Mama

1028 Kata
Sapaan keluar dari beberapa mulut dokter dan perawat yang tanpa sengaja berpapasan dengan Janu, pria itu hanya mengangguk dengan wajah dingin dan datarnya tetapi tidak mengurangi ketampanan dokter bedah itu. "Selamat pagi Pak Dokter," sapa seorang Dokter muda yang diketahui jika tertarik pada Janu. Janu mengangguk kecil, ia berniat untuk masuk ke dalam ruangannya tetapi sebuah tangan mencegahnya. "Saya membawakan anda sarapan, Dok." Ucap Dokter Rani menunjukkan paperbag kecil pada Janu. "Terima kasih, tetapi saya sudah sarapan." Balas Janu kemudian masuk tanpa mempedulikan Dokter Rani. Janu meletakkan tas yang ia bawa di bawah meja kerjanya, ia mendudukkan dirinya di kursi besar yang setiap hari menjadi saksi bagaimana ia bekerja keras. Ruangan yang tidak terlalu luas tetapi banyak menyimpan kenangan di dalamnya.  Di mejanya bukan hanya terdapat laptop dan berkas penting, ada satu barang pribadi yang begitu ia sayangi. Foto mendiang istrinya, setiap hari Janu akan bicara pada foto Riana seakan istrinya bisa mendengar ucapannya. "Selamat pagi, Sayang. Untuk kesekian kalinya kamu menemani aku bekerja," ucap Janu menatap foto istrinya dengan tatapan teduh. Janu beralih membuka telepon genggam miliknya ketika suara deringan notifikasi terdengar. Ia membaca pesan dari grup rumah sakit tempat bekerja yang beranggotakan para dokter dan perawat, seketika ia memejamkan matanya sambil mendengus. "Workshop di Surabaya dan itu selama satu minggu, bagaimana aku akan meninggalkan Zean sendiri." Gumam Janu memijat pelipisnya. Ia masih ingat selama beberapa tahun terakhir ketika akan mendatangi workshop atau seminar kedokteran, Janu akan di buat kelimpungan oleh rengekan Zean yang tidak ingin ditinggal olehnya dan berakhir ia harus pergi diam-diam. Hari ini pasien Janu lumayan banyak, ia sampai telat makan siang karena mengurus pasien nya, sebagai seorang dokter tentu itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Jam menunjukan pukul satu siang, Janu keluar dari ruangannya berniat untuk pergi ke kantin, tetapi langkahnya terhenti ketika seseorang menepuk bahunya cukup keras. "Pak Dokter ganteng, mau kemana?" tanya seseorang dengan nada yang membuat Janu ingin muntah. "Pergi dari sini, jangan menggangguku!" usir Janu menatap jengah orang di sebelahnya. "Ckck, kau ini kenapa dingin sekali, menjadi pria itu harus lembut." Celetuk Andi seraya menepuk pelan bahu Janu. Janu menatap dokter neurologis itu dengan malas, meski menjadi dokter bagian syaraf tetapi otak Andi sendiri tidak bekerja dengan benar. Setiap hari pekerjaan pria itu hanya mengganggu Janu. "Kau bisa mendiagnosis syaraf pasien, bisakah sesekali kau memeriksa syaraf mu sendiri?" tanya Janu melirik tajam ke arah Andi. "Berhenti menatapku begitu, kau seakan mau menerkam ku." Ketus Andi mendorong bahu Janu kasar. "Bukan menerkam, akan lebih baik memberimu suntik mati saja." Tukas Janu dingin kemudian berlalu dari hadapan Andi. Andi segera menyusul Janu ke kantin, kebetulan sekali ia juga belum makan siang. Ketika sampai di kantin, ia langsung duduk di hadapan Janu yang memasang wajah datar. "Kau itu tampan, bisakah wajahmu jangan terus dibuat seperti jalan tol?" celetuk Andi namun Janu diam saja. Merasa tak dijawab, Andi akhirnya memilih untuk diam dan memesan makan siangnya. Sambil menunggu pesanan masing-masing, keduanya fokus bermain ponsel, sampai tiba tiba seorang wanita datang menghampiri mereka. "Selamat siang," sapa Dokter Rani dengan senyuman manis yang ditujukan untuk Janu. "Eh ada Dokter cantik, sini duduk Dok!" ucap Andi dengan seenak jidat mempersilahkan Rani untuk bergabung bersama mereka. Dokter Rani memilih duduk di sebelah Janu, ia melirik ke arah pria idamannya yang terus diam tanpa ekspresi, tetapi itulah yang membuat dirinya tertarik pada duda beranak satu itu. "Dokter kok jam segini baru makan siang?" tanya Dokter Rani pada Janu. "Eh iya, Dok. Pasien saya banyak," bukan Janu yang menjawab, melainkan Andi. Dokter Rani menatap canggung ke arah Andi, ia merasa tidak enak untuk menyahuti ucapan Andi padahal jelas jelas ia tidak bertanya padanya. "Dok, bagaimana kabar Zean? sudah lama anda tidak membawanya main lagi ke rumah sakit." Ujar Dokter Rani basa-basi. "Rumah sakit bukan tempat untuk bermain." Jawab Dokter Janu dingin. Dokter Rani terdiam mendengar jawaban dingin Janu, terlebih lagi dengan kalimat yang keluar dari bibir pria itu rasanya benar-benar cukup membuatnya kikuk. "Eumm saya masih ada pasien, lanjutkan makan siang kalian. Permisi," pamit Dokter Rani setelah kecanggungan ia rasakan. Setelah kepergian Dokter Rani, pesanan mereka datang. Janu tidak banyak bicara dan langsung menyantap makan siangnya. "Nu, dia kan cantik dan juga pintar, kenapa sih kau nolak dia?" tanya Andi seraya memasukkan makanannya ke dalam mulut. "Bicara saat makan bisa mengganggu pencernaan." Jawab Janu nyeleneh. Andi melototkan matanya mendengar jawaban temannya itu, ia mengangkat sudut bibirnya dan memilih untuk makan daripada harus kenyang dengan suara ketus dan dingin pria itu. *** Janu merebahkan dirinya di ranjang untuk mengistirahatkan tubuhnya yang begitu terasa lelah, pulang dari rumah sakit ia langsung disambut oleh rengekan Zean yang menolak untuk makan. "Andai kamu masih ada, Zean tidak mungkin begini." Lirih Janu menatap foto pernikahannya dengan teduh. Tiba-tiba pintu kamar digedor cukup keras, dengan pelan Janu membuka pintu dan melihat putranya berdiri sambil membawa camilan di tangannya. "Papa, aku mau tidur dengan Papa." Ucap Zean kemudian langsung masuk ke dalam kamar sang Papa. Janu menghela nafas, ia menutup pintunya kembali lalu menghampiri putranya. Janu duduk di pinggir ranjang, memperhatikan putranya dengan teliti.  Zean sangat mirip dengan Riana, sifat nya yang manja dan terkadang keras kepala. Mengingat itu membuat Janu tersenyum. "Zean, berapa kali Papa bilang jangan makan camilan terlalu banyak." Tegur Janu lembut seraya mengambil jajanan dari tangan Zean. "Tapi Papa, sejak pagi aku belum memakannya…." Rengek Zean ingin mengambil jajanan nya kembali tetapi Janu menggeleng. "Tidak boleh!" balas Janu mengangkat tinggi jajanan yang hendak putranya ambil. Seketika Janu mengingat seminar nya, ia belum bicara pada Zean tentang kepergiannya besok ke Surabaya selama satu minggu. "Zean mau jajanan ini?" tanya Janu diangguki oleh Zean. "Ada syaratnya," ucap Janu seraya membawa Zean ke pangkuan nya. "Apa?" tanya Zean menunjukkan puppy eyes nya. "Besok Papa harus pergi, kamu dirumah sama Bibi Nini ya. Nanti Zean boleh makan jajanan apapun," jawab Janu berharap putranya setuju. "Aku mau ikut Papa," pinta Zean sambil memeluk Janu. "Tidak bisa, Zean. Papa akan sibuk disana," tolak Janu lembut. "Aku ikut!!" teriak Zean kencang. "Zean!!!" bentak Janu ketika mendengar teriakan Zean padanya. Zean terdiam, ia menundukkan kepalanya tak berani menatap sang Papa. "Begini cara kamu bicara pada Papa?" tanya Janu meninggikan suaranya. "Mama….." suara Zean berhasil menyadarkan Janu dari amarahnya. To be Continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN