Mission Imposible

1234 Kata
 aku diberi kesempatan untuk bertemu dengan jin pengabul tiga permintaan, aku hanya akan meminta satu permintaan saja. Cukup satu. Hapus apa yang terjadi kemarin sore saat aku salah melempar bom bukan ke sasaran. Sungguh kalau bukan karena deskripsi tanggung yang diberikan Nessa aku tidak akan salah sasaran seperti ini. Untung gerakan cepat menghilang dari tempat memang sudah keahlianku kalau tidak, dijamin hari ini aku tidak akan bernapas dengan benar. Secara teknis kejadian pemukulan berencana itu bukan sepenuhnya salahku. Tanyakan pada Nessa kenapa memberikan deskripsi yang setengah-setengah. Lagipula aku tidak salah mengartikan deskripsi darinya. Bos Nessa itu secara kebetulan memang menggunakan kemeja biru laut, memakai kaca mata dan tampan. Ya tampan. Ini inti kesalah pahamannya. Tampan itu kan bersifat relatif. Menurutku bos Nessa itu tampan. Dari mana letak kesalahannya. "Kesalahannya kau terlalu gegabah An. Seharusnya kau pastikan terlebih dahulu apakah pria yang kau maksud adalah sama dengan pria yang dimaksud oleh Nessa. Jangan asal sikat saja. Lagipula, An, kenapa sih harus memakai cara preman kalau bicara baik-baik masih bisa dilakukan. Untung Nessa dapat mengatasinya, kalau tidak kau bisa dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penganiayaan." Aku mendengus saat Vivi mulai menceramahiku lagi tak henti. "Aku sudah minta maaf." "Meminta maaf sangat berbeda dengan menitip maaf." Apa bedanya. Mungkin permintaan maafku tidak secara langsung diucapkan kepada tersangka, hanya lewat perantara melalui Nessa. Tapi yang penting ada sedikit itikad baik dariku untuk meminta maaf. Masalahnya kalau harus bertemu langsung aku tidak -mungkin belum- berani. Bayangkan saja. Bosnya Nessa itu tinggi, tegap, wajahnya tampan tapi ekspresi wajahnya menyeramkan. Kalau tiba-tiba aku muncul dihadapannya bisa-bisa tidak selamat. "Yang penting sudah minta maaf." Kataku tetap ngotot. "Sudah dimaafkan?" Tatapan tajam dari Vivi membuatku berpikir ulang. Memang belum ada pembicaraan penerimaan maaf tapi kan... "Terserah mau dimaafkan atau tidak, yang penting aku sudah minta maaf." Aku menjejakan kaki ke lantai kemudian melipir dari dapur mengambil beberapa kotak makanan katering yang telah siap untuk diantar ke BBC bank. Hari ini aku absen mengantar pesanan katering ke kantor Nessa. Jangan tanya kenapa. Kalau sampai bertemu dengan bos itu bisa panjang urusannya. Jadi untuk sementara waktu sampai masalah ini hilang dengan sendirinya aku tidak akan muncul di kantor Nessa. "Janji sampai masalahnya selesai, setelah itu kau akan kembali mengantar katering." Vivi memastikan ucapan janjiku tempo hari. Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah secara bersamaan. "Siap! Lagipula, aku 'kan ada urusan dengan bang Arsen." Vivi mendengus sebal tapi tetap melajukan mobil menuju BBC Bank. *** Suara ban mobil yang menginjak kerikil pelataran parkiran Read Eat membuatku cepat-cepat keluar untuk melihatnya. Aku hanya ingin tahu apakah Vivi berhasil mengantarkan katering tanpa ada masalah sedikit pun atau tidak. Karena sampai magrib begini Vivi baru sampai Read Eat. Vivi keluar dari dalam mobil katering dan aku langsung memelesat dari dalam restauran. Tapi langkahku yang baru mencapai pintu kaca restauran berhenti seketika karena mataku menangkap sosok pria yang paling tidak ingin aku lihat. Pria itu keluar dari dalam chevrolet spin silver, memakai kemeja putih dan celana hitam bahan yang sangat pas di tubuhnya. Vivi menghampiri pria itu dan seperti mempersilakan dia untuk masuk kedalam Read Eat. Otomatis aku langsung beringsut kabur ke dapur restauran. Apa sih maksudnya Vivi bawa-bawa si bos itu kesini. Begitu Vivi melewati dapur aku langsung menarik bajunya dari belakang sehingga membuat Vivi menjerit nyaring. "Vi, apa kau sengaja ingin balas dendam padaku karena kemarin aku telat membayar gajimu?" Sambil mengeratkan cengkeraman gagang sapu di tangan, aku langsung memberondong Vivi dengan pertanyaan. Wanita tomboy dengan rambut bondol seperti laki-laki ini langsung melongo. "Aku sudah tidak mempermasalahkan urusan telat membayar gaji. Lagipula dengan balas dendam tidak membuat gajiku bertambah 'kan?" "Kalau begitu kenapa kau membawa bos Nessa kemari?" Vivi menolehkan kepalanya melihat bos tampan yang wajahnya sudah kubuat babak belur. "Maksudnya Pak Abi, itu?" Vivi menunjuk ke arah bos tampan yang berjalan ke lantai 2 menuju perpustakaan. Aku mengangguk. "Hah? jadi dia yang kau aniaya?" Vivi melotot kaget seakan aku habis menghukum gantung orang yang tidak bersalah. "Iya!" aku menekan nada suaraku. "Demi Tuhan aku tidak tahu dia korbannya." Vivi mengacungkan jari tengah dan telunjuk secara bersamaan. "Nessa juga tidak bilang apa-apa padaku." "Jelas dia tidak akan bicara apa-apa, dia justru sangat bahagia bosnya datang menemuiku." "Tapi tenang saja An," raut wajahnya langsung berubah tenang dalam sekejap. "Dia kesini bukan ingin balas dendam padamu, dia ingin bekerja sama dengan pemilik katering." Di dunia ini memang tidak ada yang sempurna termasuk Vivi si otak encer. Idenya boleh selalu brilliant tapi masalah seperti ini otaknya tidak bekerja dengan baik. "Kau lupa ingatan pemilik katering itu adalah aku?! Coba kau pikirkan bagaimana jadinya jika si bos itu bertemu denganku? Apa jadinya?!" Kesabaranku mulai habis sementara rasa panik justru meningkat. "Kau mau aku tidak berada di dunia ini lagi? Kau mau aku mati mengenaskan di tangan bos itu?" Kepanikanku semakin menjadi. "Yang Maha Esa bahkan aku belum bertemu dengan Park Seojoon." Kepalaku menengadah disertai kedua tanganku diangkat keatas. Sedangkan Vivi memutar bola mata menganggap masalah ini hanya sebatas kau pipis di celana. Aku mengambil gerakan tidak beraturan, bergerak gontai kesana kemari memikirkan bagaimana caranya agar tidak dikenali oleh Abi. Aku memijat kepala yang berdenyut kemudian mencari-cari sesuatu untuk dijadikan sebagai penyamaran. Sambil mengendap-ngendap aku keluar dari dapur menuju lantai dua memasuki private zone dengan secepat kilat tanpa terlihat oleh bos tampan itu. Begitu sampai di dalam private zone mataku langsung melihat laci parsiti kecil yang terbuka. Ada sesuatu yang bisa kujadikan sebagai penyamaran. Kutarik sebuah masker penutup wajah lalu memakainya, kemudian mengambil kaca mata tanpa lensa minus dengan bingkai besar yang nyaris menutupi wajahku. Setelah itu ku bagi dua sama bagian rambutku lalu ku untai setiap bagiannya. Jadilah aku seperti gadis desa yang terkena virus flu bebek. "An, apa yang kau lakukan?" Aku terlonjak begitu menyadari keberadaan Vivi di belakangku. Vivi memutar tubuhku dan memandangku dengan tatapan heran. "Tentu saja menyamar, apalagi." "Untuk apa?" Aku menarik napas, memicingkan mata dan membuat lengkungan tipis di bibirku. "Untuk berhadapan langsung dengan musuh, butuh strategi khusus yang harus dilakukan." Ucapku penuh dramatis. "Kau tahu Angelina Jolie saat berhadapan dengan musuhnya dalam film Salt? Atau saat Park Macau melakukan aksi perampokannya di film the Thieves. Mereka semua melakukan penyamaran terhadap dirinya sendiri agar musuh dapat dikelabui dan aksinya berjalan dengan lancar." "Demi Tuhan, Lusiana," mata Vivi melotot diiringi geraman suaranya yang terdengar jengah. "Berhenti membayangkan super hero di setiap film action. Itu hanya adegan film yang mustahil dilakukan di kehidupan nyata. Lagipula penyamaran mereka tidak payah seperti ini. Berhenti berkhayal, temui Pak Abi dengan dandanan normal. Kau justru terlihat idiot." "Apa kau bilang? Kau itu benar-benar." Aku memijat keningku. Mulut Vivi merusak khayalanku. "Terserah, yang penting Pak Abi tidak mengenaliku." Kedua bahu Vivi melemas, masa bodoh dengan pendapatnya. Memang terlihat aneh. Rambut di kepang dua, kaca mata tanpa lensa minus dengan bingkai besar dan masker yang nyaris menutup wajah. Sama sekali tidak keren. Aku memelesat keluar dari private zone kemudian pergi ke ruang baca VIP yang sudah berada Abi di dalamnya. Ruang baca VIP adalah salah satu ruang membaca yang memang disediakan untuk pengunjung yang menginginkan suasana lebih nyaman. Begitu aku masuk ke ruang baca VIP, aku langsung menemukan Pak Abi sedang duduk di sofa bludru warna violet yang langsung mengarah ke jendela. Ditangannya terdapat buku karangan Nicolas Spark yang belum selesai k****a. Matanya menekuri halaman buku tersebut dengan serius. Saat dia menyadari keberadaanku, tangannya langsung menutup buku tersebut dan menyimpannya di rak buku yang di cat warna pink salem. Kemudian berdiri dan memberiku salam. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN