» Bab 2 | Sartik Oleng «

3929 Kata
“Nyapo nduk?“ Tegur Fadly lirih pada Sartika. Fadly tengah merapikan carrier nya yang tinggi menjulang bak kulkas sembari memeriksa perbekalan untuk kembali bersiap berangkat melanjutkan perjalanan menuju puncak tujuan. Dan aktifitasnya terhenti sesaat ketika diperhatikan nya Sartika tengah menunduk gelisah. Fadly melirik ke arah kaki Sartika yang masih berbalut kain, balutan kain yang berfungsi melindungi kaki Sartika yang sempat terkilir beberapa waktu tadi. Fadly merasa Sartika harusnya cukup baik baik saja. “Sartika ga yakin mas." Ucap Sartika kemudian, begitu lirih terdengar sembari tetap menundukkan kepalanya. Sartika meraih ranting ranting kering kecil yang berserakan indah disekelilingnya dan menyusun nya asal sekedar mengalihkan perasaan gelisah nya. Fadly merampungkan aktifitasnya dengan segera dan kembali mengambil duduk di samping Sartika seraya menunggu penjelasan dari Sartika. "Sartika ga yakin, kita bisa nyampe puncak tepat waktu." Imbuh Sartika meragu, yang kemudian ditanggapi oleh Fadly dengan anggukan kepalanya yang seakan tanpa arti penuh ambigu. Fadly mengedarkan pandangan ke langit luas memperhatikan cuaca dengan gejala gejala yang ditampakkan nya. Bagi Fadly seharusnya kondisi cuaca saat ini baik baik saja tidak ada yang perlu dikuatirkan. Jika Sartika merasa gelisah, Fadly merasa patut mempertanyakan nya lebih jelas lagi apakah gerangan yang mengganggu pikiran Sartika. "Masih kurang 3 jam lagi, dan ini sudah sore." Ujar Sartika lagi yang kini sudah menolehkan kepalanya ke arah Fadly yang juga menyorot penuh selidik pada Sartika. "Tadi Sartika ngerasain kayah ada suara angin badai mas.“ Jelas Sartika lagi meyakinkan Fadly yang air wajahnya penuh tanda tanya. “Anggota mu piye?“ sahut Fadly ringkas. “Mereka pastinya harus banget ke puncak mas.“ Sartika mendengkus, ada dilema yang sedang mengusik hati dan pikirannya. Dan perasaan lemah semacam itulah yang sebenarnya harus bisa diatasi oleh Sartika, jika biasanya dia bisa entah mengapa saat ini dia begitu sulit mengatasi kebimbangannya. Bahaya! Dan, Fadly tengah dibuatnya berpikir keras untuk bisa mengambil keputusan. Sartika dan Fadly adalah dua orang yang dikenal lebih memahami track jalur pendakian Arjuno Lali Jiwo, karena itu Sartika dan Fadly merasa dipenuhi tanggung jawab akan keberhasilan ekspedisi yang ditempuhnya itu dan juga sekaligus bertanggungjawab penuh atas keselamatan para anggota anggotanya. "Tunggu Wirya wae yo nduk." Pungkas Fadly, Wirya adalah pemangku jabatan sebagai Dewan Pembina di komunitas Pencinta Alam yang mereka gawangi di kampus Sartika. Wirya dan Zakaria tengah sibuk mengkondisikan pasukan pasukannya yang berjumlah belasan orang yang penuh semangat itu. Dibantu oleh Andika, Yusuf, Harlan dan Bandi yang merupakan teman seperjuangan Fadly dan Wirya di dunia pendakian. Sementara nampak Yulia dibantu oleh anggota anggota perempuan lainnya sedang berhati hati mengawasi Nina yang terlihat sudah pulih dari kondisi lemahnya. Nampak Nina kembali terlihat normal seperti biasanya. Normal ? Yah, Sartika lega memperhatikan Nina yang tidak lagi bertingkah aneh dan berlebihan seperti beberapa waktu lalu. Namun tetap saja, apa yang terjadi dengan Nina membuat Sartika terganggu dan membuatnya meragu apakah harus melanjutkan perjalanan nya hingga ke puncak ataukah cukup sampai di sini dulu. Sementara di sana terlihat dan terdengar oleh indra Indra Sartika semua anggota anggota nya tengah bahagia bersorak sorai penuh kegembiraan bersiap menjemput puncak yang seakan terus melambai lambai mengundang mereka, menggoda mereka. Sartika mengalihkan pandangan nya ke arah Puncak Ogal Agil yang kokoh lagi gagah seakan menyapa nya dengan senyum yang enggan melepaskan nya. "InsyaaAlloh, baik baik ajah Sartik." Wirya menepuk bahu Sartika dan mengulurkan tangan nya untuk membantu Sartika bangkit dari duduknya. Sartika menoleh ke arah Fadly dan Bandi yang sudah bersiap dengan masing-masing carrier mereka di punggung mereka. Fadly dan Bandi mengangguk kan kepala mereka serentak, itu artinya tidak ada pilihan lain bagi Sartika untuk melangkah mundur. Baiklah! Sartika menghela nafas panjang, mencoba mengurai senyum dan bangkit dari duduk nya perlahan sembari membawa serta carrier pink dalam gendongan punggungnya yang sudah bersiap siap. Zakaria pun menyiapkan pasukan nya dan berkali kali berhitung untuk memastikan jumlah pasukan nya lengkap aman dan terkendali dengan paripurna. Seakan tak sabar Zakaria pun membawa pasukan pasukan nya melaju. Satu bukit terlewati, tersisa beberapa bukit dan lembah lagi. Sartika cukup senang teman temanya melanjutkan perjalanan dengan semangat dan suka cita. Namun Sartika tidak bisa membohongi dirinya sendiri, kekuatan nya semakin lama semakin terasa melemah. Sekali lagi Sartika memilih berjalan perlahan demi perlahan dan menghentikan langkah nya kemudian. Sartika bertemu pohon tumbang dan memilih untuk duduk barang sebentar, dan ini adalah istirahat yang kesekian kalinya bagi Sartika. Terasa seperti mengulur waktu, ketika perjalanan dilewati dengan cukup banyak perhentian. Tak payah, beberapa pasukan pasukan nya pun juga nampak lusuh dan penuh peluh, apalagi pasukan pasukan perempuan nya terlihat oleh Sartika Yulia dan Zakaria kewalahan menghadapi keluh kesah dan segala bentuk tanya mereka yang selalu menanyakan berapa lama lagi sampainya. Sartika cukup menyadari, perjalanan kali ini cukup memakan banyak waktu, hampir dua kali lipat dari yang biasa dia tempuh. Yah nampak mengulur ulur waktu tapi apa daya sebagian anggota nya adalah pendaki baru, dan Sartika sendiri kaki nya yang terkilir waktu itu belum pulih benar. Memaksakan diri untuk berjalan cepat adalah mengundang celaka. “Ayo berangkat Sartik!“ Seru Zakaria yang bersiap dengan carrier tinggi menjulang melebihi tinggi badan nya. Zakaria mengulurkan tangannya untuk membantu Sartika bangun dari duduknya. “Jack, duduk deh.“ Ucap Sartika mengabaikan uluran tangan Zakaria untuk dirinya. Zakaria menitahkan kepada Baskoro untuk menggantikan dirinya menemani Yulia mengawal pasukan pasukan perempuan nya yang sudah kembali melanjutkan perjalanan, sementara dirinya mendatangi panggilan Sartika. Yulia dan Baskoro pun berpamitan pada Sartika untuk melanjutkan perjalanan lebih dulu. “Kita mundur ajah.“ Kata Sartika kemudian setelah teman teman nya yang lain berlalu. Begitu lirih namun suara Sartika terdengar tegas. “Loh!!!“ Kaget, Zakaria berkacak pinggang dan menanti penjelasan dari Sartika dengan raut wajah yang sangat serius. Zakaria tengah menghitung waktu dicermati nya jam tangan army yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Aman. “Kita ga bisa maksain ke puncak kondisi begini.“ Jelas Sartika lugas, sementara Zakaria hanya bisa mengerutkan dahinya. Zakaria sulit memahami kalimat Sartika yang tiba tiba. “Kan tinggal ngelewatin dua bukit lagi toh Sartik!“ “Iyah, dan itu jalan ya begini terus dan nanjak terus, si Nina tuh sudah ga kuat.“ Sartika menunjuk Nina yang terlihat bergelayut pada lengan Yulia, dan backpack Nina sudah berpindah tangan pada Jabrik. Sungguh pemandangan yang pas bagi Sartika untuk menguatkan argumen nya pada Zakaria. Namun tetap saja Zakaria mengelak. “Dia sudah sehat kok, liaten tah wis cenger Nina itu. Dia loh lagi ketawa ketiwi sama Yulia.“ “Gila loe yah.“ Sartika mulai terpancing emosinya, Zakaria pun semakin nampak serius. Zakaria sangat mengenal Sartika bukan hanya karena Zakaria ketua himapala dan Sartika adalah sekretaris nya, melainkan Zakaria adalah sahabat dekat Sartika teman suka duka Sartika semenjak awal masuk kuliah. Ketika bahasa ibu Sartika terdengar jelas oleh telinga Zakaria, Zakaria sangat bisa memahami bahwa Sartika tengah kesal hati dan mulai dikuasai putus asa. Dan Zakaria memilih mengalah, Zakaria memodekan lirih suara nya ketika berbicara menanggapi kalimat Sartika. “Sartik, naik gunung itu kalau ga sampe puncak itu ga mungkin. Anak anak pasti kecewa.“ Ungkap Zakaria hati hati. “Daripada ada apa apa lebih bahaya tau Jack!“ Sartika nampak lepas kendali, suaranya semakin meninggi. “InsyaaAlloh aman Sartik.“ Zakaria menepuk bahu Sartika lembut, tapi Sartika menghempaskan nya dan menghindari Zakaria. “Jack,... !“ “Wiss toh.“ Zakaria mencengkeram kedua bahu Sartika yang mulai berapi api. Sartika memilih memalingkan wajahnya dari Zakaria. Dan mereka berdua terlibat kembali dengan drama saling diam. Zakaria berjalan di belakang Sartika, untuk memastikan bahwa Sartika baik baik saja. Sementara Sartika yang merasakan badan nya kembali sulit diajak berjuang melampaui bebatuan dan jalan setapak yang menanjak merasa terus dilanda gelisah. Sartika enggan menampakkan apa yang dirasakannya, Sartika tidak ingin Zakaria mengkhawatirkan dirinya untuk kesekian kalinya. Perjalanan yang terasa berat itupun sanggup dilalui oleh Sartika dengan pengawalan Zakaria hingga keduanya berhasil menyusul Wirya dan beberapa kawanan mereka yang lain. Gelak tawa dan canda pun kembali mengudara, sebagai pengalihan rasa lelah mereka saling melempar canda. Namun hingga kemudian tiba saat mereka melempar candaan pada Sartika dan Zakaria yang sayangnya kembali memantik perdebatan sekali lagi antara Sartika dan Zakaria. Perdebatan yang kembali bergulir antara Zakaria dan Sartika semakin memanas, mereka kembali saling beradu wajah muram dan sesekali saling melempar nada tinggi yang kemudian saling diam hingga Wirya untuk kesekian kalinya harus turun tangan membantu mengambil keputusan tentang perdebatan antara Sartika dan Zakaria. “Go guys, sehat sehat yah yok semangat yok.“ Wirya menyemangati anggota anggota nya yang mulai saling menampakkan wajah wajah lusuh. “Siaaaaap bosku,...“ “Puncaaaak I'm Coming.“ Gaduh, mereka pun saling bersahut sahutan menebar semangat untuk menghibur diri diantara nafas yang mulai tak beraturan. Batu,batu, batu, batu, dan masih jalan yang penuh batu batu. Lukisan puncak yang berdiri kokoh di depan mereka adalah booster bagi mereka yang sungguh tak mau begitu saja menyerah. Senja indah yang memerah menemani perjalanan mereka. Senja yang menyapa itu seperti memberikan kesejukan untuk peluh peluh mereka. Sedikit lagi, tinggal dua belokan lagi, sedikit lagi tinggal dua belokan lagi.... Hampir semua dari mereka melafalkan kalimat yang sama demi menghibur rasa lelah dan tanda tanya yang datang menyelimuti mereka. “Kenapa Sar?“ Wirya memergoki Sartika yang sedang membungkuk memegang kedua lututnya, dilihat oleh Wirya carrier nya sudah tergeletak begitu saja di tanah berbatu. “Sartika ga kuat mas." Sartika menjawab pertanyaan Wirya sebisanya dengan nafas nya yang tersengal. Wirya meraih kedua bahu Sartika untuk di bantunya Sartika mengambil duduk namun Sartika menolak. "Mas Wir jalan ajah ga apa apa Sartika nunggu disini.“ Kata Sartika lagi, Wirya mendiamkan. Sartika tiba tiba merobohkan tubuhnya, terduduk di tengah jalan setapak berbatu itu. Dia tertinggal jauh dari teman temanya yang lain. Hanya Wirya yang berada di belakang nya kini menggantikan posisi Zakaria. “Bener ga apa apa kalau kamu sendirian disini ?“ Wirya berdiri di depan Sartika. Berbeda dengan Zakaria, Wirya cukup tenang. Wirya disebut oleh teman teman Sartika yang lain sebagai pawangnya Sartika, ketika Sartika meletup letup hanya Wirya yang sanggup membuat letupan Sartika mereda. “InsyaaAlloh ga apa apa mas.“ Sartika mengusap peluh yang bercucuran melintasi wajahnya, Wirya tak sanggup lagi melihat pemandangan tak nyaman dihadapannya itu. Wirya melepaskan carrier nya dan mengambil duduk di samping Sartika. Sartika beradu pandang dengan Wirya, mata Sartika nampak layu lengkap dengan kerutan dahi dan beberapa anak rambut yang mulai berhamburan merangsek ingin keluar dari kerudung Sartika. “Tak temenin kamu disini.“ Ucap Wirya serius. “Ga usah mas. Sartika bisa sendiri." Sartika memalingkan wajahnya dari Wirya. Wajah Wirya yang nampak serius sangat dihindari oleh Sartika. Sartika tidak ingin memancing amarah Wirya. "Sayang mas, sudah nyampe sini ga sampe puncak.“ imbuh Sartika kemudian berusaha tenang dan santai. “Ya kapan kapan kesini lagi.“ Sahut Wirya tak kalah santai. Sartika merasakan badan nya semakin lemah. Dia merasa kesulitan mengatur nafas sehingga sudah tidak bisa baginya mendebat Wirya yang memaksakan diri untuk menemaninya. Wirya mengulurkan sebotol air mineral berukuran 1.5 liter kepada Sartika dan membantu Sartika untuk meneguknya dengan hati hati. Sartika tersengal dan semakin merasakan keanehan pada tubuhnya. Sartika ingin sekali menceritakan apa yang sedang tubuh nya rasakan kepada Wirya. Namun entah Sartika merasa enggan terlebih lagi mendapati air wajah serius Wirya yang tak henti hentinya terus bertanya apakah dirinya baik baik saja, membuat Sartika memilih berdiam saja. Setiap kali Sartika merasakan lelah yang sangat dan hampir hampir putus asa , Sartika selalu merasakan lidahnya keluh. Sartika merasakan begitu kesulitan mengeluarkan suaranya, terasa sesak saja. Sartika tahu dirinya sedang tidak baik baik saja, dan Sartika berupaya supaya dia tetap dalam kondisi sadar. Wirya masih bertahan menemani Sartika, dan itu membuat Sartika semakin gelisah. Sungguh Sartika tidak ingin membuat Wirya kecewa, karena pendakian ke Arjuno kali ini adalah juga pendakian yang pertama bagi Wirya. Sartika akan merasa sangat bersalah jika Wirya gagal sampai puncak hanya karena menemani dirinya. Sartika teringat betapa bahagianya dan semangat nya Wirya menyiapkan perbekalan dan segala akomodasi yang membuat pendakian ini terlaksana. Sartika tidak sanggup menatap wajah Wirya yang dipaksakan penuh dengan senyum itu. “Turun mbak, di atas badai!“ tiba tiba sekelompok pendaki berlarian dari atas dan menampakkan kepanikan. “Monggo mbak, turun riyen.“ Sapa pendaki lainnya yang juga sedang berlari turun. “Nggih monggo monggo.“ Wirya bergantian membalas para pendaki pendaki yang menegur dan menyapa dirinya juga Sartika. Sartika nampak kuatir, dipandanginya wajah Wirya yang begitu sangat tenang saja. “Mas!“ Sartika menegur Wirya yang nampak terlampau santai baginya. “InsyaaAlloh baik baik saja.“ Lagi lagi Wirya mengulas senyum nya seakan tidak hal apapun yang dikuatirkan nya, berbeda dengan Sartika yang terus dilanda gelisah. “Mas waktu kita sempit!“ Sartika berusaha bangun dari duduknya dan berniat membuat Wirya bergegas memutuskan sesuatu. “Ada mas Fadly di sana, tenang ajah.“ Kata Wirya yang semakin membuat Sartika tak sabar saja. Sartika mulai gemas dengan sikap tenang Wirya yang menurut nya sudah tidak pada tempatnya. “Mas, bau awan nya nusuk banget ke hidung, mereka harus cepet turun.“ Sartika kembali memberi peringatan kepada Wirya, namun lagi lagi Wirya hanya tersenyum pada Sartika. Bahkan Wirya meraih tangan Sartika. Wirya meminta Sartika untuk kembali duduk. Sartika menepis tangan Wirya begitu saja dan memalingkan tubuhnya dari Wirya. “Sartik, kamu istirahat ajah dulu. Soal team kamu biar aku yang urus.“ Wirya bangun dari duduknya dan mengusap kepala Sartika lembut. Sartika bertahan dengan posisinya dan hanya mampu berbicara dengan hatinya sendiri. Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan, Mas Wirya kenapa bisa begitu tenang, ... Dan, Sartika pun memilih melanjutkan perjalanan meski dengan tubuh tanpa daya. Itu semua dilakukan nya demi Wirya bisa menebus puncak. “Mas, kayah nya Sartika oleng deh.“ Yulia yang berada jauh didepan Sartika sengaja melambatkan langkah kaki nya untuk mensejajarkan langkah nya dengan langkah Andika yang kebetulan berjalan dibelakang Yulia. Andika kali ini bertugas sebagai pembawa Logistik bersama Yusuf dan Harlan yang berbaris manis di belakang nya. “Maksud Loe ?“ teriak Andika spontan sambil menahan berat badan nya menapaki bebatuan yang aduhai terjalnya. “Sssst, jangan kenceng kenceng ngomong nya, entar dia denger.“ Yulia mendaratkan cubitan panas di pinggang Andika yang penuh dengan lemak. Andika mencebikkan bibirnya, karena jarak antara dirinya dan Sartika terpaut cukup jauh maka apa yang dikatakan Yulia itu terdengar sangat tidak masuk akal baginya. “Kupingnya pan tajem “ Imbuh Yulia sambil melotot ke arah Andika yang menaikkan alis dan sudut bibirnya. Andika dan Yulia memperhatikan langkah Sartika yang berada di depan pandangan mata nya kini. Terlihat Sartika kepayahan berkali kali, terlihat jelas oleh Andika dan Yulia, Sartika mengusap peluh di wajah nya dengan cukup sering. Andika dan Yulia menyimpulkan hal yang sama yaitu sangat jelas sekali Sartika sedang tidak baik baik saja. Andika dan Yulia hanya bisa saling bertukar pandang dan saling mengedikkan bahu. Karena Andika dan Yulia sama sama pendaki baru, ini adalah pengalaman pertama mereka mendaki gunung yang tinggi nya hingga 3000 an mdpl. Mereka merasa tak punya nyali untuk mendeskripsikan apa yang ada di pikiran mereka masing masing. “Yaaah Mas Wirya sudah di depan ini.“ Ucap Andika tiba tiba sambil menepuk jidat nya yang tertutup poni lempar. “Ihh ga harus ngaduh ke Mas Wir kali kakak brooo.“ Sahut Yulia yang sangat tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Andika. Yulia merasa ada yang aneh dengan Sartika, dilihatnya dari kejauhan nampak gerak gerik Sartika seperti sedang berbincang dengan seseorang tapi jelas oleh penglihatan Yulia Sartika berjalan sendirian. “Ya elah Si Sartik kan cuma manut sama mas Wir doang Ndduuuuts.“ Andika seakan berbicara seorang diri karena Yulia mengabaikan Andika dan memilih fokus dengan Sartika. Andika dan Yulia bertahan di posisi mereka masing masing untuk menunggu Sartika mendekat. Baik Andika dan Yulia tidak berniat mendatangi atau menjemput Sartika, karena mereka sangat tahu bahwa Sartika akan menerkam mereka jika mereka melakukan nya. Sartika sangat tidak ingin terlihat lemah. "Mas, yang jalan bareng Sartika tadi Zakaria kan yah ?" Yulia tiba tiba bertanya pada Andika yang sudah duduk bersandar pada carrier nya yang sengaja di robohkan nya. "Iyah. Memang kenapa ?" Jawab Andika acuh tak acuh, Andika tengah memanfaatkan waktu dengan memejamkan matanya. "Tapi, bukannya tadi Zakaria lari duluan ngelewatin kita?" tanya Yulia lagi menyelidik dan kali ini hanya berbalas deheman saja karena jelas Andika mulai terlelap. Merasa diabaikan, Yulia pun menubruk tubuh Andika yang besar dan kekar itu. "Maaaas!" teriak Yulia kemudian membuat Andika terbangun lengkap dengan kerutan rapat di dahinya. "Apaan sih?" Andika pun beranjak. "Kalau Si Jack di depan, terus Sartik sama siapa ?" Yulia nampak penuh selidik, namun Andika yang memang santai hanya menanggapi Yulia dengan alis yang diangkatnya saja. Ekspresi yang selalu membuat Yulia kesal setengah mati. "Tadi kamu sudah tanya sama Zakaria, terus Zakaria bilang Sartik ada sama Mas Wirya." "Naah!!!" Suara Yulia tiba tiba meledak. Andika pun terkejut dibuatnya, Andika membulatkan mata dan mulutnya seketika. "Mas Wirya tuh jalan di depan sama mas Fadly, terus yang kebagian swepping Zakaria sama Jabrik, terus Jabrik jalan duluan nemenin Nina, tinggal lah berdua Zakaria sama Sartika. Ga mungkin dong mas Wirya yang gantiin si Zakaria. Dan kita itu ada di tengah tengah, kalau mereka naik atau turun pastinya mereka ngelewatin kita. Betul ga sih?" "Terus?" "Ihhh, mas Andika nyaut dong!" "Aku udah nyaut nih, terus kenapa masalah nya?" Yulia dan Andika saling berdebat, Yulia merasa ada yang aneh namun Andika sama sekali tak memahami maksud Yulia. Yulia nampak sangat kesal tepatnya marah, namun Andika biasa saja. Andika dan Yulia pun saling terdiam menghentikan perdebatan mereka. Dan sepersekian detik tiba tiba badan mereka berdua terhuyung karena Yusuf yang setengah berlari tiba tiba menyeruduk mereka dari belakang. “Apaan nih bisik bisik, ayo ah jalan yang yang bener turunan nih berat tau ...” protes Yusuf terengah engah. Yusuf tiba tiba kembali turun setelah berada jauh di atas Andika dan Yulia. Sartika semakin dekat dan dekat, dengan langkahnya yang sangat perlahan bak siput, Sartika melampaui posisi Andika dan Yulia. Tanpa tegur sapa dan basa basi, Sartika melewati Andika dan Yulia begitu saja. Andika dan Yulia nampak biasa saja, membiarkan Sartika karena mereka tahu sikap Sartika yang jika dalam kondisi serupa itu sangat tidak ingin diganggu. Praktis Andika dan Yulia yang kemudian ditambah Yusuf berjalan perlahan di belakang Sartika. “Kalau dia betulan oleng gimana, aku maju ajah deeeh.“ Andika berjalan setengah berlari melanjutkan langkahnya mengejar Sartika yang ternyata sudah berada beberapa langkah didepan nya. Andika nampak semakin mempercepat langkahnya hingga Sartika dilewatinya. Setelah melewati Sartika, nampak Andika berhenti dan berkacak pinggang. Entah karena kelelahan setelah berjalan cepat entah karena tak tega meninggalkan Sartika yang nampak berpeluh peluh. Andika memutuskan untuk berjalan lambat di depan Sartika. “Loe jalan duluan deh.“ Sartika memilih duduk di batuan besar dan meluruskan ke dua kakinya. Bersandar di carrier nya sambil terus mengusap peluh nya yang seperti tidak mau berhenti mengalir. “Mang loe kenapa ?“ Yulia mengulurkan botol besar berisi penuh air mineral yang tampak mengembun. “Ga tau kaki gue berat banget“ jawab Sartika terlihat susah mengatur nafas, hingga uluran dari Yulia dia balas dengan gelengan kepala. Yulia yang tak tega melihat wajah pucat sahabat nya itu, tak henti henti nya berdecih sambil bermain mata ke arah Andika yang tengah duduk melepas lelah di depan nya yang berjarak 3 meter. Yulia bingung harus berkata apa kepada sahabatnya yang kepala batu itu. Yulia merasa saran apapun yang nanti diucapkan nya pasti mental begitu saja. Karena menurutnya Sartika lebih tahu urusan pendakian dari pada dia. Dan menurutnya Sartika pasti lebih tahu apa yang harus dilakukannya. “Gue bilang ke Mas Fadly ajah yah, biar berhenti dulu.“ “Ga usah, nanti kemaleman nyampe Pondokan.“ "Pondokan?" Yulia semakin bingung dibuatnya, menurut Yulia perjalanan ini adalah perjalanan menuju puncak, bagaimana bisa Sartika menyebut pondokan. Yulia merinding. “Ckk.“ Kali ini Yulia sudah tidak bisa menyembunyikan kejengkelan nya, dia berdecih cukup keras. Meski begitu decihan Yulia tidak mampu menghalangi Sartika untuk bangkit dari duduknya dan kembali melanjutkan perjalanan nya. Yulia pun mau tak mau harus berjalan mengekor Sartika untuk memastikan Sartika baik baik saja. Sartika pun melampaui Andika dan Yusuf, Yulia tak habis pikir betapa keras kepalanya Sartika. Nampak sekali oleh Yulia, wajah Sartika yang payah. Yulia berkali kali menoleh ke belakang melihat senior senior yang berjalan di belakang nya sambil bergelak tawa bercerita tiada lelah. Ingin rasanya Yulia mengadu tentang kondisi Sartika, tapi berkali kali dia mengurung kan nya. “Permisi nona manis, abang mau lewat duluan yah.“ Tiba Tiba datang Bandi yang berlari cukup kencang dari arah belakang mendahului, membuat Yulia terheran heran. Menurut Yulia Bandi bersama Fadly di depan. “Ihhh kakak bro kok gituuuh sih.“ Teriak Yulia membalas sapaan Bandi yang cepat berlalu dari pandangan nya. “He he.“Bandi hanya meninggalkan senyum lebarnya ke arah Yulia. Yulia melihat Bandi menyemangati Sartika yang berjarak sekian langkah saja darinya. “Mas Bandi kebelet yah, kenceng amat larinya.” Celetuk Yulia ketika barisan nya semakin merapat dengan sisa sisa tim yang ada di belakang nya. Celetukan nya hanya berbalas tawa dari Andika dan Yusuf yang langkahnya begitu santai dan konsisten. Dari kejauhan nampak hiruk pikuk, Bandi Fadly Harlan. Yulia merasa sedikit tenang bahwa apa yang berada dipikirannya tadi tidak sempat menguasai pikirannya. Jikapun masih tersisa tanya, itu akan Yulia pertanyakan jika dia sudah berada di luar hutan. Pasti! Yulia menemani Sartika yang melampui kerumunan Fadly, Bandi dan Harlan dan beberapa anggota lainnya. Fadly, Bandi juga Harlan bersikap sama seperti Yulia. Membiarkan Sartika dengan keras kepalanya. Mereka hanya mengekor langkah Sartika dengan mata mata mereka, memastikan bahwa Sartika masih baik baik saja. “Sudah berapa jam sih kita jalan Mas ?“ Harlan yang paling kece parasnya diantara teman teman nya Andika dan Yusuf, mulai merasakan kelelahan. Nampak di raut wajahnya yang lusuh dan payah. Sambil mengambil posisi duduk sejenak di bebatuan yang ditemuinya Harlan meneguk air di botol kemasan 1.5 liter dengan penuh kepastian hingga menghabiskan sepertiga nya. Kemudian mengulurkan botol itu ke arah Fadly tapi Fadly menolaknya. Fadly memilih duduk di samping Harlan sambil merilekskan kaki kakinya. “Berapa yah nduk ?“ Fadly meraih lengan Sartika, ketika tiba tiba Sartika hampir terperosok. Sengaja Fadly melontarkan tanya kepada Sartika, untuk mengalihkan perhatian Sartika. Fadly sedang bermain peran saat ini. Praktis membuat yang lain bingung. “Dua jam-an kayah nya mas, bentar lagi nyampe alas,“ Sartika pun menurut dengan tuntunan Fadly. Sartika duduk mengistirahatkan badan nya disebelah Fadly. Itu terpaksa dia lakukan karena Fadly memintanya untuk berhenti sejenak. “Waaaaah kok masih lama yah, padahal berasa sudah lama banget jalan nya.“ Harlan nyengir kuda, dia tampak menikmati perjalanan nya meski lelah membuat paras ganteng nya terkoyak oleh kucuran keringat yang asin menurut Andika yang pernah tidak sengaja harus merasakan keringat Harlan di sapu tangan nya. “Ha ha mau istirahat dulu kah Har ?” Ledek Fadly mencoba memecah wajah wajah bingung yang nampak diantara gerombolan para lelaki bertubuh besar besar itu. “Mau banget mas.“ Seloroh Yusuf mendahului Harlan yang baru bersiap membuka mulut. Fadly mengangkat dagu membawa pandangan mata Harlan menunjuk ke arah Sartika, isyarat meminta ijin. “Istirahat yok Tik,“ Tukas Harlan cepat sambil menepuk pundak Sartika yang tengah bersandar di carrier pinki pinki yang mengait cantik dipundaknya. Sartika hanya berdehem sambil kemudian, bangun dari duduknya. Harlan membantu mengangkat Carrier Sartika untuk memudahkan Sartika menggerakkan tubuhnya. Fadly yang sudah bersiap dengan tubuh tegapnya hanya bisa tersenyum sumringah ketika Harlan memamerkan wajah lesu nya. Karena Sartika buru buru beranjak dari posisi istirahat dan bersiap melanjutkan perjalanan nya. Itu artinya Harlan pun harus bersegera pula turut menggerakkan kaki kakinya yang berasa berat saja untuk dipakainya melangkah. Andika Yusuf Fadly dan Bandi juga Yulia yang melihat itu pun saling tertawa. Yah mereka saling tertawa diantara degup jantung yang penuh tanda tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN