Bab 11: Tangisan Dito dan Nabila.

2015 Kata
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* "Abimu selalu menganggap kamu adalah penyebab kematian ummi mu kan?" ASTAGA.... BAGAIMANA DOSEN IZRAIL YANG SIALNYA DUDA MENGGODA IMAN INI TAU? *** Nabila menatap Dito syok. Ia tidak menyangka jika dosen Izrailnya ini tau, permasalahan dirinya dengan keluarganya. Bagaimana bisa? Dan sejak kapan Dito tau? Segala pertanyaan berkecamuk di otak Dito. "Bapak nguping pembicaraan saya dengan Abi saya?" Praduga ini lebih mungkin terjadi, karena Dito sudah dua kali memergokinya, dan terkahir di parkiran yang mungkin saja bisa di dengar Dito. "Menurut kamu? Apa aku ada tampang suka nguping?" "Ada," sahut Nabila dalam hati, namun yang terjadi ia hanya menggelengkan kepalanya pelan, bisa hilang nyawanya yang tinggal satu itu, kalau dirinya mengiyakan. "Nah, itu tau, saya itu bukan tipikal orang yang suka nguping, cuma pendengaran saya itu tajam," ujar Dito tanpa beban. "Itu sama aja, Bambang!" Lagi- lagi Nabila hanya bisa berujar di dalam hati, ia tidak ingin mencari masalah dengan dosennya ini, terlalu berbahaya. Nabila hanya diam, tidak merespon sama sekali membuat Dito yang berada di depannya merasa sangat heran. Dito hanya menghela nafas pelan. "Maaf kalau saya tau rahasia kamu," ujar Dito dengan pelan, ia merasa bersalah sebenarnya, tapi jika ditelisik lebih dalam, ini bukan kesalahannya, toh ia tidak sengaja mendengar. "Bukan salah, Bapak." Lalu keduanya hening, Nabila dengan pikirannya yang akan pulang ke mana? Dan tidur di mana? Karena jika ia memaksa pulang, yang ada akan menimbulkan perorangan antara dirinya dengan sang Abi. Sedangkan Dito sendiri, masih memikirkan kenapa Nabila harus memiliki hidup yang semengerikan itu? "Emm... Pak, saya ijin pulang, mungkin saya akan menginap di rumah Niswah." Dito melihat ke arah Nabila dengan alis terangkat, ia bertanya melalui tatapan matanya seolah tidak yakin dengan keputusan dari mahasiswinya itu. "Saya ke sana aja, Pak. Saya akan menelpon Niswah terlebih dahulu." Nabila berlalu dari hadapan Dito karena tidak tahan dengan tatapan duda yang menggoda itu. "Dan mengganggu malam pertama pengantin baru, maksud kamu?" Dito mendengus geli melihat tubuh Nabila yang menegang kaku, Nabil sendiri merutuki idenya yang ingin menelpon Niswah, untung saja dirinya belum menelpon, kan kasian pengantin baru harus diganggu oleh seorang jomblo abadi sepertinya. "Bisa-bisa nilai kamu E langsung dibuat Hafidz. Tambah lagi, nyawa kamu ke saya kan tinggal satu. " Dito tersenyum misterius, membuat bulu kuduk Nabila meremang seketika. Dosen Izrail ini ternyata memiliki aura seperti iblis, apakah ia sebenarnya kloningan Rian? Jadi mereka ini satu ras, tapi berbeda takdir. Yang satu tetap menjadi iblis, yang satu lagi berkamuflase menjadi Izrail. Si pencabut nyawa. "Malam ini kamu nginap aja di sini, kamar sebelah kosong, dulunya menjadi kamar saya dengan istri saya, tapi sekarang tidak," ujar Dito yang terdapat kegetiran di dalam hatinya. Nabila merasa tidak enak, bagaimanapun dia adalah orang asing, dan diijinkan untuk memasuki kawasan pribadi milik dosennya ini? "Beneran gak papa, pak? Kalau tidak saya bisa cari hotel sekitar sini, ada hotel di depan sana." "Kamu mau ke hotel tempat prostitusi?" Nabila terdiam, ia tidak menyangka ada hotel seperti itu. "Lebih baik kamu nginap di sini saja. Setelah itu, baru kamu pulang." Mau tidak mau, Nabila harus menyetujuinya, menekan rasa sungkan dan malu, Nabila mengikuti langkah Dito yang masuk ke dalam rumah, sesampainya ia di dalam, sudah ada Akbar yang berdiri sambil menunduk di samping ayahnya. "Tante, Akbar minta maaf kalau Tante tersinggung tadi." Nabila mengernyitkan dahinya heran, lah dirinya tidak tersinggung dengan ucapan Akbar, hanya saja tadi terbawa suasana karena anak laki-laki itu meminta seorang ibu kepada sang ayah. Akh! Ternyata sikap dirinya yang tidak sopan tadi, membuat anak ini berfikir bahwa ia tersinggung dengan ucapannya. "Akbar." Panggil Nabila pelan, sambil berjongkok mensejajarkan tingginya dengan bocah laki-laki itu. Nabila mengusap pelan rambut Akbar, lalu menggenggam tangan mungilnya. "Akbar kan gak salah, Tante yang salah, gak sopan tadi, maaf yah," ujar Nabila. Akbar menggeleng, secara tiba-tiba dia menghambur memeluk Nabila dengan erat, bahkan Nabila sampai hampir terjengkang ke belakang jika tangan kanannya tak kuat menahan secara spontan tadi. "Gak papa, Tante. Kata ayah, minta maaf itu gak selalu kalau kita salah, kita boleh kok minta maaf meskipun kita gak salah." Nabila tertegun, ternyata walaupun mengurus buah hatinya tanpa dampingan seorang istri, Dito berhasil mendidik anaknya dengan sangat baik. "Baik banget sih, Tante jadi sayang." Nabila memeluk Akbar dengan erat, ia sangat nyaman bersama anak ini. "Tante nginap di sini?" Nabila mengangguk, lalu dengan antusias Akbar menarik tangan Nabila menuju kamarnya yang tepat berada di samping kamar Dito. Dito sendiri tertegun melihat keakraban sang anak dengan Nabila begitu cepatnya. Ia mengikuti langkah kedua orang itu, ibunya telah tertidur, dan biasanya jam segini ia akan ke kamar sang anak untuk menidurkan putranya. Sebenarnya ia tidak ingin anaknya tidur di kamar sendiri, namun karena permintaan bocah cilik itu sendiri, mau tidak mau, Dito harus menyetujui dengan terpaksa. Langkah Dito terhenti, begitu ia melihat pintu yang sedikit terbuka, memperlihatkan kedua orang yang ada di atas ranjang itu tengah berbagi cerita. "Tante temen ayah?" Suara mungil itu membuat Dito semakin penasaran dengan apa yang mereka obrolin, dan sepertinya apa yang dikatakan Nabila tadi benar, dirinya adalah seorang penguping pembicaraan orang. "Emm... Temen bukan yah? Kayaknya enggak." "Kenapa? Ayah jahat yah?" Nabila mengangguk dengan semangat, ia bahkan dengan menggebu-gebu menjelaskan perihal sikap Dito kepadanya. "Ayah Akbar tuh galak. Kalau sama tante tuh bawaannya emosi mulu, Tante kan sedih jadinya." Nabila memasang wajah berpura-pura sedih, meski di dalam hati ia tertawa terbahak-bahak. "Tapi ayah kamu ganteng." Lanjut Nabila di dalam hati. Dito mendelik tajam. Ia berdehem dari luar, untuk menyadarkan Nabila bahwa dirinya mendengar semua itu. Nabila langsung tersentak kaget, begitu juga dengan Akbar yang menyadari ada bayangan ayahnya di depan pintu kamarnya yang tidak tertutup sempurna. "Tante, ayah ada di balik pintu." Bisik Akbar dengan pelan. Nabila mengikuti arah pandang yang ditunjuk Akbar, dan ia bisa melihat ada bayangan di balik pintu itu. Nabila tersenyum misterius, lalu berujar kuat. "Akbar, nanti kalau sudah besar jangan suka nguping yah, nanti kupingnya besar kayak gajah." Dito yang mendengar itu, tersentak kaget, ia dengan panik berjalan menjauhi kamar sang putra dan masuk ke dalam kamar miliknya. Nabila bisa mendengar suara pintu yang ditutup dengan kuat, rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak melihat tingkah dosen yang terkenal kejam itu, bertingkah konyol. "Tante, ayah kenapa? Kok pintunya kuat banget ditutup." "Ayah kamu lagi kena sawah mungkin, sekarang Akbar tidur yah, atau mau Tante nyanyikan?" "Mau Tante." Akbar mengangguk antusias, dengan cepat ia merapatkan dirinya di dalam pelukan Nabila, mereka sangat akrab seolah sudah mengenal sangat lama. Nabila memeluk tubuh mungil Akbar dengan erat, bocah berumur 4 tahun itu menikmati elusan tangan Nabila di rambutnya. Dengan lembut ia menyanyi lagu pengantar tidur. Shalatullah Salamullah Alla Toha Rasullilah Shalattullah Sallamullah Alla Yasin Habibillah Tawassalna Bibismillah Wabil Hadi Rasulillah Wakulli Mujahidilillah Bi Ahlil Badri Ya Allah Nabila meresapi lagu itu, dulu ia pernah berangan untuk bisa merasakan dinyanyikan dengan merdu oleh umminya. Namun semua tidak akan pernah terjadi, wanita yang telah berjasa melahirkan dirinya, harus pergi sesaat setelah ia dilahirkan, sama halnya dengan Akbar. Mereka sama-sama berada di posisi ditinggalkan ibu sedari melihat dunia. Ia pernah berharap Abinya lah yang akan menyanyikan lagu pengantar tidur, yang dengan hangat memeluk tubuh mungilnya, sembari menceritakan dongeng. Namun semua itu hanya tinggal harapan, masa kecilnya dipenuhi dengan sapaan dingin sang ayah, terkadang bentakan dan juga pukulan harus ia terima. Andrian yang ia harapkan sebagai pelindungnya, malah juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan Abinya. Ia ingat pada hari itu, ia genap berusia 3 tahun, jiwa kecilnya meronta ingin merayakan ulang tahunnya, meskipun hanya dengan roti bolu sederhana. Ia pergi ke ruang kerja sang Abi, dan mendapati Abinya tengah fokus terhadap berkas-berkas yang sama sekali belum ia pahami. Dengan memberanikan diri, Nabila memanggil sang Abi. "Abi!" Laki-laki paruh baya itu menghentikan kegiatan nya sejenak, lalu melihat ke arah putrinya yang menunduk takut dengan pandangan dingin dan tajam. "A-abi. Boleh gak Nabila rayain ulang tahun bareng Abi? Kuenya udah Nabila beli kok, di tempat Wak Uti. " Kue yang Nabila maksud adalah donat yang berada di tangannya, lengkap dengan lilin kecil. Namun dengan tanpa perasaan, Abi nya mengambil donat itu dengan cepat dan melemparkannya ke luar ruangan. "Kami tidak tau, saya sedang bekerja. Dan berhenti memanggil saya Abi! Saya bukan Abi kamu." Sontak perbuatan laki-laki itu membuat jiwa kecil Nabila tergores kembali, ia memandangi Abi dan donatnya bergantian, bahkan lilin mungil yang ia pinjam dari Niswah sudah patah dan hancur. Ia memungut lilin itu lalu keluar mengambil donatnya yang sudah kotor. Ia memandang sekilas raut wajah Abi yang matanya menyorot dirinya dengan sendu, apa Abinya merasa bersalah? Tapi hati kecilnya sangat sakit, ia pun langsung berbalik menuju kamarnya dan menangis sendirinya di sana. Keesokan harinya, dengan memberanikan diri, ia ke rumah Niswah yang tak jauh dari rumahnya. Mengembalikan lilin yang sudah patah itu. "Niswah, maaf. Lilin kamu patah, kemarin aku gak sengaja jatuhin nya." Lirih Nabila sambil menahan tangis, Niswah memeluk sahabat satu-satunya itu dengan sayang, lalu mengajak masuk ke dalam rumahnya. Dan di sana sudah ada kue lengkap dengan lilin yang diletakkan di atas meja kecil, dan ada bang Naufal, Abi dan ummi Niswah yang memandang dirinya dengan senyuman lembut, sambil bernyanyi selamat ulang tahu. Nabila mengusap air matanya yang jatuh akibat mengingat momen itu lagi, dirinya masih terus melanjutkan nyanyinya walaupun dengan nada yang sumbang dan sudah bergetar menahan tangis. Ia mengusap rambut Akbar dengan lembut, ia tidak ingin anak sekecil ini harus merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Dito yang berada di depan pintu, dan mendengar suara Nabila yang bergetar tau jika gadis itu tengah menangis. Dirinya tidak tau alasan mengapa Nabila menangis, tapi jika melihat tangisan yang berusaha ditahan itu, membuat ia yakin, jika semua ini berhubungan dengan keluarga Nabila. Dito yang tadinya akan mengambil air minum, akhirnya tidak jadi, dan memutuskan untuk masuk ke dalam kamar kembali. Sesampainya di kamar, Dito terbaring dengan mata yang menatap langit-langit kamar, dan berfikir kenapa keluarga Nabila sampai seperti itu membenci gadis yang tidak bersalah? Dan seperti apa kehidupan Nabila yang sebenarnya? Ia ingin mengetahui dan menyelidiki itu. Dito meraih ponselnya di atas nakas. Lalu mendial nomor seseorang. Setelah terdengar nada sambung, tak lama seseorang pemilik nomor tersebut mengangkatnya. Dito langsung beranjak dari ranjang, lalu berdiri di depan jendela kamar. "Assalamualaikum, kamu bisa menyelidiki seseorang gak?" "Waalaikumsalam, orang? Siapa?" Tanya seseorang di seberang sana. "Wanita, namanya Nabila Ananda." Orang itu terdiam sejenak, mungkin terkejut, karena mendengar permintaan Dito yang sangat mengejutkan. "Wanita? Tumben, ada hubungan apa sama kamu?" Dito berdecak kesal. Kenapa banyak tanya sekali? Ia juga tidak memiliki alasan khusus mengenai ini, semua itu secara spontan ada di dalam otaknya. "Jangan banyak tanya, mending kamu kerjakan aja." Sungut Dito kesal. Ia langsung mematikan sambungan telpon dan kembali merebahkan diri di atas ranjang. Matanya menatap bingkai foto sang istri yang tersenyum di saat mereka sedang pacaran. Ia tersenyum getir. Dan mengambilnya dari atas nakas. Mengusap pelan wajah yang tersenyum manis. "Apa aku jatuh cinta? Tapi bagaimana bisa Kinanti? Kamu tau aku sudah meletakan seluruh cinta aku ke kamu? Bagaimana bisa tiba-tiba terbagi ke gadis tengil itu?" Dito menggeleng pelan sepertinya ia sangat kecapean hingga melantur seperti ini, ia meletakkan kembali bingkai foto itu di atas nakas. "Kamu gak marah, kan? Kalau aku jatuh cinta lagi." Dito memutuskan untuk menutup matanya erat, berusaha menyelam ke alam mimpi dan berharap bisa bertemu dengan istrinya. Di saat seperti ini, ia akan merindukan pelukan hangat serta usapan lembut di kepalanya. Sebulir air mata jatuh membasahi bantal Dito. Ia sering begini, meski dari luar ia terlibat baik-baik saja, namun dari dalam, ia sebenarnya ingin menyerah jika tidak mengingat ada sosok Akbar yang membutuhkannya. "Aku rindu, Kinanti. Tapi aku bisa apa? Akbar minta seorang ibu, tapi aku tidak ingin mengabulkannya, tolong beri aku saran, seperti yang sering kamu lakukan dulu kalau aku lagi ada masalah." Dito mengusap matanya yang basah. Ia menatap kembali bingkai foto yang menampilkan senyuman manis Kinanti. Hidupnya terasa sangat kosong sekarang, senyum dan tawanya hanya kamuflase agar orang di sekitarnya tidak perlu merasa kasian. "Maaf, aku pernah menyia-nyiakan putra kita, padahal kamu sudah berjuang sampai nyawa kamu menjadi taruhannya, maafkan aku, Kinanti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN