2. Family Reuni

1374 Kata
Manhattan, New York-America Van Der Lyn Mansion July - 2016 ____________________     Elena begitu sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Ya, hari ini hari kelulusan Leonard. Mansion mewah ini telah di dekorasi sedemikian mewah oleh pegawai mansion.     "Mom ...," panggil seorang remaja pria dari lantai dua mansion megah ini. Dia begitu tergesa-gesa menuruni tangga.     "Kau sudah siap-siap?" ucap Elena. Dia masih sibuk merapikan meja makan padahal dia bisa menyuruh Marry sebagai kepala pegawai atau bahkan puluhan pembantu di rumah ini tapi tidak, Elena melakukan semua itu dengan tangannya.     "Dimana tongkat basball-ku?" Pria manis itu menggerutu. Wajahnya terlihat gusar dan dia bahkan masih menggunakan piyama.     "Mommy ...," rengengeknya saat tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya.     "Hei, angsa," panggil seseorang.     Pria manis itu menoleh dengan wajah kesal.     "Letty?" ucapnya sambil memicingkan mata.     Pria itu berlari ke arah gadis yang sedang bersandar di tiang pintu sambil memegangi tongkat baseball-nya. Wajahnya yang awalnya terlihat gusar kini mulai menunggingkan senyum sumringah.     "Sister ...." Dia menubrukan tubuhnya pada kakaknya. Memeluknya erat, melepaskan kerinduan yang selama ini di pendamnya.     "Astaga, angsaku sudah besar." Letty tersenyum bahagia hingga dia tidak sadar air mata sudah lolos dari pelupuk matanya. Dia mencium puncak kepala adiknya itu.     Tidak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan mereka saat ini. Setelah lima tahun berlalu akhirnya Letty bisa menginjakan kakinya kembali ke mansion mewahnya. Sebenarnya beberapa kali Letty pernah kemari namun, dia di buru waktu hingga dia tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan ibu dan adik bungsunya.     "Bisa kau lepaskan aku, kurasa aku mulai kehabisan napas," keluh pria manis itu dengan suara yang tertahan di tenggorokan.     "Oh, maaf." Saking rindunya Letty sampai tidak sadar pelukannya telah berubah menjadi cekikan. Letty kembali mengecup pipi adiknya.     "Sialan, itu menjijikan." Lenox menggerutu. Dia menyeka pipinya dengan kasar sambil menatap jijik kakanya. Letty tergelitik melihat tingkah adiknya.     "Hei, bisakah kalian bersiap-siap?" Elena berkacak pinggang dari kejauhan. Dia menggeleng saat melihat dua anaknya itu.     "Mereka akan segera tiba, ayo siap-siap," perintah Elena.     Lenox dan Letty saling melempar tatapan.     "Mommy terlalu berlebihan, Leonard hanya lulus SMA bukannya wisuda sarjana," bisik Lenox sambil menatap sinis ibunya.     "Mommy mendengarmu Sweety," seru Elena tanpa menoleh.     "Kau cemburu karena Leonard akan kembali? daddy bahkan menjemputnya dengan jet pribadi. Sepertinya dad akan memberikan jet itu pada Leo." Letty bukannya menasehati adiknya tapi dia malah menggodanya.     "Hei sister, kau tahu bunyi pepatah si bungsu adalah raja?" Lenox menatap kakaknya dengan tatapan angkuh.     Letty memanyunkan bibir tampak tak peduli dengan apa yang sedang di bicarakan Lenox.     "Aku yang paling di cintai di keluarga ini. Golden Children, Afro Child, semua julukan itu di peruntukan bagiku. Aku tidak butuh jet jika aku bisa mendapatkan perusahaan pembuat jet itu."     Letty terkekeh, cukup kuat. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum geli yang dia tujukan pada Lenox. "Kau masih kecil Lenox, kau bahkan tidak bisa mengendalikan drone kecil. Pemikiranmu terlalu jauh untuk menjalankan sebuah perusahaan," ucap Letty.     "Oh ya?" Setengah alis Lenox terangkat menantang kakaknya. "Kita lihat saja nanti," ucap Lenox dengan nada tegas penuh percaya diri. Dia melangkah melewati kakaknya sambil tidak menurunkan tatapan matanya.     "Astaga ...." Letty memutar bola mata sambil melayangkan tangan ke udara. Dia berjalan ke arah ibunya lalu memeluknya dari belakang.     "Eh?" Elena mencoba melirik ke belakang. "Kenapa kau malah kemari, cepat ganti pakaianmu."     "Hmm!" Letty menggeleng. "Biarkan seperti ini sebentar, mom. Aku merindukannya."     "Beginikah sifat seorang ketua sindikat?" Elena mencoba mengacuhkan Letty. Tangannya sibuk menaruh perlengkapan alat makan.     "Mom, jangan sebut kalimat kutukan itu, aku sedang berusaha melupakannya. Setidaknya untuk hari ini saja," ucap Letty.     Elena berbalik, dia meraih tangan yang melilit pinggangnya. Mengangkat dagu putri tunggalnya sambil memberikan senyum terbaiknya.     "Kau akan berhasil. Ibu selalu mendoakan supaya kau berhasil membubarkan sindikat itu."     Letty mengangguk walau wajahnya masih murung. Perkataan Elena adalah jimat keberuntungan Letty dan itu membuatnya semakin kokoh pada prinsip dan tujuannya.     "Aku mencintaimu, mommy." Letty kembali memeluk Elena.     "Aku lebih mencintaimu, nak." Elena mengecup puncak kepala Letty.     Sebenarnya selama ini Elena sangat tersiksa. Elena bahkan kecanduan obat tidur sebab dia tidak bisa memejamkan matanya saat malam hari. Dia terus memikirkan bagaimana Letty akan melewati bahaya setiap malam di setiap hari yang berbeda. Komunikasi mereka juga terbatas sebab Elena tidak bisa terus menelepon Letty, itu bisa membahayakan identitas Letty.     "Permisi, nyonya." Seorang pelayan tiba-tiba datang dan mengganggu momen langka Letty.     "Katakan Mariah," ucap Elena tanpa melepas pelukan Letty.     "Tuan besar dan tuan Leonard sudah tiba di bandara dan mereka akan tiba dalam sepuluh menit," ucap pelayan bernama Mariah itu.     "Kau dengar itu, sayang. Ayah dan adikmu akan tiba, bersiaplah."     Letty dengan malas menarik dirinya dari pelukan ibunya. Wajahnya lesu, lalu Elena mencubit hidungnya.     "Sepertinya aku harus setuju dengan ucapan Lenox," ucap Letty.     Elena mengerutkan kening "Soal apa?"     "Soal mommy yang berlebihan." Letty melarikan bibirnya mengecup pipi Elena, lalu segera meninggalkan Elena.     Elena menggeleng sambil bibirnya terus tersenyum. Hari ini adalah momen yang di tunggu-tunggu Elena setelah lima tahun lamanya. Sudah cukup menahan kerinduan selama lima tahun. Akhirnya, keluarganya akan berkumpul kembali. Duduk bersama di meja makan yang sudah lama sepi. Akhirnya keluarga Van Der Lyn akan kembali menikmati momen bahagia mereka. ****     Menit seolah berjalan begitu lambat. Sepuluh menit terasa begitu lama bagi seorang Elena Cardenaz. Dia begitu gelisah mondar-mandir di ambang pintu rumah mewahnya.     "Nyona ...," seru seorang petugas keamanan bernama Thomas.     "Ya," ucap Elena.     "Mereka sudah tiba," ucap pelayan itu.     Elena membuang napas panjang. "Letty, Lenox ...." Dia berseru memanggil kedua anaknya.     "I'm coming, I'm coming ...," seru salah seorang dari mereka.     "Yes, I'm coming."     Mereka bergegas turun dari tangga dan langsung menuju beranda mansion.     Sebuah mobil limousine hitam tiba di halaman mansion megah ini. Dua orang pria turun setelah seorang pengawal membuka pintu mobil.     "Mom, aku seperti tercekik."     "Astaga ...." Elena berdecak saat melihat Lenox tampak resah dengan kamejanya. Dengan sigap Elena melepaskan kancing kameja di kerah baju Lenox.     "Astaga, kau masih seperti angsa," ucap Letty menatap sinis adiknya. Padahal dalam hati dia ingin sekali mencium pipi adik kecilnya itu.     Letty terlihat begitu cantik dengan dress potongan pendek tanpa tangan itu. Mereka bertiga berdiri di depan pintu menunggu dua orang pria yang sedang berjalan penuh karisma ke arah mereka.     "Wow, sial ku harap mataku telah salah," gumam Letty yang langsung di sambut tatapan tajam dan cubitan Elena.     "Awh!!" Letty meringis.     "Dia tidak setampan itu." Bocah lelaki di samping Letty ikut menyuarakan isi pikirannya.     "Kau terlalu memperjelas pujianmu, Lenox." Masih saling menyindir, dua kakak beradik ini seolah tak percaya bahwa anak kedua keluarga ini telah menjelma menjadi pria dewasa yang tampan.     "Mom ...." Dia tiba, dan langsung meraih pelukan ibunya.     Fredrick tersenyum di sampingnya. Sementara dua orang di samping Elena termangu-mangu. Mereka terlalu sibuk dengan pendapat mereka, seolah berbicara dengan pikiran mereka sendiri.     "Hai, Sister." Pria itu beralih kepada kakaknya.     "Leo, apa ini sungguh dirimu?" Letty menatap pria di hadapannya dengan was-was.     Pria itu tersenyum. Dia tidak berkata apa-apa dan langsung memeluk kakaknya. "Aku teramat merindukanmu," bisiknya. Letty begitu tersentuh oleh kalimat itu. Dia tidak menyangka akan menjadi emosional seperti ini saat berhadapan dengan Leo. Well, lima tahun yang lalu Leo hanya pria remaja yang sering berdebat dan mengganggu Letty tapi sekarang dia berdiri di hadapan Letty dengan suara berat berkarisma.     Mereka akhirnya melepas pelukan. Leonard beralih menatap pria yang tingginya sebahu Letty, terlalu tinggi untuk bocah tiga belas tahun.     "Hai." Leo menatapnya sejenak. Lenox membuang muka. Sebenarnya dia sedang melarikan tatapannya, terlebih ujung matanya yang berkedip menandakan Lenox sedang berusaha mengontrol sesuatu di matanya.     "My little mongkey," ucap Leonard. Dia sedikit menunduk saat meraih tubuh adiknya. Lalu Leonard memeluk adiknya itu dengan sangat erat. "Dari semua yang ada di sini aku paling rindu padamu."     "Aku juga, sialan, aku merindukanmu." Suara Lenox bergetar. Dia sudah tidak bisa menyembunyikan air mata yang sejak tadi berusaha di sembunyikannya. Lenox begitu merindukan kakak laki-lakinya. Tentu saja, Lenox akan memilih bermain bersama Leonard dari pada dengan Letty sebab mereka sesama pria dan Leonard akan memberikan semua permainannya pada adiknya.     Berbeda dengan Lenox, Leonard masih dalam kontrol yang bagus untuk menahan air matanya. Dia mengalihkan semua perasaannya untuk bisa menenangkan adiknya sambil menepuk-nepuk bahunya.     "Kupikir seorang afro child tidak melankolis seperti itu." Seseorang menyindir dan itu sontak mengacaukan momen mengharukan itu.     Fredrick dan Elena menggeleng namun bibir mereka kompak tersenyum. Mereka begitu bahagia melihat anak-anak mereka yang saling menyayangi walau mereka menunjukannya dengan berbagai cara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN