“Kita harus menuhin keinginan Mama tadi, Va. Pesanan kita banyak, lho. Ready for tonight, baby?” Gue memundurkan wajah sedikit untuk melihat ekspresi Eva. Gue langsung mengulum senyum geli ketika melihat wajah kaku nan gugup miliknya. Ekspresi takut dan gugupnya ini benar-benar membuat gue ketagihan untuk melihatnya lagi.
Gue kembali menormalkan ekspresi karena berniat untuk mengerjainya lagi. Dengan sengaja gue mengembuskan napas perlahan di depan wajahnya. Setelah itu, gue menggerakkan tangan kanan dengan perlahan untuk membelai pipi Eva. Melalui sentuhan itu, akhirnya kesadaran Eva kembali. Senyum miringnya tiba-tiba muncul dan membuat firasat buruk gue datang.
“Of course, Hubby, I am very-very ready… Ready to kick you!” Gue tidak sempat melakukan apa-apa karena selanjutnya yang gue rasakan adalah rasa sakit di bagian s**********n gue.
Gila! Apa Eva baru aja nendang masa depan gue?
Shit! Sakit banget, gila! Gue mengaduh seraya menunduk sambil memegangi bagian tubuh gue yang berdenyut mengerikan.
“Eva! Lo gila, ya? Kurang ajar banget lo sama suami,” geram gue masih dengan menahan sakit. Eva mengedikkan bahu tidak peduli dan malah menjulurkan lidahnya.
“Biarin. Makanya, jadi orang jangan m***m-mesum.”
Gue sangat ingin membalas ejekannya, namun rasa nyeri yang masih begitu terasa menghambat mulut gue untuk bersuara. Sekarang, yang bisa gue lakukan hanyalah berjanji dalam hati untuk membalas perbuatan Eva barusan. Tanpa memedulikan gue, Eva berjalan menuju lemari kemudian memasuki kamar mandi.
Gue menghela napas perlahan beberapa kali sampai rasa sakit itu berangsur menghilang. Setelah bisa berjalan, gue langsung melangkah menuju kasur dan merebahkan diri.
Haah, enaknya ketemu kasur. Badan gue rasanya remuk semua. Gue pengin banget langsung tidur, tapi badan gue yang masih lengket menghentikan niat gue itu.
Setelah beberapa saat memejamkan mata, gue membuka mata karena merasa kegerahan. Gue menggeram kesal ketika melihat AC yang ternyata belum dinyalakan. Berhubung gue sudah mager banget untuk mencari remote AC yang entah berada di mana, akhirnya gue memilih untuk berganti pakaian dengan celana pendek, tanpa mengenakan atasan.
Gue kembali memejamkan mata. Entah berapa menit sudah terlewat dan gue kembali membuka mata. Gue menoleh ke arah pintu kamar mandi dan mendesah jengkel karena Eva belum juga selesai membersihkan diri.
Astaga, gue udah kegerahan dan badan gue rasanya lengket semua. Gue pengin cepat mandi biar bisa tidur. Akhirnya, gue memutuskan untuk bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Gue langsung mengetuk pintu dengan keras.
“Eva, lo mandi apa semedi, sih?! Lama bener. b***t gue mengeras, nih,” teriak gue keras.
Gue sudah hendak berteriak lagi, tapi suara Eva dari dalam kemudian terdengar. “Iya-iya, bentar! Gue udah selesai kok ini.”
“Buruan, woy! Badan gue udah lengket semua, nih.” Tangan gue sudah bersiap untuk mengetuk pintu lagi, namun pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka.
“Bawel bang—” Eva tidak bisa menyelesaikan ucapannya, begitu pula dengan gue yang tidak bisa memprotes lagi. Kami berdua sama-sama terkejut dengan situasi yang tiba-tiba jadi kikuk.
Gue tanpa sadar menelan ludah saat menatap Eva yang hanya mengenakan handuk. Handuk abu-abu itu hanya menutupi d**a hingga setengah pahanya. Dan yang semakin memperindah pemandangan di depan gue ini adalah rambut Eva yang masih setengah basah. Gara-gara itu, dia terlihat tambah… se… seksi.
Ya Allah, cobaan macam apa iniii??!!
Coba kalau Eva udah mau ngelakuin itu, pasti sekarang udah gue terjang, dah. Kenapa sih dia malah nolak? Padahal itu kan ibadah. Ya, kan? Ya, kan? Yah, tapi karena gue adalah laki-laki sejati yang tidak akan memaksakan kehendak, gue langsung menguatkan diri dan malah berniat menggoda Eva.
Dengan perlahan, gue melangkahkan kaki mendekati Eva. Gue menyeringai saat memperhatikan wajahnya yang mulai gugup. Dengan perlahan, gue mengulurkan tangan ke belakangnya untuk menutup pintu kamar mandi. Selanjutnya, gue kembali memajukan tubuh hingga membuat punggung Eva menempel pada pintu kamar mandi. Gue memajukan kepala hingga berada tepat di samping kepalanya.
Berengsek! Dengan jarak sedekat ini malah membuat gue bisa mencium aroma harum milik Eva.
“Lo… lo mau ngapain?!” Eva berteriak dengan suara gugupnya saat gue memenjarakan dirinya dengan kedua tangan gue.
“Menurut lo, gue mau ngapain?” Gue berbisik pelan dan mengembuskan napas panas dengan perlahan di sepanjang lehernya.
“Nggak usah macem-macem, ya. Lo mau gue tendang lagi, hah?” Gue semakin menyeringai mendengar suara Eva yang bergetar.
Gue kembali menatap matanya dan berkata, “Nggak apa-apa lo tendang lagi. Yang penting gue udah macem-macemin lo.”
Wajah Eva tampak terkejut. Ia bahkan tidak bisa bersuara lagi.
Gue menelusuri tubuh Eva dengan mata gue. Gue lalu menempatkan kembali mulut gue ke telinganya dan berbisik, “You look yummy, baby. Apalagi kalau handuk ini nggak ada.”
Tubuh Eva mulai bergetar. Getaran itu terasa sampai ke tangan gue yang kini sedang menempel di lengan telanjangnya.
Beberapa detik kemudian, gue memutuskan untuk menyudahi kejahilan ini. Bukan tanpa alasan, karena gue mulai merasakan gairah berengsek tak tahu diri ini. Gue juga jadi agak kasihan melihat Eva malah jadi gemetaran begitu.
Gue memundurkan tubuh dan berniat masuk ke kamar mandi, tapi sebelum meninggalkan Eva, gue memutuskan untuk memberikan sebuah hadiah.
Tanpa aba-aba gue memajukan kepala dan mendaratkan sebuah kecupan singkat di pinggir bibir Eva. Selanjutnya, gue langsung masuk ke dalam dan melakukan ritual mandi. Gue khawatir, kali ini Eva akan memukuli gue sampai babak-belur kalau dia berhasil menangkap gue. Selanjutnya gue mandi dengan durasi lebih lama karena butuh waktu untuk menjernihkan otak gue yang sempat terkotori.
Setelah mengenakan kaus polos berwarna putih dan boxer, gue keluar dari kamar mandi. Gue terdiam sejenak saat memandangi Eva yang sudah terlelap di atas kasur. Syukurlah, dia udah tidur—dan tentunya sudah pake baju. Gue mengelus d**a lega kemudian berjalan menuju kasur. Gue menaiki kasur dengan perlahan agar tidak membangunkan Eva.
Setelah menemukan posisi yang enak, gue pun langsung memejamkan mata dan terlelap.
***
Rasanya gue baru saja terlelap ketika gue merasakan tepukan keras di bahu serta mendengar seseorang memanggil. Gue membuka mata dengan paksa dan mengerjap beberapa kali. Ternyata, orang yang membangunkan gue adalah Eva.
“Bangun, Val. Salat subuh dulu.” Eva kembali bersuara ketika gue sudah benar-benar terbangun.
Gue mengangguk lalu bangkit terduduk. “Oke. Bentar, gue wudu dulu.”
Gue langsung berdiri dan menuju kamar mandi. Setelah selesai, gue kembali keluar dan langsung menemukan Eva yang sudah mengenakan mukenanya. Gue berjalan ke koper gue lalu mengambil sarung. Setelah mengenakannya, gue langsung memosisikan diri gue di depan Eva sebagai imam. Gue sempat melirik Eva, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
Pagi itu, salat pertama kami sebagai suami-istri berjalan dengan khidmat.
***
Gue kembali terbangun saat waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Mata gue terpejam kembali sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. Beberapa detik kemudian, gue baru sadar jika ada sesuatu yang sedang memeluk gue.
Secara otomatis gue langsung membuka mata. Gue terkejut ketika menemukan Eva yang masih terlelap dengan kedua tangan yang memeluk gue erat. Gue berdecak kesal dan berniat melepaskannya. Namun, sejurus kemudian sebuah ide jahil muncul di benak gue. Gue memutuskan untuk menunggu Eva bangun dan melihat seperti apa reaksinya.
Selama menunggui Eva terbangun, kegiatan yang gue lakukan adalah memandangi wajah Eva. Gue menggerakkan sebelah tangan gue untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.
Tanpa sadar, sebuah senyum kecil muncul di wajah gue saat memperhatikan keseluruhan wajahnya. Sudah dari dulu, saat SMA, gue menyadari kalau Eva memiliki wajah yang cantik. Dan sekarang, saat umurnya semakin bertambah, kecantikannya pun juga turut bertambah. Hal itu dibuktikan dengan penampilannya kemarin yang begitu memukau. Kemarin, gue sempat mengira jika sedang melihat malaikat.
Oke, gue mulai kedengaran agak halu, tapi kemarin cewek ini memang cantik banget. Untung gue nggak keceplosan muji dia. Kalau enggak, bisa besar kepala nih cewek satu.
Senyum gue langsung pudar ketika kesadaran menerpa. Gue menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir bayangan wajah cantik Eva.
Gue cuma mengagumi ya, bukan naksir apalagi jatuh cinta.
Tapi semua cewek yang lo sukai itu berawal dari kegaguman lo ke mereka, Valdi.
Suara sialan yang berasal dari dalam diri gue itu membuat gue mengumpat. Berengsek, kalo dipikir-pikir betul juga. Semua rasa suka gue kepada perempuan, pasti berawal dengan kekaguman.
Di saat gue hendak memikirkan hal itu lebih dalam, gue merasakan pergerakan kecil Eva. Dengan sigap gue kembali memejamkan mata. Tak lama kemudian, gue merasakan tubuh Eva menegang.
“AAAA!” Sebelum teriakan memekakkan milik Eva keluar membahana, gue langsung bergerak membekap mulutnya.
“Sstt! Teriakan lo bakal ngundang semua orang rumah ke sini.” Gue mengatakannya dengan pandangan tajam mengarah pada Eva. Setelah yakin Eva tidak akan berteriak lagi, gue melepaskan tangan gue dari mulutnya.
“Eh, gue juga nggak bakal teriak kalo lo nggak seenaknya main meluk-meluk gue. Dasar, tukang ambil kesempatan!“ sahut Eva galak. Dia langsung melepaskan pelukannya dengan cepat.
“Perhatiin, dong. Yang tangannya meluk kan tangan lo, bukan tangan gue. Jadi, yang sukanya ambil kesempatan itu lo. Lagian, kalo misalnya gue yang meluk, ya udah sih nggak apa-apa. Kan meluk istri sendiri.“ Tanpa aba-aba, gue langsung menariknya ke dalam pelukan gue.
“Mesuuum! Lepasin, nggak?!” Eva berteriak sambil meronta.
Gue menyeringai. “Gue bakal lepasin setelah lo mengabulkan permintaan gue.”
Tubuh Eva seketika berhenti bergerak. Ia mendongak dan menatap gue dengan curiga. “Apa?”
“Morning kiss,” ucap gue sambil memajukan bibir.
Tubuhnya membatu dan sesaat kemudian ia langsung menggelengkan kepala. “Lo emang s***p, ya! Ogah!”
“Ya udah, gue nggak bakal ngelepasin lo kalo gitu,” ucap gue santai.
Eva menatap gue galak. “Valdi! Nggak usah aneh-aneh, ya. Buruan lepasin!”
“Minta morning kiss sama istri sendiri kan nggak aneh, Eva. Wajar dong kita ciuman, kan kita udah nikah.”
Eva langsung bergidik ngeri mendengar ucapan gue barusan. Kepalanya menggeleng keras. “Nggak mau! Pokoknya gue tetep nggak mau!”
Gue terkekeh lalu kembali mendatarkan ekspresi. Gue kemudian memajukan wajah dan berkata, “Kalo lo nggak mau, ya udah, gue aja yang ngasih lo morning kiss.”
Tangan gue bergerak merangkum wajah Eva. Selanjutnya, gue memajukan wajah sampai bibir gue sudah berada di depan bibirnya. Tepat saat bibir kami hendak bertemu, pintu kamar terbuka.
Gue dan Eva dengan serempak menoleh ke arah pintu. Di sana, terlihat Kevin yang sedang berdiri dengan senyum tidak enak.
“Ups, sorry, ganggu, ya. Ya udah, dilanjut aja lagi, Kak,” kata Kevin disertai dengan cengiran lebar.
Gue hendak membalas ucapannya, namun Eva terlebih dahulu bersuara sambil meronta. “Keviiin, tolongin Kakak, please.”
“Sst, diem dong, Sayang. Aku tahu kamu kecewa karena kegiatan kita nggak bisa lanjut, tapi jangan kasih tahu Kevin, dong. Malu, ah.”
“Val, nggak usah ngomong aneh-aneh, deh!” Eva langsung memprotes dengan pandangan horor.
“Aku kan cuma menyuarakan isi hati kamu, Sayang,” ucap gue seraya melepaskan Eva. Gue kemudian mendudukkan diri dan kembali menatap Kevin. “Omong-omong, Vin, kok lo bisa masuk ke sini? Perasaan tadi malem udah gue kunci.“ Gue akhirnya menyuarakan rasa penasaran gue.
“Gue tadi dikasih kunci cadangan sama Mama, Bang. Disuruh buat bangunin kalian yang nggak turun-turun buat sarapan.“
Gue mengangguk mengerti. “Kita mandi dulu ya, baru habis itu turun.”
Kevin mengacungkan jempol kanannya. “Oke, Bang. Santai aja. Kalau tahu kalian lagi sibuk kayaknya Mama nggak bakal protes juga, deh.” Kevin tersenyum geli sementara kakaknya tampak bersiap akan meledak. Setelah mengatakannya, Kevin membalikkan tubuh dan menutup pintu.
Gue segera berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Gue sama sekali tidak menghiraukan Eva yang sempat mengomel tidak jelas. Sepuluh menit kemudian, gue keluar dari kamar mandi hanya dengan lilitan handuk di pinggang.
“Valdi! Bisa nggak sih pake bajunya di dalem?!” Teriakan Eva langsung menyambut gue.
Gue mengulum senyum geli sambil berjalan menuju koper di sebelah lemari. “Ribet, Va, seharusnya lo bersyukur bisa ngelihat gue shirtless. Banyak lho, perempuan yang ngantre buat ngelihat pemandangan indah ini.”
Eva memutar bola mata kesal. “Ya-ya, terserah. Udah ah, gue mau mandi.”
Setelah mengambil pakaian ganti, Eva berjalan menuju kamar mandi. Begitu pintu tertutup, gue langsung tertawa, merasa geli dengan Eva yang sangat terlihat sedang menghindar dan tidak menatap ke arah gue—yang dalam kondisi shirtless.
Astaga, ternyata bini gue masih polos, ya.
Gue memutuskan untuk duduk di pinggir kasur sambil memainkan ponsel. Lima belas menit kemudian, akhirnya pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan Eva yang tampak segar dengan gaun santai berwarna coklat muda.
“Ayo cepetan, kita udah ditungguin.” Gue langsung bangkit menuju pintu.
“Iya-iya. Bawel banget sih sekarang.” Eva bersungut kesal.
Gue tidak menghiraukannya dan kembali berkata, “Inget, kalo di depan keluarga, pakenya aku-kamu.”
Eva hanya menyahut dengan gumamam. Ia kemudian mengikuti gue yang kini sedang menuruni tangga.
Begitu sampe di bawah, kami berdua disambut oleh keluarga gue dan Eva. Mereka semua saat ini sedang menyantap sarapannya masing-masing.
“Pengantin baru akhirnya turun juga. Ayo, duduk.” Papa mempersilakan. Gue dan Eva mengangguk sekilas sebelum menduduki dua kursi yang masih kosong.
“Sini, biar Bunda yang ambilin makanannya. Kalian pasti masih capek,” kata Bunda yang langsung bergerak menyiapkan makanan untuk kami.
“Makasih, Bunda,” balas Eva seraya menerima piring yang diberikan oleh Bunda.
Bunda membalas dengan senyuman. “Sama-sama, Sayang.”
Setelah gue menerima piring dari Bunda, kami berdua dengan kompak mulai melahap sarapan. Dan entah karena lapar atau apa, kami sudah selesai menghabiskan sarapan dalam waktu singkat.
“Jadi, tadi malem pesanan Mama sudah dibuat?” Pertanyaan Mama yang tiba-tiba itu membuat Eva yang sedang minum tersedak. Gue pun spontan bergerak menepuk-nepuk punggungnya.
“Tenang, Ma. Pesanan Mama sudah kita proses tadi malem. Tinggal tunggu hasilnya aja.“ Gue menyahuti Mama dengan santai. Namun, ucapan gue barusan itu malah membuat Eva kembali tersedak.
Wajah Bunda kini terlihat semringah. “Wah, bagus, dong. Berarti kita nggak perlu waktu lama buat gendong cucu.”
“Iya, Bun. Kalo misal yang tadi malem nggak jadi, kita berdua udah siap buat memproses lagi. Iya kan, Va?” Gue sengaja menatap Eva yang gue yakini sedang memaki-maki gue dalam hati.
“Udah-udah, kita bahas yang lain aja. Kasian tuh Eva, wajahnya udah merah gitu.” Ucapan Ayah nampaknya menjadi penyelamat Eva. Terlihat dari wajah tatapan penuh terima kasih yang Eva tujukan pada Ayah.
“Kalian nggak usah buru-buru gitu. Kalian itu mau punya anak, bukannya kejar deadline,” tukas Papa memberikan nasihat.
Kami berdua mengangguk sebelum melanjutkan perbincangan.
***
Pukul sebelas siang, gue dan Eva sudah memutuskan untuk pindah ke apartemen. Kami lalu berpamitan kepada seluruh keluarga.
“Semuanya, Valdi sama Eva pamit, ya.”
“Hati-hati, ya. Papa cuma minta tolong jagain Eva baik-baik, Val. Papa percayakan dia ke kamu. Meskipun nanti dia bandel, tolong dididiknya pelan-pelan aja.” Papa menepuk-nepuk pundak gue pelan.
Gue mengangguk dan memberikan senyum menenangkan. “Siap, Pa. Valdi janji akan jaga Eva.” Kali ini gue benaran tulus dan bukan pura-pura. Karena gue tahu, bagaimanapun Eva adalah istri gue. Tanggung jawab gue. Meskipun pernikahan kami bisa dibilang tidak senormal pasangan lain.
Selesai mengucapkannya, gue menoleh dan menemukan Eva yang sedang berpamitan dengan Mama dan Kevin. Gue menyusulnya untuk menyalimi Mama. Kevin sendiri sudah menyalimi gue tanpa diminta.
“Kopernya udah dimasukin ke mobil sama adek-adek kalian.” Perkataan Mama menjawab mengenai hilangnya koper-koper gue dan Eva.
Gue menoleh menghadap ketiga adek gue dan memberikan senyum lebar. “Makasih ya, Adek-Adek Abang.”
“Sama-sama, Bang,” balas mereka kompak.
Dengan diiringi pelepasan oleh anggota keluarga kami, gue dan Eva akhirnya pergi dari rumah Mama.
***
Satu jam kemudian akhirnya kami berdua sampai di apartemen pribadi gue.
“Nih, bawa koper lo yang satu,” ujar gue seraya menyodorkan koper miliknya. Eva terlihat enggan, namun akhirnya dia menerimanya. Tanpa menunggu gue, Eva langsung menarik kopernya dan berjalan menuju lift.
Gue menghela napas pelan seraya mengunci mobil sebelum berjalan cepat menyusul Eva. Tepat saat gue sampai di depan lift, pintu lift terbuka. Kami berdua langsung masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian, pintu lift kembali terbuka di lantai sepuluh, lantai dimana apartemen gue berada. Gue langsung menekan nomor kombinasi yang gue gunakan sebagai pin.
Seteleh mendengar bunyi bip tanda kunci terbuka, gue langsung membuka pintu dan mempersilakan Eva untuk masuk terlebih dahulu. Gue membiarkan Eva berkeliling sebentar sementara gue mendudukkan diri di sofa.
“Di sini ada tiga kamar. Kamar gue yang mana?” Eva akhirnya membuka suara.
Gue menaikkan alis seraya menyilangkan kedua tangan di depan d**a. “Di sini memang ada tiga kamar. Yang di pojok itu ruang kerja gue, yang di sebelahnya kamar tamu, dan yang di sebelah dapur itu kamar gue. Kamar lo yang ada di sebelah dapur.”
Eva mengerutkan dahinya bingung. “Kamar di sebelah dapur kan kamar lo. Maksud lo, kamar gue yang ada di sebelah ruang kerja lo, kan ?”
Gue menggeleng santai. “Lo sekamar sama gue, Eva. Kamar tamunya sengaja gue kunci, biar lo nggak bisa nolak sekamar sama gue.”
Mata Eva langsung membelalak lebar. Ekspresi tidak percaya bercampur kesal kini menghiasi wajahnya. “Kita berdua sekamar?! Harus banget, gitu?!”
“Kita kan suami-istri, ya sudah seharusnya tidur di kamar yang sama.” Sekali lagi, gue berhasil menjawab dengan santai dan membuat Eva semakin sebal.
“Nggak-nggak. Gue nggak mau sekamar sama lo. Pokoknya kita harus pisah kamar.” Eva kembali menyuarakan protesnya.
Gue menghela napas sebelum berdiri dan berjalan mendekati Eva. “Kenapa sih memang kalo kita sekamar? Takut?”
Eva menganga tidak percaya. Dengan menggebu-gebu dia membalas, “Gue? Takut sama lo? Nggak mungkinlah. Ya udah, okay deal, kita sekamar!”
Eva kemudian berlalu begitu saja melewati gue. Sepeninggalnya, gue memasang senyum penuh kemenangan. Gue berhasil menyentil egonya dan membuatnya setuju buat sekamar sama gue.
Senyum gue mulai memudar dan pikiran gue mengenai kehidupan baru gue ini mulai datang perlahan.
Ada beberapa hal yang harus gue lakukan mulai sekarang, di saat gue dan Eva mulai tinggal berdua saja seperti ini. Yang pertama, gue harus menguatkan diri dan belajar untuk mengontrol kendali diri gue sebagai laki-laki—yang sebenarnya berstatus suaminya.
Lalu, yang paling penting, gue harus mengurangi rasa kagum gue terhadap Eva. Karena jika terus bertambah, pasti akan menimbulkan efek yang tidak baik buat gue.
Lebih baik lagi kalau gue bisa mendapat kejelasan di balik sikap Eva yang selalu terlihat benci sama gue.