6 🌺 Menolong tanpa terlihat

1285 Kata
Setelah kesulitan akan datang kemudahan. Setelah sabar akan ada syukur. Allah tahu apa yang diinginkan hamba-Nya. 🌺🌺🌺 Jodoh pasti bertemu, Bagas percaya kalimat itu. Dulu dengan Nasila begitu. Bagas dan dia tinggal berbeda benua, kemudian satu hari bertemu dan terjalin rasa. Sayangnya, Bagas tak percaya Bintang kini menyebutnya berjodoh dengan Windi Ayu Putri. Gadis itu berusia lebih muda daripada putranya, Khalid. Gadis itu cantik juga. Meski keras kepala, Windi bisa dibilang baik dan taat. Bagas memelototi sahabatnya karena tak setuju. “Bintang, kamu lupa selisih usia kita dengannya?!” “Jangan lupakan Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam dengan Khadijah atau dengan Aisyah,” balas Bintang tenang. Bagas pun terdiam. Pernikahan Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam ketika berusia 25 tahun sementara Khadijah 40 tahun. Lalu dengan Aisyah yang waktu itu bahkan belum haid pertamanya sementara Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam sudah ditinggal pergi Khadijah selamanya. Sayangnya berbeda zaman yang lampau membuat kesan kesenjangan usia jadi tak lumrah di masa kini. Bintang buka suara lagi. “Bisa kukatakan kalian cocok. Windi begitu berbakti kepada orang tua sementara kamu sebaliknya. Aku tidak bilang durhaka, tapi ... sudah saatnya kamu kembali, Bagas. Sebelum terlambat.” Bagas makin dalam merenung. Sahabatnya benar untuk hal yang terakhir itu. Waktu terus berjalan, makin ditunda akan makin besar sesalnya nanti. “Ingat kasusku dengan Latifa Bakrie? Ifa yang tidak pernah tahu kehidupan dunia begitu saja datang ke Kastil Abinaya dan menjadi istriku. Kami sama-sama tergerak karena seorang ibu! Jodoh bisa begitu, Bagas. Kurang apa Ifa? Tetapi 30 lamaran kepadanya tak diteruskan hingga dia dibilang perawan tua. Ifa terkesan hanya sisa di mata orang lain, tapi bagiku dia segalanya.” Bagi Bagas Ifa kurang ekspresif, tapi ia tak akan mau menyebut itu. Ifa terlalu pemalu sampai terkesan sombong. Lebih dari beruntung Ifa ditakdirkan sebagai jodoh dari seorang Bintang Abimayu. “Dengan Nasila dulu ibumu tidak merestui, mungkin saja dengan Windi berbeda.” Bagas melempar pandangan ke arah lain. Mulai sensitif ia jika ada pembahasan Nasila dan ibunya. “Aku lebih tua darimu untuk digurui. Berhenti.” Bintang terkekeh, “Baiklah, Pak Tua.” *** Windi masih kesal karena gaun yang suah payah didapatkannya malah direnggut paksa oleh sang ibu tiri. Belum selesai dengan hal itu Venita juga datang lagi. “Aku butuh uang!” “Kembalikan dulu gaun Windi, Bu. Windi butuh itu.” “Buat apa kamu butuh gaun bagus begitu?!” selidik Venita curiga. Windi jelas tak mau memberitahu ibunya tentang acara besar lusa nanti. Bukan saja pagelaran itu menyangkut nama Windi pribadi, melainkan nama perusahaan Abinaya dan Indonesia sekaligus. “Baju itu sudah aku jual. Baju murah begitu hanya ....” Windi tidak lagi mendengar kelanjutan kalimat Venita. Ia tergugu oleh kekecewaan. Tanpa Venita tahu perjuangan Windi untuk mendapatkan gaun mahal itu dan kini waktu Windi makin tipis untuk punya pakaian pantas di acara internasional nanti. Selagi Windi melamun itu Venita sudah membongkar isi lemari dan dompet Windi sesuka hati. “Sedikit sekali uangmu? Kata temanku kamu sekarang menjadi orang kepercayaan pemilik perusahaan itu. Di mana kamu sembunyikan uangmu?!” Windi menggeleng, takjub akan tak tahu malunya perempuan yang mengaku ibu itu. Dia sendiri yang membuat dirinya begitu rendah di mata Windi. “Ya sudah, aku ambil ini dulu. Ayahmu sedang di penjara, kan? Nah, sementara ini semua jatah yang kamu beri untuknya beralih untukku! Ingat Windi, akulah yang membesarkanmu. Aku harus mengorbankan hidup dan masa mudaku hanya untuk membesarkanmu. Jadi, balas budiku!” Setelah perempuan itu menghilang dari kontrakan Windi tertinggal tangis sendiri. Windi lebih suka tangis daripada amarah. Amarah membuatnya lelah dan mengurangi keikhlasan sementara tangis akan melegakan hati Windi, membuat sedikit demi sedikit bukti betapa sabar ia melewati ujian hidup ini. Keesokan paginya ketika Windi akan berangkat kerja sebuah kotak terlantar di depan pintu kontrakannya. Windi mengangkat kepala dan terlihat punggung Ivy menjauh. “Nyonya!” Beliau berbalik dengan senyuman manis. “Selamat pagi, Windi.” “Ini milik Anda, Nyonya?” tanya Windi tanpa basa-basi mengangkat kotak di tangan. “Itu untukmu. Jangan banyak bertanya, ambil saja dan gunakan sebaik-baiknya.” Windi membukanya dan terharu, “Terima kasih banyak, Nyonya.” “Kudengar dari Bintang, kamu akan ikut acara pameran perusahaan. Anggap itu hadiah dari kami.” Windi menemukan label klan Sayap Mulia di dalamnya. “Semoga Allah berkahi semua usaha pertolongan yang kalian berikan.” Ivy mengangguk dengan senyum manis kemudian berlalu dan masuk rumahnya. Melihat label itu, kini Windi tahu mengapa Bagas bertanya hal yang membuat Khumaira dan Khalid salah paham tempo dulu. Bagas adalah ketua dari klan Sayap Mulia. Bukan sungguhan lelaki itu tertarik secara individual kepadanya melainkan karena ingin membantu. Terbukti dari beberapa kasus yang melibatkan mereka. Windi pun telah mendengar penuturan Ivy tentang persatuan Bagas, Bintang, dan Bakhtiar yang sering menolong orang lewat komunitas mereka. Jadi, Windi sangat bersyukur atas bantuan mereka dalam kasus ayahnya. Nampaknya tiga lelaki dewasa itu juga menyembunyikan tentang kegiatan sosial mereka dari anak-anaknya. Windi pun masuk kembali ke kontrakan dan melihat dua gaun cantik yang luar biasa indahnya. Dengan suka cita dan rasa syukur yang besar Windi mendekapnya ke d**a lalu menyimpan barang berharga itu ke atas lemarinya. Windi hanya bisa berharap Venita tak datang segera, setidaknya sampai Windi berangkat ke luar negeri dengan membawa dua gaun itu. *** Bagas biasanya tak tertarik dengan kegiatan Bintang, tapi kali ini ia melihat acara itu. Lewat layar besar televisi yang menyiarkan acara pameran permata internasional. Di bingkai multimedia itu Bagas melihat Khumaira, Bintang, Ifa dan juga Windi. Sayangnya Bagas malah tak menemukan putranya, Khalid. Bagas memang melihat acara itu untuk putranya, tetapi sejak ada Windi yang muncul mendadak perasaannya berubah. Bagas suka melihat gaun pemberiannya melekat di tubuh gadis itu. Ukurannya pas dan warnanya amat sangat cocok di kulit Windi. Karena gaun itu Bagas harus setengah mati menahan malu di depan sales butik, ia harus memastikan ukuran dan warna pilihan gaun lainnya demi gadis menyedihkan itu. Juga Bagas menebalkan muka di depan Bakhtiar dan Ivy agar mereka mau membantu menyampaikan gaun itu tanpa membawa nama Bagas sama sekali. Bagas tak mau Windi merasa sungkan atau terlibat langsung, tapi ia tak bisa tinggal diam saja setelah mengetahui gaun idaman gadis itu dijual ke tukang loak oleh ibu tirinya. Windi di sana tertangkap kamera beberapa kali. Dengan gaun yang Bagas sediakan, tampak gadis itu nyaman dan anggun. Rasa bangga karena berhasil bantuannya menyebabkan senyuman Bagas mengembang lebar. Sadar dirinya tersenyum sendiri dan lagi-lagi karena mengingat gadis itu membuatnya malu. Bagas langsung mematikan televisi lalu meminum gelas tehnya. Lagi, ia terkenang teh buatan Windi. “Aku pasti sudah gila,” gumamnya. Bagas lalu mengambil ponsel daripada terus fokusnya kembali ke gadis itu lagi. Diajaknya bertemu Bakhtiar karena Bintang sedang jauh dari Indonesia saat ini. Namun, Bakhtiar juga tak bisa menemaninya. Bagas kemudian melemaskan kepala ke sandaran sofa. “Bagas!” Bagas berbalik dari posisi berdirinya. Senyum manis Nasila menyapa, langkahnya mendekat. Gaun istrinya berwarna putih indah. “Sedang di mana kita?” tanya Bagas membalas senyuman itu. Nasila dengan kerling genitnya berbisik, “Di dalam hatimu.” Bagas memeluk tubuh ramping Nasila dengan kerinduan yang besar. “Tak penting kita di mana, yang penting aku sangat rindu padamu.” Nasila melarai pelukan, ekspresi masam khas wajahnya tergambar. “Aku bawakan ini. Untuk ibumu. Mari kita beri nama dia ... Windi. Kurasa cocok untuk Wanda. Semoga saja ibumu jadi mau menerimaku.” Bagas tersentak bangun. Ia mengerjap, tak lama pandangannya teralih ke telapak tangannya yang terbuka, tetapi kosong dari benda pemberian Nasila. “T---tuan?” “Oh, Pio,” katanya tersentak panggilan sang pelayan. “Anda sepertinya tertidur.” “Y—yah, kurasa begitu.” Bagas memandang lagi telapak tangannya yang kosong sementara pelayan itu menjauh masuk ke dapur dengan kemoceng dan lap di tangan. Bagas ingat batu berwarna merah muda yang diberikan Nasila untuknya barusan. Adakah artinya sekelebat mimpi itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN