Pelet

1943 Kata
Priska Pov Keheningan dan kedamaian di dalam kelas XII IPA 3 sepertinya mendadak terusik karena kedatanganku yang selalu membuat kegaduhan di pagi hari. "Selamat pagi duniaaaa ... apa ada yang mau mendonasikan jawaban tiga nomor terakhir soal matematika kepada inces Priska?'' teriakku saat memasuki ruang kelasku pagi ini. Teriakan-teriakanku sudah menjadi suatu kegaduhan yang biasa di kelas ini setiap pagi dengan persoalan yang selalu sama, yaitu PR. "Apalagi alasannya Inces? Mati lampu pas ngerjain nomer tujuh atau drakornya pas tayang?" tanya Wendy malah balik bertanya. "Kali ini karena Inces mentok Wendy ... segala jurus sudah Inces keluarin tapi tetap nggak ketemu jawabannya," jawabku minta dikasihani. Tiba-tiba saja ada yang menyodorkan buku diatas mejaku,“Nyari jawaban matematika tuh pake rumus bukan jurus, cepat catet sebentar lagi bel." "Eh iya ... makasih Wie," jawabku agak gugup. Bagaimana tidak gugup coba, yang barusan menyodorkan buku tersebut adalah Owie Narendra. Bisa dikatakan bahwa ia merupakan lelaki paling tampan di sekolah kami dan sialnya sudah hampir lima semester duduk di singgasana hatiku, meski Owie tidak pernah tahu. Ya ... bagaimana dia bisa tahu kalo setiap hari aku selalu bersikap cuek dihadapannya, sangat tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatiku ini. Miris banget kan? "Baek banget ayang Owie sama lo Pris," bisik Wendy ketika aku sedang menyalin jawaban dari buku Owie. "Kalo ngga baek dia pasti di rumah sakit Wen," jawabku seenaknya. "Gue serius dodol!" bisiknya terdengar gemas. "Gue seserius itu lho, serius banget malah! Sana berisik ah lo, nggak fokus nih," balasku lagi tapi masih berbisik. "Apa dia pindah aliran dari cewek cantik kayak Luna ke cewek pas-pasan kayak lo ya Pris?" "Kalo lo gak diem, gue cabein ya tuh bibir." Aku masih terus menjawab gangguan Wendy sambil tetap menulis. "Tapi kenapa pelet lo nggak pernah berhasil sampe pacaran ya Pris, cuma ngefek di situasi tertentu aja?" "Pelet gue yang darah perawan apa pelet pelakor maksud lo Wen?" "Pelet perawan nekat yang gagal move on dari kelas sepuluh." Wendy menjawab pertanyaanku diiringi derai tawa kami berdua. Sontak kami jadi perhatian anak-anak kelas dua belas IPA tiga karena tidak terdengar pembicaraaan apapun tapi tiba-tiba tertawa keras. Setelah menyelesaikan acara menyontek, aku pun mengembalikan buku Owie. "Makasih ya Wie." "Hm." Ya ampun begitu aja jawabannya? Nggak bisa romantis dikit apa? Sama-sama sayaaang ... gituu. Aku meletakkan buku Owie diatas mejanya. Owie terlihat tidak perduli karena matanya tetap menatap handphonenya dan sesekali mengetikkan sesuatu. Oh mungkin dia lagi chat dengan Luna pacarnya, most wanted girl di sekolahku, anak kelas sebelah. Aku mah apa atuh. Bel sekolah pun berbunyi, tanda pelajaran matematika segera dimulai. Pelajaran yang bikin otak mendidih untuk kapasitas isi kepala yang kumiliki. Sesekali aku melirik Owie yang duduknya di samping kiri dua kursi di depanku, lumayan bikin kepala adem. Wendy yang duduk disebelahku paling hafal kelakuan itu, antara iba dan kesal dia akan selalu menyolek pahaku untuk fokus melihat Ibu Marni menjelaskan rumus matematika. Ckkkk ... sebenarnya aku tidak sebodoh itu. Bagaimana mungkin bodoh bisa masuk kelas IPA. Cuma saja nilai-nilaiku selalu hanya sedikit diatas garis perbatasan, kecuali untuk bahasa Inggris nilaiku selalu sempurna. Kalau kata Wendy nilai-nilaiku hidup segan tapi mati tidak mau. Bahkan masuk IPS pun aku tidak ingin, kalau ditanya alasan, pasti aku jawab 'aku suka kok pelajaran IPA', padahal alasan terbesarnya adalah tidak mau jauh dari Owie. Fans garis keras! Bel sekolah berbunyi tanda ini saatnya berganti dengan jam istirahat. "Kantin yuk Pris," ajak Wendy "Kuy, laper banget gue Wen, soalnya nggak makan dari semalam." "Kenapa?" " Lupa," jawabku santai "Bagus gak lupa napas lo." "Metong dong gue!" ucapku lagi disambut derai tawa Wendy. "Hati-hati sakit maag lho, jangan sampe lupa makan. Ini nggak dalam rangka diet kan?" "Badan selembar gini gimana lo bilang gue diet?" "Makanya, udah tau badan kurus begitu pake lupa makan, yuk ah," ajak Wendy lagi. Disaat sedang merapikan meja, aku melihat Owie sedang memasukkan bukunya ke dalam tas. Tidak berapa lama si most wanted datang ke kelas kami. "Yaang ... ke kantin yuk," ajaknya kepada Owie. Owie tidak menjawab tapi segera berdiri dan pergi dengan pacarnya itu. Mendadak aku jadi malas bergerak. Malas rasanya sampai di kantin nanti pemandangannya merusak selera makan. "Gak jadi ah Wen," ucapku tiba-tiba yang membuat Wendy mendongak melihat ke arahku yang sudah berdiri. "Katanya laper masak baru lihat adegan tadi langsung kenyang, nanti lo pingsan gimana?" "Ya tinggal gendong gue lah ke UKS, gitu aja nggak bisa mikir," jawabku santai dan mengambil posisi duduk kembali. "Iih ayo ah, gimana mau berjuang kalo perut lapar," "Berjuang buat apa? Memangnya kita mau perang ya Wen?" tanyaku bingung. "Iya! Perang batin melihat ayang Owie dipeyuk Luna," bisiknya menggodaku. "Resek banget lo ah, hati gue berantakan iniii." "Mirip kamar lo dong berantakannya?" "Issh Wendy, hayuklah. Nggak mau mati muda karena kelaparan juga gue." "Nah tuh pinter, yuk." Aku mengikuti Wendy berjalan keluar kelas menuju kantin." * Tuh kaaan... pemandangan di kantin sungguh menyesakkan d**a karena aku melihat Luna duduk merapat ke Owie. Mereka terlihat tertawa bahagia. Eh ralat, Luna terlihat tertawa bahagia sedangkan Owie hanya diam saja. Buat yang lain mungkin jadi tontonan gratis ada sweet couple di kantin tapi buatku pemandangan ini bikin jantung meronta, perasaan cemburu tidak jelas karena aku memang tidak punya hak untuk cemburu jugakan? Tapi aku ingin di sana, di sebelah Owie. Aku dan Wendy kini duduk di hot seat. Kursi panas dalam arti yang sebenarnya. Kami duduk di bagian outdoor kantin sekolah ini karena yang bagian teduh sudah terisi penuh. "Makan apa lo Pris?" Tanya Wendy. "Bakso pedes enak kali ya Wen?" tanyaku sambil membayangkan enaknya bakso racikan mas Pardi. "Okeeh ... gue mau melengkapi penderitaan lo hari ini, kursi panas, cuaca panas, hati panas ditambah bakso panas dan mau sekalian gue pesenin teh panas?" tanyanya nyinyir. "Paling gak minumannya yang adem .. biar legowo gitu Wen," jawabku santai. Wendy pergi memesan makanan kami. Aku duduk sendiri sambil melihat yang tidak perlu dilihat, namanya juga iseng. Tiba-tiba seorang yang wangi duduk di sebelahku, aku belum menoleh, tapi aku yakin ini pasti bukan hantu ketumpahan parfum. Aku lirik sekilas, nah kan benar... ternyata Nandi sahabatku seorang lelaki gemulai dengan sejuta aroma bunga duduk dengan manisnya. "Cyiiin.. gue abis rapat panitia nih, kita kan mau bikin acara perpisahan angkatan di Vilanya Owie, lo nyenyong ya mewakili kelas kita." pinta Nandi, eh tapi dia lebih senang dipanggil Nandia ... 'biar manjiaaah' katanya. "Udah mau maen pisah aja lo ... masih tiga bulan kita pisahnya, Itu juga kalo udah gak cinta lagi sih." "Iya gue tau masih lama pisah yang sebenarnya, tapi nggak usah halu juga bilang kalo udah gak cinta lagi, mohon maap yaaa ... situ punya pacar?" "Jiaaahh.. nyepelein Inces banget sih Nan!" sahut agak kesal. "Nan .. Nan ... emang gue adonan! Nandiaa ... bisa gak sih yang lengkap?" tanyanya dengan nada menuntut. "Elaaahhh ribet amat dah, iya deh ... seus Nandia. Eh betewe emang kapan sih acaranya?" "Kita buat acaranya bulan depan sebelum segala tugas dan ujian akhir dipersembahkan sekolah buat kita-kita." Aku tertawa mendengar kata-kata Nandi. "Kenapa nggak dibuat abis ujian aja, kan santai?" tanyaku sedikit heran. "Nggak bisa shayy ... nanti mau ada Prompt, itu kerjasama dengan emak-emak pengurus ye kaan, nah ini bener-bener kita yang mengelola." jawab Nandi. "Lo tanya manajer gue dulu dong ... jadwal gue kosong apa nggak." Ucapku santai. "Najoong.. . berasa ngobrol sama Raisa nih gue." sahutnya judes sambil mendorong bahuku. "Yaaaa siapa tau gue next Raisa.. jadi lo udah latihan dulu ngobrol ama artis papan atas." "Atas genteng maksudnya?" Nandi mulai emosi. "Ah kamu mah emosian bang Jali," aku meledek Nandi. "Bang ... bang ... bang," omelnya kesal. "Eh maaapp ... seus," ralatku cepat. Tidak berapa lama, Wendy datang menghampiri. "Eh ada apaan nih cong?" Lebih syadiiiss Wendy kaan? Nggak ada basa basinya. "Nih gue kasih tau lo bu menejerrrr, artis lo kebanyakan gaya banget, sumpah! Gue minta dia ngewakilin kelas kita buat nyenyong di acara perpisahan angkatan, eh dese pake jual mahal." jawab Nandi sewot dengan lirikan kejamnya. "Diiih ... siapa yang banyak gaya? Kan gue cuma bilang tanya dulu ke manajer gue, kalo manajer gue bilang 'Ok', gue tinggal jalan aja," sekarang gantian aku yang ngotot. "Oowh bisa diatur, asal cocok bayarannya," Wendy menimpali. "Minta ampuuuun ... tobat Gustiiii, tambah kesel deh gue! Artis lo rindu panggung aja banyak gaya, sumpah kesel gue," Nandi bertambah level emosinya. "Sabaarr ... orang sabar pasti kurus seus Nandia, ntar liptint-nya pudar lhooo, nggak cantik lagiii, senyum atuh ... ayo cerita gimana rencana acaranya," rayu Wendy. Aku puas ketawa ngakak lihat duo lawak didepanku ini. Nandi yang dibilang liptintnya pudar langsung mengambil hapenya dan berkaca di fitur kameranya. Pada saat bersamaan pesanan kami datang. Sambil menikmati bakso pedasku, Nandi masih melanjutkan pembicaraan kami. "Nanti rencananya dari kelas kita yang nyanyi Priska dan yang maen gitar Owie, trus Lola, Andini dan Cindy menampilkan cheers sama DJ-nya Ario " Nandi menjelaskan "Lo nggak nyumbang tarian erotis cong? Kan elo jago banget meliuk- liukkan badan." Tanya Wendy sambil menyantap sate ayamnya. "Iiiihh Wendy ... gue mah ngedance - ngedance asyik aja nanti, kalo DJ-nya Ario kan manteb lagu-lagunya goyang sampe pagi." "Acaranya kapan sih Nan? Nanti berapa lagu? trus pake latihan apa nggak? Owie udah tahu?" Giliran aku yang bertanya. menyebut namanya aja sudah bikin deg-deg an. "Nandia! Marah nih gue lama-lama." rajuk Nandi ketika aku lagi-lagi memanggilnya Nan. Ribet banget sih hidupnya! "Iya maaf shayy ... jadi acaranya kapan seus Nandia?" tanyaku lagi yang seketika membuat dia sumringah. "Acaranya tanggal 10 bulan April sebelum Prompt, masih sebulan lebih kaan? Ya kudu latihan laah. Ashanty yang ngetop aja mau manggung pake latihan, siapa eloo?" "Laah guee next Raisa, kan lo udah denger tadi." Aku jadi sewot. "Iya... gue nggak budeg, tapi asal lo tahu gue itu gampang lupa. Sebenarnya gue udah ngomong sama Owie tadi, tapi ceweknya yang kayak lintah penghisap darah itu yang ribut, dia pengen duet sama Owie. Heiiii...suaranya aja masih merdu knalpot motor vespa gue kayaknya. Lagian dia bukan kelas kita ye kan ...enyah deh jauh-jauh!" Aku memperhatikan cara bicara Nandi rasanya ingin aku cubit bibirnya yang tajam kayak bambu runcing buat perang! "Nanti kalo udah pasti yang gonjrang gonjrengnya baru lo kasih tau Priska. Kalo Owie nggak diizinin ceweknya emang lo mau nyuruh artis gue Accapela? Yang bener aja lo ... nggak kebayar ntar." Wendy bicara sambil melahap 1 tusuk satenya yang terakhir. "Owie harus mau ... siapa lagi yang mau maen gitar, ada juga Bimo tuh bisa maen piano... ya kali grand pianonya mau ditenteng ke Vila, atauuu gue aja yang ngiringin lo Pris ... pake suling mau nggak?" "Hahaha ... kocak lo, ntar ada uler yang keluar dari sarangnya gara-gara dengerin suara suling lo gimanaa? Bubar dong acaranya?" aku masih tertawa membayangkan Nandia main suling. "Demen si Nandi maen uler-uleran," sahut Wendy. "Iiissh Wendy mulutnya pengen digaruk deh." Nandi agak merajuk. "Jangan ngambeegg ... jelek mukanya." "Wendy! Kesel deh," ucap Nandia yang terlihat benar-benar kesal. "Iya.. iyaaaa... sorry... udah lo atur aja deh cong, artis gue ready." Sementara artis yang dimaksud tetap tidak berhenti tertawa. "Kasihan Nandi kesel melulu bawaannya ngobrol sama lo Wen." "Wendy emang gitu, hobby banget bikin daku sakit hati," keluh Nandia yang mulai melow. "Maafin Wendy yaaa ... cup ... cup jangan sedih, nanti kapan-kapan kita hangout bareng ya Nan," hiburku. "Nandia Priskaaa!" jiaaah salah lagi deh. "Lo jangan nengok ya Pris, gue nggak sengaja lihat ke arah jam dua, Owie lagi lihat ke kita sambil senyum deh, dia lagi melamun jorok tapi matanya ke kita atau memang dia lagi memperhatikan kita Pris?" bisik Wendy sangat pelan. Aku hanya diam. "Kenapa sih bisik-bisik nggak ngajak gue?" Nandi penasaran. "Lagi ngomongin elo." jawab Wendy dan sukses membuat Nandi cemberut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN