Kedua mata yang berwarna hijau itu, menatap sayu dan tidak bersemangat berkas tebal yang ada di hadapannya.
Pemilik mata itu adalah Rula, jari-jarinya bergerak menyentuh kertas-kertas yang bersampul jilid itu. Ia menghela nafasnya dengan berat, "niat ingin dekat dengannya tapi malah aku diberikan pekerjaan yang seperti ini," omel Rula, dengan malas ia membuka lembaran berkas itu satu persatu, "apa yang harus aku perbaiki? Semuanya sudah rapi dan tidak ada masalah!" Rula terus mengomel di ruangannya hingga ketukan pintu mengalihkan perhatian Rula. "Masuk," ujarnya, lalu pintu terbuka dan memperlihatkan Jane yang berdiri di ambang pintu dengan beberapa map di tangannya. Melihat itu membuat kedua mata Rula membulat dengan sempurna. Tubuhnya seketika berubah menjadi tegap dan menatap was-was Jane yang melangkah mendekat ke arah mejanya.
"Rula-"
"Jangan bilang itu pekerjaan untukku,"
Langkah Jane terhenti, kedua matanya mengerjap. "Kau menebak dengan baik, Rula." ujar Jane dengan santai sembari tersenyum lalu kembali melangkah menuju meja Rula.
"Ini beberapa berkas yang harus kau kerjakan, ini perintah dari atasan untukmu," Jane meletakkan map-map itu di atas meja kerja Rula.
"Siapa?"
Pertanyaan yang tiba-tiba Rula ajukan membuat Jane sedikit bingung, sebelah alisnya terangkat ke atas. "Siapa?"
"Iya, siapa nama atasan yang sudah menyuruhku untuk mengerjakan ini semua?"
"Ya, pak Lucas lah. memang siapa lagi? Oh, aku tau. Kau pasti mengira ini permintaan dari Arthur ya?" Jane menatap jahil Rula dengan kedua alisnya yang naik turun.
Rula tidak menanggapi Jane, ia tatap berkas yang Jane letakkan di atas mejanya dengan lesu.
Niat hati ingin dekat dengan si tampan, malah aku mendapatkan pekerjaan yang menggunung! Mana semuanya sudah rapi lagi!! Lalu apa yang harus aku perbaiki?!! Sial!
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 sore, Arthur dan Lucas mulai bersiap untuk pulang. Arthur menjangkau jasnya yang ada di sofa ruangan itu.
"Kau pulang dengan penampilan yang seperti itu?" Lucas bersuara.
Arthur yang mendengarnya seketika langsung memperhatikan penampilannya dari bawah ke atas.
Ia mengenakan kemeja putih, dua kancing teratasnya di buka dengan sengaja dan lengan yang di gulung hingga siku. "Apa ada yang salah dengan penampilanku, dad?" tanya Arthur memasang wajah penuh tanya.
Lucas terkekeh pelan, "rapikan rambutmu, son. Kau tampak sangat berantakkan,"
Arthur reflek langsung merapikan rambutnya yang memang terasa agak berantakkan ketika ia sentuh.
"Sepertinya kau sudah mulai nyaman bekerja di kantor,"
Gerakkan tangan Arthur seketika berhenti, matanya mengerjap menatap Lucas.
Nyaman?
"Tadi mommy mu menelpon, dia bilang ingin makan malam bersama di luar."
Mereka melangkah keluar dari ruangan.
"Di luar? Tumben, kenapa tidak makan di rumah saja?" tanya Arthur sembari mereka masuk ke dalam lift.
"Mommy mu hanya rindu dengan suasana di luar, dia suntuk terus-menerus di rumah. Dan lagi pula dua tahun belakangan ini kita belum pernah menghabiskan waktu bersama di luar, bukan?" Lucas menoleh ke arah Arthur.
"Benarkah?" Arthur kembali bertanya. "Perasaan kita sering menghabiskan waktu bersama saat weekend." ujarnya dengan wajah yang bingung.
Lucas tidak menjawab, ia menyibukkan diri memainkan ponselnya. Arthur tidak ambil pusing akan ucapannya kepada Lucas. Saat ini ia terus memikirkan rencana untuk tinggal sendiri dan jauh dari orang tuanya, terlebih lagi sang nenek yang amat sangat membenci dirinya.
Aku harus mencari apartemen yang dekat dari kantor. Setiap pagi mommy dan nenek selalu bertengkar hanya karena aku dan sekarang Mommy beralasan ingin menghabiskan waktu bersama di luar, padahal dia ingin menghindari nenek yang pasti akan memarahi aku ketika sampai di rumah.
Tampaknya aku harus menghubungi Brandon, dia pasti tau apartemen di sekitar kantor ini.
"Son?, son!!"
"Ya?" Arthur tersadar dari pikirannya ketika Lucas memanggilnya dengan keras.
"Ayo keluar,"
Mata Arthur mengerjap beberapa kali, ternyata lift sudah di lantai dasar. "Oh,"
"Kau kenapa?" tanya Lucas sesaat mereka sudah menjauh dari lift.
"Nothing, dad. Hanya memikirkan sesuatu."
"Apa itu?" tanya Lucas lagi yang kini menghentikan langkahnya dan menghadapkan tubuhnya ke arah Arthur. "Jangan sembunyikan apa pun dari ku, son."
Arthur menatap lekat wajah lelah Lucas. Orang tua yang sudah berbaik hati menjadikan dirinya anak, padahal ia sendiri tidak tau bagaimana asal usul dari anaknya ini.
"Son?"
"Keputusanku sudah sangat bulat, dad. Aku ingin tinggal sendiri dan jauh dari kalian."
^^^
Ekspresi bahagia Olivia terus terpancar di wajahnya ketika melihat Arthur dan Lucas yang duduk di depannya.
Saat ini mereka berada di restoran yang sebelumnya sudah di pesan oleh Olivia. Wanita itu membuka buku menu yang ada di hadapannya.
"Sayang, kau mau pesan apa?" tanya Olivia pada Arthur. "Kalau daddy mau apa?" kali ini pada Lucas.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Olivia, wanita itu pun menurunkan buku menu yang menutupi wajahnya lalu menatap anak dan ayah itu bergantian.
"Kalian sedang tidak bertengkar, kan?" mata Olivia bergerak menatap wajah Lucas yang lesu lalu beralih menatap wajah Arthur yang tegang. "Apa ada dari kalian yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi di sini?" Olivia sedikit meninggikan suaranya sembari menutup buku menu yang ia pegang. Ia tatap kedua pria yang amat ia cintai itu bergantian.
"Mom," Arthur membuka suaranya, ia tatap mata Olivia yang saat ini menunggu apa yang selanjutnya mau ia katakan. "Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Sebelum itu, aku mau minta maaf, jika apa yang akan ku ucapkan ini membuatmu marah, tapi yang jelas aku benar-benar sudah memikirkan segala hal yang akan terjadi kedepannya."
Lucas menutup sejenak kedua matanya, ia tidak berharap ini akan terjadi dan Olivia mendengarkan semua yang ingin Arthur sampaikan.
"Sayang, aku tidak mengerti dengan ucapan anakmu ini," Olivia tertawa canggung pada Lucas dan menyentuh punggung tangan suaminya itu.
"Mom,"
"Entah mengapa aku takut mendengar ucapanmu selanjutnya,"
Arthur menutup mulutnya, ia melirik Lucas yang sedari tadi hanya diam di tempatnya.
"Aku tau, aku belum bisa menjadi anak yang baik untuk kalian berdua. Aku sering berbuat seenaknya dan terlebih lagi sering membuat nenek marah ketika melihatku,"
"Apa kemarahan nenek membuatmu tersinggung sayang? Kau mau mommy bilang pada nenek agar tidak memarahi mu terus? mommy bisa-"
"No, mom. Bukan begitu maksudku. Selama ini aku menerima kemarahan nenek kepadaku setiap hari, aku tidak mempermasalahkan itu. Bahkan aku senang ketika nenek berbicara padaku walaupun dengan nada ketus dan marah miliknya."
Olivia tersenyum, "berarti tidak ada permasalahan yang serius antara kau dan nenek. Ya sudah, hilangkan suasana canggung ini. Ayo kita pesan makanan-" Olivia yang ingin kembali membuka buku menu terpaksa harus menghentikan niatannya karena mendengar kalimat yang keluar dari bibir Arthur.
"Masih ada yang harus aku katakan kepadamu, mom. Saat ini usiaku sudah dua puluh delapan tahun, apa masih pantas aku tinggal bersama kalian? Padahal aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri dan bekerja sendiri."
"Apa maksudmu?" suara dan ekspresi wajah Olivia tampak serius. "Sebenarnya anakmu ini mau mengatakan apa, Lucas? Dia membuatku tidak-"
"Aku ingin tinggal dan hidup sendiri, mom."
Bagaikan terkena sambaran petir, Olivia menatap lekat wajah Arthur yang duduk di depannya. Kebersamaan yang ingin ia rasakan bersama dengan sang suami dan anak, kini hilang berganti dengan rasa sakit dan amarah yang tiba-tiba muncul dengan cepat. Olivia yang sedari tadi terus menggenggam tangan Lucas menyingkirkan tangannya lalu menatap bergantian kedua pria itu.
"Aku mengajak kalian ke sini bukan untuk mendengar omong kosong ini! Kalian mau membuat ku marah?-"
"Ucapanku serius, mom." potong Arthur dengan cepat. "Ini sudah aku pikirkan, dari dulu aku memang sangat ingin untuk tinggal sendiri, jauh dari kalian dan tidak akan membuat nenek terus-terusan memarahiku setiap hari dan harus berdebat dengan kalian berdua di meja makan-"
"Cukup!" Olivia menatap lurus mata Arthur, "kalau ini semua karena nenekmu, maka aku yang harus menyelesaikannya!" Olivia berdiri dari duduknya lalu pergi dari sana.
Arthur dan Lucas yang melihat itu langsung mengejar langkah Olivia.
"Sayang, ini semua bukan karena ibu-"
Langkah Olivia berhenti, saat ini mereka berada di parkiran restoran.
Wanita itu memutar tubuhnya menghadap Lucas, sedangkan Arthur berdiri di belakang daddy-nya itu.
"Hanya karena dia ibumu! Kau terus-terusan membelanya setiap kali dia berbicara dan mengeluarkan kata-kata kasarnya untukku! Aku terus berusaha untuk menahan diri agar tidak berbicara kasar kepadanya! Setiap hari aku selalu beradu argumen dengannya yang selalu menghina putraku! Apa kau tidak jengah mendengarnya?! Dan kali ini dia sudah benar-benar melewati batas! Kau tidak pernah tau apa rencana yang telah dia lakukan agar putraku angkat kaki dari rumah! Ibumu..." Olivia menggantung kalimatnya, dengan kedua mata yang berkaca-kaca, ia mencoba menahan mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan kalimat yang mungkin saja akan menyakiti perasaan Lucas.
"Mom,"
Mata Olivia beralih pada Arthur, "kau tidak akan keluar dari kediaman Domarion. Kau anakku! Dan aku tidak akan mengijinkan mu untuk meninggalkan aku!" setelah mengucapkan itu, Olivia pergi dari hadapan mereka menggunakan taksi.
Lucas mencoba menahan Olivia namun sayangnya wanita itu sudah terlalu emosi dan meninggalkan mereka berdua yang kini tampak frustasi terlebih lagi Lucas yang takut istri dan ibunya akan bertengkar.
"Ayo, son. Kita susul mommy, aku takut hal yang tidak diinginkan akan terjadi."
***
"Ah..." Rula merebahkan tubuhnya di ranjang setelah berkutat di layar komputer selama beberapa jam. Dengan posisi terlentang, maniknya menatap langit-langit kamar. "Kapan aku bisa memiliki kekasih yang sesuai dengan kriteria ku? Tahun depan aku sudah tiga puluh tahun dan sampai sekarang belum ada satu pun pria yang sesuai dengan kriteria yang aku inginkan. Apa karena aku sangat pemilih ya? Makanya pria-pria itu tidak mau mendekatiku?" Rula bertanya-tanya sendiri, keningnya berkerut. "Tidak mungkin karena itu," ia mengubah posisinya menjadi duduk. "Buktinya, ada Jay yang selalu mencoba mendekati ku walaupun aku sudah menolaknya berkali-kali." Rula kembali merebahkan tubuhnya, "pria itu baik, tampan, postur tubuhnya bagus, juga pekerja keras. Tapi kenapa aku tidak bisa menyukainya ya?" Rula memasang wajah penuh tanya.
Jay, satu nama yang baru saja pembaca ketahui. Ia menyukai Rula sejak baru pertama kali masuk kerja di Fancy Me dan Rula lah yang bertugas untuk mengajari Jay tentang pekerjaan yang akan pria itu terima selama bekerja di perusahaan itu.
Rula tidak pernah menyangka, pria yang lima tahun lebih muda darinya itu memiliki perasaan lebih untuknya. Rula akui, Jay cukup tampan di mata para wanita yang melihatnya, namun tidak di mata Rula. Ia sudah menganggap Jay seperti adik yang membutuhkan bantuan dari kakaknya.
Rula menolak pernyataan cinta dari Jay dan bukannya menyerah, Jay malah semakin gencar mendekati Rula dan tidak pernah menyerah untuk menarik perhatian Rula.
Rula pernah memikirkan kalimat, apa ia terlalu kejam pada Jay? Sudah lima tahun Jay mengejar dirinya dan hingga saat ini ia masih belum bisa membuka hatinya untuk pria itu.
Malahan sekarang, ia mencoba menarik perhatian seorang pria yang baru saja ia temui dan itu juga di lingkungan kantornya. Pria tampan dengan tatapan mata yang datar, cuek dan sedikit misterius. Baru sekali mereka bertatap muka dan itu sudah membuat jantung Rula berdebar tak karuan. Berbeda saat ia menatap Jay, rasa itu tidak pernah ia rasakan.
Rula kembali mengubah posisinya menjadi duduk, matanya beralih pada berkas yang beberapa jam lalu diberikan Arthur padanya. Ia terpaksa harus membawa pekerjaannya ke rumah karena tidak mungkin ia selesaikan di kantor semua.
"Baru sekali kita berbincang bersama, tapi kau sudah membuat jantungku berdebar tak karuan. Apa yang sudah kau lakukan kepadaku? Tidak mungkin aku sudah suka padamu kan? Kita baru bertemu dua kali, masa aku sudah suka kepadamu?" Rula berhenti berbicara, matanya terus menatap berkas itu. "Tujuan awal ku memang ingin mendapatkan perhatian dan hatimu, tapi aku takut jika tujuanku ini malah akan menjadi boomerang untukku. Aku takut kalau perasaanku ini tidak terbalaskan. Walaupun belum dicoba, tapi aku sudah merasakan ketakutan. Takut jika dirimu menolak ku, Arthur. Kau tampan, anak konglomerat, pasti orang tuamu sudah memilih pendamping yang sesuai untukmu." Rula berhenti berbicara, "kenapa aku malah merasa insecure sekarang? Tidak tidak, aku tidak boleh seperti ini." Rula menggeleng-gelengkan kepala dan menepuk-nepuk pipinya, "prinsip hidup seorang Rula adalah meraih apa yang diinginkan sampai bisa menjadi miliknya! Aku tidak boleh menyerah! Walaupun sulit, aku akan terus berusaha untuk menarik perhatianmu, Arthur!!" ujar Rula menyemangati dirinya. Sesaat kemudian, raut wajahnya berubah. "Inikah yang dirasakan Jay saat mencoba mendekati ku untuk pertama kali?"
^^^
Olivia turun dari taksi yang ia naiki, ia melangkah dengan cepat menuju pintu rumahnya yang tertutup.
Taksi berlalu bersamaan dengan munculnya mobil yang Arthur dan Lucas kendarai. Lucas cepat-cepat turun dari mobil-menyusul Olivia yang sudah masuk ke dalam rumah.
"Ibu!!" teriakkan itu menggema di ruang tengah yang sepi. Dengan kedua mata yang berkilat marah, Olivia mencari-cari keberadaan Witna. "Ibu!!" teriak Olivia kembali.
"Sayang," Lucas muncul di ambang pintu, ia tatap punggung istrinya itu lalu mencoba mendekatinya.
"Berhenti! Jangan coba-coba untuk menghentikan aku!" ujar Olivia dengan tajam sembari melirik Lucas melalui bahunya.
Lucas tidak bisa berkutik, tubuhnya menuruti ucapan Olivia.
"Mom," Arthur muncul di antara mereka.
"Ibu!!"
"Apa-apaan ini Olivia! Kenapa kau berteriak seperti itu?!"
Kedua mata Olivia bergerak menatap Witna yang perlahan mendekat ke arahnya.
"Tidak pantas seseorang dari keluarga-"
"Tidak perlu membawa-bawa nama keluarga ibu!" potong Olivia dengan cepat.
"Kau-"
"Aku hanya butuh satu jawaban darimu, bu! Apa yang kau katakan kepada anakku?!"
"Sayang,"
"Mom,"
Lucas dan Arthur serentak mencoba menahan Olivia.
"Apa maksudmu?"
"Selama ini aku sudah cukup bersabar menghadapi sikapmu! Setiap hari kita selalu bertengkar! Dan pertengkaran itu selalu membahas status anakku-"
"Olivia-"
"Apa kesalahan dia kepadamu, bu!!!!" teriak Olivia dengan tiba-tiba.
Witna yang di depannya pun langsung terkesiap dan reflek menyentuh d**a kirinya.
"Apa kesalahan anak ini kepadamu?!!!" teriak Olivia lagi setelah menarik Arthur agar berdiri di sampingnya. "Lihat bu, apa yang sudah anak ini lakukan kepadamu hingga kau sangat membencinya?!"
"Mom-"
"Ibu lihat wajahnya! Apa kau tidak bisa melihat kalau dia ada kemiripan dengan ayah?-"
"Olivia, cukup." Lucas bergerak dan hendak menghampiri istrinya itu. Namun, bukannya berhenti Olivia malah terus mencerca Witna dengan pertanyaannya yang membuat nafas Witna semakin sesak.
"Kalau ibu perhatikan baik-baik wajah anakku ini, bukan hanya tatapan mata tapi ada beberapa kemiripan yang dia miliki dengan suamimu-"
"Olivia!"
"Apa maksudmu?" ujar Witna dengan tangan yang masih setia di d**a kirinya, ia mengambil nafas dengan pendek.
Olivia yang selama ini sudah menahan segala rasa sedih, marah, dan kesalnya pada Witna menatap datar wanita tua itu. Ia melepaskan genggamannya pada lengan Arthur dan melangkah mendekat ke arah mertuanya itu.
"Olivia, aku mohon jangan lakukan ini." ujar Lucas yang menarik perhatian Arthur. Pria itu menatap bingung Lucas yang tampak khawatir akan apa yang ingin Olivia katakan kepada Witna.
Perhatian Arthur kembali lagi pada Olivia dan Witna.
Olivia sudah berdiri di depan Witna, ia menyentuh pegangan kursi roda wanita itu lalu membungkukkan sedikit tubuhnya di depan wajah Witna.
"Ada rahasia yang perlu kau ketahui, bu!"
"Olivia cukup!" Lucas berdiri di samping Arthur yang mana pria itu masih kebingungan akan situasi yang terjadi di antara mereka.
Arthur pikir Olivia hanya akan marah-marah pada Witna, namun ia salah. Malah ia akan mendengarkan satu fakta yang akan mengejutkan dirinya dan begitu pula dengan sang nenek.
"Arthur," Olivia menoleh ke arah Arthur. Raut kesedihan dan marah milik wanita itu menjadi satu dan Arthur yang melihatnya bisa merasakan betapa hancurnya perasaan Olivia ketika mendengar permintaan anaknya untuk tinggal jauh dari dirinya. "Kau ingin tau siapa nama ibu kandungmu, sayang?"
Lucas yang sedari tadi sudah mewanti-wanti akan Olivia kembali memanggil nama istrinya itu.
"Kenapa, Lucas? Kau takut semuanya terungkap malam ini?"
Kening Arthur berkerut mendengar ucapan Olivia.
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan kepadaku?" ujar Witna dengan nafas pendek.
Perhatian Olivia kembali pada Witna. Wajah wanita itu tepat di depan mata mertuanya yang sudah tampak merasa kesakitan. Keningnya sedikit berkeringat dengan deru nafas yang terdengar sesak.
Namun, itu tidak membuat Olivia sadar akan apa yang telah ia lakukan kepada mertuanya itu. Hari ini dan detik ini juga ia akan membongkar satu rahasia yang selama ini ia dan Lucas tutupi dari Witna.
"Ibu ingat dengan wanita yang bernama Aleda?"
"Olivia! Kubilang berhenti!" bisik Lucas sembari mencengkram lengan atas istrinya itu dengan kuat. Tatapannya menyiratkan kemarahan, "aku bilang cukup!" ujar Lucas lagi dengan menggertakan giginya.
"Apa yang kau takutkan? Ibumu tidak akan kenapa-kenapa. She is fine."
"Olivia!-"
"Aleda?" Witna mencoba untuk berbicara walaupun dadanya terasa semakin sesak.
"Ibu ingat siapa pemilik nama itu?"
"Bu, kita ke kamar ya-"
"Siapa dia?" tanya Witna tidak mendengarkan ucapan Lucas.
Lucas menutup kedua matanya dan menyibak rambutnya ke belakang. Arthur yang berdiri di samping Olivia pun semakin bingung dengan ucapan mommy-nya itu.
Siapa Aleda? Apa hubungannya dengan keluarga Domarion?
"Aleda, dia anak dari selingkuhan suamimu."
To be continued
----
Fri, 05 Mei 2023