“Assalamualaikum.“ Aku mengucap salam dengan lemah begitu memasuki rumah.
“Waalaikumussalam. Anak Mama sudah pulang. Pasti capek, ya?” balas Mama yang tak lama kemudian datang menghampiri.
Aku mengangguk lemah. “Banget, Ma. Eva izin ke kamar, ya. Mau langsung istirahat.”
Ekspresi khawatir terlihat di wajah Mama. Mama mengangguk sambil mengelus kepalaku pelan. “Ya udah sana. Jangan lupa mandi dulu, biar badannya nggak lengket.”
“Oke, Ma,” balasku sambil melayangkan kecupan singkat di pipi Mama. Setelahnya, aku langsung menuju kamar.
Hal yang pertama kali aku lakukan begitu memasuki kamar adalah mandi. Badanku terasa lengket setelah seharian bekerja. Selesai membersihkan diri dan berpakaian, tidak ada yang sanggup aku lakukan lagi selain berbaring di kasur dan langsung tertidur.
***
“Kak Evaaa. Woy! Bangun, wooy!” Teriakan yang bukan main nyaring itu langsung membuyarkan seluruh tidurku. Aku mendesah keras.
“Berisik, Keviiiin! Sana ah, keluar, Kakak masih capek,” ucapku dengan serak.
“Gue nggak bakal keluar sampe lo bangun pokoknya,” ngotot Kevin.
Aku kembali mendecak kesal sambil mengacak rambut jengkel. Kedua mataku terbuka perlahan untuk melihat jam dinding. “Masih setengah enam, Kevin. Kakak baru tidur satu jam, masih ngantuk.“
“MAMAAA! KAK EVA NGGAK MAU BANGUN, MAA!“ Teriakan keras nan memekakkan kembali terdengar. Membuatku otomatis menutup telinga.
“Buset, Vin! Itu mulut apa toa, sih? Berisiik!”
Kevin yang memandangi pintu kamar kembali menoleh dan menjulurkan lidah. “Mulut gue otomatis berubah jadi toa kalo ngebangunin lo, Kak.”
Aku hendak menyahuti Kevin, namun Mama kini memasuki kamar. Mama langsung berjalan cepat menghampiri kasur dan menyibak selimut yang aku kenakan.
“Astaga, anak gadis Mama, cepetan bangun terus dandan yang cantik. Kita kan mau ketemuan sama keluarganya Om Roni.”
Aku mengembuskan napas keras sambil mengusap wajah dengan kasar. “Eva di rumah aja deh, ya? Masih ngantuk banget, Maa. Beneran,” rengekku.
Mendengar ucapanku barusan, Kevin mendengus mengejek. “Yakin nggak mau ikut, Kak ? Nggak nyesel nanti nggak ikut makan enak?“
Aku menggeram kesal. “Nggak. Gue lebih butuh tidur daripada makan.”
“Ayolah ikut, Va. Kalau kamu nggak mau ikut, Mama nggak akan kasih uang bensin, biar kamu beli pake uang jajan kamu aja.” Niatku untuk tidur harus pupus ketika mendengar ancaman Mama.
“Mama kok tega sih sama anak Mama yang paling cantik ini? Terus nanti kalau aku mau jajan, gimana?” rengekku.
“Hah? Cantik? Bagian mananya dari lo yang cantik, Kak? Jelek semua gitu,” sahut Kevin. Bukannya tersinggung, aku malah terkekeh mendengar ejekan dari bocah yang delapan tahun lebih muda dariku ini.
“Cantik dari lahir, lah. Lo aja yang rabun.”
Wajah Kevin langsung berubah kesal, ia memutar bola matanya. “Ya deh, terserah lo, Kak. Ma, Kevin siap-siap dulu, ya.”
Mama bersedekap dan menghela napas. “Maaf, ya, Mama tahu kamu capek, tapi kita udah atur janji ini, kan? Dan kamu udah setuju waktu itu. Buat ketemu aja, Va, sebentar. Ya? Nanti kamu bisa tidur lagi.”
Aku mengembuskan napas, merasa kalah saat Mama mulai berujar lembut sekaligus serius begini. “Oke, tapi sebentar aja, ya?” putusku akhirnya. Hanya menemani Mama pergi bertemu temannya, sepertinya bukan masalah besar. Aku bahkan sudah lupa telah menyanggupi permintaan Mama saat itu.
Mama akhirnya tersenyum. “Iya. Ya udah sana, siap-siap. Jam enam kita berangkat.”
“Iya-iya, Ma. Ini Eva bangun,” ucapku yang akhirnya bangkit dari kasur.
“Inget, dandan yang cantik!” ingat Mama lagi sebelum keluar kamar.
Aku mengangguk malas. “Iyaaa, Mama.”
“Ya udah, Mama mau siap-siap juga. Cepetan lho, ya.”
“Iya, Ma. Eva nggak jadi dandan nih kalau Mama masih bawel.”
Mama terkekeh kemudian melangkah keluar dan menutup pintu. Sepeninggal Mama, aku kembali duduk di pinggir kasur. Aku menghela napas, memikirkan harus berdandan seperti apa.
***
Aku terpaku di depan lemari yang kedua pintunya kubuka lebar-lebar. Kutelusuri seluruh pakaianku. Sampai akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada dress selutut tanpa lengan berwarna soft pink. Setelah berganti pakaian, aku menuju meja rias, mematut diri. Mama menyuruhku berdandan, tapi aku tidak punya antusiasme ataupun energi yang tersisa untuk merias diri.
Aku mengedikan bahu cuek dan memutuskan untuk berdandan ala kadarnya. Lima menit kemudian, aku sudah selesai dengan hanya memakai bedak dan memoleskan liquid lipstick berwarna coral. Setidaknya aku tidak tampak berantakan untuk bertemu mereka. Kugerai rambutku lalu menyematkan jepit rambut kecil di sisi kanan. Untuk sentuhan akhir, aku memutuskan mengenakan sepatu berwarna putih dengan hak delapan senti.
Sekali lagi, aku mematut diri di depan cermin. Setelah merasa semuanya pas, aku berjalan menuju sofa untuk mengambil tas kemudian keluar kamar dan berjalan menuruni tangga. Sembari menuruni tangga, aku mengalihkan pandangan ke bawah. Ternyata Papa, Mama, dan Kevin sudah menungguku.
“Widih, anak siapa, nih? Cantik banget!” puji Papa sembari bangkit dari sofa, membuat pipiku secara otomatis tersipu.
“Anak Mama dong, Pa. Kelihatan kan cantiknya nurun dari Mama,” sahut Mama yang membuatku mengulum senyum.
“Iya percaya. Kan istri Papa ini wanita yang paling cantik. Makanya anaknya cantik begitu,” goda Papa yang membuat pipi Mama merona merah.
Astaga, Mamaku ternyata masih bisa malu-malu juga, ya!
“Ah, Papa! Mama kan jadi malu,” ucap Mama yang membuatku dan Kevin saling bergidik geli.
“Ya udah yuk, berangkat. Nanti telat lagi,” ajak Papa.
Papa berjalan menuju pintu dengan kami bertiga mengikutinya dari belakang. Begitu keluar rumah, sebuah mobil Alphard putih sudah menunggu kami. Di samping pintu tampak Pak Dadang yang sudah mengabdi sebagai supir keluargaku selama 20 tahun. Kami langsung memasuki mobil.
“Va, sebelum kita sampe di restoran, Papa mau ngomong sesuatu.” Papa memecah keheningan yang terjadi selama perjalanan kami menuju restoran.
“Ngomong apa, Pa?” tanyaku dengan kening berkerut karena penasaran.
Papa kemudian mengarahkan pandangannya ke belakang dan menatapku lekat. “Kamu inget Dirga, nggak? Anaknya Om Roni.”
Aku terdiam sejenak, berusaha menggali kenangan masa kecilku. Sesaat kemudian, aku menggeleng. “Nggak. Dirga mana?”
“Yang dulu sempat jadi temen main kamu waktu kecil itu, lho.”
Aku mengerutkan kening dan kembali mengingat. “Eva nggak inget, Pa. Kenapa memangnya Eva harus inget dia? Memangnya dia siapa?”
“Pokoknya dia anak temen Papa. Nah, dia barusan balik dari London. Terus Papa sama Om Roni udah sepakat buat jodohin kalian. Kamu setuju, kan?”
Wajahku yang tadinya kalem kini terbelalak. Kedua tanganku langsung aku silangkan tanda menolak. “Nggak-nggak-nggak! Eva nggak mau dijodohin, Pa!”
“Kenapa? Padahal kamu belum lihat orangnya. Mama jamin kamu pasti bakal setuju kalau udah ketemu sama dia,” sahut Mama yang membuat wajahku semakin masam.
“No way! Mau secakep apa pun itu orang, Eva tetap nggak mau. Lagian Eva kan belum lulus, Ma, Pa. Masa malah cepat-cepat dinikahin.” Aku masih bersikeras.
“Lho? Kan sebentar lagi kamu lulus. Dan sebelum ambil spesialis, mending kamu nikah dulu, Va.” Papa kembali mengutarakan pendapatnya.
“Please, Pa, Eva masih kelewat muda buat nikah. Dan Eva tetap dengan pendirian Eva yang nggak mau dijodohin, titik.”
“Yakin, nih? Padahal kemarin gue lihat Kak Dirga cakep banget lho, Kak. Kalo lo nolak, lo nggak bakal dapet cowok cakep lagi yang mau sama lo, Kak.” Kini giliran Kevin yang ikut mengomporiku.
Aku mendengus kesal dan menyedekapkan tanganku. “Gue yakin, bahkan gue bisa dapetin yang lebih cakep daripada Si Dirga itu!” ucapku dengan berapi-api.
“Oke, kalo kamu nolak terus kayak gini, terpaksa Papa menggunakan hak Papa sebagai orangtua kamu. Papa meminta kamu menerima perjodohan ini, Eva, atau Papa tidak akan membayar biaya kuliah kamu.”
Bibirku langsung ternganga mendengar ancaman luar biasa yang keluar dari mulut Papa. Aku memajukan tubuhku mendekati Papa dan mengeluarkan protesan. “Papa ngancemnya kok begitu, sih?! Ya jelas dong Eva nggak bakal bisa biayain kuliah Eva sendiri sekarang. Papa mau Eva berhenti kuliah?!”
Senyum penuh kemenangan kini tercetak jelas di bibir Papa. “Itu terserah Papa. Udah ya, pokoknya Papa anggap kamu setuju dengan perjodohan ini.”
“PAPA!” panggilku kesal. Namun Papa masih diam.
“Ma.” Aku beralih pada Mama, tapi ia tak mengatakan apa-apa kecuali hanya menatapku dengan penuh permohonan.
“AAGH! Apa, sih? Kok jadi tiba-tiba main jodoh-jodohan? Nggak lucu, Pa!” cecarku lagi.
Mama menyentuh tanganku lalu menatapku dengan lembut. “Kamu lihat dulu aja ya, Va. Kenalan dulu aja sama Dirga. Kalau memang sebegitu tidak cocoknya, baru kita pikirkan lagi ke depannya gimana,” bujuk Mama dengan lembut.
Aku hendak mengeluarkan protesan lagi, namun ekspresi Mama seolah tidak butuh jawaban apa pun. Papa sudah kembali menghadapkan kepalanya ke depan. Akhirnya, aku membanting tubuhku dengan keras ke sandaran sambil menggeram dan mengembuskan napas lelah. Saat aku berpikiran untuk memaksa melompat keluar dari mobil, kendaraan yang membawa kami itu malah sudah berhenti di sebuah restoran khas Italia.
“Selamat malam. Apakah Bapak-Ibu sudah melakukan reservasi?” tanya seorang pelayan yang membukakan pintu restoran.
“Sudah, meja atas nama Roni,” jawab Papa. Pelayan tadi mengangguk sekilas sebelum menunduk untuk melihat buku berisi daftar tamunya.
Setelah beberapa lama, ia akhirnya kembali menatap Papa. “Mari ikuti saya.”
Sang pelayan kemudian berjalan terlebih dahulu, mengarahkan kami menuju lorong yang menuju ke beberapa ruangan VIP.
Begitu langkah kaki kami berhenti di depan pintu nomor lima, sang pelayan membukakan pintu. Saat pintu terbuka, mataku langsung menangkap kehadiran sebuah keluarga yang beranggotakan lima orang. Seorang pria berumur lima puluh tahunan yang aku kenali sebagai Om Roni menduduki sebuah kursi. Di sebelahnya ada seorang wanita yang aku yakini sebagai istrinya. Dan ketiga kursi selanjutnya ditempati oleh dua orang laki-laki dan seorang perempuan.
Jantungku tiba-tiba mulai berdetak tak keruan saat menduga-duga yang mana dari kedua laki-laki itu yang menjadi calon jodohku pilihan Papa. Aku menyipit saat memandang dua orang itu. Aku sudah tidak begitu ingat rupa Dirga saat kami kecil. Setelah beberapa saat mengamati, aku menduga jika laki-laki yang sedang menunduk itulah Dirga. Tidak mungkin laki-laki yang satunya, karena ia tampak seumuran dengan adikku.
“Selamat datang. Ayo, silakan duduk. Wah, ini ya yang namanya Eva? Calon mantu Om ternyata cantik banget, ya!” Om Roni mengarahkan pandangan kepadaku sambil berseru senang. Aku hanya mengangguk sambil memaksakan senyum.
Kami berempat kemudian memosisikan diri untuk duduk di kursi seberang keluarga Om Roni.
“Nak Eva, duduknya di hadapan Valdi aja di situ,” kata Tante Alya, istri Om Roni, yang berhasil membuat gerakanku terhenti. Aku hanya mengangguk ragu.
Setelah menduduki kursi, aku tiba-tiba terdiam. Seperti ada yang mengganjal pikiranku ketika mendengar ucapan Tante Alya tadi.
Tunggu... Valdi?
Aku langsung mendongak, tepat ketika laki-laki yang sedang menunduk tadi juga melakukan hal yang sama. Mata kami bertemu, seketika itu juga jari telunjuk kami sama-sama saling menunjuk.
“LO?!” teriak kami serempak.
“Lo yang dijodohin sama gue?” Valdi kembali berkata.
Aku menggeleng takjub lalu menyahut, “Gila. Dunia sempit banget, ya.”
Seluruh anggota keluarga kami kini memusatkan perhatiannya padaku dan Valdi.
“Kalian sudah saling kenal?” tanya Papa memecah keterkejutan di antara kami.
Aku mengangguk kaku. “Iya, Pa.”
“Oh, ya? Kenal dari mana?” Kini Om Roni yang giliran bertanya.
“Temen SMA, Yah,” jawab Valdi dengan nada datar.
Mama bertepuk tangan dengan gembira saat mendengar ucapan Valdi. “Wah-wah, bagus dong! Jodoh emang nggak kemana, ya.”
Tante Alya mengangguk setuju. Ia kemudian mengarahkan tangannya pada makanan yang tersaji. “Nah, sebelum bicara lebih lanjut, kita makan dulu, yuk.”
Semuanya mengangguk dengan semangat lalu mulai menyantap makanan yang sudah tersaji. Makanan-makanan itu memang tampak menggiurkan, namun aku sama sekali tidak bernafsu karena teringat dengan siapa aku dijodohkan.
Aku dijodohkan dengan Valdi. Teman satu SMA-ku yang terkenal dengan sebutan snowman karena sikapnya yang begitu dingin dan jarang bicara. Bayangan tentang masa depan semacam ini jelas tidak pernah kumiliki. Terlebih lagi, aku membenci Valdi. Aku masih membencinya. Meskipun tahun-tahun berlalu, bagiku perilaku Valdi waktu itu benar-benar tidak bisa kumaafkan.
Ah, tidak, mungkin yang paling benar adalah, aku benar-benar masih menyimpan sakit hati terhadap Valdi. Karena itulah aku membencinya.
Intinya, apa pun kondisinya, aku sama sekali tidak ingin menerima Valdi.
Aku yang masih melamun seketika kaget ketika merasakan senggolan di kakiku. Aku mendongak dan menemukan ekspresi datar Valdi. “Dulu nama lo Thania, kenapa bisa berubah jadi Eva?” tanyanya yang membuat yang lain diam-diam melirik penasaran.
Aku menghela napas pelan sebelum menjawab, “Nama gue itu Nathania Eleva Kusuma. Lo juga, perasaan nama lo nggak ada Dirga-Dirganya.“
“Dasar pelupa. Nama gue Valdi Dirga Putra.” Mendengar ucapan Valdi membuat mulutku membulat karena baru teringat dengan nama lengkap lelaki itu.
Setelahnya, kami tidak melanjutkan obrolan karena sibuk memakan makanan masing-masing. Makan malam dengan tujuan perjodohan itu diramaikan oleh Papa dan Om Roni yang bernostalgia dengan masa muda mereka.
Setengah jam kemudian makan malam panjang itu akhirnya selesai. Papa dan Om Roni saling melempar pandangan sebelum akhirnya Papa berkata, “Jadi, sekarang kita akan membicarakan perjodohan ini lebih dalam, ya. Berhubung kalian sudah saling kenal, nggak masalah kan kalau pernikahan kalian diadakan dua minggu lagi?”
“APA?! Dua minggu lagi?!“ sahut kami serempak. Kami berdua lalu saling melempar pandang dengan tatapan horor.
“Ya ampun, belum apa-apa udah kompak aja, ya,” goda Tante Alya. “Nggak sabar ya, nunggu dua minggu lagi? Oh ya, Eva, mulai sekarang panggil Tante Bunda, ya. Terus panggil Om Roni Ayah, oke?“ pinta Tante Alya dengan ekspresi bahagia.
“Tapi Eva belum bilang kalau Eva bersedia nikah sama Valdi, Mama,” bisikku pelan pada Mama yang rupanya terdengar keras karena suasana yang hening.
“Eva! Kenapa seperti itu ngomongnya!” bentak Mama pelan.
Aku otomatis menciut. Semua orang menatapku dalam diam. Aku mengalihkan tatapan, beralih memandangi tanganku yang bertautan di bawah meja.
Aku tidak mau. Valdi… dia sudah bersikap jahat padaku. Penolakannya saat itu masih terasa sama menyakitkannya hingga sekarang. Dan aku sama sekali belum bisa memaafkannya.
Lalu kenapa? Kenapa Mama dan Papa malah memaksaku menikah dengan orang ini? Kenapa mereka malah setega itu?!
“Hmm. Bunda tahu, sifat Valdi memang agak nyebelin. Dia terlalu dingin, dan kalaupun ngomong bisa saja malah menyakitkan hati. Tapi Bunda tahu kalau Valdi sebenarnya anak yang baik. Nak Eva mungkin belum bisa melihatnya, tapi kalau dikasih kesempatan, Bunda yakin nanti Nak Eva juga akan tahu kalau Valdi sebenarnya laki-laki baik.”
Aku tak menyangka, dari semua orang yang bisa bicara padaku, ibu Valdi-lah yang membalas ucapanku. Dengan cara yang begitu lembut pula hingga aku jadi kehabisan kata-kata. Pandanganku mengitari mereka satu demi satu. Dan saat sampai pada Valdi, aku tidak bisa mengartikan ekspresinya. Marahkah? Tersinggungkah? Aku tidak tahu. Dan tidak mau tahu, karena seharusnya dia sadar apa yang menyebabkan aku jadi seperti ini.
Aku akhirnya mengangguk pelan. “Maaf, Tante,” jawabku pelan.
Ibu Valdi hanya tersenyum. “Nggak apa-apa. Bunda paham, kok. Seperti yang tadi Bunda bilang, panggil Tante Bunda ya, jangan Tante.”
Aku menggigit bibir bagian dalamku. “Iya, Tante, eh… Bunda,” sahutku lemah.
“Kamu juga ya, Valdi, mulai sekarang panggil Tante Mama, terus panggil Om Deni Papa,” kata Mama tak mau kalah.
“Iya, Ma,” sahut Valdi dengan senyum kaku.
Mama dan Tante Alya sama-sama memasang senyum bahagia. Hal itu sangat berbanding terbalik dengan aku dan Valdi yang kini kompak menunduk lesu.
Aku mendesah kesal karena merasa begitu sial. Pasalnya, aku dijodohkan dengan seorang manusia salju. Apa jadinya aku nanti? Jarang diajak bicara karena kata-katanya yang irit. Belum lagi tingkah lakunya yang cuek bebek.
Terlebih, dari sekian banyak manusia salju di dunia ini, kenapa harus Valdi?!
Astaga, kenapa nasibku bisa seperti ini?!
Kalau memang mau menjodohkanku, setidaknya bisakah Papa dan Mama menyerahkanku pada lelaki hangat yang penuh cinta, agar aku bisa cepat luluh? Bukannya malah dengan orang semacam Valdi!