"Aku harus tau kemana kau akan pergi, Arthur." Rula memutar tubuhnya lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Kakinya menaiki anak tangga satu persatu dan di sana ternyata masih ada Olivia yang berdiri di anak tangga atas. Rula mendekat ke arah Olivia yang saat ini menatapnya dengan senyuman yang terus menghiasi wajahnya.
"Arthur?" tanya Olivia pada Rula dan wanita paruh baya itu mencari-cari keberadaan anaknya.
"Dia pergi dan aku tidak tau dia mau kemana," ucap Rula memasang wajah sedih.
Sebelah tangan Olivia terulur untuk mengelus kepala Rula. "Arthur memang seperti itu, dia tidak mau orang-orang tau tentang apa yang dia lakukan. Tapi sepengetahuan mommy. Arthur sering pergi ke club," Olivia menyingkirkan tangannya dari kepala Rula.
"Club?"
"Ya, club yang cukup terkenal di sini. mommy sering mengikutinya diam-diam saat tengah malam, dan ternyata dia sering ke sana." bisik Olivia sangat pelan takut ada yang mendengarkan.
Raut wajah Rula langsung berubah ketika mendengar ucapan Olivia. Senyuman penuh arti miliknya muncul. "Apa boleh aku menyusulnya ke sana? Mungkin saja dia ada di sana,"
"Pergi lah. Mommy bukan tipe orang tua yang suka melarang sayang. Kalau kau mau menyusulnya, silahkan saja. Kalau pun kau juga mau membawanya ke apartemen mu, ya silahkan, itu hakmu. Lagipula dia kan kekasihmu,"
Rula tersenyum lebar ke arah Olivia, ia memeluk hangat tubuh Olivia. Betapa beruntungnya kau mendapatkan keluarga yang pengertian seperti ini Arthur. Ini membuatku semakin semangat untuk mendapatkan mu.
Rula melepaskan pelukan itu dan menatap mata Olivia, "sepertinya aku harus pulang. Aku harus tampil cantik untuk menarik perhatian Arthur."
Dan di sini lah Rula sekarang, berada di apartemennya lebih tepatnya sih.. di dalam kamarnya. Ia mengobrak-abrik isi lemarinya guna mencari pakaian yang pas untuk ia kenakan malam ini.
"Jangan yang terlalu banyak warna," Rula membuang pakaian yang menurutnya tidak pas untuk malam ini. "Lebih baik pakai warna hitam saja," ucapnya melihat tank top crop top miliknya.
Rula berdiri di depan cermin, ia sedang merapikan rambutnya. Selesai dengan rambut, Rula pun memilih anting yang cocok untuk menunjang penampilannya malam ini. Selesai dengan segala persiapannya, Rula kembali mematut penampilannya di depan cermin.
"Malam ini kau tidak akan lepas dariku Arthur." bisiknya tersenyum ke arah cermin.
^^^
Arthur terus menarik tangan Rula menuju ke ruangan yang biasa ia gunakan di club malam ini. Bahkan ruangan itu khusus hanya untuknya dan semua pelayan di club itu dilarang memberikan ruangan itu kepada pengunjung lain bahkan ketika Arthur tidak mengunjungi tempat itu.
Arthur membuka pintu ruangan dengan kunci yang ia miliki sendiri, ia tarik tubuh Rula untuk masuk ke dalam lalu kembali mencium bibir Rula sembari menutup pintu dan menguncinya.
Tubuh Rula terkurung antara pintu dan tubuh Arthur, kedua tangannya terangkat mengalungi leher Arthur. Bibir pria itu terus bergerak cepat di atas bibir Rula membuat wanita itu kewalahan membalasnya.
Rula menjerit ketika Arthur mengangkat tubuhnya, dengan kedua kaki yang melingkari pinggang Arthur dan kedua tangan yang ada di pundak pria itu, Rula menatap mata Arthur yang tampak berbeda.
Malam ini, mata Arthur tampak lebih gelap dari sebelumnya dan pria itu semakin terlihat lebih tampan saja!
Bibir mereka kembali bertemu dan rambut Rula yang sebelumnya di sanggul dengan rapi kini tergerai dengan indah di punggungnya.
Arthur bergerak menjauh dari pintu, ia menggendong tubuh Rula menuju ranjang dengan bibir yang saling bergerak dengan cepat, Arthur mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang dengan Rula yang duduk di pangkuannya. Bibir Arthur bergerak mengecup leher Rula dengan tangan yang membuka blazer yang wanita itu kenakan.
Tangan Rula juga tidak tinggal diam, ia meremas rambut Arthur lalu perlahan turun menuju kancing kemeja pria itu. Bibir Arthur masih setia mengecup dan menghisap leher Rula.
Rula yang tidak bisa menahan suara lenguhannya membuat Arthur semakin bersemangat. Pria itu memutar tubuhnya lalu merebahkan tubuh Rula dengan pelan ke atas ranjang.
Ia melepaskan ciumannya.
Dengan d**a yang naik turun, Rula menatap Arthur yang ada di atasnya, kancing kemeja pria itu sudah terbuka sepenuhnya dan bisa Rula lihat perut kekar milik pria itu.
Rula menelan ludahnya.
Arthur membuka kemejanya lalu membuangnya sembarang arah dan itu membuat jantung Rula kembali berdetak kencang. Arthur kembali merendahkan tubuhnya dan mencium bibir Rula.
Bibir itu kembali bergerak dengan ritme yang lambat, tangan Arthur bergerak menyentuh d**a Rula lalu turun ke perutnya setelah itu tangannya bergerak turun ke paha Rula.
Bisa Rula rasakan telapak tangan Arthur yang terasa hangat di atas kulitnya. Rula kembali mengeluarkan suara lenguhannya ketika bibir Arthur menghisap lehernya dengan keras.
"Janganhhh,"
Arthur membawa kedua tangan Rula ke atas kepala wanita itu, karena wanita itu ingin mendorong tubuhnya.
Arthur kembali melakukan aksinya, bibirnya turun ke bahu Rula, ia turunkan tali tank top yang wanita itu kenakan hingga ke lengannya.
Rula yang di bawahnya memberontak-meminta tangannya di lepaskan. "Lepaskan,"
Arthur tidak mendengarkannya, bibirnya terus bergerak turun ke belahan d**a Rula.
"Arthur, please." Rula memohon. Ia tidak tahan jika hanya Arthur yang menyentuh tubuhnya sedangkan ia hanya diam.
Rula tidak mau begitu!
Arthur mengangkat kepalanya, ia kembali mengecup bibir Rula. "Kau tadi ingin mendorongku," bisik Arthur dan kembali mengecup bibir Rula.
"Kau menghisapnya," ucap Rula dengan kedua mata yang menutup karena Arthur mengecup telinganya dan menggigitnya dengan lembut.
"Lalu kau ingin aku apa? Hanya mengecupnya, begitu?" bisik Arthur dengan suara yang terdengar berat.
Rula tidak menjawab, ia terus menggerakkan tangannya agar di lepaskan oleh Arthur.
"Jangan terus bergerak,"
"Lepaskan tanganku. Kau menyiksaku, Arthur," ujar Rula dengan tubuh yang terus bergerak, ia pun semakin gencar melepaskan tangan Arthur yang menahannya.
Arthur yang tidak tahan dengan Rula yang terus bergerak kembali mencium bibir wanita itu dengan kasar. Rula yang sadar akan perubahan itu membalas dengan cara yang sama dan di sela ciuman kasar itu Rula menggigit bibir Arthur.
Arthur mengaduh dan ciuman itu lepas bersamaan dengan cengkraman tangannya pada Rula.
"Kau-"
"Aku kan sudah bilang, lepaskan tanganku!"
Arthur hanya menatap datar Rula, tatapan mata yang sebelumnya menggelap kini berubah seperti semula lagi. Arthur memilih beranjak dari tubuh Rula.
Rula yang sadar akan perubahan sikap Arthur, ikut mengubah posisinya menjadi duduk.
Arthur membelakanginya.
Dengan rambut yang berantakan, Rula menatap punggung lebar Arthur yang sedikit berkeringat itu.
"Apa terasa sakit?"
"Menurutmu?" jawab Arthur dengan ketus.
Rula beranjak dari ranjang, ia berdiri di depan Arthur lalu menangkup wajah pria itu guna melihat luka di bibir Arthur karena ulahnya.
Rula memasang wajah sedih, ia menundukkan kepala lalu mengecup bibir Arthur. Itu ia lakukan beberapakali. "Lain kali kau harus mendengarkan orang lain, okay? Jangan egois, masa iya hanya kau yang merasakan enaknya sedangkan aku tidak! Itu tidak adil," ucap Rula mengelus wajah Arthur dengan ibu jarinya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu terluka," ucap Rula lagi menyatukan kening mereka.
Debaran aneh itu kembali Arthur rasakan, apa lagi saat Rula berbicara lembut kepadanya dengan tatapan matanya yang teduh.
Dirinya tidak sedang menyukai Rula kan? Tidak mungkin! Itu terlalu cepat.
Arthur sebenarnya hanya ingin melakukan hal yang bisa membuat rasa stresnya sedikit berkurang dan ia pikir itu bisa ia lakukan bersama Rula namun kegiatan baru setengah jalan dan Arthur mampu berhenti dan tidak mau melanjutkannya lagi, apa lagi setelah Rula melakukan penolakan terhadapnya, dan itu sudah dua kali.
Pertama, Rula melarangnya meninggalkan tanda di leher wanita itu dan yang kedua, Rula menggigit bibirnya karena tidak mau melepaskan tangan wanita itu.
Memang ini terdengar cukup aneh, tapi bagi Arthur itu sebuah penolakan yang cukup memalukan baginya. Karena, kebanyakan wanita yang tidur dengannya mereka tidak melakukan apa pun dan mendengarkan ucapannya. Bahkan tanpa diminta pun, mereka bersedia memberikan apa yang Arthur inginkan.
"Masih terasa sakit?" tanya Rula dan menatap Arthur yang mengangguk bak seperti anak kecil. Rula merendahkan sedikit tubuhnya agar kepalanya sejajar dengan kepala Arthur, dan tanpa pria itu sangka Rula meniup bibir Arthur yang luka. Dan itu mampu membuat debaran jantung Arthur yang cepat semakin menggila.
Mata indah pria itu menatap wajah Rula yang amat dekat dengannya. Matanya menatap semua yang bisa ia lihat, rambut kecoklatan yang panjang dan berkilau, kening yang kecil, alis yang rapi, bulu mata yang panjang dan lentik, hidung yang kecil lalu bibir merahnya yang tipis.
Sungguh, apa yang sekarang ia rasakan? Apa ia benar-benar sudah menyukai Rula? Ia kesal ketika wanita itu tidak mau menuruti kemauannya dan ia senang ketika Rula menatapnya dengan teduh seperti halnya yang wanita itu lakukan sekarang.
Tidak! Kau tidak boleh menyukai wanita mana pun Arthur! Mereka hanya menginginkan kau untuk sementara, setelah mereka puas kau akan dibuang begitu saja! Sama seperti halnya yang dilakukan oleh wanita itu! Dia yang dulu menginginkanmu dan setelah kau ada, dia tidak mau merawatmu! Kau dibuang ke panti asuhan begitu saja! Bahkan untuk melihatmu saja dia tidak mau! Kau tidak boleh goyah Arthur! Kau tidak boleh menyukai Rula!
***
"Aakkhh!! Ampun ampun!! Aku tidak tau dimana benda yang kau cari itu!!" seorang wanita yang berumur sekitar lima puluhan tampak ketakutan dan meminta ampun kepada seorang pria yang sedang memegang kayu di tangan kirinya. Wanita itu duduk ketakutan di sudut ruang rumahnya yang bisa dibilang sangat kecil.
"Dimana kau letakan foto itu?!! Kau ingin membunuhku?!! Jika barang itu tidak ada aku bisa gila Aleda!!!"
Wanita yang bernama Aleda meringis kesakitan ketika rambutnya di jambak oleh pria itu. Sembari terus meringis dan menangis, ia meminta ampun. "Sakit Edric, tolong lepaskan aku. Aku tidak tau dimana foto itu, aku tidak menyentuhnya sama sekali-"
Plak!!!
Tamparan keras dari pria yang bernama Edric itu mendarat dengan mulus di pipi Aleda.
"Aakkhh!!" Aleda meringis ketika Edric kembali menjambak rambutnya.
"Cari foto itu! Jika kau tidak bisa menemukannya siap-siap kau akan mendapatkan hukumannya! Aku beri kau waktu dua jam untuk menemukannya! Setelah aku pulang nanti, benda yang aku inginkan itu harus sudah ada di meja! Mengerti kau!!" Edric melempar tubuh Aleda ke samping setelah itu pergi dari sana dan membuang kayu yang ia pegang sembarang arah.
Aleda meringis dan menangis, sudut bibirnya terluka akibat tamparan dari Edric, penampilannya lusuh dan seluruh tubuhnya penuh luka.
Dengan seluruh tubuh yang terasa sakit, Aleda mencoba untuk berdiri. Dengan tertatih ia melangkah menuju tas kecil yang tergantung di dekat lemari kayu yang ada di ruangan itu. Ia rogoh isinya lalu mengeluarkan satu foto yang terlihat sudah sangat lama dan kusam. Aleda duduk di lantai dan mengusap foto dirinya yang sedang menggendong bayi.
"Bagaimana keadaanmu sekarang nak? Ibu harap kau hidup dengan makmur di luar sana. Ibu juga berharap kau tidak akan pernah tau siapa ibu dan bagaimana keadaan ibu sekarang," dengan air mata yang mengalir di pipi keriputnya, Aleda mengecup foto itu dengan lama. "Ibu berharap kau tidak akan pernah bertemu dengan ibu nak."
^^^
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi dan matahari pun sudah menerangi jalanan pagi kota Seattle. Dan sepasang manusia masih bergelung di balik selimut mereka.
Rula masih tertidur dengan nyenyak dan masih di alam mimpinya, sedangkan Arthur ia sudah bangun dan sekarang menatap wajah Rula yang terlelap. Semalam mereka memilih untuk tidur dan tidak melakukan apa-apa dan lagi pula Arthur juga sudah tidak berminat melanjutkan kegiatan mereka karena mood-nya tiba-tiba hancur ketika Rula melakukan perlawanan.
Rula bergerak namun dengan mata yang masih terpejam. Arthur terus memandangi wajah wanita itu, tangannya terasa gatal untuk menyentuh pipi Rula yang terlihat lembut itu.
Tangan Arthur bergerak perlahan mengusap pipi Rula. Lembut dan kenyal, itu yang ia rasakan ketika jarinya menyentuh wajah Rula.
Arthur menyingkirkan tangannya ketika melihat mata Rula yang perlahan terbuka. Wanita itu tersenyum ke arahnya dan Arthur mengubah posisinya yang tadinya miring kini menjadi terlentang.
"Morning," ucap Rula bergerak mendekat ke arah Arthur dan wanita itu memeluk tubuh Arthur yang tidak memakai baju. "Kenapa semua laki-laki tidur tidak memakai baju?" tanya Rula dengan kepala yang mendongak ke arah Arthur.
"Mana aku tau," balas Arthur jutek.
Kan.. dugaan Rula benar. Sekarang Arthur yang dingin dan cuek sudah kembali.
"Kau kan laki-laki masa tidak tau alasannya,"
Arthur tidak menjawab ucapan Rula, pria itu menyingkirkan tangan Rula dari kepalanya. Ia bangkit dari posisinya, "bersiaplah, akan ku antar kau pulang." ucap Arthur bangkit dari ranjang dan di saat itu pula Rula menahan tangannya.
"Tidak bisakah kau bersikap seperti semalam? Apa karena aku menggigit bibirmu kau menjadi ketus begini?"
Padahal Rula tau, kalau sikap Arthur memang seperti ini. Cuek, tidak mau tau tentang orang sekitarnya dan kadang-kadang Arthur berubah menjadi egois ketika keinginannya tidak dituruti. Dan perlahan-lahan Rula mulai memahami satu persatu sifat Arthur.
"Aku memang seperti ini. Tidak ada alasan tertentu dibalik itu semua. Kau pikirkan lagi baik-baik untuk rasa sukamu kepadaku. Apa yang kau lakukan ini mungkin akan sia-sia, jangan habiskan waktumu untuk semua itu karena aku tidak akan pernah bisa membalas rasa yang kau miliki untukku." Arthur melepaskan tangan Rula dan ia berlalu dari hadapan wanita itu.
Rula yang duduk di atas ranjang menarik nafasnya dengan panjang. "Sudah meninggalkan tandanya di leherku dan sekarang dia bilang untuk memikirkan baik-baik tentang perasaanku untuknya?! Sudah mendapatkan enaknya dan sekarang kau mau membuangku?! Tidak akan bisa Arthur! Aku tidak akan bisa menghilangkan rasaku untukmu," ujar Rula menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Dengan posisi terlentang-menatap langit-langit kamar Rula kembali berucap, "aku akan berusaha keras untuk meruntuhkan sikap dingin mu, Arthur. Untuk aku maupun untuk orang lain, kau harus melihat kalau banyak orang yang tulus kepadamu."
Satu jam kemudian, Rula dan Arthur keluar dari club yang mereka kunjungi. Arthur lebih dulu jalan di depan Rula, pria itu melangkah dengan cepat menuju mobilnya. Rula sendiri hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah pria itu.
Dari tempat yang sama namun dengan arah yang berbeda, Aleda tampak kesusahan menenteng bawaannya. Wanita lusuh itu tergopoh-gopoh membawa barang yang ia tenteng.
Rula yang sudah di depan mobil berhenti bergerak ketika melihat wanita tua yang tampak kesulitan dengan bawaannya di seberang jalan. Dan tanpa pikir panjang, Rula menyeberang ke seberang jalan dan tidak mengacuhkan klakson mobil Arthur.
Arthur yang sudah di dalam mobil menggerutu melihat Rula yang menjauh dari mobilnya. "Wanita itu! Dia mau kemana lagi?!"
Rula berlari ke arah wanita tua yang ia lihat tadi dan itu ternyata Aleda, "saya bantu nyonya." ucapnya mengambil beberapa bawaan Aleda. "Ke halte kan?" tanya Rula dan Aleda mengangguk.
"Terima kasih nak." ucap Aleda. Ia dan Rula melangkah bersama menuju halte bus yang ada di ujung jalan.
Sesampainya di halte, Aleda kembali mengucapkan terima kasih kepada Rula dan menggenggam tangan wanita itu dengan hangat.
Rula tersenyum ke arah Aleda, ia menganggukkan kepala. Dan saat Rula ingin menggenggam tangan Aleda, Rula tidak sengaja melihat memar yang ada di tangan wanita itu.
"Nyonya tanganmu-"
Aleda cepat-cepat menarik tangannya. Ia menutupi luka memar yang ada di tangannya menggunakan lengan bajunya yang panjang.
"Nyonya tanganmu-"
"Tanganku tidak apa-apa nak. Tadi aku jatuh," ujar Aleda sembari terkekeh.
Rula menatap curiga wanita yang tidak ia kenal itu. Matanya bergerak menatap wajah Aleda yang memiliki bekas memar yang tampak sudah mulai memudar, lalu pandangannya turun ke arah bibir Aleda yang di beri plester. Lalu di area leher wanita itu ada bekas garis memanjang dan di pikiran Rula itu tampak seperti bekas tali atau mungkin bekas cekikan.
"Nyonya kau-" ucapan Rula terhenti ketika ponsel yang ada di saku blazernya berdering. Alhasil Rula terpaksa mengangkat terlebih dahulu panggilan telepon itu dan ternyata itu dari Arthur.
"Iya, ini juga sudah selesai." ucap Rula. Panggilan berakhir dan perhatian Rula kembali lagi pada Aleda. "Nyonya sepertinya aku harus pergi-"
"Iya iya, terima kasih ya nak. Sudah mau membantuku," ujar Aleda dengan tersenyum pada Rula.
"Sama-sama, kalau begitu aku pergi dulu," pamit Rula dengan sopan. Wanita itu berlari ke arah Arthur yang sudah menunggunya di samping mobil. Pria itu terpaksa turun dari mobilnya karena ingin melihat apa yang sedang dilakukan oleh kekasih pura-pura nya itu. "Kau menunggu lama?" tanya Rula sesaat sudah berdiri di depan Arthur.
"Orang yang kau kenal?" to the point Arthur dan Rula menggeleng.
"Tidak. Tadi aku melihatnya sedang kesusahan membawa barangnya, jadi aku membantunya," jawab Rula dengan santai.
Arthur mengangguk, Rula memutari mobil lalu masuk ke dalam kendaraan itu dan Arthur sendiri kini menatap lurus wanita tua yang tadi sempat Rula bantu. Dari tempatnya, Arthur tidak bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas karena jarak posisi mereka yang lumayan jauh.
Arthur masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesin mobilnya dan membawa kendaraan itu pergi dari sana.
Aleda menatap mobil hitam yang membawa wanita baik hati yang membantunya, ia melambaikan tangan ke arah mobil yang perlahan bergerak menjauh.
"Putraku pasti sudah besar dan seusia dengan wanita itu. Pasti dia juga tinggi dan tampan. Bagaimana kabarmu, nak? Apa kau baik-baik saja? Ibu selalu berharap kau bahagia bersama keluargamu, Arthur."