Ia menunduk menatap pantulan dirinya di air. Wajahnya tampak pucat, dan matanya merah, tapi ia terlalu lelah untuk menyeka air mata yang masih menggantung di sudut kelopak.
Suara langkah mendekat dari belakang membuatnya menegang.
Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
“Lady Evelina” suara itu terdengar dalam, tenang, namun kali ini lebih berhati-hati.
Ia menarik napas panjang sebelum menjawab “Tuan mengikuti saya sampai ke sini?”
Langkah Lord Vale berhenti beberapa langkah di belakangnya. “Saya tak ingin membiarkan Anda pergi dalam keadaan seperti tadi”
Evelina tersenyum kecil tanpa menoleh. “Saya tidak pergi, Lord Vale. Hanya berjalan agar udara pagi sedikit menenangkan hati”
Ia menatap air danau lagi, suaranya pelan namun jelas. “Tapi rupanya, bahkan di udara terbuka pun saya tetap membuat Tuan tidak nyaman”
Lord Vale menghela napas pendek. “Bukan begitu maksud saya”
Ia melangkah mendekat, sinar matahari jatuh di bahunya, memperlihatkan warna lembut abu di pelipisnya.
“Saya tidak bermaksud menyinggung harga diri Anda, Lady Evelina. Kata kata saya di taman keluar tidak sebagaimana mestinya”
Evelina menoleh perlahan. Cahaya pagi menyorot rambut pirangnya, membuat wajahnya tampak lembut namun tetap tegang.
“Mungkin bukan kata kata Tuan yang menyakiti” ucapnya tenang “melainkan kenyataan bahwa kemarin saya dengan bangga tidak membutuhkan bantuan Tuan, dan pagi ini Tuan mengajarkan saya untuk tidak sombong”
Lord Vale menatapnya lama, sorot matanya berubah lembut. “Saya tidak pernah menganggap Anda seperti itu”
“Tidak” Evelina tersenyum getir “tapi saya tahu tempat saya, Lord Vale”
Vale menahan napas, lalu melangkah sedikit lebih dekat. “Anda terlalu keras pada diri sendiri, Lady Evelina”
“Dan Tuan terlalu terbiasa memberi perintah” balasnya cepat, namun nadanya bukan kemarahan, lebih seperti luka yang sudah lama disembunyikan
“Saya menghargai kebaikan Tuan, sungguh. Tapi izinkan saya menjaga sedikit kehormatan yang tersisa tanpa harus selalu diingatkan akan belas kasihan tuan semalam”
Keheningan jatuh di antara mereka. Hanya suara lembut air danau yang bergoyang diterpa angin.
Vale menunduk, jemarinya meremas sarung tangan kulit di tangan kiri. “Saya tidak pernah bermaksud mempermalukan Anda. Yang saya pikirkan hanyalah”
“Reputasi Tuan” potong Evelina lembut “saya tahu”
Ia menatap danau lagi, wajahnya sendu tapi tenang. “Seorang bangsawan tidak boleh tampak terlalu dekat dengan seorang seperti saya”
Vale menatapnya diam diam. “Lady Evelina, yang saya khawatirkan”
“Khawatir?” tanyanya lirih
Namun sebelum ia sempat menjawab pertanyaannya tadi, suara lain terdengar dari balik pepohonan. Nada lembut namun membawa ketegasan yang tidak bisa disembunyikan.
“Ah, rupanya pagi ini Tuanku sedang beramal lagi”
Lord Vale menoleh cepat. Dari arah taman batu, seorang wanita melangkah keluar. Gaun biru safirnya berkilau di bawah cahaya matahari yang baru naik, dan setiap langkahnya mengeluarkan suara lembut dari gesekan sutra.
Lady Isolde de Montclair berjalan anggun, wajahnya tenang dengan senyum yang terlatih sempurna. Rambut pirang keemasannya tertata rapi di bawah tudung renda tipis, dan cahaya pagi memantulkan kilau peraknya.
“Lady Isolde” ujar Vale pelan
Tanpa menjawab, Isolde meraih pergelangan lengannya, gerakan halus menatap Evelina dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum.
“Betapa mulianya hati tunanganku” katanya lembut, matanya tetap tertuju pada Evelina “Ia selalu punya waktu menolong siapa pun yang membutuhkan, bahkan di tepi danau sekalipun”
Evelina menunduk, jari jarinya saling meremas di depan tubuhnya. Hembusan angin membuat gaun tidurnya berkibar ringan.
Lord Vale menegakkan bahu, suaranya rendah tapi tegas. “Lady Isolde, ini bukan seperti yang”
“Tidak perlu menjelaskan” potong Isolde, masih dengan senyum lembut. Ia menoleh sekilas ke arah Vale, lalu menatap kembali Evelina.
“saya tahu kemurahan hatimu bukan hal baru bagi Tuanku. Ayahku sering memuji sikapmu terhadap rakyat miskin”
Kata kata itu diucapkan tanpa nada tinggi, namun udara di sekeliling terasa dingin. Isolde lalu melangkah mendekat ke Vale, menggandeng lengannya lebih erat, sementara matanya memantulkan cahaya danau dengan kilau dingin.
“Udara di sini terlalu lembap untuk pakaian halusmu” katanya lembut, namun jelas ditujukan pada Evelina “Sebaiknya anda kembali ke kamar, Nona. Kami tidak ingin anda jatuh sakit”
Evelina mengangguk perlahan. “Tentu, Lady Isolde” Ia menunduk.
Evelina berbalik dan melangkah menjauh dari danau. Gaun tidur gadingnya yang ringan jatuh lembut hingga sebatas mata kaki, kain tipisnya memantulkan cahaya pagi dan membentuk siluet samar tubuhnya di antara kabut tipis.
Pergelangan kakinya menyentuh embun rumput saat ia membuka pintu besar yang menghubungkan taman dengan mansion.
Lady Isolde masih berdiri di sisi Lord Vale, jemarinya yang bersarung sutra menyentuh lembut tangan sang tunangan.
Senyumnya tetap indah, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan, bukan amarah, melainkan kewaspadaan yang dibalut keanggunan.
“Rusa itu sangat mempesona, bukan?” ucapnya lirih, pandangannya mengikuti arah kepergian Evelina “Lembut, cantik, namun cukup memikat untuk membuat seorang pemburu melupakan dirinya sendiri”
Lord Vale menoleh, guratan halus terlihat di rahangnya . “Isolde”
Ia menyela, suaranya tetap lembut. “Hati- hati, Tuanku. Dinding mansion ini punya telinga, dan atapnya bisa bercerita”
Ucapannya disertai senyum manis, tapi ujung matanya menajam. Lalu, dengan gerakan halus, Isolde mengarahkan pandangan Vale ke arah jalur taman atas.
Di sana seorang pria berdiri tegap di antara dua patung marmer, Lord Harrington, bangsawan pemilik tanah di wilayah Whitby, kota pelabuhan di utara yang dikenal dengan kabut tebal dan kapal kapal pedagang asingnya.
Cahaya matahari memantul di bros peraknya. Harrington sedang berbincang dengan dua pelayan istana, namun sesekali pandangannya melirik ke arah danau, ke arah mereka
“Lihat, bahkan para bangsawan tetangga memperhatikan setiap langkahmu” bisik Isolde.
“Bagaimana jika kabar tentang kemurahan hati tunanganku sampai ke telinga mereka? Apa yang akan mereka pikirkan tentang Lord Vale yang menolong seorang gadis dengan gaun tidur di tepi danau saat matahari belum sepenuhnya naik?”
Vale menatap ke arah Lord Harrington, yang kini menunduk sopan. Isolde tersenyum tipis, lalu meremas lebih kuat lengan Vale.
“Datanglah bersamaku. Lord Harrington sedang menunggu kita di paviliun. Akan lebih baik jika mereka melihat kita sebagai pasangan yang tidak mudah digoyahkan oleh cerita angin”
Ruang Makan Sayap Timur Mansion Vale
Suara langkah sepatu para pelayan bergema lembut di lantai marmer ketika pintu besar ruang makan terbuka.
Aroma sup daging dan roti panggang menyambut para tamu yang mulai duduk di kursi berlapis beludru biru. Di atas meja panjang yang mampu menampung tiga puluh orang, terbentang taplak sutra biru muda yang berkilau di bawah cahaya kandelar perak yang menggantung megah dari langit langit.
Cahaya lilin memantul di peralatan makan perak, sendok, garpu, dan pisau berukir halus dengan lambang keluarga Vale di gagangnya, burung gagak bermahkota perak di atas perisai hitam, simbol lama yang melambangkan kejernihan dalam bayang bayang dan kekuasaan yang tenang.
Di setiap tempat duduk terletak piring porselen putih dengan pinggiran emas tipis, gelas kristal berleher ramping, serta serbet linen yang dilipat rapi menyerupai bunga lili.
Dinding dinding ruangan dipenuhi lukisan berburu, kuda yang melesat di tengah hutan, anjing anjing pemburu yang menerjang kabut, dan para bangsawan berseragam merah dengan wajah tegas.
Di sisi timur terpajang perisai besar keluarga Vale, menampilkan gagak bermahkota di tengah permukaan hitam mengilap, diapit oleh dua pedang perak yang disilangkan. Di bawahnya terukir moto keluarga Virtus in Silentio, kebajikan dalam keheningan.
Para pelayan bergerak nyaris tanpa suara. Mereka mengenakan rompi hitam dengan kemeja putih bersih dan sarung tangan kain halus. Di antara mereka, kepala pelayan, pria paruh baya bernama Mr Alcott, berdiri tegak di ujung ruangan mengawasi setiap hidangan disajikan dengan presisi. Wajahnya kaku, namun matanya tajam, memastikan tak ada sendok bergeser dari tempatnya.
Hidangan pertama disajikan, Potage Parmentier, sup kentang dan daun bawang hangat, uapnya mengepul lembut di udara dingin pagi. Setelah itu, piring piring berganti cepat dengan truite meunière, ikan trout segar yang digoreng mentega dan diberi taburan peterseli. Aroma lemon dan mentega memenuhi ruangan, bercampur dengan wangi roti panggang dan anggur putih.
Dapur dan Ruang Pelayan di bawah Ruang Makan
Di bawah, suasananya sama sekali berbeda. Panas dari tungku besar batu kapur membuat udara terasa berat. Api berkeretakan di bawah panci tembaga besar, sementara pelayan dapur berlarian membawa nampan dan piring.
Meja kayu panjang di tengah ruangan dipenuhi sisa bahan, seikat herba, kulit kentang, dan remah roti. Seorang gadis muda bernama Marianne memoles piring porselen dengan kain kering, pipinya memerah karena panas. Pakaian mereka sederhana, gaun abu abu tua dengan celemek putih, rambut disanggul ketat agar tidak menyentuh makanan.
“Cepat, daging harus sampai sebelum lilin keempat habis terbakar” seru Madame Colette, juru masak utama bertubuh subur dengan suara berat beraksen Prancis. Ia mengangkat loyang besar berisi beef Wellington, daging sapi empuk dibalut pastry emas kecokelatan. Di sampingnya, dua pelayan muda menata pudding de pain au rhum di atas nampan perak, menyiapkan hidangan penutup terakhir malam itu.
Di atas sana, mereka tahu setiap gerak dan suara di dapur akan menentukan kesempurnaan jamuan para bangsawan. Tak ada ruang untuk kesalahan, sendok jatuh atau saus menetes bisa menjadi aib yang diperbincangkan selama berminggu minggu di kalangan tamu. .