pada Barika, namun gadis itu telah menolaknya bahkan sebelum ia sempat melamar gadis itu. Jadi ia menyimpan kalung ini jauh dari jangkauan mamanya dan berakhir di laci meja kerjanya.
Kemudian ia teringat. Ketika ia menikah dengan Charis, ia tidak memberi gadis itu apapun karena semuanya disiapkan hanya untuk Verda. Jadi Kastara masih berutang itu padanya.
Toh, gadis itu pandai berbicara setajam panah.
Kastara lalu berharap dengan Charis memakai memakai kalung itu para lelaki yang ingin mendekatinya akan menjauh. Walau sebenarnya semua akan lebih mudah dengan membuat Charis memakai cincin. Tapi tidak mungkin Charis tiba-tiba memakainya.
Belum lagi Kastara tahu betul hal seperti itu tidak akan mempan untuk seorang Revid Dianara.
Jadi mau tidak mau ia harus memberitahu Revid jika sebenarnya Charis itu adalah istrinya.
Kastara lalu mengambil kotak beludru itu dan memasukkannya ke tas kerjanya. Para buruh pabrik yang juga akan pulang mengucap salam padanya yang ia balas dengan anggukan kecil. Dan ketika ia sampai di parkiran ia melihat Revid sedang menelpon seseorang dengan senyum merekah di depan mobil Sedan Camry hitamnya. Kastara bersyukur mobil mereka diparkir berdampingan sehingga ia bisa mencuri dengar.
"Tidak apa-apa. Justru saya yang minta maaf karena mengganggumu ketika sedang kuliah."
Kastara tidak perlu bertanya siapa yang sedang ditelponnya itu. Kastara berdiri memunggungi Revid, pura-pura sibuk mencari kunci mobil di dalam tasnya.
"Jadi apa kamu sudah menyelesaikan tugasmu itu? Apa kamu benar-benar sudah tidak membutuhkan bantuan saya lagi?"
Hening lagi.
"Wah, sayang sekali. Padahal saya akan senang jika kamu masih membutuhkan bantuanku. Masih banyak hal yang ingin kuceritakan padamu."
Revid benar-benar terdengar senang. Kastara bahkan bisa membayangkan cengiran konyol di wajah pria itu ketika ia bicara...
"Oh, ya. Kamu bilang semester depan kamu harus mencari perusahaan untuk magang, kan? bagaimana kalau kamu magang di sini saja? Kamu bisa saya tempatkan di HRD ataupun dibagian penjualan..."
Kastara menghela napas panjang. Revid memang menyukai Charis sebesar itu.
"Baiklah kalau begitu. Selamat memasak. Saya harap saya punya kesempatan mencicipi masakanmu."
Kastara merasa dirinya terlalu baik karena ia bersedia menunggu Revid hingga sambungan teleponnya selesai sebelum ia berkata kepada Revid yang memandangnya ingin tahu,
"Revid, ada yang ingin aku beritahu padamu..."
***
Charis makin merasa bersalah begitu menyadari nada bicara menggebu-gebu Pak Revid ketika pria itu malah menelponnya begitu ia membalas pesannya. Ia tidak pernah bermaksud untuk memberi kesan yang salah pada pria itu, namun Pak Revid sulit sekali untuk tidak disukai. Wajahnya yang baby-face itu membuat Charis tidak sampai hati.
Walau mungkin Pak Revid sudah menyakiti banyak hati sebelumnya.
Walau pikiranya melayang-layang, Charis berhasil memasak makan malam untuk Kastara, namun ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk mengambil handuk dan mandi. Jadi ia hanya menghempaskan diri di sofa ruang tengah sambil memejamkan matanya...
Ia terkejut ketika mendengar seseorang membuka pintu dan mendapati ekspresi Kastara sayu dan nampak lelah. Menunduk dalam sambal melepas sepatunya.
"Ada apa? Sesuatu terjadi di pabrik?" Charis setelah ia berdiri. Ia benar-benar khawatir.
"Aku punya sesuatu untukmu." Kastara setelah ia berdiri saling berhadapand dengan Charis.
Charis mengerutkan dahi, namun pandangan matanya tetap mengikuti Kastara ketika pria itu tengah merogoh isi tasnya di ruang tengah. Ia kemudian tertawa tanpa keriangan. "Karena aku tidak mungkin memakai dua cincin dan aku masih punya utang hadiah pernikahan untukmu. Jadi kumohon kamu mau menerima ini."
Kastara menyorongkan kotak beludru biru yang diterima Charis dengan hati-hati. Charis terperangah begitu melihat isinya.
Dan karena Charis masih saja memandang isinya, Kastara akhirnya meraih kalung itu sendiri. Sentuhan lembut ujung jemari Kastara pada kulit leher Charis ketika pria itu mengumpulkan rambutnya ke atas salah satu bahunya, membuat gadis itu merinding. Kastara sedang mengelus tali kalung yang menempel di tengkuk gadis itu ketika berkata:
"Aku harap setelah ini tidak ada pria lain lagi yang menyukaimu."
***