Kau bisa jatuh cinta pada seseorang dalam hitungan menit. Benar apa yang orang katakan, dari mata turun ke hati. Ada cinta yang memang terjadi di pandangan pertama. Terjadi begitu saja saat mata kalian berpandangan. Tak perlu alasan ataupun hal lainnya untuk merasa ketertarikan yang menuntunmu pada cinta. Namun sayang, melupakan cinta tak semudah kau jatuh cinta. Tak ada takaran waktu yang pas untuk mengukur sampai berapa lama semua perasaan di dalam hatimu itu terkuras habis. Tak ada jaminan, bila rasa di hatimu bisa hilang.
Ayu mengingat dengan jelas bagaimana ia jatuh cinta pada Lian. Saat itu, dirinya hendak melarikan diri dari rutinitas yang melelahkan. Seperti biasa, saat berlari, Ayu tak pernah memiliki rencana. Ia hanya ingin mengheningkan diri di tempat yang sepi, tempat di mana tak seorang pun mengenalnya agar ia tak perlu berpura-pura kuat. Ia tak perlu ditatap dengan pandangan mata orang yang menilainya bak barang yang memiliki tag harga. Ia lelah dengan kehidupannya yang penuh dengan kepalsuan. Tak ada yang mengiba atau menanyakan hatinya.
“Apa lagi yang Anda perlukan?” Pertanyaan itu adalah pembukaan pembicaraan Ayu dan Lian. Ditanyakan oleh Si pria setelah mengantarkan Ayu ke kamarnya, sedang perempuan itu tak menunjukkan sedikit pun keramahannya pada Lian. Ia malah menatap Lian dingin dan merendahkan karena ia tak begitu suka didekati. Ia takut dengan manusia. Begitu banyak kepalsuan di sekitarnya, hingga bersikap baik tak pernah menjadi kebiasaan Ayu.
“Nggak ada lagi. Letakkan saja koperku di ujung ruangan,” Ayu memerintah bak seorang bos sombong yang angkuh. Tak peduli bila sikapnya membuat beberapa orang mulai berbisik. Apa lagi, dirinya membuat keributan di lobi penginapan karena tak ada internet di penginapan itu. Bagaimana bisa di zaman yang serba modern ada penginapan yang tak menyediakan layanan wifi bagi tamunya? Salah Ayu juga. Ia sengaja memilih penginapa kecil dan tak terkenal.
“Oh ya. Kamu bisa menggunakan ini. Password dan usernya tertulis di situ,” Si pria mengulurkan sebuah modem portable pada Ayu, “Aku lihat kalau kamu sangat membutuhkan internet di tempat seperti ini dan modem itu bisa membantumu,” Lanjut pria itu dengan senyum ramah di wajahnya. Ia bahkan melupakan fakta bila beberapa menit lalu, Ayu mengatainya ‘udik’ yang harusnya membuat pria itu kesal dan tak membantunya sama sekali.
“Aku nggak semiskin itu sehingga membutuhkan sumbangan modem darimu. Hanya saja, di sini jaringanku nggak dapat signal,” Ujar Ayu dengan sinis, sedang Si pria lagi-lagi tak terpengaruh. Ia masih saja memberikan senyum lembutnya pada Ayu yang terlihat dingin.
“Ya, aku mengerti dan nggak mengira kalau kamu semiskin itu sampai nggak bisa beli kuota,” Pria itu menarik tangan Ayu, meletakkan modem yang dibawanya tadi ke telapak tangan Ayu, “Silahkan nikmati liburanmu di sini. Jika membutuhkan sesuatu, kamu bisa mencariku,” Pria itu mengulurkan tangannya pada Ayu, “Ah ya, namaku Lian,” Lanjut Si pria.
Ayu menatap tak berminat tangan Lian yang tergantung di udara. Bukan menyambut tangan pria itu, Ayu malah membalik tubuhnya, membuat Lian segera menarik tangannya kembali. Namun dirinya tak tersingung dengan sikap Ayu. Tentu saja, seorang wanita asing tak mau berkenalan dengan pria yang dikatakannya udik. Pria itu segera berpamitan pada Ayu dan membiarkan wanita itu tenggelam pada kesendirian yang dicarinya.
Begitu mendengar pintu kamar yang tertutup, Ayu membalikkan tubuhnya dan berdecak sebal. Ia tak tahu bila semua itu adalah sebuah awal dari kisahnya bersama Lian. Awal yang kini telah menemui akhirnya. Padahal, Ayu tak pernah memikirkan tentang bagaimana kisah mereka berakhir saat memulai semuanya bersama pria itu. Namun apa daya, apa yang memiliki awal, pastilah menuntut untuk sebuah akhir. Begitu juga dengan kisah mereka yang jauh dari sempurna. Kisah yang menuntut kesempurnaan yang tak mungkin bisa didapatkan.
Kini, Ayu kembali ke titik awal. Berlari dari kenyataan dan rasa sakitnya akan dunia yang penuh dengan kepalsuan. Bedanya, kali ini justru pria yang pernah menyembuhkan hatinya lah yang menjadi alasannya untuk pergi dan menyembuhkan hati. Andai saja bisa mengulang waktu, maka ia mau mengenal pria itu. Ia akan tetapi bersikap dingin agar Si pria pergi darinya. Namun sayang, kau tak pernah bisa apa yang akan terjadi esok hari. Masa depan adalah misteri.
Suara ponsel yang berdering, membuyarkan lamunan Ayu. Perempuan itu segera mengambil ponsel dari dalam ranselnya dan menjawab panggilan itu begitu melihat nama Gina yang terpampang di sana. Perempuan itu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Ia tak mampu menebak apa yang ingin Gina sampaikan. Otaknya terlalu malas untuk digunakan saat ini, hingga ia tak tahu kapan saat yang tepat untuk menyiapkan hatinya.
“Pak Lian sudah kembali bekerja,” Ujar Gina begitu Ayu menjawab halo dengan nada lemah, “Saya pikir, Anda harus mengetahui ini. Dia langsung bertemu dengan saya saat masuk kerja dan ingin saya menyampaikan pesan ini pada Ibu,” Gina mengambil jeda sebelum melanjutkan perkataannya, “Pak Lian berkata kalau dia nggak akan mundur dan menyerah begitu saja. Dia akan membuktikan pada Ibu kalau dia masih lah pria udik yang dulu ibu temui. Meski Ibu terus membangun benteng di sekitar ibu. Dia akan membuktikan pada ibu tentang cintanya.”
Ayu tersenyum mendengarkan apa yang Gina sampaikan. Pria udik yang dulu dikenalnya sudah lama mati. Mungkin sejak setahun yang lalu. Begitu Si pria jarang pulang ke rumah dengan alasan sibuk. Mungkin saat Lian mulai mengatainya egois hingga mereka belum memiliki keturunan. Pria itu mudah marah dan apa yang Ayu lakukan selalu salah di matanya. Kemudian saat Si pria mulai berteriak padanya. Sebenarnya, begitu banyak tanda-tanda kehancuran yang Ayu abaikan begitu saja. Ia pikir, cintanya cukup kuat untuk mempertahankan rumah tangga mereka yang masih seumur jagung. Dirinya pikir, cinta mampu mengalahkan semua rintangan di dalam hidup. Dongeng cinta yang dijalaninya bersama Lian, membuat perempuan itu lupa, bila kisah indah sekali pun bisa menemukan kata tamat. Bisa berakhir.
“Sekarang, apa yang ingin Anda lakukan padanya?” Tanya Gina kembali menarik Ayu ke alam nyata. Sungguh, dirinya pun belum bisa menemukan semua jawaban atas pertanyaannya itu barusan. Apa yang ingin dilakukannya pada pria itu? Apa yang bisa dilakukannya pada pernikahan mereka yang telah karam? Dan apa yang bisa Ayu lakukan untuk menyelamatkan separuh hatinya yang tersisa? Sungguh, ia tak bisa mendapatkan semua jawaban itu. Mungkin ia butuh waktu untuk memilah rasa dan juga lukanya. Namun ia tak tahu berapa lama waktu yang diperlukan? Hingga seluruh napasnya meninggalkan raganya atau hanya beberapa bulan.
“Nggak perlu melakukan apa pun,” Jawab Ayu pada akhirnya, “Biarkan saja dia bekerja seperti biasa. Berikan banyak pekerjaan dan minta Managernya untuk membuatnya melakukan beberapa tugas di saat yang bersamaan. Aku yakin, pria itu suka menyiksanya,” Ayu memang kejam dan licik, tetapi ia hanya ingin melihat kesungguhan pria itu. Bukankah, biasanya pria itu hanya tahu menyalahkan orang lain. Bagaimana bila kali ini, tak ada seorang pun yang bisa pria itu salahkan? Akankah pria itu menyerah dan pergi dari hidupnya? Akankah pria itu menerima fakta bila hati yang sudah hancur, tak mungkin bisa kembali seperti semula lagi.
“Buat dia bekerja keras dan semoga dia nggak betah,” Lanjut Ayu yang sebenarnya tak tahu apa yang benar-benar ia inginkan saat ini selain lari dari semuanya. Wanita di seberang sana berkata kalau dia akan melakukan semua perintah Ayu dan panggilan pun kembali terputus. Ayu segera meletakkan ponsel ke nakas dan tak lagi berniat menyentuh benda pipih itu. Perempuan itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan memejamkan mata.
Ayu terus mendengarkan nama pria itu di dalam kepalanya. Semua kenangan mereka pun diputar secara otomatis, tak bisa ia hentikan. Kau tak mungkin bisa melupakan hal yang dulu terasa begitu menyenangkan dalam waktu singkat, bukan? Lagipula, apa yang sudah diukir abadi di dalam hati, tak mungkin bisa dihapuskan begitu saja. Semua akan tetap berada di dalam hatimu. Tetap di sana dan tak mungkin bisa kau ganti, meski rasanya begitu menyakitkan.
Ayu akan memastikan bila dirinya kembali ke kenyataan. Ia tak ‘kan membiarkan pria itu melihatnya hancur. Ia akan kembali sebagai sosok yang berbeda, meski hatinya belum juga sembuh. Ayu tak peduli apa yang harus ia lakukan. Dirinya tak ingin kembali ke saat itu. Ketika dirinya menanti dengan setia akan kepulangan suaminya yang bermain api di luar sana. Ayu tak mampu mencegah dirinya yang terus-terusan ditarik ke dalam masa lalu. Mungkin memang itulah yang terjadi saat hatimu hancur. Kau menggali ingatanmu dan mencari titik awal, mencari penyebab kekacauan di hidupmu. Kau mencoba mengerti akan penderitaan yang kau alami.
Ayu melirik jam di ruang tamu yang sudah menunjuk ke pukul sebelas malam. Lian tak bisa dihubungi. Sejak sejam yang lalu, ponsel pria itu tak aktif. Ayu juga sudah menghubungi sekretaris Lian, tetapi perempuan itu mengatakan bila Lian tengah ada acara makan malam dengan seorang rekan bisnis. Sekali, dua kali, Ayu mencoba mengerti. Pria itu sudah mulai membiasakan diri memasuki kehidupan metropolitan yang serba sibuk, akan tetapi semua terasa janggal karena hampir setiap hari pria itu selalu tak ada waktu untuknya. Bahkan saat dirinya menghubungi pria itu di telpon, Lian akan selalu menjawab dengan nada marah.
“Ada yang salah,” Begitulah yang diteriakkan bathin Ayu, memintanya sadar bila semua ini mulai terasa tak normal, “Dia pasti menyembunyikan sesuatu darimu, Yu,” Suara bathin Ayu meminta wanita itu bersikap was-was, “Dia sudah berubah dan kamu menyadari hal itu. Kenapa kamu nggak mencari tahu apa yang disembunyikannya, Yu,” Suara bathin itu menyiksa Ayu.
Belum sempat Ayu semakin menggila karena semua pergulatan bathinnya, Ayu mendengarkan suara mobil yang terparkir di luar. Wanita itu melupakan semua yang pergulatan bathinnya dan juga kecurigaannya tentang suaminya. Kegembiraan yang dirasakannya membuatnya melupakan banyak hal. Termasuk fakta bila pria itu tak lagi sehangat mentari pagi.
Ayu segera berdiri di depan pintu dan memberikan senyum terbaiknya. Hatinya bergemuruh. Ada kebahagiaan, rindu, dan juga rasa tak sabar untuk bertemu dengan suaminya. Dirinya terlalu berlebihan? Ah tidak … orang yang jatuh cinta pasti memahami perasaannya. Mereka yang mencintai, tak bisa menahan rindu yang menyesakkan. Apa lagi, sudah lama sekali, mereka tak menghabiskan waktu bersama. Sedetik kemudian, pintu di hadapan Ayu terbuka.
“Kamu sudah pulang, Mas,” Ayu segera memeluk suaminya begitu erat, akan tetapi Si pria segera melepaskan dirinya dari pelukan Ayu, membuat Si wanita menatap pria itu dengan tatapan penuh tanya. Tak mengerti mengapa akhir-akhir ini, pria itu tak lagi suka disentuh olehnya. Pria itu terlihat begitu risik bila diciummm ataupun dipeluk oleh Ayu.
“Aku bau, Yu. Belum mandi. Masih begitu berkeringat,” Pria itu beralasan, sedang Ayu tahu bila semua itu adalah kebohongan. Jelas-jelas Ayu tak peduli. Lagipula, Lian bukan menggunakan tenaga untuk bekerja dan berada di dalam ruangan seharian. Tak mungkin bila pria itu mengatakan dirinya berkeringat. Jelas-jelas, pria itu tak menginginkannya.
“Aku nggak masalah, Mas. Harusnya kamu tahu itu,” Ayu mengambil tas kerja Lian dan memeluk lengan pria itu untuk masuk ke dalam rumah. Ayu dapat merasakan kecanggungan Lian, akan tetapi berusaha mengabaikannya. Ia berulang kali mengatakan pada dirinya sendiri, bila dirinya terlalu perasa dan banyak berpikir. Hubungan mereka baik-baik saja.
“Aku yang masalah,” Pria itu melepaskan pelukan Ayu pada lengannya dan mengambil tas kerjanya dari tangan Ayu, “Sudah ku bilang kalau kamu nggak perlu menungguku lagi karena aku akan pulang larut. Aku mau membersihkan diri dulu,” Pria itu pergi meninggalkan Ayu yang mendadak terpaku di tempatnya berdiri. Wanita itu meringis dan menatap sendu punggung Lian yang kian menjauh. Entah mengapa, hatinya merasa bila pria itu semakin menjauh darinya.
“Apa yang salah dengan kita?” Hanya tanya itu yang menggangu benak Ayu kala itu.