JENNIFER ANDREA EVERTON

1863 Kata
  Sunday, morning.            “Kita makan di sini saja.” Ajak seorang wanita pada kedua wanita lainnya. Ia menunjuk sebuah resotoran jepang yang berada di sudut.            “Ini semua gara-gara kau, Jennifer. Harusnya sekarang aku tidak di sini bersama kalian.” Gerutu salah satu wanita pada wanita yang mengajaknya makan, Jennifer.            Jennifer sendiri hanya mencengirkan bibirnya seperti anak kecil. “Ayolah, kau managerku. Disini kau juga harus menjagaku, bukan? Sangat tidak mungkin jika aku membawa 2 bodyguardku itu.” Jennifer mengaitkan tangannya pada lengan managernya itu dan mengajaknya berjalan bersama.            “Hei, hei. Aku masih disini jika kalian lupa.” Seorang wanita menyusul dari belakang. Merasa tertinggal oleh Jennifer dan managernya itu.            “Hahaha, iya. Ayo, Britt.” Kini, Jennifer merangkul kedua wanita yang ia ajak makan itu seraya bersenandung. Ruby, managernya, hanya menggelengkan kepalanya melihat Jennifer yang sangat bersemangat sedari tadi. Sementara Brittany, temannya ikut bersenandung bersama Jennifer.            Ketiganya sudah memasuki sebuah restoran Jepang pilihan Jennifer. Jennifer memilih sebuah ruangan di sudut dengan jendela besar di sampingnya. Seorang waiter masuk ke dalam dan menyodorkan buku menu makanan. Ia menunggu ketiga wanita cantik ini memesan makanannya. Ia mengetahui salah satu dari mereka adalah Jennifer Andrea, seorang model cantik yang tengah naik daun. Awalnya, waiter itu hendak meminta tanda tangan sebagai penggemar, namun hal itu ia urungkan untuk menjalankan pekerjaannya secara professional.            Sang waiter pergi meninggalkan ruangan saat ketiga wanita itu sudah memesan beberapa makanan. Sembari menunggu, ketiganya mengobrol seputar pekerjaan, pria, dan masalah wanita lainnya. Jennifer terdiam merasa teringat sesuatu jika ia harus membicarakan ini pada mereka.            “Aku bertemu dengan mereka lagi.”            Ruby dan Brittany mengangkat kedua alis mereka tidak mengerti siapa yang dimaksud Jennifer saat ini. Jennifer menghela napas pasrah.            “Mereka. Semalam aku bertemu mereka lagi. Di club.” Kata Jennifer dengan susah payah. Well, sebenarnya Jennifer ingin menyimpan masalah ini sendiri. Tapi, apa daya ketika yang ia punyai sekarang hanyalah mereka dan keluarganya.            “WHAT?!Aku sudah memperingatimu jangan pergi ke club itu sendirian! Aku tahu mereka tidak akan diam saja, kan? Apa yang mereka lakukan padamu? Kenapa kau kesana?” Brittany tampak kesal. Jennifer memakluminya, karena ia tahu temannya itu sangat mengkhawatirkan Jennifer saat ini.            Ruby sendiri menghela napasnya. “Tenanglah, Britt. Kita dengarkan dulu apa yang Jennifer ingin katakan.” Ruby menenangkan Brittany dengan sifat keibuannya itu. Ah, ini yang jennifer sukai dari seorang Ruby. Selalu tenang.            “Sebenarnya, aku tidak bermaksud kesana sendirian. Tapi, ah, aku hanya tidak mengira mereka ada di sana juga. Kau tahu, kan club itu sudah jadi tempat langgananku. Biasanya juga mereka tidak ada di sana. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa mereka ada di sana.” Jawab Jennifer dengan helaan napasnya. Ia melirik ragu pada Brittany yang sedang melipat kedua tangannya di depan dadanya.            “Lalu?” tanya Ruby. Ia merasa Jennifer belum menyelesaikan ceritanya.            “Hm, mereka… mereka, ya, kalian tahu, kan. Seperti yang dikatakan Brittany,”            “Stop. Jangan lanjutkan. Kita sudah tahu apa yang mereka lakukan” Brittany menyela penjelasan Jennifer dan menghela napasnya sebelum melanjutkan berbicara lagi, “Ayolah, Jen. Aku tahu kau tidak lemah di depan mereka. Aku, tidak. Kami tahu kau akan selalu melawan. Tapi, kami tidak ingin tenagamu harus terkuras hanya untuk meladeni mereka. Jika kau melihat mereka lagi, jangan ladeni mereka. Tinggalkan saja mereka. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau. Menggunjingmu, menjatuhkanmu. Karena kami tahu, kau bukan wanita lemah. Kau wanita yang kuat, jen. Simpan tenagamu untuk hal penting lainnya. Fokus saja pada pekerjaanmu sekarang. Okay?”            Jennifer hanya menganggukan kepalanya mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Brittany. Sementara ruby terus mengelus punggung tangan Jennifer dengan sayang.            “You’ll be fine. Maybe not now, but eventually. Trust me, you are a strong woman. You can beat them all.” Ujar Ruby. Jennifer menganggukkan kepalanya dengan semangat.            “Tidak perlu bercerita lagi pun aku tahu hal kejam apa yang mereka lakukan padamu.” Brittany mendengus.            Jennifer tertawa melihat Brittany yang kesal sendiri. Padahal, jennifer merasa bodo amat pada kawanan wanita penggosip itu. Jennifer sendiri tidak tahu kenapa mereka sangat membenci jennifer sampai sebegitunya. Mereka dengan kejam memukulinya dengan tas branded mereka tanpa peduli jika tas mereka sampai rusak. Astaga, jennifer bergidik ngeri saat semalam ia hampir melempar kursi di bartender ke arah mereka. Tapi, ia juga menyesal kenapa ia tidak melakukannya saja. Dengan begitu, mereka pasti akan jera dan tidak akan menganggunya lagi. Mungkin?            Dua waiters masuk ke ruang ketiga wanita itu membawa nampan berisi makanan pesanan mereka. Jennifer yang melihat makanan telah diletakkan di atas meja merasa bersemangat kembali. Ia sangat menyukai masakan jepang, terutama ramen yang sangat umum di kalangan para remaja ini.            “Oh, iya. Kemana teman priamu itu?” tanya Ruby seraya mengambil ikan salmon mentah. Sementara Jennifer masih memakan ramennya dengan lahap.            “Ah, iya juga. Kenapa kau tidak dengannya saja semalam?” tanya Brittany kemudian.            “Hmmm,” mulut Jennifer masih penuh dengan ramen sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan mereka berdua. “Aku sedang menghindarinya.”            Jawaban to the point Jennifer membuat Ruby dan Brittany berhenti makan dan saling bertatapan.            “Apa maksutnya? Menghindar?” tanya Brittany. Jennifer menganggukkan kepalanya tanpa menoleh pada Brittany.            “Apa ada sesuatu diantara kalian yang belum kami ketahui, Jeny?” tanya Ruby dengan menyebut nama panggilan yang sering Ruby gunakan.            Brittany dan Ruby menunggu Jennifer mengunyah makanannya sampai habis. Ayolah, kenapa dua temannya ini begitu penasaran dengan pria itu? Jennifer tidak habis pikir jika masalah ini membuat kedua temannya itu rela menunggunya makan sampai habis begini. Namun, akhirnya Jennifer ikut berhenti makan dan meletakkan sumpitnya.            “Well, aku akan mengatakan yang sebenarnya.”            Ruby dan Brittany sampai mencondongkan tubuh mereka ke depan agar dapat mendengar suara Jennifer dengan seksama. Jennifer menatap kedua temannya secara bergantian.            “Aku jijik dengannya.” Jennifer mengedikkan bahunya dan melanjutkan kegiatan makannya yang tertunda.            Ruby dan Brittany masih terdiam. Satu detik. Dua detik. Akhirnya, mereka berdua menghela napas pasrah bersamaan. Jennifer terlalu gamblang saat mengatakannya. Padahal, Brittany dan Ruby sudah berharap lebih. Akhirnya, mereka berdua turut menyelesaikan makan mereka dengan diam. *****                               Jennifer sudah berada di rumahnya saat ini. Selesai makan siang tadi, managernya mengantar Brittany pulang dan kini ia sedang menurunkan barang-barang yang dibeli mereka berdua dari bagasi mobilnya.            “Kalau sudah jadi pelampiasan begini, kau sampai tidak memikirkan berapa jumlah uang yang sudah dikeluarkan hanya untuk membeli barang-barang new arrival. Dasar.” Gerutu Ruby yang kemudian duduk di single sofa di seberang Jennifer.            “Hehe, maafkan aku.” Jennifer menampakkan cengiran khas anak kecilnya yang hanya mendapatkan gelengan ‘Dasar Kau’ dari Ruby.            “Kalau begitu, aku kembali ke apartment dulu.” Ruby berpamitan pada jennifer dan jennifer mengantar Ruby sampai depan.            Jennifer kembali masuk ke rumahnya dan merebahkan tubuhnya yang lelah di sofa panjang. Ia menghela napasnya, memikirkan rangkaian peristiwa yang membuatnya lelah. Lelah karena ia harus menjadi wanita kuat. Ia jadi menyesali keputusannya untuk tinggal sendiri seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi, sejak memutuskan untuk menjadi model saat kuliah, ia berniat untuk pindah dari mansion keluarganya karena tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya yang selalu kedatangan wartawan di luar mansion. Sangat menyebalkan.            Baru saja Jennifer hendak memejamkan matanya, bel pintu rumahnya berdering. Jennifer bangun dari tidurnya, berjalan menuju pintu dengan langkah gontainya dan membuka pintu itu. Jennifer mendapati dua orang paruh baya-pria dan wanita yang sedang memunggungi Jennifer. Tentu saja Jennifer mengenali siapa mereka.            “Momm! Dad!” seru Jennifer seraya memeluk kedua orang paruh baya itu yang merupakan kedua orang tuanya. Baru saja ia memikirkan kedua orang tuanya, dan mereka sudah muncul begini membuat Jennifer memeluk mereka dengan erat melepas kerinduan.            “Oh? Miss us so badly, hem?” tanya ayahnya.            Jennifer melepas pelukannya.            “Tentu saja. Siapa yang tidak merindukan daddyku yang cerewet ini.” Jennifer memeluk ayahnya dengan manja sementara ayahnya tertawa dan mengusap puncak kepala Jennifer dengan sayang.            “Ehm! Ehm! Jadi, anakku yang sudah sok mandiri ini tidak merindukan ibu yang sudah melahirkannya, begitu?”            Jennifer dan ayahnya saling berpandangan dan tertawa sebelum melepas pelukannya. “Tentu saja aku juga merindukanmu, mom. Aku selalu rindu kalian berdua.” Kali ini Jennifer memeluk ibunya dengan erat. Seolah beban hidupnya terangkat begitu saja hanya dengan memeluk ibunya seperti ini.            “Tunggu,” ibunya melepas pelukan mereka tiba-tiba membuat Jennifer menatap ibunya bingung. “Hmm, ada yang tidak beres. Kau terlalu berlebihan tidak seperti biasanya, J.” ibunya memicingkan matanya.            Jennifer dibuat gugup. “Kita ‘kan sudah tidak bertemu selama, hmmm, biar kuhitung. 3 bulan? Ah, 6 bulan. Heheh.” Ujar Jennifer asal dengan cengiran khas anak kecilnya. Namun, bukan seorang ibu namanya jika ia tidak mampu merasakan hal aneh pada putrinya sendiri.            “Ayo, kita masuk dulu. Tidak enak bicara di sini. Kita bicarakan di dalam. Dan, Jennifer. Kau tidak boleh menghindar. Mommymu selalu tahu ia memiliki firasat yang benar, dan kau tahu itu, kan?” ayahnya mengajak mereka masuk ke rumah dan duduk bersama di ruang keluarga.            Jennifer hanya mengangguk dan segera masuk bersama kedua orang tuanya. Tak lupa, ia meminta tolong pada salah satu pelayan rumahnya untuk membuat minuman untuk mereka bertiga. Kini, mereka bertiga duduk bersama di sebuah ruang kumpul keluarga. Tak ada yang memulai pembicaraan. Ayahnya hanya duduk menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Sedangkan ibunya, ia menatap lembut Jennifer yang masih menundukkan kepalanya.                            “Jadi?” tanya ibunya setelah pelayan meletakkan minuman di meja dan pergi meninggalkan mereka bertiga untuk berbicara.            “Yaa, hanya masalah seperti biasanya.” Jawab Jennifer santai seolah ia memang terbiasa dengan masalah yang dihadapinya. Tapi, itu memang benar. Semua masalah yang ia hadapi saat ini membuatnya terbiasa.            Ibunya menghela napas. “Mereka lagi, ya?” Jennifer pun menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.            “Jangan khawatir, mom. Aku bisa mengatasinya.”            “Bukan seperti itu, nak. Mereka itu sudah keterlaluan. Orang tuanya macam apa yang membiarkan anak-anaknya sering membully orang lain seperti ini.” Kesal ayahnya.            “Jennifer, ini sudah berapa tahun? Dan mereka masih melakukan hal k**i seperti itu padamu. Memfitnahmu sampai masuk berita? Kau pikir kami tidak khawatir? Selama ini, kami hanay mendengarkanmu karena kau sendiri yang meminta. Tapi, mom tidak yakin apa mom dan dad masih bisa hanya dengan mendengarkanmu saja.” Ibunya menjelaskan sementara Jennifer menatap kedua orang tuanya bergantian.            “Mom, dad. Kalian tahu, aku hanya memiliki kalian, kakak, dan teman-temaku. Ya, walaupun hanya ruby dan Brittany. Tapi, aku sudah merasa cukup dengan kalian yang masih bisa memberiku semangat. Aku hanya membutuhkan kalian. Itu saja. Selebihnya, biar aku yang mengatasinya. Trust me, okay?” Jennifer menampangkan wajah memelasnya memohon kepercayaan lebih dari kedua orang tuanya.            Walaupun masih tidak tega, tapi tidak ada yang bisa Erica lakukan selain memercayainya anak perempuannya itu. Begitupun dengan Darius. Jennifer memang anak perempuan satu-satunya bagi Darius dan Erica. Walaupun begitu, jennifer merupakan anak yang kuat dan pemberani. Jennifer pasti selalu berkeluh kesah pada mereka. Tapi, tetap saja sebagai orang tua, Erica dan Darius masih merasa khawatir pada Jennifer.            Setelah makan siang bersama dan menghabiskan waktu siang hari bersama, Erica dan Darius berpamitan pada Jennifer. Jennifer sendirian lagi di rumahnya. Ia jadi cepat merasa bosan jika sudah begini. Jadi, ia memutuskan unuk pergi ke club semalam lagi. Sebelumnya, ia sudah menghubungi si bartender-yang merupakan orang yang ia percaya di club itu untuk memastikan jika wanita-wanita s****n itu tidak ada di sana malam ini.                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN