Sergio adalah anak tunggal dari pasangan suami istri Anta dan Diana. Sergio hidup serba terpenuhi meskipun kedua orang tua Sergio sama-sama pekerja keras, tapi mereka tidak sekalipun mengabaikan Sergio. Bagi Diana dan Anta, Sergio adalah nomor satu.
Usia pernikahan Anta dan Diana sampai diangka sepuluh tahun dan di perayaan hari jadi mereka, Anta mengungkap keinginan untuk terjun di dunia politik. Diana sebagai istri yang suportif mendukung sang suami tanpa banyak bertanya.
Hari demi hari dihabiskan Anta untuk berkampanye, mempromosikan diri, menebar janji demi mendapat suara rakyat. Tidak terhitung dana yang Anta habiskan untuk kebutuhan kampanye, banner, kaos, uang selipan, sumbangan untuk kebutuhan masyarakat, dan masih banyak lagi. Dana terus keluar tanpa Anta memikirkan pemasukan bisnisnya yang kian lama semakin menipis hingga rugi karena tidak diurus dengan benar, meski Anta sudah melimpahkan ke orang kepercayaannya. Akibatnya bisnis Anta terpaksa gulung tikar dan Anta harus menghadapi kekalahan dirinya.
Anta terpuruk, semua usahanya gagal, dan Sergio pun tidak lagi mengenal lagi ayah kandungnya berkat lelaki itu selalu pulang larut malam, mabuk-mabukan, bahkan beberapa kali bertengkar dengan Diana.
Satu tahun berlalu, Anta kembali bangkit dan lebih bisa beradaptasi dengan keadaan. Namun bukan kapok terjun di dunia politik, Anta justru semakin berambisi untuk bisa menempati salah satu bangku DPR di pemilihan selanjutnya. Dengan segala bujuk rayu, Anta berhasil membuat Diana kembali mendukung ambisinya.
Dana dari bisnis Diana dialihkan untuk menaikan pamor Anta bahkan jauh sebelum rival Anta yang lain melaksanakan kampanye. Anta mencuri start dengan menemui masyarakat, diam-diam mendengarkan semua keluhan, diam-diam memberi solusi juga bantuan, hingga kepercayaan terbentuk.
Anta yang terus menggunakan uang dari bisnis istrinya dan Diana yang lama kelamaan mengalami kerugian. Semua seolah terulang kembali, bisnis Diana dibidang fashion langsung hancur karena perempuan itu tidak sanggup membeli bahan sementara hutang sudah menumpuk banyak.
Sergio tidak akan pernah lupa ketika mendapati Diana pingsan dan dinyatakan kelelahan oleh Dokter. Hanya kelelahan tapi keesokan harinya Sergio sudah kehilangan Diana untuk selama-lamanya. Bahkan hingga akhir, Diana masih mempedulikan Anta— orang yang notabene-nya membuat kondisinya seperti ini.
Sergio ingat jelas bagaimana dengan Diana menyampaikan pesan terakhirnya dengan suara lemah. "G-Gio... jagain Papa buat Mama ya? Kamu yang nurut sama Papa... meskipun Papa kamu keliatan beda... tapi Gio tau kan, Papa itu... keluarga Gio satu-satunya?"
Berbekal janjinya dengan Diana, meski seburuk dan semenyebalkan apapun Anta, Sergio selalu menuruti permintaan Anta meski selalu ia lakukan setengah hati dan kebanyakan gagal. Tapi setidaknya Sergio memenuhi janjinya pada Diana untuk menurut kepada Anta. Maka hari ini, ketika ia kembali diminta Anta untuk memainkan peran demi kelancaran suntikan dana untuk ambisi Anta, Sergio berjalan cepat menyusul Sasha. Mencekal salah satu lengan perempuan itu hingga membuatnya terpaksa berhenti dan berbalik menghadap Sergio.
"Lo sengaja berangkat pagi buat ngehindarin gue?"
Sasha yang tadinya terlihat kaget, secepat kilat berusaha menetralkan ekspresinya. Menarik tangan dari cekalan Sergio sembari berkata, "enggak!"
"Terus, kenapa lo berangkat sepagi ini?"
Sasha mengernyit bingung. "Ya terserah gue lah! Kenapa lo ribet?"
"Gue disuruh buat jemput lo." Sergio menarik napas dalam-dalam, menatap Sasha yang lebih pendek dari dirinya. "Pulang gue an—"
"Enggak!" Sasha akan berbalik, tapi ucapan Sergio kembali menahannya. Perempuan itu mengernyit bingung. "Sopir lo cuti, kan? Istrinya melahirkan."
"Tau dari mana?"
"Bokap lo," kata Sergio asal.
Seketika Sasha mendengus kesal, ia melemparkan tatapan tajam tersirat peringatan di sana. "Gue bisa pulang sendiri!"
***
"Gila-gila!" Mata Abi mengikuti gerakan Sergio yang baru saja masuk ke kelas dengan wajah datar mengabaikan semua perhatian yang tertuju pada laki-laki itu. "Ini nih, yang bikin satu sekolah gempar."
"Ha?"
"Ha-he-ho. Ck! Lo gak inget kemarin habis ngapain? Mana chat gue gak ada yang dibales sama sekali."
Sergio menatap Abi kemudian beralih pada Lando yang baru saja duduk di atas meja setelah menggeser ransel Sergio. "Ngapain gue?"
"Sasha?" pancing Lando.
"Anjing," gumam Sergio baru ingat apa yang ia lakukan kemarin. Lelaki itu bahkan baru sadar dirinya menjadi pusat perhatian berkat ia membawa kabur murid paling berprestasi di sekolah dengan alasan kelinci meninggal.
Abi terkekeh pelan, terlepas dari bagaimana tindakan Sergio, dia tahu maksud temannya itu menyelamatkan Sasha dari razia OSIS. "Tapi aman kan?"
"Aman... kayaknya"
"Kok kayaknya?"
Sergio menatap Abi dan Lando bergantian, detik kemudian ia menggelengkan kepala ketika ia mengingat ucapan Cliff untuk tidak ikut campur masalah pembeli mereka. Sergio menggelengkan kepala. "Enggak."
Bel tanda masuk berbunyi bersama dengan suara teriakan heboh Rahman teman satu kelas Sergio yang masuk ke dalam kelas dengan napas terengah-engah. Segera saja laki-laki itu dihujani banyak pertanyaan dari teman-teman kelas. "Lo kenape Man?"
"Kenapa lu Man?"
"Man lo gak apa-apa kan? Pucet banget muka lo." Tepat setelah pertanyaan Tiara— ketua kelas XII IPA 4, Rahman menarik napas dalam-dalam berusaha mengendalikan diri meski gagal karena bibir lelaki itu gemetar ketika menjelaskan apa yang baru dia lihat. "G-gue... g-gue barusan liat orang OD!"
"HAH?!" Semua kompak berseru kaget dan sontak berdiri menghampiri Rahman. "Siapa Man?"
"Di mana? Di Sekolah?!"
Sergio ikut berdiri, berjalan pelan menghampiri Rahman yang dikerumuni oleh beberapa teman satu kelasnya. Detik kemudian ketika satu nama keluar dari mulut Rahman seketika badan Sergio menegang. "Lo pada tau Sasha kan?"
"Sasha anak olimpiade?"
"Sasha OD?!"
Sergio langsung melesat keluar kelas, berlari sekuat tenaga mengabaikan panggilan Lando dan Abi yang mengejarnya di belakang.
***
Sasha masih berdiri mematung menatap Rizal yang terus kejang dengan mulut mengeluarkan busa. Mata Rizal terbuka lebar mengarah lurus ke atas sementara Bu Sri bersama dengan Pak Tono— tukang kebun SMA Gharda berusaha memberikan pertolongan.
Sasha tanpa sengaja menemukan Rizal sudah terkapar di dekat pintu Gudang yang terbuka lebar ketika perempuan itu seperti biasa akan menghabiskan waktunya menyendiri di taman belakang untuk membunuh waktu sebelum bel masuk berbunyi.
Tangan Sasha terkepal erat, samar-samar ia bisa mendengar derap kaki lebih dari dua orang semakin dekat dengan tempatnya berdiri. Disusul gemuruh suara gaduh juga teriakan Bu Sri yang panik sambil mengibaskan tangan. Sasha menelan ludahnya susah payah, badannya mulai gemetar, matanya kabur meski Sasha berusaha berkali-kali mengerjap untuk mengembalikan pengelihatannya.
Hingga detik kemudian perempuan itu merasakan kehangatan di punggungnya bersamaan dengan matanya yang ditutup oleh telapak tangan lebar hampir menutupi wajahnya. Hembusan napas berderu serta detak jantung berpacu dapat Sasha rasakan, berikut dengan suara berat yang entah mengapa sedikit menenangkan Sasha.
"Tenang Sa... ada gue."
***