'Hwaaa, gimana ini Arda sudah tahu aku.' Nadia kalut dan tak bisa membayangkan kalau Arda menginterogasinya. Dia belum siap mengatakan kalau Aldo adalah suaminya. Arda segera melepas pelukannya, ada kerinduan di mata masing-masing.
"Jadi, siapa suamimu?"
Deg,...
"Maaf, Pak. Saya di sini digaji untuk bekerja bukan ngobrol pribadi," ucap Nadia memberi jarak dengan bersikap formal.
"Yaya, kamu nggak ingat ini kantor siapa? Saya CEO nya."
"Bukan begitu, Pak. Kalau ada yang lihat, ini tidak baik. Bapak juga sudah menikah dan saya juga sudah punya suami." Nadia menunduk takut Arda akan marah. Tapi sebaliknya justru Arda membawa Nadia lagi ke pelukannya.
Ck..krekk,
"Eh maaf, Pak." Seorang karyawan bernama Dini tiba-tiba masuk ruangan Arda dan melihat posisi mereka pasti akan salah paham. Nadia segera mengurai dan membenahi posisinya.
"Ini tidak seperti yang kamu kira, Din." ucap Nadia berusaha menjelaskan, namun Dini hanya tersenyum.
"Kalau masuk ketuk pintu dulu, bisa nggak," teriak Arda.
"Maaf, Pak. Tadi saya sudah ketuk pintu." Dini segera menyerahkan berkas yang diminta dan permisi kembali ke ruangnya. Kesempatan bagi Nadia untuk keluar dari ruangan panas itu mengekori Dini.
"Dini tunggu, apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu kira ya. Jangan beritau karyawan lain," pinta Nadia penuh harap.
"Beres, Mbak. Lagian bos ganteng juga lagi butuh perhatian tuh setelah lama dianggurin istrinya."
"Haah, apa maksudmu."
"Ihhh, Mbak Nadia pengin tau aja?"
"Shutt, Bos lagi ada masalah sama istrinya. Sepertinya mereka akan bercerai." Mereka sudah seperti ibu-ibu yang berbisik-bisik membicarakan gosip hangat.
"Jangan bercanda kamu, Din?"
"Serius, Mbak Nadia cocok kayaknya sama Bos," goda Dini.
"Apaan, aku udah menikah tau. Sudah jangan jadi tukang gosip." Dini hanya menyengir kuda.
"Beneran lho Din, jaga rahasia. Aku nghak mau digosipin jadi pelakor." Dini sudah mengangkat kedua jarinya tanda janjinya.
Drrtt,
Suara interkom berbunyi, Nadia pun mengangkatnya.
"Nanti makan siang ikut aku. Aku tidak menerima penolakan."
"Tapi...,"
"Ishh, Bos menyebalkan. Belum dijawab sudah ditutup."
Siang itu, Arda mengajak Nadia makan siang di sebuah restoran. Dia ada janji dengan klien untuk membahas sebuah proyek.
"Selamat siang, Pak Arda "
"Siang Pak Herman. Mari kita bahas meeting besar kita minggu depan."
"Saya ada usul meeting minggu depan bagaimana kalau dilaksanakan di Dieng. Kebetulan saya punya penginapan di sana. Itung-itung rekreasi untuk karyawan yang bertugas." Tawaran Pak Herman sungguh menarik, Arda seakan bersemangat untuk menyetujuinya. Dia sudah lama berkutat dengan pekerjaan dan butuh refreshing.
Sementara Nadia was-was kalau Arda setuju berarti kemungkinan besar dia juga ikut.
"Ide bagus Pak. Nanti kami siapkan."
"Baik, sampai jumpa lagi minggu depan Pak Arda."
"Terima kasih." Arda menjabat tangan Pak Herman dengan sedikit bisikan dari kliennya itu.
"Sekretarisnya cantik."
Arda hanya mengulas senyum.
"Dia sudah menikah Pak."
Setelah kepergian klien, Arda kembali melanjutkan makan snack dan ngobrol ringan dengan Nadia. Dia ingin melanjutkan obrolan karena mereka lama tak bertemu.
"Ya, kamu kemana aja menghilang."
"Tolong panggil namaku Nadia, Pak."
"Tapi aku suka manggil kamu, Yaya."
"Yaya yang polos dan lugu, sering dibully teman-teman. Huh, mengingatkan kenangan burukku tau nggak." Nadia sudah kesal dan mengomel sendiri membuat Arda terhibur.
"Kenapa malah tertawa. Bapak mengejek saya?" Arda semakin tertawa keras seakan tak pernah merasakan kebahagian seperti kali ini.
"Arda, berhenti. Malu dilihatin banyak orang."
"Biarin aja. Ngapain mikirin orang lain, yang penting kita bahagia berdua disini."
"Kamu yang bahagia, aku yang sengsara kalau suamiku lihat nanti berpikiran macam-macam." Arda hanya bersikap cuek mendengar keluhan Nadia.
"Oya, minggu depan kita menginap di Dieng untuk membahas proyek besar dengan Pak Herman. Persiapkan segala sesuatu yang diperlukan."
"Haah, ke Dieng? Jauh amat Pak. Kenapa nggak cari tempat yang dekat aja sekitar Semarang," keluh Nadia.
"Pak Herman yang nawari, nghak enak kalau ditolak. Lagian sekalian refreshing. Kita bisa punya banyak waktu berduaan, Ya."
Nadia merinding mendengar ucapan terakhir Arda. Dia berpikir gimana meminta ijin Aldo. Apa suaminya mau mengijinkan kalau tau bosnya adalah Arda.
Di meja lain ada semacam pertemuan ternyata guru-guru sebuah SMA yang membahas persiapan acara perpisahan.
Nadia menajamkan pandangan ke arah rombongan itu. Matanya tak berkedip karena melihat ada Aldo diantara orang-orang itu.
'Duh, gimana ini asa Mas Aldo di sini'
"Pak, masih lama? Balik sekarang aja ya."
"Kenapa buru-buru, Ya?"
"Eh, itu sepertinya Aldo. Ayo kita samperin."
Arda menggandeng tangan Nadia namun segera ditepisnya karena takut Aldo bermuram durja nanti sampai rumah.
"Aku bisa jalan sendiri, nggak usah ditarik-tarik," ucap Nadia kesal sekaligus takut ketahuan Aldo kalau dirinya lagi bersa bosnya yaitu Arda.
"Al, disini juga? Aku dah ketemu Yaya ternyata dia..."
Belum selesai ngomong Nadia segera memotongnya.
"Karyawan satu kantor," ucap Nadia yang melirik takut wajah Aldo yang datar tanpa senyum. Padahal biasanya laki-laki itu murah senyum.
"Syukurlah kalau kalian sudah ketemu. Kapan-kapan main ke rumahku Ar, nanti biar dimasakin istriku!" kata Aldo sambil menatap tajam Nadia yang melongo kemudian menunduk.
"Kamu nggak menyapa Aldo, Ya? Kita bertiga dulu kan satu tim." Nadia mencoba bersikap biasa tapi tetap kikuk. Dia memgernyitkan dahinya berharap Aldo tidak marah di depan Arda.
"Hai, Mas Aldo." Arda merasa ada yang aneh kenapa Aldo dan Nadia jadi canggung.
"Kami balik kantor dulu ya, Al. Sampai ketemu."
Aldo mengangguk dan menatap tajam Nadia seakan minta penjelasan. Sedangkan Nadia yang ditatap hanya memberikan sedikit senyum terpaksa.
Sore hari Nadia pulang ke rumah tak mendapati Aldo. Biasanya suaminya itu sudah ada di rumah lebih dulu mengingat jam kerjanya hanya sampai siang sedangkan Nadia sampai sore.
'Mas Aldo kemana ya?' Nadia tampak kawatir kalau Aldo belum pulang karena marah dengan kejadian di resto tadi sewaktu makan siang. Nadia mencoba menelpon tapi hanya nada dering terdengat. Lalu dikirimnya pesan ke HP Aldo.
'Mas dimana? Kok belum pulang.'
Lama Nadia menunggu tak ada balasan. Dia memilih masuk kamar dan membersihkan diri.
Selesai mandi, Nadia keluar masih mengenakan handuk karena lupa tidak membawa baju ganti. Ternyata Aldo sudah ada di kamar sedang berbaring. Nadia segera mencari baju ganti dan mengenakannya di kamar mandi.
'Mas Aldo pasti marah ini, tumben nggak ada candaan sama sekali. Bahkan kondisi begini dia sama sekali nggak tertarik menggodaku,' guman Nadia.
Nadia sudah selesai mengenakan baju piyama motif salur lalu mendekati Aldo.
"Mas, kok baru pulang?"
Hening tak ada jawaban, Nadia bingung mau mulai ngomong darimana. Dia takut memancing kemarahan atau pertengkaran dengan Aldo. Mereka masih tergolong pengantin baru karena ini memasuki bulan keenam pernikahannya. Nadia dan Aldo masih tahap memahami karakter masing-masing dan berusaha menumbuhkan cinta diantara keduanya.
"Mas...," Sekali lagi dipanggilnya dengan lembut oleh Nadia.
"Hmm, aku capek." Nyali Nadia langsung menciut manakala Aldo bersikap dingin seperti itu. Nadia jadi urung meminta ijin bertugas ke Dieng. Dia memang lebih suka suaminya usil daripada diam seribu bahasa. Akhirnya dia memilih memasak untuk makam malam.
Aldo membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. Dia duduk termangu, pikirannya melayang ke kejadian di resto. Dia sejatinya tak ingin membuat istrinya sedih. Namun emosinya sedang naik melihat Nadia bersama Arda hanya berdua makan siang di resto. Apakah hubungan mereka antara bos dan sekretaris? Tapi kenapa Nadia tidak cerita kalau Arda bosnya. Dilihat dari penampilannya saja terlihat kalau Arda adalah seorang atasan. Aldo benar-benar berusaha menahan amarah dengan mendiamkan Nadia. Dia tak ingin menyakiti Nadia dengan perkataannya tatkala sedang emosi. Bukankan sebaiknya seorang dari kalian jika marah, hendaklah ia diam, berpikir dengan kepala dingin.
Aldo memilih mendinginkan pikirannya dulu dengan bersikap diam pada Nadia. Melihat Nadia berkutat di dapur, Aldo memutuskan kembali ke kamar untuk mandi. Saat makan malam tiba, Nadia sudah menyiapkan di meja. Lalu dia memanggil Aldo untuk makan bersama. Suasana di meja makan terasa canggung. Tak ada yang mau memulai pembicaraan, baru setelah selesai makan Nadia memberanikan diri meminta ijin Aldo.
"Mas, minggu depan aku dapat tugas dari kantor."
"Ya kerjakan. Kamu kan digaji untuk bekerja," ucap Aldo sedikit ketus.
"Tapi tugasnya menginap tiga hari."
"Ya nggak masalah kan, cuma di hotel kota Semarang kan?" Nadia menelan salivanya takut pasalnya Aldo mengira dia hanya akan bertugas dalam kota.
"Eh itu Mas, nginapnya di Dieng."
"Apa?" Nada tinggi Aldo membuat Nadia tergelak dan jantungnya berdebar.
"Sama Arda juga?" Aldo menatap tajam Nadia yang menjawab dengan anggukan.
"Ckckk...sudah kuduga."
"Mas jangan salah paham dulu, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Arda."
"Dia itu bos kamu bukan. Kenapa nggak cerita dari awal, hah?"
"Maaf, aku takut Mas Aldo melarangku kerja di sana kalau tau bosnya Arda. Kita kan butuh biaya untuk Bapak."
"Lalu, kenapa juga kamu menyembunyikan pernikahan kita?"
Nadia diam seribu bahasa, tak punya alasan menjawab pertanyaan Aldo. Dia pikir justru Aldo yang malah membantunya menyembunyikan hubungannya. Jadi apa salahnya kalau Arda sementara tidak perlu tau.
"Aku akan cerita ke Arda, Mas Aldo jangan kawatir. Percaya sama aku Mas."
"Ingat kamu boleh berangkat tapi harus bisa jaga diri dan kehormatan. Jangan menghilangkan kepercayaan yang aku berikan," ucap Aldo yang sudah berdiri menuju kamar meninggalkan Nadia.
'Terima kasih, Mas," guman Nadia sedikit bersedih karena sikap Aldo yang tidak lagi hangat. Nadia bertekat menceritakan pada Arda supaya hubungannya dengan Aldo tidak terganggu dengan kehadiran masa lalunya.
Drrt,
Aldo melihat ponsel Nadia berbunyi tertera nomer yang dinamai si Bos. Dia sudah mengira ini Arda, ragu dalam dirinya mau mengangkat panggilan atau hanya didiamkan. Karena Nadia masih membereskan meja makan, Aldo memutuskan mengangkatnya.
"Halo...?"