Nabila (Part 2)

1148 Kata
Kapal berlabuh di dermaga. Nabila, Udin, dan Yosep segera diminta berbaris untuk mendapat instruksi dari Norman. Pria itu berdiri bertolak pinggang di depan mereka, lalu menghela napas berat seolah sedang melepas segala beban kehidupannya. “Jadi… begitu saja latihan yang bisa saya berikan. Sekian. Bubar.” Kemudian pria itu turun duluan dari kapal. “Haha.” Andreas tertawa setelah yakin sang jendral cukup jauh untuk mendengarnya. “Jendral Norman emang orangnya nggak banyak omong. Tapi beliau sangat bisa diandalkan.” “Betul, skill-skill support Jendral Norman itu kelas atas,” timpal Diana. “Nggak kayak Udin. Ah! Maaf ya, bukannya mau ngeledek.” “Iya, iya, Kak, saya paham.” Terus dibuli di sepanjang perjalanan membuat pemuda itu kebal. Kemudian mereka juga turun dari kapal. Setelah sampai di darat, Andreas berjalan cepat mendekati Nabila. “Eh, Nabila, abis ini kamu ada kesibukan, nggak?” bisiknya. “Nggak, Kak,” jawabnya singkat. Ia pikir istirahat di asrama tidak termasuk dalam daftar kesibukan. “Kalau gitu mau nyari kesibukan, nggak? Jalan-jalan sore, misalnya. Atau ngopi—" “Andre! Jangan gangguin Nabila!” Tiba-tiba Diana menarik lengan pria tersebut. “Biarin dia mau istirahat!” “Siapa yang ngeganggu… cuma ngajak jalan-jalan…” protes Andreas. “Inget umur dong, kau itu udah kepala tiga! Masa masih ngincarnya daun muda?” Diana begitu frontal. “Ah! Jangan bawa-bawa umur, kenapa? Lagian yang namanya laki-laki itu semakin berumur justru semakin gagah.” Diana pun menarik Andreas menjauhi Nabila. “Kenapa, sih?!” gumam Andreas sengit. “Jarang tahu ada cewek cakep di sini!” Diana berdecak, tapi bukan karena ia tidak dianggap sebagai ‘cewek cakep’ oleh Andreas. “Nabila itu spesial, sampai-sampai Jendral Saleh merintah langsung Jendral Norman buat ngedampingin latihannya. Kau mau macam-macam?!” desisnya seperti ular. “Oh, iya ya…” Akal sehat Andreas kembali. Nabila penasaran dengan apa yang dibicarakan keduanya, tapi sesuatu lekas menarik perhatiannya. Ada poster-poster yang baru ditempel di area dinding sekitar gerbang. Desain dan perpaduan warnanya dibuat sekenanya, tapi tulisannya masih terbaca. [Malam Pertunjukan Bakat Rekrutan Baru] “Oh iya, sudah waktunya,” ucap Diana saat ia juga melihat poster tersebut. “Apa ini, Kak?” tanya Nabila. “Itu acara yang diadakan tiga bulan sekali. Biasanya rekrutan baru diminta menampilkan pertunjukan yang ditonton tujuh jendral dan seluruh kader partai.” “Ini wajib, Kak?” “Iya, wajib. Tapi nggak usah takut. Tujuannya cuma supaya kader partai senior bisa lebih ngenal junior-juniornya.” “Kak Diana, pertunjukan bakatnya berkelompok apa sendiri-sendiri?” Udin ikut nimbrung. “Kalau itu bebas, bisa kelompok bisa individu.” “Mantep! Mbak Nabila, ayo bikin kelompok!” Nabila hanya mengerutkan kening, “Saya pikir-pikir dulu, ya.” Udin pun kecewa. Ia langsung merangkul Yosep. “Ya udah, kita berdua aja.” Ekspresi Yosep sedikit enggan. Dari situ mereka berpisah. Nabila dan Yosep pulang ke asrama, sementara Udin memilih jalan-jalan. Andreas dan Diana pun mengurusi urusan masing-masing. “Istirahat, ya,” ucap Nabila setelah mengantar Yosep ke kamarnya. Sebenarnya ia ingin menemani anak itu, tapi ia sendiri sedang merasakan lelah—secara fisik maupun mental. Badannya terasa berat. Begitu masuk kamarnya sendiri, ia langsung melempar tubuhnya ke kasur. Kelopak matanya pun terpejam.   ***   Malamnya Udin mengajak Nabila dan Yosep makan di menara kafetaria. Itu adalah struktur bangunan dengan konstruksi yang unik. Bagian bawahnya berupa tiang-tiang penyangga bambu yang sambung-menyambung setinggi hampir dua puluh meter. Mereka harus meniti tangga menuju ke lantai puncak, sebuah area terbuka beratapkan bintang-bintang. Dari sana Nabila bisa melihat hamparan laut dan daratan di sekitar Benteng Somba Opu. Ada meja-meja panjang dan kursi tempat orang-orang santap malam sembari menikmati pemandangan. Barisan lampu lampion warna-warni menggantung dari tiang ke tiang sebagai sumber penerangan. Ada panggung kecil yang terletak di sudut kafetaria dengan beberapa perlengkapan alat musik perkusi. Namun, tidak ada penghibur yang memainkan alat-alat tersebut. “Makan di mana ya…” Udin mencari-cari meja kosong, lalu menemukannya. Ia langsung menunjuk-nunjuk. “Tuh, di sana tuh!” Tetapi kontras dengan lokasinya yang eksotis, para penjelajah di kafetaria tampak lesu. Walau sebenarnya bukan hal aneh bagi Nabila, sebab ia sendiri merasa tak bersemangat. Mereka duduk, kemudian memilih makanan—Item—dari Inventory. Udin mengeluarkan nasi goreng, Yosep nasi dengan telur dadar, dan Nabila mie ayam. Itu adalah ransum yang dibagikan oleh Dapur Umum. “Selamat makan,” ucap Udin sebelum menyantap piringnya dengan ganas. Nabila cuma mengaduk-aduk mienya. Ia mengamati makanan itu lamat-lamat. Tekstur, aroma, kuah, semuanya terlihat seperti asli. Tapi apa itu benar-benar mie ayam? Petugas Dapur Umum membuatnya memakai skematik dan material yang dijatuhkan oleh monster. Apa itu benar-benar mie ayam? Menara ini pun, tidak dibuat oleh tukang, tidak menggunakan semen dan batu bata, juga tidak perlu memperhitungkan kekuatan struktur. Selama ada skematik dan material, mereka bisa membuat bangunan yang terlihat ringkih tapi mampu menahan amukan badai. Absurd. “Kenyang…” Udin menepuk-nepuk perutnya yang membuncit. Ia melihat Nabila masih memainkan makanan. Insting pengamennya yang sejak tadi meronta pun mulai berkecamuk. “Mbak, saya mau nyobain alat-alat di panggung dulu ya.” “Ya.” Nabila mengangguk. Awalnya ia agak risih karena pemuda itu terus mengikuti dan apa-apa selalu minta izin padanya. Padahal Udin bukan pelayan atau asisten pribadinya. Tapi lama-kelamaan ia jadi nyaman punya seseorang yang terus mendampingi seperti itu. “Ikut Om,” ucap Yosep yang penasaran. “Boleh. Sini.” Mereka duduk di panggung. Udin mengambil tamborin lalu memberi salam pembuka. “Selamat malam tuan dan nyonya, maaf mengganggu makan malam anda. Izinkan kami menyampaikan barang sepatah atau dua patah kata lagu untuk menghibur keluh kesah di hati.” Ia mulai memainkan musiknya sambil bernyanyi. “KuTaNyA mAlAm DaPaTkAh KaU lIhAtNyA pErBeDaAn—“ Sebuah tomat pun melayang ke arahnya. “Berisik! Berisik! Suaranya cempreng!” teriak seseorang, diikuti yang lainnya. “Turun! Turun! Huuu!” Namun, mental pemuda itu yang terbiasa mengamen di bawah terik maupun hujan membuatnya tak berkecil hati. Ia terus bernyanyi untuk menyakiti telinga pendengarnya. Lagipula tidak ada orang lain yang mengisi panggung. Nabila menyaksikan sambil berpangku tangan. Selama hampir dua bulan ini ia sudah berjuang keras. Para penjelajah level tinggi pun memasuki Dungeon Makassar setiap hari. Dungeon itu terletak bersebrangan dengan Benteng Somba Opu, sehingga Saleh membangun konstruksi di sekitar dungeon lalu membuat gerbang tambahan yang hanya bisa diakses dari dalam benteng. Tetapi sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda mereka berhasil menaklukan bos penunggu dungeon tersebut. Selama kepergiannya ini, apa yang terjadi di dunia nyata? Bagaimana kabar orang tuanya? Apa ayah dan ibunya sehat? Apa mereka tenggelam dalam kesedihan? Bagaimana perkuliahannya? Padahal sebentar lagi ia lulus. Apa dosennya mau menunggu sampai ia pulang? Bagaimana dengan kontrak-kontrak endorsementnya? Apa managernya sedang pusing karena klien-kliennya meminta refund? Apa yang sedang dilakukan teman-temannya? Apa mereka pergi berlibur tanpa dirinya? Apa followernya di dunia maya mulai melupakannya seiring dengan eksistensinya yang memudar? Sepertinya kegelisahan-kegelisahan itu terpancar jelas dari raut wajah Nabila. Seorang pria menyadari itu lalu berjalan menghampirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN