Galang Jodoh

1484 Kata
Sebulan kemudian. Sepi juga. Mungkin karena Dina lebih banyak tinggal di rumah Adit. Ya iya lah. Kan cowok sableng itu suaminya sekaligus kakak iparnya. Ardan menghela nafas. Sungguh tak enak hati karena tak ada yang suka mengentutinya kalau sedang tengkurap di depan televisi seperti ini. Kan gak seru ya! Biasanya pekerjaan itu dilakukan Dina. Hihihi! Akhirnya ia beranjak. Papa dan Mamanya masih berkeliling pasar sepagi ini. Ia tadi sih diajak. Tapi paling jadi babu Mamanya, disuruh bawa barang ini-itu. Mana Mamanya belanja banyak pula. Haaah. Ia beranjak. Tumben pula si Ferril gak datang ke sini untuk menganggu paginya. Kenapa ia jadi ingin diganggu ya? Bukannya tak mau hidupnya tenang sih. Tapi sepi begini pun terasa aneh. Lebih seru kalau berisik dan banyak orang berteriak di rumah ini. Padahal baru semalam loh Adit dan Dina pulang pagi ke rumah. Baru semalam juga ia jadi bahan bully-an lagi. Yeah untuk ke sekian kalinya. Ia beranjak duduk. Benar-benar tidak asyik. Akhirnya ia mencuci muka dan menyikat gigi. Lalu mengganti baju dengan training dan baju berwarna cerah. Terakhir memakai sepatu olahraga. Meski sudah jam delapan pagi tapi para bocil pasti masih banyak yang berliaran di taman komplek. Jadi ia membawa dompetnya. Hari ini ia akan bermain dengan anak-anak, lebih tepatnya geng krucil. Kalau Rain menginap di rumah atau ada di rumah Opa mungkin ia bisa menjemputnya. Biar tidak sendirian menjadi orang dewasa. Tapi gadis itu kan tak menginap. Jadi ia berangkat sendirian. Kemudian mengeluarkan sepedanya dari garasi dan mengendarainya menuju ke rumah Tantenya. "Adeeeev! Adeeeeel!" panggilnya. Airin terkekeh mendengar suara yang memanggil itu. "Siapa?" tanya Akib. Ia sedang sibuk dengan tanaman di halaman belakang. "Si Ardan." Akib tertawa. "Nyari temen tuh." "Iyaa!" sahut Airin sambil tertawa. "Bilangin, Bi, Adeev sama Adel udah di taman." Suaminya bergerak ke depan. "Udah di taman, Dan! Nanti suruh pulang juga ya!" "Oke, Om!" sahutnya lalu memutar balik sepedanya, keluar dari rumah Tantenya. "Kesepian itu pastinya." Airin tertawa. Nasib ditinggal saudara serahimnya menikah. Di rumah pun sering diomeli Aisha. Makannya menyuruh agar jalan-jalan saja keluar dari pada tidur-tiduran tidak jelas di atas karpet. Tapi yang namanya Ardan mana mendengar. Pagi ini, ia mengendarai sepeda. Tadi sempat berpapasan dengan Farrel yang masih berlari. Nanya pula, "sendirian, Rel?" Padahal ia pun sendiri. Hihihi. Jomblo teriak jomblo. Tadinya sih mau gabung sama Farrel tapi dia tampaknya sedang berlari dengan serius. "Abaaaaang!" Adeeva melihatnya dari kejauhan. Bocah-bocah itu sedang main sepatu roda. Maklum lah, baru beli. Jadi dipakai terus selama berhari-hari. Di rumah juga begitu sampai Umminya mengomel karena memakai sepatu roda tidak pada tempatnya. Ya kan Umminya baru selesai mengepel tapi lantai sudah kotor lagi karena sepatu roda. Dalih mereka.... "Bersih gini, Miii!" Ardan menghentikan sepedanya di dekat trotoar. Bacotan Adel terdengar paling mendominasi. Gadis kecil itu sibuk mengajari anak-anak menggunakan sepatu roda miliknya. Ardan menggelengkan kepala. Gadis kecil itu memang maunya mengatur. Ia tak bisa diatur Ardan dan yang lain. Sama Anne saja suka membacot. Apalagi sama Tiara? Tiara bahkan tak sebanding dengannya. Padahal Tiara itu sudah bawel. Sangat-sangat bawel. "Depan yuk!" ajak Ardan pada Adeeva. "Jajan ya, Abang!" Kalau soal jajan kan nomor satu. Ardan mengangguk. Adeeva berteriak pada Adel. "Teteeeeh! Adeev mau jajan sama Abang Ardan!" "Iiih Adel juga mau, Baaang!" Ardan terkekeh. Ia mengangguk-angguk dan menunggu dua bocah itu memakai sepatu rodanya. "Balapan yuk, Bang!" Si Adel sombong. Mentang-mentang jago mengendarai sepatu rodanya. Ardan terkekeh. "Bahaya," tuturnya tapi dibalas dengan dengusan centil milik Adel yang membuat gemas. Kedua gadis kecil itu berjalan di depan di atas trotoar sementara Ardan membuntuti dari belakang. "Abang Ardan kenapa sih?" tanya Adel. "Apanya yang kenapa?" "Kenapa jomblo?" Makjleb! Itu sih jawabannya susah ditemukan. Tampang ganteng seperti Papanya. Berkulit putih jauh lebih bersih dibanding Papanya tapi kalah maskulin. Badan? Yaa lumayan kurus sih memang tapi kan tinggi. Terus dompet tebal, bakal calon penerus Papanya pula. Apa yang salah? Tidak ada. Ini karena takdir saja yang tidak memilihnya. Hihihi. "Iiish! Teteh! Ummi bilang, gak boleh nanya begitu sama Abang!" Ardan mengelus d**a mendengarnya. "Iih! Kan cuma nanya!" sahutnya. Namanya juga mulut-mulut bocah. Kadang Ardan dijudesin lebih dari ini. Untungnya, masih sabar-sabar saja. "Soalnya Abang itu.....," omongannya tiba-tiba memelan. Ia memepetkan bibirnya pada telinga Adel. "Gak ada yang mau!" lanjutnya yang membuat Ardan jelas-jelas mendengar meski suaranya dikecilkan. Benar-benar dah nih bocah! "Iya sih!" Adel mengiyakan pula. Ardan berdeham. "Udah puas ngeledeknya?" Kedua bocah itu cekikikan. @@@ "Menikah itu memang pilihan tapi kan kasihan kalau Abang sendirian," tutur Adel dengan wajah sedih tapi sangat menikmati es krim gratisan yang dibayar Ardan. Lucunya, mereka bertiga duduk di meja melingkar. Kursinya juga melingkar dan pas untuk bertiga. Hal lucu lainnya adalah Ardan sering dikira ayah dari kedua bocah ini. "Iya tauk, Bang! Abang Ando aja udah nikah!" seru Adeeva. Itu sih semua orang juga tahu. "Jodoh itu gak ada yang tahu," tutur Ardan. Ia satu-satunya yang membeli otak-otak berkuah. Sepeda Ardan di parkir di parkiran bersama kendaraan lain. Sepatu roda Adel dan Adeeva masih di kaki masing-masing. "Ya memang gak ada yang tahu, Abaaang! Tapi kalau gak dicariii gimana cobaaa?" omel Adel. Adeeva mengangguk-angguk setuju. Kenapa ia malah diomelin sih? Sama bocah lagi! Astaga! "Kata siapa Abang gak nyari?" "Kak Dina!" sahut Adeeva. Makjleb. Emang kembaran k*****t! Hahahaha! "Kata Kak Dina, Abang Ardan itu jomblo bukan hanya karena gak ada yang mau tapi juga gak nyari yang mau!" tuturnya yang entah kenapa terdengar masuk akal. Kenapa ia tak berpikir? Selama ini ia hanya berpikir, tiap melirik cewek lalu godain sedikit eeeh cewek-ceweknya melengos. Kalau gak ya mereka illfeel gitu. Ardan kan lelah juga. Adik ipar sepupunya juga tak tertarik padanya. Hadeh-hadeh! "Terus Abang harus gimana?" tanyanya yang mungkin kalau didengar Rain dan yang lain, pasti sudah ditertawakan. Hahaha. Ini pertanyaan lucu karena bertanya pada bocah-bocah. "Ya cari lah, Abang. Adel kan gak punya kenalan cewek-cewek gede!" sahut Adel. Adeeva mengangguk-angguk. "Adeev juga sama! Kalau sama temen sekolah Adeev, memangnya Abang mau?" tawarnya yang membuat Ardan ternganga. Astaga bocah sepuluh tahun ini. Kalau teman sekolah Adeeva itu artinya masih seumuran Adeeva kan? Kapan ia menikah kalau begitu! Beneran jadi bujang tua dah! "Guru Adeev di sekolah ada yang cantik gak?" Akhirnya Ardan memberikan ide. Kan siapa tahu ada. Namanya juga berikhtiar. Iya kan? Kita gak pernah tahu jalannya mencari jodoh itu dengan jalur apa yang lebih cocok. Tempuh saja semua jalurnya selama jalur itu baik. Kedua gadis kecil itu tampak berpikir. Tak lama, Adel ber-aha ria. Ada kah? "Tapi Adel gak tahu ya, masih jomblo atau enggak," tuturnya. "Siapa, Kak?" Adeeva kepo. "Ibu guru Melati yang ngajarin bahasa Inggris." Aaaaah. Adeeva mengangguk-angguk. Gurunya yang paling cantik di sekolah. "Cantik loh, Abaaang!" tuturnya ketika ketiganya berjalan menuju rumah Adel. Niatnya? Katanya Adel punya foto bersama Bu Guru Melati di rumah jadi Ardan harus melihatnya. Hihihi. "Cantik itu gak penting. Yang penting kan baik," tutur Ardan sok bijak. Hihihi. Berhubung yang ditawarkan cantik, jadi jangan dilewatkan. Tiba di rumah, ketiganya berjalan menuju kamar Adel. Gadis kecil itu membongkar beberapa album yang ada di dalam lemarinya. Kemudian mencari-cari di halaman mana foto itu ada. Setelah sepuluh menit berlalu, akhirnya Adel menemukan fotonya yang memakai pakaian khas daerah Jakarta bersama Bu Guru Melati. "Tuuh! Cantik kaaan!" serunya. Mata Ardan melebar. Gayanya setiap melihat cewek cantik. Hahaha. Adeeva mengangguk-angguk. Ia juga tahu kalau ibu guru yang satu itu memang cantik. "Terus gimana cara kenalannya?" Mata kedua bocah itu menyipit. Tampak berpikir keras. Cara apa untuk membuat ibu guru itu mau berkenalan dengan Ardan? Hahaha. "Euung! Besok kan Adel sekolah. Nanti kalau Abang yang jemput gimana? Tapi Adel pulangnya siang loh!" tuturnya. Soalnya kan ia tahu kalau abang sepupunya ini bekerja. Tapi Ardan menyetujui hal itu. Ia akan datang menjemput Adel dan Adeeva saat mereka pulang besok. Begitu Ardan pergi, Airin bertanya pada Adel. Heran saja. Biasanya kalau mereka seperti itu pasti sudah merencanakan sesuatu. Bayangkan saja, lelaki usia 28 tahun tapi berkumpul bersama bocah sepuluh tahun dan dua belas tahun. Hahaha! "Ngapain lagi?" "Biasaaaa, Ummiii! Bisniiiis!" ucap Adel sok tahu. Umminya tertawa mendengar itu. Kepalanya pusing dengan kelakuan dua gadis kecil ini. Ada saja kelakuannya. "Bisnis apalagi sih?" tanya Akib. Heran saja. "Cari jodooooh buat Abang Ardaaaan!" tambah Adeeva. "Abang Ardan kan jomblo!" Ummi dan Abinya tertawa mendengar itu. "Memangnya bisa?" ledek Akib. "Iiih! Kan Adel punya banyak kenalaaaan!" ujarnya sok tahu. Hahaha. Padahal cuma punya satu kenalan, itu pun guru paling cantik di sekolah. "Memangnya Bu Guru Melati masih jomblo, Teh?" tanya Adeeva. Adel mengendikan bahu. "Kata Kak Farras, kalau kita mau melakukan sesuatu itu harus dicoba dulu. Kita kan gak pernah tahu nanti hasilnya akan gimana," ujarnya sok bijak. Adeeva mengangguk-angguk sok paham. Hahaha. Persoalan jodoh ini memang pelik. Gara-gara Ardan, kedua bocah ini ikut pusing memikirkannya. "Kalau Bu Guru gak mau gimana?" tanya Adeeva. Ia tak yakin sebetulnya. Mungkin kalau yang ditawarkan setipe abang sepupunya yang lain masih mau. Hahahaha. "Kata Ustad Marshall, tugasnya hamba Allah itu adalah berusaha. Sisanya kita serahkan semuanya pada Allah," tutur Adel dengan menggebu-gebu dan penuh semangat. Hihihi. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN