Bab 9 : Fakta Dito (2)

1311 Kata
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* "Setiap manusia dilahirkan dengan takdir dan masalah masing-masing, baik-buruknga takdir, tergantung bagaimana kita menanggapinya." -------------*------------- Nabila terlihat sangat terkejut, bahkan ia sampai menatap Dito secara intens membuat Dito dan sang anak merasa heran melihat tingkah absurd dari seorang Nabila. Apa begitu kagetkah seorang Nabila ketika mendengar dirinya adalah seorang duda? "Kenapa kamu sampai terkejut seperti itu, Nabila?" "Eh.. emm. Gak kenapa-kenapa, Pak, " ucap Nabila dengan ringisan di akhir kalimatnya, tiba-tiba ia merasakan denyutan diluka pelipis yang masih di perban. Seketika Dito langsung menghampiri Nabila dan mengelus pelan perban tersebut. "Apa masih sakit?" Nabila tertegun sejenak, dosennya ini apa tidak sadar jika posisi mereka sangat lah dekat, bahkan masih ada Akbar di samping mereka. Dan sejak kapan dosen Izrail nya ini terlihat SANGAT TAMPAN, ASTAGFIRULLAH, DUDA INI MENGGODA IMANNYA. Nabila langsung tersadar dan menggelengkan kepalanya pelan, pikirannya melantur kemana-mana, mungkin efek dari luka yang ia terima. Akh, mengingat luka pelipisnya ini, ia jadi mengingat kejadian naas yang terjadi tadi. Andrian yang ia yakini tidak akan pernah melukainya, nyatanya sangat sanggup membuat ia terluka seperti ini, ingin rasanya ia bernego dengan Tuhan, untuk menukarkan nyawanya dengan nyawa sang Ummi saja, karena percuma saja ia hidup jika tidak ada tangan yang mau menerimanya. Tak terasa kedua matanya mengeluarkan air yang membuat Dito panik seketika. "Eh, apa begitu sakit sampai kamu menangis? " "Tidak, Pak, hanya sedikit pusing." Dito mengangguk lalu mengajak sang anak dan Nabila untuk menuju meja makan, jujur saja, ia sangat lapar sekarang, di pesta Hafidz ia sama sekali tidak ada makan apapun, lalu langsung terlibat dengan masalah dari mahasiswi kerdil nya ini. Sungguh malang nasibku ,Dito. Nabila yang mengikuti Dito hanya bisa membatin dalam hati, sampai kapan ia harus terjebak dengan dosen duda yang sialnya sangat tampan ini? "Maafkan Nabila yah istrinya pak Izrail, suamimu sangat menggoda soalnya." Maafkan Nabila wahai readers, siapa yang tahan terhadap duda keren satu ini, tapi sepertinya kekaguman Nabila hilang sekejap ketika mengingat semua perbuatan Dito terhadapnya. "Sekali Izrail tetap aja Izrail, gak akan jadi malaikat Ridwan." Gumamnya yang tanpa ia sadar, Dito mendengar itu dengan jelas, langsung saja Dito menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap tajam mahasiswa yang kurang sopan santun ini. "Sepertinya gak hanya tinggi badanmu saja yang kurang, akhlak kamu juga kurang." Nabila mendelik tidak setuju, ia langsung berdiri tegak dan berjinjit berupaya agar tingginya sejajar dengan dosen Izrail nya ini, meski semua hanya sia-sia. "Saya rasa, tinggi bapak terlalu sempurna untuk cara pandang bapak yang pendek itu." Dito langsung saja mendekat ke arah mahasiswinya itu sambil memasang wajah datar. Tubuh Nabila menegang seketika, ia sangat takut melihat tatapan Izrail yang sudah berada di hadapannya kini. "Kamu tadi bilang apa, Nabila?" "Emm... Cara pandang bapak pen-pendek, " ucap Nabila ragu, tatapan Dito semakin tajam seakam sedang menguliti habis tubuh Nabila. "Kamu tau gak, arti dari ucapan kamu itu?" "T-tau, Pak." "Itu tidak sopan, dan saya tidak suka, Nabila," ucap Dito dengan penuh penekanan, jantung Nabila serasa ingin lompat mendengar ucapan Dito selanjutnya. "Saya tidak suka calon ibu anak saya berbicara tidak sopan." Maksudnya apa coba? Siapa calon ibu anak siapa? Maksudnya Nabila gitu? Sejak kapan ia menjadi calon istri dari seorang Dito? Sepertinya bukan hanya kepalanya yang terluka, kepala dosennya itu juga ikut sampai membuat geger otak. Eh, astagfirullah, Nabila, ucapan adalah doa. "Kamu tidak ikut saya?" Nabila langsung menghampiri Dito yang sudah berjalan terlebih dahulu didepannya. Sampai di ruang makan, di atas meja persegi itu sudah tersedia lauk pauk yang membuat perut Nabila berbunyi seketika. Ia meringis malu ketika melihat tatapan mata dito, Akbar dan juga wanita yang ia kira istri dari Dito tadi menatapnya geli. "Yuk, nak Nabila, mari makan." Nabila tertegun sebentar, ia terkejut wanita itu tau namanya, atau mungkin baru tau karena Dito cukup kencang memanggilnya tadi, tapi, yah sudah lah, lebih baik ia menjinakkan para demonstran yang ada di dalam perutnya ini, sebelum terjadi chaos akan ribet nanti. "Makan yang banyak yah, Nak Nabila, anggap rumah sendiri." Nabila mengangguk kaku, mungkin senyumannya terlihat sangat mengerikan sekarang. "Loh nek, kalau Tante Nabila anggap ini rumahnya terus rumah Akbar di mana?" Wanita yang di panggil nenek tersebut langsung tertawa geli, ia menatap bocah laki-laki bernama Akbar tersebut dengan pandangan penuh cinta. "Ya ini tetap rumah Akbar, tapi kan tantenya lagi disini, jadi harus nyaman dong." Akbar mengangguk mengerti, lalu menatap Dito yang berada di sampingnya. "Ayah, mana janji ayah buat Carikan Dito ibu?" Seketika ruang makan terasa senyap, bahkan Nabila sendiri merasakan ngilu di dalam hatinya, ia seperti Akbar hidup dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, tapi Akbar masih bisa merasakan kasih sayang dari keluarga besar dan ayahnya, sedangkan Nabila sama sekali tidak dapat merasakan itu, tidak terasa air mata Nabila menetes kembali, mengapa jalan hidup yang seperti ini, yang tuhan pilihkan untuknya?. Sedangkan Dito yang di tanya seperti itu hanya menatap sayu mata sang anak yang menatapnya penuh harap, relung hatinya terasa sesak, kenyataan bahwa ia sama sekali tidak bisa menjadi figur seorang ayah sekaligus ibu untuk anaknya menjadi tamparan kuat bagi Dito, sekeras apapun ia dan seusaha apapun dia, takkan pernah bisa menggantikan sosok ibu didalam hati sang anak. Ia mengelus lembut kepala Akbar sambil tersenyum. "Insyaallah, doakan ayah, yah." Anak kecil itu tampak termenung sesaat, sebelum akhirnya mengangguk, sedangkan Nabila langsung meninggalkan meja makan tanpa kata. Ia sadar tindakan nya sangat tidak sopan, akan tetapi ia juga tidak ingin menangis di hadapan orang asing seperti ini. Maka ia memutuskan keluar sejenak dan akan meminta maaf nanti setelah ia selesai menangis. Dito yang melihat kepergian Nabila langsung menyusulnya, yang ia tau Nabila berlari ke arah taman belakang. "Ibu Akbar, istri saya meninggal dunia setelah satu jam mengalami pendarahan setelah melahirkan Akbar, dari awal saya sudah melarang istri saya untuk meneruskan kehamilannya, tapi yah namanya perempuan, pasti memaksa. Akhirnya saya perbolehkan dengan syarat ia tetap sehat dan juga selamat. Tapi kehendak Tuhan siapa yang tau. Saya harus ikhlaskan meski tidak rela..." Dito tampak menarik nafas pelan, Nabila yang melihat itu ikut merasakan sesaknya, ketika melihat seseorang yang kita cintai harus meregang nyawa tepat di hadapan kita. "Kinan... Kinan . Please jangan begini, kamu buat mas takut, Kinan!!!" Tapi mata itu semakin tertutup, para dokter dan suster yang menanganinya pun tidak bisa berbuat banyak selain mengumumkan tanggal kematian dari seorang wanita yang telah berhasil menjadi seorang ibu untuk pertama kali dan terkahir kali. Tubuh Dito langsung meluruh ke lantai, tangisan Raung mengisi ruang operasi malam itu, malam dimana dunia hitam Dito muncul tanpa bisa ia cegah, keterlambatannya membawa sang istri ke rumah sakit membawa petaka bagi kehidupan Kinan, wanita yang ia sayangi. Ia hanya bisa meratapi nasib, dengan menjalani kesehariannya yang harus serba sendiri, tak lupa dengan buah hati yang harus ia besarkan, mengharuskan ia berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. "Kinan, maaf atas keteledoran ku yang membuat kamu meninggalkan kami disini, maaf." Lintasan memori itu membuat Dito menangis kembali, mengingat bagaimana raut tak sadarkan diri milik Kinan istrinya menjadi gambaran suram setiap malam, ia masih merasa bersalah dengan Akbar anak semata wayangnya bersama Kinan, karena dirinya, Akbar harus hidup sendiri tanpa di dampingi sosok ibu. "Bapak sudah luar biasa, banyak laki-laki diluar sana malah membenci anak yang ia anggap sebagai alasan kematian sang istri, termasuk aku. " Kalimat terakhir itu ia ucapkan didalam hati. Dito yang mendengar itu langsung menoleh dan tersenyum miris, Nabila tidak tau saja, awal kematian sang istri, ia bahkan menelantarkan anaknya sampai sang anak harus di ungsikan ke kediaman mertuanya. "Saya pernah bodoh Nabila, tapi saya memperbaiki itu semua, " "Saya tau, Pak. Tidak banyak laki-laki yang bisa setegar bapak, yang tetap berperan sebagai sosok ayah sekaligus ibu bagi anak, bapak." "Saya tau, alasan kamu meninggalkan meja makan.... " Nabila tersentak kaget, ia langsung berdiri dan menatap Dito yang masih duduk di kursi taman. "Abimu selalu menganggap kamu adalah penyebab kematian ummi mu kan?" ASTAGA.... BAGAIMANA DOSEN IZRAIL YANG SIALNYA DUDA MENGGODA IMAN INI TAU?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN