Dungeon Tutorial (Part 6)

1125 Kata
Dari seratus orang, sekarang tersisa enam puluh. Mereka yang kembali dari Ruangan Terakhir mewartakan pembantaian yang terjadi. Suasana pun mencekam. Jalan buntu telah diraih. Untuk sesaat orang-orang itu memiliki figur pemimpin, tapi mereka kembali seperti anak ayam tanpa induk. Situasi kembali ke titik awal, saat tak ada yang tahu harus berbuat apa. Beberapa cuma duduk-duduk pasrah atau menangis pilu. Yang lainnya meluapkan kemarahan, berteriak pada langit-langit ruangan. Sedikit yang saling menghibur, sedang sisanya berspekulasi bahwa mungkin mereka sudah meninggal dan ini jalan menuju akhirat. Nabila berulang kali menyeka air matanyanya. Erlangga mengusap-usap gadis itu dalam pelukannya. Emosi pemuda itu bercampur aduk. Sedih. Takut. Marah. Benar-benar marah. Aliran darah dalam pembuluhnya mendidih, berdesir-desir. Apa-apaan tempat ini, siapa yang membuatnya? Dunia tanpa aturan, di mana manusia bisa dijagal begitu saja. Cuma membekali senjata kuno, bisa apa di depan monster sebesar itu? Di mana polisi? Di mana tentara? Di mana pemerintah? Tidak ada kah yang akan datang menolong? Apa di luar sana mereka tidak sedang sibuk mencari orang-orang yang hilang? Tiba-tiba terdengar jeritan dari sisi lain ruangan. Beberapa berlarian ke sana. “Ada yang berkelahi! Ada yang berkelahi!” Entah apa sebabnya, dua orang itu saling serang memakai senjata tajam. Yang lainnya berusaha melerai, tapi tak dapat berbuat banyak karena takut tertebas. Kegilaan. Setelah melewati titik keputusasaan, kegilaan menyebar. Terjebak di tempat seperti ini, tidak ada makanan, tapi tersedia banyak senjata yang bisa dipilih. Memangnya apa lagi yang akan terjadi? Kegilaan, tentu saja. Hingga akhirnya semua ditelan oleh hal itu. Erlangga mengerutkan dahinya. Ia tidak mau kegilaan menyebar dan menyentuh dirinya, juga Nabila. Semua ini harus diakhiri. Jika tidak ada polisi, tentara, atau pemerintah, bukankah berarti mereka harus menentukan nasib dengan tangannya sendiri? Ia melepas pelukannya pada Nabila. Gadis itu bertanya, tapi ia hanya menjawab dengan senyum ringan. Selanjutnya ia berjalan, melintasi kerumunan. Ia mengambil sebuah gada, lalu menabuhkannya di perisai paling besar. Klang! Klang! Klang! Klang! Klang! Ia terus melakukannya sampai orang-orang berhenti berkelahi hanya untuk melihat siapa si pembuat kebisingan. “Sudah? Semua sudah lihat ke sini?” seru Erlangga. “Dengar ya, lawan kita yang sebenarnya itu bukan monster tadi, tapi waktu!” Sebuah pernyataan yang berisi teka-teki, membuat orang bertanya, “Maksudnya?” “Menurut kalian apa bakal ada yang datang menolong? Polisi? Tentara?” Tak ada yang berani meyakini hal tersebut. Nyatanya korban sudah berjatuhan tapi belum ada tanda-tanda kemunculan aparat penegak hukum. “Kita di sini sendirian,” lanjut Erlangga. “Sampai kapan? Sampai kita mati kelaparan. Sebab? Memangnya di sini ada makanan?” Saat mendengar hal itu, orang-orang menyadari teror yang sebenarnya. Ghoul Besar tak akan menyerang jika mereka tak memasuki Ruangan Terakhir, tapi perut mereka akan bergemuruh cepat atau lambat. “Lapar, tidak ada makanan, adanya sesama manusia, dan benda tajam,” Erlangga mengeja satu-persatu. “Gila! Gila! Bocah sinting! Kau mau nyuruh kita jadi kanibal?” “Bukan! Bukan saya! Tapi keadaan! Kecuali…” Erlangga mendesah. “Sekarang pilihan kita tinggal dua. Mati kelaparan atau mati saat berjuang.” Sunyi menyergap, ketika semua mencerna maksud kata-kata pemuda itu. “Kalau saya pilih bertarung!” seru Erlangga bergelora. Suaranya berapi-api. “Kalau ujung-ujungnya mati juga, mending bertarung sampai mati daripada kelaparan terus jadi kanibal!” Pemuda itu mengambil sebuah perisai yang paling besar. Ia mengerahkan segenap tenaga untuk mengangkatnya. Bobotnya tak kurang dari sepuluh kilogram. “Aku akan bertarung!” tegas Erlangga sekali lagi. “Aku tahu cara mengalahkan monster itu!” Ketika seseorang terseret arus sungai, ia akan berjuang bagaimanapun caranya, meraih setiap ranting yang tergapai. Dan pada masa keputusasaan seperti ini, kata-kata sang pemuda serasa menjadi cahaya harapan. Seorang wanita paruh baya berjalan maju. Wajahnya kusut, tapi tatapannya hidup. Erlangga mengingatnya, ia adalah wanita yang mencari-cari Nino. Mamanya Nino. “Gimana caranya?” ucapnya. “Kalau dengan menghabisi monster itu berarti aku bisa pulang, akan kulakuin!” Erlangga menjelaskan apa yang ada di pikirannya. Ia paham maksud Gilbert, dan ia sadar memang sistem tempat ini terasa mirip dengan game. Karena itu harusnya mereka bisa mengalahkan Ghoul Besar asalkan tahu tekniknya. Harapan mulai menular, menyalakan tatapan-tatapan yang sebelumnya sudah layu. Satu-persatu mengangkat senjata lagi. “Pakai dua ini saja, tombak dan perisai besar!” ucap Erlangga. “Kita bagi tugas jadi dua, penahan dan penyerang!” Ia mengatur simulasi pertarungan beberapa kali. Andai punya waktu, harusnya mereka berlatih lebih lama. Sayangnya waktu tidak berada di pihak mereka. Siap tidak siap, Erlangga memimpin semua yang mengajukan diri ke Ruangan Terakhir. Di mana Ghoul Besar masih menanti. Sebelum menyebrang, Erlangga menyampaikan pesan terakhir pada tunangannya. “Bilah, tunggu di sini, ya.” Tapi Nabila menggenggam erat tangan Erlangga. Gadis itu menggeleng, maksudnya tak ingin Erlangga pergi. Rasa trauma masih membuatnya sulit bicara. “Aku kan udah janji sama Om Doni buat ngantar kamu pulang,” ia mengelus pipi gadis itu. “Makanya, aku harus ngelakuin ini. Buat mastiin kamu pasti bisa pulang.” Nabila pun melepas pegangannya. Erlangga mengecup keningnya. “Aku juga pasti pulang bareng kamu.” Nabila mengangguk. Dan rombongan itu pun berbaris rapi melintasi jembatan. Erlangga memimpin dengan perisai besarnya. Sang monster berdiri sendirian di tengah lapangan. Jasad-jasad di sekitarnya sudah tidak ada, mungkin dilempar ke jurang. Tapi bercak darah di lantai masih tersisa jelas. Makhluk itu menggeram kala melihat Erlangga. Keduanya bagai musuh lama yang bertemu lagi untuk menentukan siapa yang terbaik. “NGRRRRRHHH” Ghoul Besar menggeram lagi. “Apa? Apa, hah?!” balas Erlangga, diikuti yang lain. “Habis lu sekarang!” Begitu mereka menapak lapangan, pemuda itu memberi aba-aba, “Pasang formasi!” Di saat yang sama, Ghoul Besar berlari ke arah mereka. “Dia datang!” Erlangga berdiri paling depan, mengangkat perisainya. Ghoul Besar mengayun cakarnya. Erlangga mempersiapkan diri untuk tumbukan tersebut. Kuku-kuku sang monster menghantam logam perisai Erlangga. Perisainya tidak hancur. Erlangga masih berdiri. Ia tersenyum lebar. Benar dugaannya, siapapun yang membangun tempat ini takkan memberi senjata tanpa alasan. Mereka tak akan memberi perisai apabila tak bisa digunakan menahan serangan. Kesalahan Gilbert adalah mencoba menahan serangan menggunakan tombak, yang tentu saja akan hancur seketika. “Formasi!!!” Pengguna perisai lainnya merapatkan barisan di kanan dan kiri Erlangga. Mereka mengangkat pelindungnya tinggi-tinggi. “Tombak!!!” Lalu dari celah-celah di antara mereka, mata-mata bilah tombak terhunus melukai sang monster. Bar Hit Point makhluk itu berkurang. Strategi Erlangga bekerja. Pemuda itu gemar menonton film, dan ia ingat ada satu taktik yang menjadi primadona dalam peperangan era Yunani Kuno. Phalanx. Di mana prajurit berbaris rapi sambil mengacungkan tombak panjang ke depan. Hal itu membuat musuh tak bisa mendekat, dan apabila nekad makan akan habis tertusuk. Ghoul Besar berganti target. Ia menyerang orang di samping Erlangga, tapi perisainya memantulkan serangan tersebut. Selanjutnya sebuah tombak dihunuskan ke dadanya. Berhasil. “Kali ini kita nggak akan kalah,” seru Erlangga pada sang monster. “Kau yang akan habis!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN