Udara Jakarta belum terlalu panas ketika Naya menyelesaikan packing barang-barangnya di apartemen kecilnya. Ia memasukkan pakaian seperlunya ke dalam koper hitam yang sudah lama ia bawa ke mana-mana setiap kali harus menghilang dari satu tempat ke tempat lain. Ruang itu sempit, tetapi penuh kenangan tentang pelarian dan keheningan panjang yang selalu ia pakai untuk bertahan.
Jam menunjukkan pukul tujuh lewat empat belas ketika seseorang mengetuk pintu apartemen. Ketukan itu tidak keras, tetapi teratur, seolah orang yang mengetuk memiliki kesabaran yang telah dilatih bertahun-tahun.
Naya membuka pintu.
Alvaro berdiri di sana dengan kemeja biru gelap dan coat panjang yang membuatnya terlihat seperti seseorang yang sudah siap menghadapi tekanan apa pun. Dua pengawalnya menjaga dari kejauhan, namun tetap cukup dekat untuk memantau.
“Kamu sudah siap?” tanya Alvaro.
Naya mengangguk. “Hanya membawa satu koper.”
Alvaro menurunkan pandangan ke koper itu. “Ringkas sekali.”
“Saya tidak punya banyak.”
Alvaro menggeser tubuh sedikit agar memberi ruang. “Ayo. Kepala keamanan saya menunggu di mobil.”
Naya keluar dari apartemen dan menutup pintu dengan satu tarikan. Ia sudah berniat tidak kembali ke sana lagi. Tempat itu terlalu mudah ditemukan, seperti yang sudah terbukti ketika pria berjaket hitam muncul semalam.
Ketika mereka berjalan menuju lift, Alvaro memperhatikan cara Naya melangkah. Ia berjalan tanpa tergesa, namun juga tidak tampak waspada meskipun jelas ia sedang dikejar seseorang. Ketidakpedulian itu bukan sikap berani, melainkan kebiasaan seseorang yang terlalu sering menghadapi ancaman hingga kehilangan kemampuan merasa takut.
Lift terbuka. Alvaro masuk bersama Naya. Begitu pintu tertutup, suara langkah orang-orang dari lorong menghilang. Ruang dalam lift terasa sempit, tetapi bukan karena jaraknya. Atmosfer di antara mereka membuat ruangan seakan mengecil.
“Semalam ada seseorang mencarimu di kedai kopi,” kata Alvaro sambil menatap pantulan Naya di dinding lift.
Naya menjawab tanpa menoleh. “Saya tahu.”
“Dia siapa?”
“Saya tidak tahu namanya. Tapi saya tahu siapa yang mengirim.”
Alvaro berbalik menatapnya. “Siapa?”
Naya terdiam lama, seolah mempertimbangkan apakah ia perlu memberi tahu. Tanpa mimik, tanpa gelisah, namun juga tanpa keinginan menutup-nutupi.
“Ada seseorang yang dulu saya kenal. Dia percaya saya miliknya. Saya pergi tanpa penjelasan, dan dia tidak suka itu.”
“Mantan?” tanya Alvaro.
“Tidak.”
“Kerabat?”
“Tidak.”
“Lalu siapa?”
“Kamu tidak perlu tahu untuk saat ini,” jawab Naya, nadanya tetap stabil. “Yang penting dia tidak boleh menemukan di mana saya tinggal setelah ini.”
Lift terbuka dan mereka melangkah keluar menuju parkiran basement. Alvaro tidak melanjutkan pertanyaan, tetapi pikirannya bergerak cepat. Ia tidak suka seseorang menyembunyikan informasi yang jelas mengancam keselamatan orang yang berada dalam kontraknya. Namun ada sesuatu pada Naya yang membuatnya tidak bisa memaksa terlalu cepat. Ia seperti puzzle yang salah satu bagiannya hilang, dan memaksanya hanya akan memecahkan keseluruhan gambarnya.
Ketika mereka mendekati mobil hitam besar di ujung parkiran, salah satu pengawal membuka pintu belakang.
“Silakan, Bu Naya,” ucapnya sopan.
Naya naik ke dalam mobil, Alvaro menyusul. Begitu pintu ditutup rapat, mobil bergerak naik ke jalan raya dengan pengawalan kendaraan lain di belakangnya.
Perjalanan berlangsung beberapa menit dalam diam sebelum Alvaro akhirnya membuka suara.
“Ada yang ingin saya tegaskan sebelum kamu tinggal di rumah saya.”
“Apa?”
“Mulai hari ini, apa pun yang mengancam kamu berarti mengancam saya juga. Kontrak kita tidak hanya soal tampil bersama. Saya bertanggung jawab atas keamanan kamu selama tiga bulan.”
Naya menatap keluar jendela. “Saya tidak ingin membebani siapa pun.”
“Kamu tidak membebani.” Suara Alvaro terdengar rendah, namun tegas. “Saya memilih kamu. Itu artinya saya menerima risikonya.”
Kata-kata itu membuat Naya sedikit menoleh. Tidak banyak, hanya beberapa derajat. Tetapi itu cukup untuk menunjukkan bahwa ia mendengarkan.
“Kalau begitu,” ucapnya pelan, “jangan biarkan siapa pun yang mengejar saya mendekat.”
Alvaro menatap wajah Naya dari samping. “Tidak akan. Selama kamu berada di bawah kontrak saya, tidak ada seorang pun yang berani menyentuhmu.”
⸻
Mobil berhenti di depan gerbang rumah Alvaro. Rumah itu besar, berlapis kaca dan batu hitam yang memantulkan cahaya matahari. Namun yang membuatnya berbeda dari rumah para CEO lainnya adalah sistem keamanannya. Ada kamera di setiap sudut, dua pos penjaga, dan akses pintu yang hanya bisa dibuka dengan verifikasi wajah.
Ketika gerbang terbuka, Naya memperhatikan semua itu tanpa komentar. Tidak ada kekaguman atau rasa canggung, hanya observasi.
Alvaro turun terlebih dahulu. “Ayo. Saya tunjukkan kamar kamu.”
Naya mengikuti sambil membawa kopernya. Dua staf rumah langsung menghampiri, namun Alvaro mengangkat tangan agar mereka mundur.
“Biarkan dia membawa sendiri.”
Staf itu menunduk dan kembali ke posisi masing-masing.
Naya sempat melirik Alvaro. “Saya tidak keberatan kalau mereka membantu.”
“Saya tahu. Tapi saya ingin mereka terbiasa bahwa kamu berada di sini bukan sebagai tamu yang bisa diperlakukan seenaknya.”
Naya tidak menanggapi dan terus berjalan menaiki tangga. Alvaro berjalan di sisinya, menjelaskan tata letak rumah, ruangan mana yang bisa ia akses, dan mana yang harus tetap tertutup.
Begitu sampai di lantai dua, Alvaro membuka pintu kamar yang luas namun sederhana. Tempat tidur besar, lemari pakaian, rak buku, serta jendela besar yang menghadap taman belakang.
“Ini kamar kamu,” kata Alvaro.
Naya masuk dan mengamati ruangan. “Tenang.”
“Kalau kamu butuh sesuatu, tinggal beri tahu.”
Naya menaruh koper di lantai dan membuka resletingnya. Ia mulai menata pakaian, menyimpan beberapa kaus ke laci, dan menggantung satu-dua pakaian kerja di lemari. Alvaro memperhatikannya dari ambang pintu.
“Kamu terbiasa berpindah-pindah ya,” ucap Alvaro.
Naya berhenti sejenak. “Kenapa Anda berpikir begitu?”
“Cara kamu mengemas barang. Tidak banyak, tapi semuanya esensial. Pakaianmu juga mudah dilipat cepat. Dan kamu tidak membawa barang personal sama sekali.”
Naya menutup koper. “Barang personal hanya membuat saya sulit pergi.”
Alvaro menyandarkan bahu ke dinding. “Kenapa kamu harus sering pergi?”
Naya menatapnya langsung untuk pertama kalinya sejak mereka tiba di rumah.
“Karena ada orang yang tidak berhenti mencari saya.”
Alvaro merasakan ada sesuatu yang berbeda di mata Naya pada detik itu. Bukan emosi, tetapi ketegasan yang mengisyaratkan bahwa hidupnya tidak pernah stabil sejak dulu.
Belum sempat ia bertanya lagi, pintu kamar diketuk oleh kepala keamanan pribadi Alvaro.
“Pak, kami mendapat rekaman CCTV dari apartemen ibu Naya tadi malam. Ada seseorang yang mengintai di lorong. Orang yang sama juga muncul di kamera parkiran pagi ini.”
Alvaro menegang. “Tunjukkan.”
Kepala keamanan mengeluarkan tablet dan memutarkan rekaman. Terlihat pria berjaket hitam dari kedai kopi malam sebelumnya. Ia berdiri di ujung lorong lantai apartemen, memperhatikan unit Naya selama beberapa menit sebelum pergi.
Alvaro menatap rekaman itu tanpa berkedip.
“Apakah dia mengikuti mobil kita tadi?” tanya Alvaro.
“Kami tidak melihat kendaraan yang sama, Pak. Namun kemungkinan besar ia tahu ibu Naya sudah menghilang dari apartemen.”
“Perketat keamanan dari luar,” perintah Alvaro. “Gunakan protokol darurat.”
Kepala keamanan mengangguk dan pergi.
Naya berdiri diam, tangannya memegang tepi koper yang sudah kosong.
Alvaro mendekat. “Kamu tidak perlu takut. Dia tidak akan menyentuh kamu.”
“Saya tidak takut,” jawab Naya. “Saya hanya tidak ingin siapa pun jatuh dalam masalah karena saya.”
“Naya,” Alvaro menatap matanya lebih dalam, “kamu ada di sini bukan untuk menambah masalah. Kamu di sini karena saya memilih kamu. Itu artinya apa pun yang mengejar kamu sekarang adalah urusan saya juga.”
Naya menelan napas pelan, namun tidak menunjukkan gestur lain. “Kalau begitu saya akan berusaha tidak mengganggu rutinitas rumah ini.”
“Kamu tidak mengganggu.”
Alvaro mendekat sedikit, suaranya menurun. “Kamu justru membuat rumah ini lebih… terarah.”
Ucapan itu membuat Naya berbalik dan berjalan ke jendela. Ia membuka tirai dan menatap taman belakang rumah, membiarkan cahaya masuk ke ruangan. Alvaro memperhatikan cara ia berdiri, tidak kaku namun juga tidak santai. Ia seperti seseorang yang hidup di antara kewaspadaan dan kebiasaan bertahan.
“Kapan saya harus mulai peran sebagai istri kontrak?” tanya Naya.
Alvaro mendekat sampai berdiri beberapa langkah di belakangnya. “Malam ini ada makan malam bisnis bersama calon mitra. Kamu akan hadir sebagai istri saya.”
Naya mengangguk. “Baik.”
“Kamu tidak perlu berpura-pura romantis,” tambah Alvaro. “Cukup berjalan di sisi saya. Sisanya saya yang urus.”
Naya menatap pantulan Alvaro di kaca jendela. “Anda yakin bisa mengatur semuanya?”
“Selama kamu berada di samping saya, ya.”
Naya tidak menjawab. Namun ia menatap kaca lebih lama daripada biasanya, seolah sedang mempelajari bayangan Alvaro.
Ketika ia akhirnya berbalik, ia menatapnya tanpa jeda.
“Kalau seseorang mencoba masuk ke rumah ini… apa Anda akan menghentikannya?”
Alvaro mengangkat wajah sedikit, memastikan Naya melihat keseriusannya.
“Saya tidak hanya akan menghentikannya,” ucapnya perlahan. “Saya akan memusnahkan siapa pun yang berniat melukai kamu.”
Naya tidak berkedip.
Namun kali ini, napasnya berubah sedikit.
Sangat kecil.
Hampir tak terlihat.
Tetapi bagi Alvaro, perubahan sekecil itu sudah cukup menunjukkan satu hal.
Untuk pertama kalinya, Naya merasa sedikit… aman.
Dan rasa aman itu adalah awal dari sesuatu yang bisa berubah menjadi jauh lebih berbahaya daripada ancaman yang mengejarnya.