FOTO DAN NIKAH PALSU

1850 Kata
Studio foto memantulkan cahaya pagi seperti panggung yang sudah menunggu pemeran utamanya. Begitu lift terbuka, aroma parfum segar dan kain kostum menyambut dengan hangat. Ruangan luas itu dipenuhi bayangan lampu studio yang sedang diuji satu per satu, membuat setiap sudut tampak hidup. Eleanor sudah berdiri tepat di depan pintu. Tablet berada di tangannya dan gerakan matanya tegas dan terlatih. “Semua set sudah siap, Pak Alvaro. Gaun untuk Mbak Naya ada di ruang rias. Kru sudah diberi instruksi agar fokus bekerja.” Alvaro mengangguk ringan. “Arahkan Naya.” Naya mengikuti stylist menuju ruang rias. Cermin besar di sana memantulkan cahaya lembut yang membuat ruang kecil itu seperti sarang aman sementara dari hiruk pikuk studio. Stylist mengangkat gaun satin putih yang elegan dengan hati-hati. Kainnya jatuh seperti air bening, memantulkan kilau halus. “Silakan dicoba, Mbak. Kami sudah sesuaikan ukurannya,” kata stylist itu. Naya mengenakannya. Gaun itu melingkari tubuhnya tanpa berlebihan, menguatkan bentuk bahu dan pinggang secara natural. Sang stylist merapikan rambut Naya dan menambahkan riasan tipis, membuat wajahnya lebih cantik dan anggun tanpa kehilangan kesederhanaan. Ketika Naya keluar, Alvaro sudah menunggu di sisi koridor. Tuxedo hitamnya menyatu dengan tubuh tingginya. Ia menurunkan pandangan perlahan, mengamati dari kepala hingga ujung gaun sebelum berhenti pada wajah Naya. “Gaunnya pas,” ucapnya. “Stylist-nya memang keren,” jawab Naya pelan. “Kita mulai.” Mereka memasuki studio. Lampu menyala terang dan para kru segera memberi ruang. Suasana menjadi tenang seketika, seperti ruangan itu paham siapa yang sedang masuk. Seorang kru perempuan datang membawa clipboard. “Pak Alvaro, Mbak Naya, kalau ada yang kurang nyaman silakan beritahu.” Naya mengangguk sopan. “Terima kasih.” Fotografer memanggil mereka ke tengah studio. “Kita mulai dari pose berdampingan. Mbak Naya di kanan, Pak Alvaro setengah langkah maju.” Naya menyesuaikan langkah. Alvaro berdiri di sampingnya, jaraknya dekat dan auranya menekan tanpa perlu usaha. Ia tidak menyentuh, namun kehadirannya memenuhi area pribadi Naya. “Lihat kamera,” ucap fotografer. Shutter berbunyi beberapa kali. “Sekarang lihat satu sama lain.” Naya memutar wajahnya. Tatapan Alvaro menyambut, tenang, dingin, dan terukur. Ada sesuatu yang menebal di antara mereka, sesuatu yang belum memiliki nama tetapi terasa bergerak. Shutter kembali terdengar. “Pose berikutnya. Mbak Naya, letakkan tangan kanan di d**a Pak Alvaro.” Naya perlahan menempelkan tangannya pada d**a tuxedo itu. Kainnya dingin, namun panas tubuh Alvaro terasa menembus lapisan tersebut seperti arus kecil yang diam-diam masuk ke kulitnya. Pria itu tidak bergeser, hanya mengatur napas sedikit lebih dalam. “Pak Alvaro, condong sedikit ke depan.” Ia melakukannya. Wajahnya turun mendekati wajah Naya. Jarak itu terlalu dekat bagi dua orang yang baru kemarin menandatangani kontrak pernikahan. Namun fotografer justru tampak puas. “Bagus sekali. Untuk terakhir, kecup kening.” Naya menahan napas sepersekian detik. Alvaro mengangkat tangan, menyentuh sisi wajahnya dengan gerakan yang sangat terlatih. Tidak ada ragu, tidak ada gentar, hanya sentuhan presisi. Ia menunduk mengecup kening Naya dengan tekanan lembut yang terasa seperti tanda kepemilikan yang dibungkus profesionalitas. Kru di sekitar mereka sempat terpaku. “Sesi selesai,” ujar fotografer akhirnya. Naya hendak berbalik menuju ruang ganti, tetapi suara Alvaro menghentikannya. “Jangan lepaskan gaunnya.” Naya menoleh. “Masih ada sesi tambahan?” “Tidak. Kita pergi ke kantor catatan sipil.” Naya berhenti total. “Sekarang?” “Ya.” Alvaro mendekat dan gaun Naya bergerak halus tertiup langkahnya. “Kontrak ini harus dicatat resmi. Saya tidak memberikan celah bagi siapa pun untuk meragukan status kita.” “Berarti kita menikah sungguhan,” ucap Naya pelan. “Ya. Secara hukum, sembilan puluh hari.” Alvaro menaikkan dagu sedikit, mengamati ekspresi Naya seakan membaca halaman buku. “Setelah itu kita berpisah.” “Bagian dari kesepakatan, saya mengerti.” Jari Alvaro terangkat singkat, menyentuh dagu Naya seolah memastikan perempuan itu tidak berbohong. “Pastikan kamu memahami konsekuensinya.” “Saya mengerti.” Ada jeda hening yang terasa seperti benang yang ditarik perlahan, hampir putus namun tidak jadi. “Kita berangkat,” kata Alvaro. Kru menyingkir memberi jalan. “Terima kasih, Mbak,” ucap salah satu kru pada Naya. “Kerja bagus semuanya,” ujar Alvaro. Suaranya tetap tegas namun cukup hangat untuk membuat seluruh ruangan merasa dihargai. Mereka menuju lift. Gaun Naya berayun perlahan setiap langkahnya. Alvaro berdiri sangat dekat di dalam lift sehingga ruang itu serasa mengecil. Pantulan mereka di dinding lift terlihat seperti pasangan yang sedang menuju hari besarnya. Padahal hanya dua orang yang menjalankan kesepakatan. “Seberapa cepat prosesnya nanti?” tanya Naya saat mereka memasuki mobil. “Kalau pak kepala dinas sudah menunggu, dua puluh menit,” jawab Alvaro. “Kita sudah janjian sebelumnya?” “Saya tidak melakukan sesuatu sebelum memastikan.” Mobil bergerak keluar dari basement. Gedung-gedung tinggi berdiri memantulkan cahaya kaca yang membuat kota tampak seperti labirin modern. Naya memandangi bayangan dirinya di jendela. Gaun putih itu membuatnya terlihat seperti seseorang yang sedang dengan sadar melangkah ke hidup baru, bukan seseorang yang melarikan diri dari masa lalu. Alvaro memutar wajah, memperhatikan kontur wajah Naya. “Kamu diam.” “Saya sedang berpikir.” “Pikirkan apa?” Naya menelan napas. “Tentang bagaimana hidup saya berubah dalam empat puluh delapan jam.” Alvaro tidak tersenyum. Namun nada suaranya merendah sedikit. “Perubahan kadang lebih aman dibanding diam di tempat.” Mobil berhenti di depan kantor catatan sipil pusat. Bangunan itu tidak besar namun bergaya minimalis. Halamannya sepi, hanya terlihat beberapa petugas yang sudah menunggu. Begitu Alvaro turun, mereka langsung menundukkan kepala. “Pak Alvaro, semuanya sudah disiapkan.” “Terima kasih.” Naya turun dari mobil. Angin sore membuat kain gaunnya bergerak lembut. Ada dua pasang mata petugas yang tampak terkejut melihat Naya mengenakan gaun seperti itu, seolah mereka tidak menyangka Alvaro benar-benar akan datang dengan calon istri yang tidak pernah masuk berita. “Silakan ikuti kami,” ujar kepala dinas. Mereka memasuki ruangan yang bersih dan tenang. Berkas-berkas sudah ditata, pena sudah disiapkan, dan saksi sudah menunggu. Alvaro berdiri di samping Naya, tubuhnya tenang seperti figur pahatan. “Kita mulai,” katanya pelan. Naya menarik napas dalam-dalam. Kepala dinas mengatur dokumen di meja, “Semua berkas sudah sesuai permintaan, Pak Alvaro. Tinggal tanda tangan dari kedua pihak dan saksi.” “Baik,” jawab Alvaro tanpa banyak komentar. Naya berdiri di sampingnya. Gaun putih itu tampak kontras dengan kesederhanaan ruangan. Tiba-tiba ia merasa aroma parfum Alvaro lebih kuat, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih keras daripada sebelumnya. Bukan gugup. Lebih seperti antisipasi yang tidak bisa ia definisikan dengan jelas. Kepala dinas menatap keduanya dengan sopan. “Kalau sudah siap, kita mulai.” Alvaro mengulurkan tangan pada Naya. Gerakannya tidak dramatis, tidak romantis, tapi ada makna di baliknya. “Ke sini,” katanya pelan. Naya menempatkan dirinya setengah langkah lebih dekat. Tangan Alvaro menyentuh pinggang gaunnya untuk menuntun langkah, sentuhan ringan yang tidak seharusnya berarti apa pun namun tetap terasa menembus kulitnya. “Pertama, verifikasi data,” ujar kepala dinas sambil memeriksa berkas. Ia membaca nama lengkap Naya, tanggal lahir, alamat, lalu mengangguk pada Alvaro. “Semua sudah cocok. Silakan duduk.” Naya duduk terlebih dahulu. Gaun itu mengembang ringan di kursi. Alvaro duduk di sampingnya dengan posisi tubuh tegap dan netra yang tetap tenang. Ketika pulpen diletakkan di depannya, Naya menatapnya sebentar. “Ini… cepat juga.” “Kita tidak boleh membiarkan celah,” jawab Alvaro. “Pesaing tidak tidur.” Naya mengangguk. “Baik.” Ia mengambil pulpen itu dan tangan Alvaro tiba-tiba menahan punggung tangannya. Tidak keras. Tidak menekan. Hanya menahan. “Naya.” “Ya?” “Setelah ini, kamu resmi menjadi istri saya selama sembilan puluh hari. Kamu perlu tahu satu hal.” “Apa itu?” Alvaro mencondongkan tubuh sedikit. Tatapannya lebih dalam, seperti sedang membaca sesuatu di balik wajah Naya. “Saya tidak pernah mengizinkan siapa pun mengacak-acak hidup saya. Termasuk orang yang mungkin muncul dari masa lalu kamu.” Naya menahan napas. “Kamu mengantisipasi sesuatu?” “Ada seseorang yang memantau kita saat keluar dari gedung studio tadi. Mungkin orang yang semalam datang ke acara.” Alvaro memperhatikan perubahan kecil pada wajahnya selama beberapa detik, namun sialnya tidak terbaca. Dia tidak bisa menerka apakah Naya gugup atau tenang. Semua begitu datar. “Kita lanjutkan,” ujarnya mengalihkan. Naya menandatangani berkas itu. Tanda tangannya tampak tegas, jauh lebih mantap daripada perasaannya. Kepala dinas mengambil dokumen yang sudah terisi tanda tangan Naya lalu meletakkannya di depan Alvaro. “Pak Alvaro, silakan.” Alvaro mengambil pulpen. Jemarinya stabil bahkan cara ia menulis tampak seperti gerakan seseorang yang sudah dilatih menangani keputusan besar setiap hari. Alvaro akhirnya menandatangani. Begitu garis tinta terakhir selesai, kepala dinas tersenyum sopan. “Dengan ini kalian resmi terikat dalam pernikahan yang sah menurut hukum.” Naya mendadak menyadari napasnya kembali, seakan ia menahan sama sekali tanpa sadar. Alvaro berdiri dan menutup map dokumen itu. “Kita selesai.” Namun kepala dinas tampak ragu sejenak. “Ada… satu hal, Pak Alvaro. Maaf sebelumnya.” Alvaro menatapnya penuh perhatian. “Apa?” “Mobil hitam yang tadi mengikuti rombongan Anda… masih berada di luar pagar.” Naya menegang pelan. Alvaro mengangkat dagunya sedikit. “Plat nomor?” “Kami tidak sempat mencatat lengkap, tapi… pengemudinya tidak turun dari mobil.” Alvaro mengulurkan tangan ke pinggang Naya, memiringkan tubuh perempuan itu mendekat tanpa terlihat kasar. Gerakan itu lebih seperti tindakan instingtif yang melindungi. “Mulai sekarang kamu tetap dekat saya.” Naya menelan napas. “Kalau orang itu hanya—” “Saya tidak peduli masa lalu kamu. Yang penting, selama sembilan puluh hari ini kewajiban saya untuk melindungi kamu agar urusan saya terkendali dan sesuai rencana.” Petugas saksi tampak saling memandang bingung, tidak tahu harus berkata apa. Alvaro menatap mereka sebentar. “Terima kasih atas prosesnya.” Ia menggenggam tangan Naya dan membawanya keluar ruangan. Langkahnya cepat namun tetap terkontrol. Begitu mereka keluar gedung, angin sore menyentuh wajah Naya. Di balik pagar, mobil hitam itu masih diam. Tinted window. Tidak terlihat siapa di dalam. “Naik,” ujar Alvaro sambil membuka pintu mobil untuk Naya. “Kalau itu orang yang saya kenal, saya bisa bi—” “Kamu di dalam mobil,” potong Alvaro. Nada itu tidak marah, namun cukup kuat untuk membuat siapapun tidak membantah. Naya masuk. Alvaro memutari mobil dan duduk di sampingnya. Supir profesional di depan langsung menangkap isyarat lewat kaca spion. “Ke rute kedua,” ucap Alvaro. Mobil bergerak. Naya menatap pria di sampingnya. “Kalau memang ada seseorang yang mengikuti, apa dugaanya selalu mengarah ke masa lalu saya?” “Bisa siapa saja.” Alvaro tetap memandang ke depan. “Bisa juga dari saya. Pesaing bisnis. Orang yang mengincar merger atau seseorang dari hidup kamu termasuk orang semalam. Rizal.” Naya mengepalkan jari. “Saya tidak menyembunyikan apa pun.” “Saya tahu kamu tidak berbohong,” jawab Alvaro dengan tenang. “Tetapi seseorang jelas memperhatikan kita.” Gaun Naya berdesir lembut ketika mobil berbelok. Alvaro menundukkan wajah sedikit, seakan ingin memastikan perempuan itu benar-benar baik-baik saja. “Mulai hari ini,” ujar Alvaro pelan tapi tegas, “kamu adalah istri saya. Tiga bulan atau tiga hari. Dan selama status itu melekat, kamu berada dalam perlindungan penuh saya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN