4 🌺 Jodoh pasti bertemu

1023 Kata
Allah menciptakan segalanya berpasangan. Pasang surut kehidupan, siang malam, susah senang yang silih berganti. Ada hisab atas segalanya nanti. 🌺🌺🌺 “Kami sudah bicara dengan ayahmu. Dia menyesali yang terjadi dan bersedia saja dipenjarakan,” bujuk Bakhtiar pelan-pelan. “Kadang kala keputusan bijak tak selalu pilihan yang menyenangkan, Windi.” “Kami ingin yang terbaik untukmu,” tambah Ivy sendu. “Tidak ada yang bisa menjamin hal seperti ini tidak akan terulang lagi. Ayahmu sendiri sadar kondisi dirinya yang sudah sulit berhenti,” tambah Bagas dengan nada semula, tegas. Windi kukuh tetap menggeleng. “Tetap saja saya tak ingin beliau dihukum kurungan. Saya paham niat baik Anda, saya sangat menghargainya. Namun, hormati pula keinginan saya. Saya tidak mau harus bertemu dengannya di penjara tiap kali kami ingin bertukar kabar.” Bagas berusaha memikirkan fakta bahwa dirinya orang asing semata. Hidup Windi bukan tanggung jawabnya dan pilihan gadis itu tak akan berkonsekuensi apa-apa bagi Bagas pribadi. Meski sudah begitu, tetap saja Bagas menyembunyikan tangannya yang mengepal tak tahan. Pilihan Windi baginya mengecewakan. Memang benar, para perempuan lebih dominan perasaan, tapi dalam hal ini ada masalah harga diri dan kehormatan yang dipertaruhkan, belum lagi norma di mata masyarakat. Ia telah mendengar dari Jefri itu sendiri pengakuan tentang keberadaan ibu tiri Windi yang jadi ancaman lain keselamatan Windi. Jika tak ada lagi Jefri yang ditakutkan sang ibu tiri itu, bisa-bisa Windi juga akan dalam bahaya terancam darinya. Ivy, Bakhtiar dan Bagas saling pandang sesaat. Sepertinya Windi punya pendirian yang teguh. Mereka bertiga lebih dewasa dan beberapa kali berakhir di jalan buntu begini meski niat baik mereka semata-mata hanya ingin membantu. Ivy kemudian menggenggam jemari gadis yang tertunduk itu, “Windi, jika boleh kami tahu, apakah kamu sedang menjalin hubungan khusus, berpacaran misalnya atau ada seseorang yang spesial bagimu?” Windi tak nyaman, tapi berjuang melawan rasa itu. Tahunya niat mereka pasti tulus ingin membantu, kecuali mungkin Bagas. Windi menggeleng pelan, mengusir ingatan itu. Waktu itu Windi menolak menjawab, tetapi saat ini konteksnya berbeda. Bisa jadi Ivy juga berpikir seperti mendiang neneknya dulu. Berharap Windi punya seseorang yang mencintai dan bersedia melindunginya. Namun sayang, tak ada siapa-siapa yang Windi punya selain Kitha. “Oh, maaf. Kamu bebas tak menjawab,” ujar Ivy tak enak hati. “Itu privasimu.” Bakhtiar kemudian angkat bicara pula. “Baiklah, jika itu keinginanmu. Kami hanya bisa berpesan agar kamu lebih berhati-hati lagi dengan kunci pintu dan sebagainya.” Biasanya Windi sangat perhatian mengunci pintu, kemarin itu ia biarkan pintu karena Kitha janji datang sementara ia akan mandi. Itu pun hanya lima menit. Windi mengerut, “Maaf karena saya telah membuat gaduh di sini. Saya mungkin akan pindah segera setelah bulan ini habis. Saya mohon —” “Tidak! Jangan pergi! Tinggallah di sini. Biar kami bisa bantu menjagamu juga,” potong Ivy tulus. Windi berkaca-kaca. Ia pun sebenarnya tak mau pindah. Ayahnya juga mengatakan tempat ini pilihan tepat untuk tinggal. Pekarangan rumah berikut pemiliknya yang selalu sedia bisa jadi mencegah ibu tiri Windi sering datang. Pun ayahnya sendiri sungkan untuk berkunjung, kecuali mendesak. “Terima kasih. Terima kasih banyak, Tuan dan Nyonya.” Windi melirik singkat Bagas yang diam saja. Sekedar dalam hati ia bertanya-tanya mengapa dan bagaimana bisa ada Bagas di sana semalam? Namun, dari yang bisa disimpulkan sepihak, rasanya cukup beralasan jika Bagas dan Bakhtiar saling kenal. Mereka seumuran dan tampaknya cukup dekat. Bagas menutup rapat mulutnya. Keputusan sudah diambil, ia pun tak punya wewenang untuk memaksakan kehendaknya. Tak ada titik temu masalah Windi. Sementara ini Bagas dan rekannya hanya bisa melunasi hutang dan memberi lapangan pekerjaan untuk ayah Windi di salah satu tempat mereka. Dengan begitu Bagas bisa memberikan gaji besar untuknya supaya bisa mandiri, membayar hutang sendiri serta memantau kegiatan Jefri dari dekat. Urusan mereka selesai hari itu. Windi berterima kasih. Bagas pun tak mempermasalahkan lebih jauh. *** Dua bulan sejak kejadian naas itu hidup mereka berjalan masing-masing. Jefri bekerja baik dan tampak lebih bisa diandalkan sebagai ayah. Bagas juga menikmati hidupnya seperti biasa. Olahraga pagi, memantau perkembangan atau berkeliling estat. Meski aktivitasnya berjalan lancar dan sempurna, tetap saja ada satu hal yang masih mengganjal di d**a. Ada seorang yang jauh di dalam lubuk hati Bagas, selalu dalam doanya. Beliau telah melampaui usia itu, yang Bagas tak bisa berbakti kepadanya. Sebanyak buih di lautan Bagas berbuat kebaikan terhadap orang lain, tapi satu hati itu terus ia sakiti. Bagas menunduk dalam tiap-tiap kajian tentang ibu mencuat dibicarakan. Usia Bagas tahun ini mendekati 54 tahun. Hanya sekitar sembilan tahun lagi mendekati waktu wafatnya Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam sementara hubungannya dengan ibunda masih belum membaik juga. “Ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu. Apalagi seorang anak laki-laki, mereka tetap milik ibunya sampai kapan pun. Mau setua apa pun, tetap bagi seorang ibu putranya hanya anak kecil yang dulu dia ajarkan bicara, berjalan, dan ... dan ... dan ... dan banyak lagi. Ibu adalah sekolah pertama anak-anaknya.” Bagas sering ditampar, dipukul hingga babak belur oleh hadis dan ayat tentang ikatan darah mereka. Namun, ia tak bisa menangis. Nanti baru akan Bagas biarkan air matanya mengalir ketika bersendirian saja. Saat ini ia tengah dalam lautan manusia yang memenuhi sebuah masjid untuk mengisi tangki keimanan di hati. Muncul pertanyaan dari peserta kajian. “Assalamu’alaikum, Ustaz.” Bagas sontak terkejut. Merinding bulu-bulu kecil di lengannya mendengar salam bergetar itu. “Saya ... punya orang tua, tetapi mereka begitu jauh ... bukan jauh secara fisik, maksud saya secara hati. Sedari kecil saya sedikit sekali mendapatkan kasih sayang mereka, tetapi saat saya dewasa mereka malah seolah-olah memeras keringat saya, Ustaz. Saya tahu wajibnya bagi saya berbakti, tetapi berat sekali rasanya, Ustaz. Saya berharap mereka jauh dari saya dan tidak merecoki hidup saya. Mereka jauh dari Allah dan sering bermaksiat. Mereka juga tak punya andil besar dalam hidup saya, tetapi ... haruskah saya tetap berbakti kepada mereka, Ustaz? Kadang saya merasa jengkel, jauh dari ikhlas untuk berbakti kepada mereka. Sekian, Ustaz. Terima kasih atas jawabannya. Assalamu’alaikum.” Bagas tertegun mendengar pertanyaan itu. Suara gadis tersebut tak asing di telinganya. Entah sekedar perasaan atau kenyataannya memang begitu. Pertanyaan berikut tangis itu mengubah air wajah pada pemateri kajian hari ini dan beberapa kepala tertunduk di sekitarnya selagi menunggu jawaban sang Ustaz.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN