Bab 3

2048 Kata
"Aku dengar kemarin ada seorang pencari bakat mengunjungi restoranmu?" Adam mengangkat wajah, menatap Alicia yang duduk di depannya. Gadis itu berkata tanpa menatap ke arahnya. Pandangan Alicia lurus ke depan. Ke arah langit senja yang memancarkan semburat jingga di ufuk barat. Alicia memang sangat menyukai senja dan gerimis, apalagi senja bertabur gerimis. Pesona Adam pun akan luntur kalau sudah berhadapan dengan dua hal itu. "Yeah." Adam mengangguk. Mata birunya lekat menatap Alicia yang tak juga memalingkan muka padanya. Sungguh, Adam benar-benar angkat tangan pada senja. "Pencari bakat itu berasal dari LA. Dia menawariku untuk bergabung, tapi aku menolaknya. Aku masih memikirkannya." Alicia memalingkan wajah cepat menatap Adam. Jadi, Adam berniat meninggalkan kota ini? Lalu, bagaimana dengan hubungan mereka? Adam yang melihat pergerakan dan air muka Alicia segera meralat ucapannya. Rasanya ia tahu apa yang dipikirkan gadisnya. "Hei, aku tidak bilang kalau aku menyetujuinya." Adam meraih Alicia ke dalam pelukannya. Mengusap pipi mulus kemerahan itu lembut menggunakan ibu jarinya. "Aku mengatakan akan memikirkannya, itu saja." "Tapi kau memberi orang itu harapan dengan mengatakan akan memikirkan tawarannya," sanggah Alicia. Adam menggeleng. "Aku tidak menyetujuinya, Alicia. Aku sudah menolaknya. Yeah, tawarannya memang sangat menggiurkan, tapi untuk sekarang aku tidak tertarik." Adam mengangkat bahu. "Sungguh?" tanya Alicia was-was. Ia takut kalau Adam menyetujui tawaran itu. Adam terlihat sangat tertarik, sampai-sampai Adam tidak menceritakan perihal pencari bakat itu padanya kemarin. Padahal mereka bertemu seperti biasa, karena hujan sudah reda sore itu. Alicia sangat takut Adam pergi dari kota ini dan meninggalkannya. Adam segalanya untuknya. Adam mengangguk. "Iya," jawabnya yakin. Alicia memejamkan mata, menikmati usapan lembut ibu jari besar Adam di pipinya. "Jangan pergi," bisik Alicia dengan suara bergetar. "Jangan tinggalkan aku." Adam tersenyum. Semua hal yang dikatakan Alicia selalu membuat hatinya menghangat. Alicia bukan gadis yang bertele-tele dalam mengungkapkan perasaan. Alicia selalu jujur dan mengatakan apa yang dirasakannya saat itu. Itu merupakan salah satu hal yang membuat Adam tergila-gila pada Alicia, di samping hal-hal lain yang sama menariknya tentu saja. Adam menundukkan kepala, menyatukan kening mereka. "Tentu saja," sahut Adam. "Aku tidak akan pernah bisa jauh darimu, Alicia. Aku mencintaimu. Ah bukan! Tapi aku tergila-gila padamu!" Perkataan Adam yang penuh penekanan tak membuat Alicia membuka mata. Bahkan gadis itu semakin memejamkan matanya merasakan sapuan lembut bibir Adam di bibirnya. Alicia membalas sesaat begitu bibir Adam bergerak melumat bibirnya. Hanya beberapa detik, Alicia mendorong d**a Adam pelan dan melepaskan tautan bibir mereka. Adam yang tak puas berusaha mencium bibir merah itu lagi, tak peduli Alicia yang menghindar Adam kembali menciuminya. Sampai gadis itu memukul dadanya karena hampir kehabisan napas. Adam sangat suka melihat wajah Alicia yang memerah setelah mereka berciuman. Menurutnya Alicia sangat menggemaskan dan menggairahkan dalam waktu bersamaan. Adam membingkai wajah memerah Alicia dengan kedua telapak tangan besarnya. "Maafkan aku, tapi aku sangat suka melihat wajahmu seperti ini." Alicia tidak meresponnya. Gadis itu masih sibuk mengisi paru-parunya dengan udara. "Kau sangat menggemaskan," bisik Adam di telinga Alicia. "Juga sexy." Alicia tak menjawab. Gadis itu malah menjatuhkan kepalanya ke d**a Adam. Membiarkan Adam memeluknya erat dan menciumi pucuk kepalanya. "Jangan lagi!" Alicia mendongak. Tangan kirinya memukul d**a bidang itu pelan. "Aku hampir kehabisan napas." Adam tak menjawab, pemuda itu hanya mengangguk. Adam menundukkan kepala, menyentuhkan ujung hidungnya dan ujung hidung Alicia. Memainkan hidung mereka. Alicia tertawa pelan. Mengecup ujung hidung Adam sebelum melepaskan diri dari pelukan pemuda itu. "Antarkan aku pulang!" pintanya. Alicia berdiri. "Secepat ini?" tanya Adam dengan mata melebar. Pemuda itu mendongak menatap Alicia, ia masih duduk manis di tempatnya semula. Alicia mengangguk. "Aku ingin membantu Bibi Jo menyiapkan makan malam. Tadi Bibi Jo kelelahan, ada banyak pelanggan di toko." Adam mengangguk. Berdiri pelan dan menepuk-nepuk bagian belakang celananya, tepatnya di bagian b****g. "Baiklah. Tapi apa aku boleh ikut makan malam di rumahmu lagi. Hitung-hitung upah karena sudah mengantarkanmu pulang." Alicia mengerling manis. Ia tahu Adam hanya bercanda. Tadi Adam bilang kalau ia sangat lelah, ingin cepat-cepat pulang dan tidur. "Aku rasa tidak bisa, Mr. Wayne." Alicia menggeleng menanggapi candaan Adam. Gadis itu memasang wajah menyesal. "Makan malam kami hanya cukup untuk dua orang." Mendengarnya Adam mengerang kesal yang dibuat-buat. "Kalau begitu kau harus membayarnya dengan cara lain, Miss Jones." Alicia mengerutkan kening, seolah berpikir. Padahal ia tahu apa yang dimaksud Adam dengan cara lain. "A kiss," sambung Adam dengan seringai setannya. "Deal!" Alicia masih menanggapi. Karena mereka bercanda ataupun tidak, Adam akan tetap menciumnya setiap kali mereka akan berpisah. "Baiklah kalau begitu." Adam tersenyum lebar. "Bagaimana kalau aku mengantarmu sekarang, agar aku bisa cepat mendapatkan upahku?" Alicia mendelik. "Nasty!" makinya. Adam tertawa keras mendengarnya. Kemudian menarik tangan Alicia mengajaknya menuruni bukit tempat pertemuan mereka. Matahari yang semakin bergulir membuat keadaan sedikit gelap. Di bukit ini belum ada penerangan. Untungnya mereka sudah hapal semua jalan, sehingga tak lama mereka sudah kembali ke kota. Adam melajukan motornya dengan kecepatan normal. Alicia tidak suka kalau ia mengebut, gadis itu lebih suka mereka santai. Adam tidak masalah, karena ia akan memiliki lebih banyak waktu bersama Alicia-nya. "Aku pulang sekarang." Adam mohon diri setelah membuat bibir Alicia bengkak. Alicia mengangguk. "Hati-hati!" pesannya. Setelah Adam meninggalkan halaman rumahnya, Alicia segera memasuki rumah. Gadis itu mengunci pintu dan langsung menuju dapur. Bibi Jo sedang mencuci sayuran ketika Alicia tiba. Alicia segera meminta Bibi Jo untuk duduk dan mengambil alih pekerjaan perempuan itu. Ia yang akan memasak makan malam mereka makan ini. . . . . . . . . . . Waktu istirahat restoran berbeda dari waktu istirahat orang-orang yang bekerja di kantor. Restoran cepat saji tempat Adam bekerja selalu ramai dipadati pelanggan saat jam makan siang. Kembali sedikit lengang setelah jam makan siang berakhir. Kesempatan itu biasanya digunakan para karyawan restoran untuk beristirahat. Begitu juga dengan Adam dan Patrick. Kedua pemuda itu duduk di sebuah meja kosong yang baru saja dibersihkan oleh Patrick. Menikmati makan siang mereka yang terlambat. "Bagaimana dengan tawaran pencari bakat itu? Apa kau sudah memutuskannya?" tanya Patrick memulai pembicaraan. Adam menelan makan siangnya, meminum air mineral beberapa tegukan, baru menjawab pertanyaan Patrick. "Entahlah." Adam mengangkat bahu. "Aku tidak tahu." Patrick tak menjawab. Hanya alisnya yang berkerut sebagai tanggapan kebingungan atas perkataan Adam. Adam mengibaskan tangan kacau. "Aku benar-benar tidak tahu, Patrick. Aku belum memikirkannya." "Aku sudah memberitahu Alicia," ucap Patrick pelan sambil meringis. Adam menganggukkan kepala beberapa kali. Ia sudah tahu, Alicia sudah mengatakan padanya tadi malam. "Maafkan aku." Patrick terlihat menyesal. "Seharusnya aku tidak memberitahunya sebelum dirimu. Tapi kukira kau sudah memberitahukannya. Aku sungguh menyesal. Maaf kalau sudah membuat kalian bertengkar." Wajah bulat Patrick yang menekuk membuat Adam ingin tertawa. Sungguh, itu terlihat sangat lucu di matanya. Tapi Adam menahan diri. Ia tidak akan tertawa saat orang lain mengakui kesalahannya dan meminta maaf. "Tidak apa-apa, Patrick." Adam tersenyum. "Kami tidak bertengkar." Mata cokelat Patrick membesar. "Benarkah? tanyanya tak percaya. Ia menduga kalau Alicia akan marah pada Adam, karena Alicia tampak murung setelah ia mengatakan hal itu. Ternyata tidak, syukurlah. Patrick mengembuskan napas lega. Ia tak ingin menjadi penyebab pertengkaran sahabat-sahabatnya. Adam mengangguk kacau. "Alicia memang tidak marah, tapi juga tidak setuju kalau aku menerima tawaran Mr. Allan Hank." "Ugh!" Patrick mengerang tertahan. Ia tahu itu merupakan sesuatu yang berat bagi Adam. Adam terlihat sangat tertarik dengan tawaran Mr. Hank dua hari yang lalu. Tetapi Patrick juga tahu kalau Adam tak akan mengecewakan Alicia. Adam selalu menuruti permintaan Alicia. "Aku mengerti kalau ini merupakan pilihan yang berat bagimu, man. Tapi saranku, kalau kau memang sangat tertarik pada tawaran Mr. Hank, kau jelaskan saja pelan-pelan pada Alicia. Aku yakin dia pasti mengerti." Adam menundukkan kepala, mengunyah sisa makan siangnya. Sekaligus memikirkan perkataan Patrick. Jujur, ia memang tertarik pada tawaran Mr. Hank. Sangat tertarik malah. Ia ingin mengubah kehidupannya. Tak mungkin kan seluruh hidupnya dihabiskan hanya dengan menjadi pelayan dan penjaga kasir di restoran cepat saji? Ia juga ingin berubah. Ia ingin sukses. Dan mungkin saja, tawaran Allan Hank bisa ia gunahan sebagai batu loncatan untuk mencapai tangga kesuksesan seperti yang diinginkannya. "Entahlah, Patrick. Aku tidak tahu." Adam mengangkat kepala. Menghabiskan sisa air di botol mineral dan melempar botol kosong ke tong sampah terdekat. Berhasil masuk. Tak percuma ia menjadikan bola basket sebagai olahraga favoritnya. "Aku bingung. Satu sisi aku sangat ingin menyetujui tawaran Mr. Hank, di sisi lain aku tidak ingin meninggalkan Alicia." Patrick mengangguk. Ia paham, Alicia adalah pusat dunia Adam. Satu-satunya yang Adam miliki setelah kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan lalu lintas. "Bicaralah dulu dengan Alicia. Kurasa kau perlu pendapatnya," usul Patrick. "Tapi jangan kesampingkan juga keinginanmu, karena ini menyangkut masa depanmu dan masa depan kalian." Adam mengembuskan napas kemudian mengangguk. Ia membenarkan perkataan Patrick. Mungkin nanti ia akan mencoba untuk kembali berbicara dengan Alicia. Karena sungguh, ia sangat ingin menerima tawaran dari Mr. Hank. Mungkin saja ia bisa sukses. Karena Mr. Hank bilang ia memiliki bakat dan potensi untuk menjadi seorang model terkenal. Adam mengusap wajah. Ia perlu saran lain. Dan ia yakin Paul Santana, sahabatnya pemilik bar di pinggir kota bisa memberikannya saran. Adam akan mendatangi Paul nanti malam, setelah pertemuan rutinnya dengan sang kekasih. *** Dan di sinilah Adam berada. Di sebuah bar kecil di pinggir Southville. Adam tidak memesan apa-apa, ia tidak ingin minum. Ia masih sayang pada tubuhnya yang sangat tidak kuat terhadap alkohol. Adam hanya ingin bertemu Paul dan meminta sarannya. Tapi sepertinya Paul sangat sibuk sekarang. Bar kecilnya sangat penuh dengan pengunjung. Paul Santana lebih tua satu tahun darinya. Tapi Paul sudah berani membuka bar dan menjalankannya seorang diri. Dan itu sudah sejak dua tahun yang lalu. Bar Paul bukan bar satu-satunya di kota ini. Akan tetapi para pengunjung lebih memilih bar mungil milik Paul yang sederhana daripada bar besar di pusat kota. Adam yakin, Paul memiliki banyak uang untuk memperbesar bar kecilnya ini, tapi pemuda itu tidak melakukannya. Paul takut keberuntungannya berubah kalau sedikit saja ia memperbesar tempatnya ini. Sungguh sesuatu yang menggelikan, di zaman modern seperti sekarang masih ada saja orang yang percaya takhayul. "Hai, Adam. Apa kau sudah lama?" sapa Paul basa-basi. "Maaf, aku baru bisa menghampiri sekarang." Adam tersenyum. Mengulurkan kepalan tangannya menyambut kepakan tangan Paul. Tos! "Tidak apa-apa." Adam menggeleng. "Aku baru tiba. Tampaknya kau sangat sibuk. Apa ada sesuatu atau seseorang yang mengadakan acara?" "Tidak juga." Paul menggeleng, senyum cerah menghiasi wajah tampannya. "Tadi Mr. Black dan Mr. Dwayne sedang adu panco. Orang-orang ramai menonton adu panco mereka." Adam tertawa pelan sambil menggeleng. Adu panco sudah biasa di kota mereka, apalagi di bar-bar seperti milik Paul. Para pria menjadikan adu panco sebagai hiburan setelah mereka lelah seharian bekerja. Meski terkadang dibumbui dengan taruhan, tapi uang taruhan itu tidak banyak. Dan juga yang menang akan mentraktir yang jakah dengan uang hasil kemenangannya itu. "Seandainya saja kau melihatnya, pasti kau juga akan tertawa keras sepertiku." "Kenapa?" tanya Adam dengan kening berkerut. Rasa penasaran tampak di wajah tampan pemuda itu. "Karena Mr. Dwayne curang." Paul tertawa keras setelah mengatakan itu. "Mr. Dwayne ingin ia yang mentraktir kita semua makanya ia menggelitiki Mr. Black supaya ia bisa menang." Bukan hanya Paul yang tertawa sekarang, Adam juga. Ia tak dapat membayangkan bagaimana seorang Mr. Black yang terkenal sangat tertawa keras karena gelitikan Mr. Dwayne. "Kurasa aku terlambat tadi," ucap Adam. Ada nada kecewa dalam suaranya. Paul menepuk bahu pemuda itu. "Tak apa, kau bisa melihatnya kain kali." "Aku harap iya." Senyum kembali menghiasi bibir merah Adam. "Lalu bagaimana kabarmu, bro?" tanya Paul serius. "Sudah lumayan lama kita tidak bertemu. Aku sangat sibuk sampai-sampai tidak bisa ke kota untuk menemuimu juga adikku yang cengeng itu." Adam tertawa kecil. Adik cengeng yang dimaksud Paul adalah Alicia. Paul dan Alicia sangat dekat, mereka sudah seperti kakak-adik. Paul adalah kakak angkat Alicia. "Alicia baik-baik saja. Kemarin dia sempat tidak enak badan, tapi sekarang sudah sembuh." "Yeah, dia juga mengatakannya padaku, tapi aku tidak sempat menjenguknya. Kesibukanku menggila!" jelas Paul mengerang. "Aku mengerti." Adam mengangguk. "Karenanya aku ke sini. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu." "Sudah kuduga," sahut Paul. Pemuda itu tersenyum. Seperti jawabannya tadi, ia memang sudah menduga kalau ada yang ingin dibicarakan Adam. Dari wajah Adam sangat tampak kalau pemuda itu memiliki masalah. Adam meringis. Merasa tidak enak karena sudah mengganggu Paul di tengah kesibukan pemuda itu. "Maafkan aku, tapi aku tidak tahu harus kemana lagi." Adam mengusap tengkuknya. "Hanya kau yang bisa membantuku, bro. Aku perlu saranmu." "Tidak apa-apa." Paul tersenyum, menepuk bahu lebar Adam. "Aku sudah biasa. Malah aku sangat senang bisa membantu." Adam menganggukkan kepala beberapa kali. Bingung harus memulai pembicaraan dari mana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN