"Pokoknya Papa harus jaga kesehatan, Papa harus makan dengan teratur, vitaminnya juga jangan lupa diminum Papa."
Leon tidak mengiyakan ucapan Tiffany. Pria tua itu lebih sibuk menatap putri satu-satunya, yang sibuk membereskan banyak bajunya ke dalam koper. Semalam Tiffany berkata jika dia akan melakukan KKN di kota sebelah, yang tidak jauh dari Leon selama satu bulan. Untuk menulis skripsi dan juga menyelesaikan kuliahnya dengan cepat. Tiffany juga ingin lulus tepat waktu, tapi kalau bisa dia harus ikut lulusan tahun ini saja tidak perlu tahun depan. Dia sudah lelah jika harus berpikir terus menerus.
Padahal kalau boleh jujur Tiffany sudah melakukan KKN, waktu Leon berada di luar kota bersama dengan Bosnya. Waktu itu Leon berangkat keluar kota cukup lama sekitar tiga bulan yang lalu. Dan Tiffany yang tidak suka di rumah sendiri pun, memilih mengambil jadwal KKN lebih awal. Dia tidak ingin skripsinya terganggu jika bersamaan. Dan dia juga sudah meneliti banyak tempat, berbaur dengan masyarakat, ditambah mendengar keluhan banyak masyarakat kecil yang benar-benar membutuhkan bantuan. Sayangnya di negeri ini yang dibantu hanyalah orang mampu, rakyat kecil tidak mendapatkan apapun. Tidak bantuan makanan, atau bahkan kesehatan. Itu sebabnya banyak masyarakat yang meninggal dengan banyak penyakit. Karena tidak memiliki banyak uang untuk berobat, jaminan kesehatan juga tidak mendapatkannya.
"Aku akan terus telepon Papa, biar Papa nggak kesepian." Tiffany tersenyum kecil sambil memeluk Leon.
Tidak ada yang bisa Leon katakan kali ini. Jika ini demi pendidikan anaknya, dia juga harus mengambil resiko.
Sekarang giliran Leon yang berkata panjang lebar untuk Tiffany. Wanita itu sangat ceroboh dan juga suka pelupa. Leon berjalan kecil ke arah meja yang tingginya hanya selutut, dan mengambil vitamin untuk Tiffany.
"Jangan sampai lupa diminum. Terus, kamu juga jangan lupa makan. Ingat ya, pulang cepet. Papa nggak mau sendiri di rumah sebesar ini."
Nasib anak tunggal. Ibu Tiffany sudah damai di surga cukup lama. Dan Leon juga tidak memiliki cita-cita untuk nikah kembali. Katanya, ingin lebih fokus mengurus Tiffany. Hingga dia lupa, jika dia juga membutuhkan pendamping hidup.
Beberapa kali Tiffany sudah pernah meminta Leon untuk menikah. Dan pria tua itu menolaknya dengan keras. Dengan alasan, jika dia akan menunggu Tiffany bahagia menemukan pasangan hidupnya. Barulah Leon akan menikah. Setidaknya, dia harus melihat putri kecilnya itu bahagia dengan orang yang tepat.
"Papa ih, bikin sedih terus. Aku berangkat ya, jaga kesehatan Papa." pamit Tiffany.
Leon mengangguk, dan mengecup kening Tiffany. Pria tua itu ingin mengantar Tiffany sampai tujuan, dimana kota KKN Tiffany. Tapi yang ada Tiffany langsung menolaknya. Dia ingin hidup mandiri, dia tidak ingin merepotkan Leon kembali. Selama Tiffany bisa mengerjakan sendiri, maka doa akan berusaha sendiri.
Taksi online yang dipesan Tiffany pun sudah datang. Wanita itu segera memasukan koper sedang miliknya ke bagasi mobil.
"Papa, Tif berangkat ya." pamit Tiffany sekali lagi.
Dia juga tidak tega jika harus meninggalkan Papa nya sendiri di rumah. Tapi mau bagaimana lagi, dia juga tidak ingin Bara berpikir kalau Tiffany memiliki pria lain selain dirinya.
Ya, jangan percaya jika mobil hitam mengkilat ini adalah milik taksi online. Tapi, ini adalah mobil milik Bara Cavero. Pria itu khusus dan spesial katanya, ingin menjemput Tiffany. Itu sebabnya dia datang dan tidak ingin turun sama sekali dari mobilnya. Yang ada, Bara hanya mengintip di balik kaca mobilnya. Dimana Tiffany masih memeluk Papanya dengan begitu erat, seolah mereka akan berpisah cukup lama. Padahal ini hanya bertahan satu bulan kedepan saja.
Selang beberapa detik, Tiffany melepas pelukan itu dan langsung masuk ke mobil. Saat menurunkan kaca mobilnya, Bara langsung menatap ke samping. Jangan sampai Papa Tiffany tahu wajah Bara.
Melihat reaksi itu Leon nampak curiga. Tapi detik berikutnya dia pun langsung menatap Tiffany. "Hati-hati, kalau sudah sampai jangan lupa telpon Papa." ucap Leon mengusap lembut kepala Tiffany.
Sesayang itukah Leon pada Tiffany? Pikir Bara.
"Iya Pah. Tenang aja, sampai disana Tiffany langsung telepon Papa. Pokok, hpnya jangan ditinggal ya," jawanya seyakin mungkin. "Tif berangkat ya Pah. Dadah…"
-Love (not) Blind-
Memakan waktu tiga puluh menit untuk Tiffany dan Bara, baru sampai di apartemen Bara. Jika dia langsung menelpon Leon, yang ada pria tua itu pasti akan curiga. Hingga akhirnya Tiffany menyibukkan dirinya untuk menyiapkan satu kamar untuknya. Apartemen ini memiliki dua kamar, dan yang jelas kamar kosong dan rapi ini tempat dimana Tiffany tidur kan?
Wanita itu memasukan semua baju-bajunya ke lemari kosong. Menatap tas dan juga sepatunya, tak lupa juga beberapa buku dan laptop miliknya. Ah, barang berharga itu dilarang keras untuk ketinggalan. Dan harus setiap di dalam tas ransel Tiffany. Kecuali, jika bahunya sudah lelah dan tidak bisa membawa beban berat. Barulah, wanita itu meninggalkan laptop kesayangannya di rumah.
"Kamu ngapain di kamar ini?" Tiffany menoleh saat mendengar suara Bara. Pria itu berdiri di depan pintu sambil menikmati minuman kaleng.
"Lagi beresin baju aku." jawab Tiffany.
"Yang nyuruh kamu tidur sini siapa?"
Pertanyaan itu kembali membuat Tiffany menoleh. Dia pun menatap Bara dengan tatapan bingungnya. Jika dia tidak tidur di kamar ini, lalu dia tidur dimana? Bara tidak mungkin memintanya untuk tidur di sofa ruang tamu, atau ruang tengah apartemen ini kan? Atau mungkin tidur di kamar dapur?
"Memangnya aku nggak tidur disini apa? Terus aku tidur dimana?" tanyanya dengan wajah polosnya.
Bara menggeleng, dan memasukkan kembali baju milik Tiffany ke dalam koper. Lalu menyeret koper itu keluar kamar. Sedangkan Tiffany sendiri, memilih mengambil sisa baju dan juga barang-barangnya yang tidak dibawa oleh Bara. Mengikuti langkah lebar Bara, sampai akhirnya Tiffany berdiri di depan kamar Bara.
Pria itu kembali mengeluarkan banyak pakaian milik Tiffany, dan memasukkan ke dalam lemari miliknya. Lebih tepatnya mencampur aduk pakaian Bara dan juga Tiffany.
"Boo, itu kenapa baju aku di masukin ke lemari kamu." tanya Tiffany bingung.
"Kalau aku bilang kamu tinggal sama aku. Berarti kamu juga satu kamar sama aku kan? Hitung-hitung latihan, nanti kalau jadi istri bajunya juga harus satu lemari." jawab Bara tanpa menoleh ke arah Tiffany.
Wanita itu tersenyum malu sambil menggigit tas punggungnya. Oh Ya Tuhan!! Jantungnya benar-benar berdebar kencang, seolah di dalam sana ada yang memukulnya, hingga menimbulkan reaksi yang berlebihan.
Begitu juga dengan Bara yang langsung tersenyum menatap Tiffany. "Cie yang pipinya merah. Moodbooster banget deh." goda Bara dan semakin membuat Tiffany salah tingkah.
"Apaan sih nggak jelas banget!!" elak Tiffany tanpa meninggalkan senyum di wajahnya.
Bara semakin tertawa dan menghampiri Tiffany. Menangkupkan kedua pipi Tiffany, dengan tangan kekarnya. "Cuma aku yang boleh bikin pipi ini merah merona. Yang lain nggak boleh!! Ingat itu!! Catat di otak kamu!!" katanya sambil menyentil kening Tiffany.
-Love (not) Blind-