Chapter 5-Poison

4162 Kata
Pukul delapan malam. Nabila berdecak pelan dan berdiri di depan pintu rumah Valeria. Gadis itu memang tidak masuk kuliah hari ini karena ada urusan keluarga. Namun ternyata, pihak kampus memang sengaja meliburkan para mahasiswa karena adanya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Ichsan. Nabila sendiri mengetahui hal itu dari Valeria yang meneleponnya siang tadi. Dan sahabatnya itu meminta dirinya untuk datang ke rumahnya dan menginap disana karena Valeria hanya berdua dengan Vincent saja. Kedua orangtua mereka pergi ke Bandung untuk menginap disana selama tiga hari karena saudara Valeria yang memang sedang sakit, keadaannya semakin mengkhawatirkan.             “Aduh... gue mesti gimana, nih? Kalau ketemu sama Kak Vincent, apa yang mesti gue lakuin, coba?” gumam gadis berkerudung itu sambil mengusap dagunya. Sama sekali tidak ada keinginan untuk menekan bel rumah Valeria atau mengetuk pintu rumah tersebut.             “Ya bersikap biasa aja sama aku... emangnya, kamu harus bersikap seperti apa?”             Satu suara bernada geli dan terdengar sedikit serak namun justru menimbulkan kesan seksi di kedua telinga Nabila, membuat gadis itu tersentak kaget dan langsung memutar tubuhnya. Nabila langsung melompat mundur ke belakang hingga punggungnya membentur daun pintu. Dia kembali mengalami kesulitan bernapas dan jantungnya mulai berdetak liar.             Di depannya, sudah berdiri sosok Vincent yang sedang mengangkat satu alisnya dan tersenyum lebar. Kemeja berwarna dongker dengan garis-garis merah dimana lengan kemeja tersebut dilipat hingga sebatas siku, rambut yang terlihat sedikit berantakan, dasi yang dilonggarkan, dua kancing atas kemeja kerjanya yang sengaja dilepas hingga menampilkan belahan segitiga putih didalamnya juga jas yang disampirkan di sebelah lengan Vincent. Semua itu membuat Nabila menelan ludah susah payah dan menjadi salah tingkah. Gadis itu sangat yakin bahwa kini, senyumannya terlihat sangat aneh di mata Vincent.             Nabila tidak heran jika melihat Vincent baru saja pulang dari kantor saat ini. Valeria tadi bercerita bahwa dia memang sengaja tidak memberitahu kasus bunuh diri yang terjadi di kampus mereka kepada Vincent supaya sang Kakak tidak khawatir. Valeria tidak ingin mengganggu pekerjaan laki-laki itu. Karena, Valeria sangat yakin, apabila dia menceritakan hal tersebut kepada Vincent, laki-laki itu pasti akan langsung meninggalkan pekerjaannya dan pulang ke rumah.             “Kak... Vincent...? Kakak udah lama berdiri di... situ...?” tanya Nabila gugup. Tuhaaaaan... kenapa Engkau menciptakan makhluk setampan dan sekeren Kakak dari sahabatnya ini, sih? Belum lagi wangi parfum yang menguar dari tubuh tegap Vincent dan menggelitik indera penciumannya. Errr... boleh, nggak, dia mengkhayal untuk berada dalam dekapan Vincent walau hanya beberapa detik, saja?             “Cukup lama untuk ngeliatin kamu berdiri kayak anak hilang dan bergumam sendirian di depan pintu rumah aku.” Vincent terkekeh geli dan menghembuskan napas panjang. Dia maju beberapa langkah dan langsung merentangkan kedua tangannya di sisi kepala Nabila, mencegah gadis berkerudung itu yang sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur.             “Kenapa, ya, kita berdua selalu berakhir dalam posisi seperti ini?” tanya Vincent sambil mengagumi kecantikan Nabila dari jarak yang sangat dekat. Dadanya bahkan bersentuhan dengan d**a gadis itu dan Vincent pun bisa merasakan helaan napas Nabila pada wajahnya. Kegugupan Nabila justru menjadi kesenangan tersendiri bagi Vincent. Gadis itu begitu polos di kedua matanya, membuat Vincent semakin tertarik dan semakin ingin menjaga serta melindungi gadis itu dari bahaya apapun yang mungkin mengincarnya.             “Mmm... Kak Vincent... itu... mmm... itu....” Nabila mati kutu. Gadis itu sama sekali tidak bisa berkutik ketika kini, Vincent semakin mendekatkan wajah mereka hingga Nabila bisa merasakan ujung hidungnya dan ujung hidung mancung Vincent bersentuhan.             “Aku selalu suka kalau kita berakhir dalam posisi sedekat ini. Bikin aku puas mandangin wajah manis kamu....” Vincent kini mulai mengelus pipi Nabila, membuat gadis itu semakin tidak karuan. Ya Tuhan, hanya satu pinta Nabila saat ini. Semoga jantungnya bisa bertahan sampai dia tua nanti. Jangan tewas dulu karena serangan dari laki-laki di hadapannya ini.             Tiba-tiba, pintu rumah Vincent terbuka dengan satu hentakan keras. Tubuh Nabila yang memang sepenuhnya bersandar pada daun pintu otomatis terjungkal kebelakang. Dengan sigap, Vincent langsung melingkarkan sebelah lengannya ke pinggang Nabila, menahan tubuh mungil gadis itu agar tidak jatuh menghantam kerasnya lantai. Keduanya sama-sama menghembuskan napas lega, namun beberapa detik kemudian, Nabila kembali dilanda kegugupan yang begitu hebat karena tubuhnya kini berada dalam dekapan Vincent.             “Dih... Kak Vincent sama Nabila ngapain peluk-pelukan di depan pintu rumah begitu? Nggak malu?” tanya Valeria dengan nada polos. Vincent mendongak dan mencibir, lalu menegakkan tubuh Nabila. Setelah memastikan bahwa gadis yang ditaksirnya itu baik-baik saja, Vincent langsung menyentil kening Valeria, membuat adiknya itu melongo dan mengerjapkan kedua matanya.             “Salah aku apaan, Kak, sampai disentil kayak barusan?” gerutu Valeria seraya mengusap keningnya. Valeria menatap Nabila yang hanya bergeming di tempatnya dengan sebelah tangan terangkat ke d**a. Valeria mengulum senyum dan mengangkat satu alisnya ketika melihat ekspresi ajaib sahabatnya itu.             “Kamu main buka pintu seenak jidat aja... kalau tadi Nabila jatuh, gimana? Kalau dia luka, gimana? Buka pintu pelan-pelan, Val....” Vincent kembali menatap Nabila dan ikut-ikutan Valeria, mengulum senyumnya.             “Yee... siapa yang suruh kalian berdua bermesraan di depan pintu rumah? Bukan salah aku, dong! Orang aku mau ngejar tukang nasi goreng yang barusan lewat. Makanya, kalau mau mesra-mesraan, didalam kamar aja sana. Sekalian bikinin ponakan buat aku.”             “VAAAAAAL!!!” teriak Nabila setelah dia tersadar dari lamunannya dan mendengar kalimat terakhir Valeria.             “Apa, sih? Nggak usah histeris gitu, deh. Gue belum budek.” Valeria terkekeh geli ketika melihat Nabila menundukkan kepalanya dan wajahnya mulai merona merah.             “Udah... mendingan kita masuk aja kedalam. Val, tukang nasi gorengnya udah keburu lewat. Nanti aja, setelah aku mandi, kita bertiga makan diluar.” Vincent menatap ransel yang dibawa Nabila. Senyum Vincent mulai merekah ketika mengetahui apa yang akan dilakukan gadis berkerudung itu di rumahnya. “Kamu mau nginap disini, Bil? Kalau gitu, mau ikutan mandi bareng aku?”             Sinting, kali!             Melihat Nabila menutup wajahnya dengan kedua tangan karena ucapan Vincent barusan, Valeria langsung berdecak jengkel dan menendang punggung sang Kakak hingga laki-laki itu masuk kedalam rumah. Suara tawa Vincent bahkan masih bisa terdengar di kedua telinga Valeria dan Nabila.             “Duh, Val... gue bisa mati muda kalau terus-terusan ada di dekat Kakak lo,” keluh Nabila dengan suara yang teredam. ### “Betah banget lo di rumah si cewek sialan itu.”             Suara Marvin yang terdengar begitu ketus dan dingin membuat Melvin berdecak jengkel. Laki-laki itu berjalan menuju sofa ruang tengah dan menghempaskan tubuhnya disana. Dibukanya kacamata tebal yang selalu dia pakai untuk penyamarannya dan dilemparnya benda tersebut ke atas meja. Melvin menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dan memijat pelipisnya yang terasa pening. Kemudian, Melvin merasa sofa di sebelahnya melesak kedalam dan begitu dia menoleh, dia menemukan sosok Marvin sudah duduk di sampingnya sambil menatapnya dengan alis terangkat satu.             “Lo bikin diri lo sendiri capek, tau nggak, Vin? Ngapain, sih, lo sampai sebegini rempongnya cuma buat ngurusin si Val?” tanya Marvin bete. “Gue benar-benar nggak rela kalau lo sampai pacaran sama dia, Vin!”             “Berisik, Mar! Gue capek! Lagian, kenapa sih, lo sebegitu antipatinya sama Valeria?” Melvin menatap saudara kembarnya tepat di manik mata. “Jangan bilang kalau ini semua karena teori lo itu.”             “Teori apa?”             “Teori lo yang mengatakan kalau semua cewek itu sama aja. Sama-sama matre.” Melvin bangkit berdiri dan berniat menuju kamarnya, ketika suara Marvin kembali terdengar dan membuat langkah kakinya terhenti.             “Lo tau kenapa gue bisa bikin teori itu, Vin?” tanya Marvin dengan suara berat. Suara yang terdengar sarat akan emosi, tetapi sebisa mungkin ditahannya. Marvin kini bangkit berdiri dan memasang tubuhnya di depan Melvin. Keduanya saling tatap dalam diam. Melvin membalas tatapan tajam yang dilayangkan oleh Marvin dengan tenang.             “Kenapa?”             “Karena gue benci sama yang namanya cewek! Karena mereka itu memang makhluk yang memandang semuanya, terutama laki-laki, dari segi materi! Gue muak sama mereka!”             “Gue benar-benar nggak percaya omongan itu keluar dari mulut seorang Marvin Radityan yang notabene adalah playboy kelas wahid!” Melvin terkekeh geli dan menggelengkan kepalanya. “Omongan lo nggak masuk logika, Mar!”             “Gue akuin gue memang sering gonta-ganti pacar, tapi itu semua cuma untuk kesenangan semata aja! Lo tau? Awal gue punya pacar, gue nggak sengaja dengar dia ngomong sama temannya kalau dia sama sekali nggak suka sama gue, sama sekali nggak sayang sama gue. Dan ketika dia ditanya sama temannya kenapa dia sampai mau nerima cinta gue, lo tau apa yang gue dengar?” tanya Marvin sambil tertawa datar. Melvin bahkan bisa melihat kedua tangan Marvin terkepal kuat di sisi tubuhnya. “’Tentu aja karena uangnya banyak!’ itu yang dia bilang ke temannya waktu itu. Gue marah, Vin! Gue kecewa, gue sakit hati! Gue mau hajar dia, tapi dia cewek. Sejak saat itu, semua cewek di mata gue itu sama aja! MATRE!”             “Nggak semua, Mar! Valeria nggak begitu!” tukas Melvin langsung. Mendengar hal itu, Marvin mendengus dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Tatapan matanya pada Melvin menyiratkan ejekan yang begitu besar.             “Belum, Vin... lo hanya belum melihat sisi Valeria yang satu itu. Dan ketika dia udah menampakkan sifat aslinya, jangan pernah menyesali keputusan lo yang selalu membela dia dan mengabaikan peringatan gue.”             Selesai berkata demikian, Marvin berjalan melewati Melvin dan sengaja menabrakan bahunya ke bahu kembarannya tersebut. Melvin hanya bisa diam dan merenungi semua ucapan Marvin barusan. Dia sudah menghabiskan waktu sembilan belas tahun ini bersama Marvin, tetapi dia sama sekali tidak mengetahui rahasia yang baru saja dibeberkan Marvin barusan.             Baru saja Melvin akan melanjutkan langkahnya menuju kamar, melalui ekor matanya, dia melihat mobil Jazz berhenti di depan pagar rumahnya. Melvin bisa melihat mobil tersebut melalui pintu rumahnya yang memang masih terbuka setengahnya. Kemudian, begitu Melvin akan menghampiri mobil tersebut, kendaraan itu sudah lebih dulu pergi meninggalkan kediamannya. Membuat Melvin mengerutkan kening dan menyipitkan kedua matanya.             “Tadi itu... mobil si Inggit, kan?” gumam Melvin pelan. ### Inggit menepikan mobilnya di pinggir jalan tepat di depan salah satu warung nasi yang ramai oleh pengunjung. Gadis itu menelungkupkan kepalanya di kemudi mobil yang dicengkram kuat sampai buku-buku tangannya memutih. Napasnya memburu dengan hebatnya. Ketakutan itu kembali menyeruak keluar. Dia memang baru pindah ke Universitas Pelita Harapan kemarin. Dia mendapatkan informasi bahwa Melvin, laki-laki yang ditaksirnya selama ini, laki-laki yang dicintainya sepenuh hati selama ini namun tidak pernah melihat ke arahnya, kuliah disana. Tapi, baru sehari dia menginjakkan kaki di Universitas tersebut, dia sudah dikejutkan dengan sebuah peristiwa. Peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh seorang mahasiswa semester tiga, yang berarti adalah seniornya. Namun, satu hal yang Inggit ketahui tetapi tidak diketahui oleh orang lain.             Mahasiswa itu dibunuh, bukan bunuh diri!             Ya... Inggit menyaksikan semuanya. Semalam, saat dia pulang dari rumah Melvin karena sakit hati akibat perbuatan Marvin yang melecehkannya dan mencium bibirnya begitu saja tanpa ampun. Rute perjalanan dari rumah Melvin menuju rumahnya memang melewati kampus tempat mereka menimba ilmu. Inggit sedang mengusap airmatanya sambil mengendarai Jazz-nya, ketika dia tidak sengaja melihat dua orang laki-laki sedang berseteru di dekat pos satpam kampusnya. Pos itu kosong, tanpa dijaga oleh satpam yang bersangkutan. Langsung saja, Inggit menghentikan mobilnya dan menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas peristiwa tersebut.             Gadis itu terbelalak ketika dia melihat seorang laki-laki bertubuh kurus tetapi sepertinya memiliki tenaga besar itu mendorong tubuh lawan bicaranya. Setelah tertawa keras, laki-laki itu masuk kembali kedalam kampus, meninggalkan orang yang didorongnya itu. Tak lama, Inggit melihat orang tersebut juga ikut masuk kedalam kampus. Penasaran dengan kedua orang tersebut, Inggit turun dari dalam mobil dan mengikuti keduanya.             Suasana kampus di malam hari ternyata begitu menakutkan. Inggit sudah berniat untuk kembali ke mobilnya, ketika dia mendengar suara geraman keras. Gadis itu berhenti melangkah dan memutuskan untuk pergi ke sumber suara, meskipun hatinya benar-benar menjerit ketakutan. Tiba di depan toilet perempuan, tepatnya di sebuah ruangan di samping toilet, Inggit bisa melihat laki-laki yang dilihatnya di depan tadi sedang dililit lehernya oleh sebuah tambang berukuran sedang dari arah belakang. Inggit yang semakin ketakutan lantas mulai melangkah mundur. Tubuhnya gemetar hebat. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sialnya, gadis itu terjatuh dan menimbulkan suara gaduh, membuat orang yang sedang mencekik laki-laki di depannya itu menoleh dan bertatapan dengan Inggit. Langsung saja, Inggit bangkit berdiri dan berlari sekencang mungkin. Kemudian, pagi tadi, dia mendapat berita bahwa laki-laki yang semalam dilihatnya itu dinyatakan bunuh diri.             “KYAAAAAA!!!”             Inggit menjerit keras ketika dia mendengar suara ketukan. Gadis itu langsung mengangkat kepalanya dan menoleh ke samping. Debaran jantungnya begitu keras, hingga membuatnya kesulitan bernapas. Gadis itu langsung menghembuskan napas lega ketika dia mengenali sosok orang yang baru saja mengetuk jendela mobilnya itu.             “Ngapain lo disini?” tanya Inggit pelan, ketika gadis itu turun dari mobil. Dia menyandarkan punggungnya di badan mobil dan menatap ke segala arah. Seolah mencari tahu apakah ada orang yang mencurigakan sedang mengawasinya atau tidak.             “Kata Melvin, tadi dia ngeliat lo markir mobil di depan rumah, tapi lo nggak masuk malah langsung pergi. Tumben banget, kenapa?” tanya Marvin. Laki-laki itu mengangkat satu alisnya dan bersedekap. Di belakangnya, motor Ninja hitamnya masih setia menemani. Tadi, Melvin memang datang ke kamarnya dan memberitahukan padanya tentang Inggit yang hanya menghentikan mobilnya di depan pagar tanpa ada niat untuk masuk kedalam rumah. Teringat dengan sikap Inggit yang aneh pagi tadi, Marvin langsung melesat keluar rumah dan berusaha mengejar mobil Inggit. Hampir putus asa karena menyangka tidak berhasil mengejar gadis itu, Marvin langsung menyipitkan mata ketika dia melihat mobil Inggit terparkir di tempat ini.             “Nggak apa-apa,” jawab Inggit. Nada suaranya menerawang, seolah terdengar sangat jauh sekali. “Gue cuma lupa kalau ada urusan yang masih harus diselesaikan.”             “Dan urusan itu adalah makan?”             “Hah?”             “Mobil lo berhenti tepat di depan warung ini, Nggit... urusan lo yang harus diselesaikan itu adalah mengatasi rasa lapar lo?” Marvin maju mendekati Inggit dan mengurung gadis itu dengan rentangan kedua tangannya. Keduanya saling tatap dalam diam. Marvin mencoba menerobos masuk dunia Inggit. Dunia ketakutan yang terpancar jelas di kedua matanya. “Atau... urusan yang harus lo selesaikan itu berkaitan dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Ichsan, Nggit?”             “A—apa maksud lo?” tanya Inggit terbata. Gestur tubuhnya mulai berubah kaku dan itu semakin membuat Marvin yakin dengan dugaannya. Inggit tahu sesuatu! “Gu—gue sama sekali nggak ngerti maksud lo apa. Itu kasus bunuh diri, kan? Gue sama sekali nggak ada kaitannya sama kasus itu.”             “Lo ketakutan, Nggit... lo nggak bisa nutupin itu semua dari gue,” ucap Marvin tegas. “Apa yang lo tau?”             “Gue nggak tau apa-apa, Mar... sumpah, gue nggak tau apa-apa... jangan paksa gue. Gue mohon, biarin gue pulang. Gue capek. Gue capek.” Inggit mendorong tubuh Marvin dengan tenaganya yang tersisa dan langsung masuk kedalam mobil. Gadis itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Marvin yang mulai khawatir dengan sikap gadis itu.             “Kalau dugaan gue benar... dia nggak akan dilepaskan begitu aja,” ucap Marvin pelan. ### Keesokan harinya, Valeria berjalan di sepanjang lorong kampus bersama Nabila. Keduanya mengobrol dan sesekali tertawa bersama. Sepertinya, kasus kemarin sudah berhasil dilupakan oleh Valeria. Meskipun belum sepenuhnya menghilang dari benaknya, namun Valeria sudah bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal menakutkan yang terjadi kemarin. Terima kasih banyak untuk Melvin, Nabila dan juga Vincent yang sudah membantunya. Vincent memang sudah tahu mengenai kasus itu semalam dan laki-laki itu langsung menjitak Valeria karena tidak menceritakan dari awal. Vincent benar-benar khawatir dengan keadaan Valeria dan Nabila selama di kampus. Terbukti dari SMS-SMS juga telepon yang dikirimkan oleh Vincent ke ponsel dua gadis itu.             “Kakak lo emang sebawel ini, ya, Val?” tanya Nabila. Dia baru saja membalas untuk yang tak terhitung banyaknya SMS dari Vincent. Isinya juga sama sekali tidak variatif. Selalu menanyakan apakah dirinya baik-baik saja atau tidak. Tadinya, dia tidak ingin memberikan nomor ponselnya pada Vincent, namun laki-laki itu memaksa. Yang bikin Nabila keki setengah mati adalah, Vincent memaksanya saat mereka berdua ada di dapur. Nabila yang haus otomatis pergi di dapur, sementara Valeria tetap di ruang tengah untuk menonton televisi. Saat itu mereka baru pulang dari kafe dan sampai di rumah pukul sepuluh malam. Tiba-tiba, Vincent memutar bahu Nabila dan langsung mengurung gadis itu diantara dirinya dan pintu kulkas.             “Aku minta nomor ponsel kamu,” ucap Vincent semalam sambil tersenyum lembut. Senyum yang sanggup melelehkan hati Nabila detik itu juga. Bahkan, lututnya terasa sangat lemas seperti agar-agar.             “Bu—buat apa?”             “Supaya aku bisa ngontrol keadaan kamu. Juga Valeria. Aku nggak mau kalian berdua kenapa-napa.”             “Ta... tapi, Kak....”             “Aku, sih, nggak mau maksa kamu. Kamu tinggal pilih aja. Kasih nomor ponsel kamu atau aku taruh sesuatu di perut kamu.”             Demi menjaga keutuhan dirinya, Nabila tentu saja langsung bersikap kooperatif, meskipun dalam hati dia dongkol setengah mati.             “Gue, sih, udah kebal sama sikap protektif-nya dia, Bil,” balas Valeria sambil terkekeh geli. “Tapi, gue senang-senang aja diperlakukan seperti itu sama dia. Itu berarti, dia sayang sama gue. Melvin!”             Nabila sempat bingung ketika Valeria menyerukan nama Melvin. Dipikirannya, apa hubungan antara sikap protektif Vincent pada Valeria dengan Melvin. Setelah menoleh, Nabila baru menganggukkan kepalanya. Rupanya, Valeria menyerukan nama Melvin karena memang laki-laki itu sedang menuju ke arah mereka berdua.             “Lo udah baikan, Val?” tanya Melvin seraya tersenyum kecil. Laki-laki itu menoleh ke arah Nabila dan menganggukkan kepalanya. “Hai, Bil.”             “Hai, Vin,” balas Nabila sambil menjabat tangan Melvin yang terulur. “Heboh banget perasaan kampus. Ada apa?”             “Ada seminar gitu, deh. Semua disuruh ngumpul di auditorium. Makan siangnya juga gratis. Hehehehe....”             “Udah kaya, masih aja suka yang gratisan lo,” ucap Valeria geli. Gadis itu menarik napas panjang dan menyusupkan lengannya ke lengan Melvin. “Acaranya udah mulai?”             “Jam sepuluh, lah... lima menit lagi.” Melvin mengedipkan sebelah matanya ke arah Valeria dan Nabila. “Yuk. Nanti, kita bisa dapat tempat duduk di belakang.”             Sesampainya di auditorium, mahasiswa sudah banyak yang berkumpul. Semuanya masih sibuk mengobrol karena sang pembicara yang sudah diundang oleh pihak kampus belum muncul. Melvin yang hari itu mengenakan pakaian andalannya—kemeja yang dikancing sampai leher, kacamata tebal dan ikat pinggang yang menyatu sampai ke bahu—langsung mengedarkan pandangan dan menemukan tiga kursi kosong di dekat jendela. Langsung saja, Melvin mengajak Valeria dan Nabila ke arah kursi tersebut.             “Cewek yang ngejar-ngejar lo itu mana, Vin?” tanya Valeria. Tanpa dia sadari, suaranya terdengar ketus, membuat Melvin menaikkan satu alisnya dan tertawa geli.             “Inggit, maksud lo?”             “Yup. Si Inggit... tumben, dia nggak ngekorin lo.” Valeria mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Tiba-tiba, sebuah tepukan keras pada pundaknya membuat Valeria menoleh dan gadis itu langsung mendengus ketika menemukan sosok Inggit di belakangnya. Baju yang dikenakan gadis itu terlihat lebih tertutup dibandingkan dengan baju yang terakhir kali dilihat oleh Valeria.             “Nyari gue?” tanya Inggit datar.             “Ngapain gue harus nyariin lo?” Valeria mengibaskan sebelah tangannya. “Gue nggak ada urusan sama lo.”             “Barusan lo nanyain gue ke Melvin... itu artinya, lo nyari gue, kan?”             “Nggak usah cari masalah, deh!” Valeria bangkit berdiri dan menuding bahu Inggit. “Lo mau kita ngelanjutin acara cakar-cakaran kita waktu itu?”             “Oh, dengan senang hati!” Inggit menepis tangan Valeria dari bahunya.             Melihat situasi yang semakin memanas, Melvin langsung melerai keduanya, pun dengan Nabila. Kemudian, entah darimana asalnya, tahu-tahu saja Marvin sudah muncul di hadapan mereka semua. Dia menatap Valeria tajam, yang dibalas sama tajamnya oleh gadis itu. Lalu, tatapan Marvin jatuh pada Inggit yang langsung membuang muka.             “Cewek zaman purba bin matre mau perang lagi sama nenek sihir, ya?” tanya Marvin dengan nada mengejek yang langsung membuat telinga Valeria panas.             “Lo nggak usah cari masalah sama gue, deh!” seru Valeria keras. Sepertinya kelima orang tersebut tidak mengetahui bahwa kini auditorium kampus mendadak sunyi karena perdebatan yang terjadi. “Cowok kok nyari masalah sama cewek... banci, lo!”             “Jaga mulut lo, ya!” Marvin tersulut emosi. Laki-laki itu meringsek maju namun langsung dihadang oleh Melvin yang kini menatapnya tajam. Membuat Marvin mendesis dan langsung menepiskan tangan Melvin yang menahan dadanya.             Dekan kampus tersebut masuk, diikuti oleh beberapa mahasiswa yang membawa beberapa dus besar. Rupanya, karena keterlambatan si pembicara, dekan memutuskan untuk membagikan sarapan bagi para mahasiswa. Sarapan yang tergolong mahal kalau menurut Valeria, ketika paket makanan miliknya sudah berada di pangkuannya. Nasi dengan ayam goreng rica-rica dan telur balado. Gila... ini, sih, bisa bikin diare mendadak namanya.             Disaat semua orang sudah asyik melahap makanannya, Inggit justru berubah menjadi patung. Dia mencengkram kotak makanannya dengan tangan gemetar. Sesekali, gadis itu akan melirik ke arah samping. Ke arah kursi yang berjarak enam langkah dari kursinya sendiri. Inggit menelan ludah susah payah dan langsung terbelalak ketika tatapannya bertumbukkan dengan tatapan orang tersebut. Seminar ini memang dikhususkan bagi mahasiswa semester satu, tiga dan lima. Sementara sisanya akan diselenggarakan minggu depan.             “Lo nggak makan?” tanya Marvin yang berada tepat di belakang Inggit. Mendengar suara Marvin, Inggit yang memang mulai diserang ketakutan dan sedang tidak fokus langsung tersentak hebat. Reaksi yang lagi-lagi membuat Marvin khawatir sekaligus curiga.             “Nggak... lapar...,” jawab Inggit terbata. Gadis itu menatap kotak makanannya dengan perasaan campur aduk. Ada makna tersirat dari cara mata orang itu kala menatapnya.             Hati-hati, sayang... lo nggak tau apa yang ada didalam makanan itu...             Suasana semakin sunyi ketika mendadak beberapa orang berpakaian cokelat alias polisi memasuki auditorium. Para polisi itu membisikkan sesuatu ke telinga dekan hingga membuat pria paruh baya itu tersentak. Dia menganggukkan kepala dan seorang inspektur polisi langsung mengambil mikrofon yang berada di atas meja.             “Selamat pagi semua,” ucap pria tersebut dengan nada tegas dan wibawa yang tinggi. “Saya inspektur Prabowo. Saya yang menyelidiki kasus bunuh diri yang dilakukan oleh saudara Ichsan kemarin. Setelah melakukan visum, ternyata ada informasi yang begitu mencengangkan.”             Para mahasiswa kini saling berbisik-bisik dengan teman disebelah mereka. Valeria yang kembali teringat dengan peristiwa kemarin langsung memucat. Kemudian, rasa hangat langsung menerjang dirinya ketika tangannya digenggam dengan erat oleh Melvin. Valeria menatap laki-laki itu yang kini menyunggingkan seulas senyum lembut.             “Ada gue, Val,” ucap Melvin seraya mengeratkan genggaman tangannya. “Lo gak perlu takut.”             Rasa lega langsung membanjiri diri Valeria. Gadis itu mengangguk mantap dan membalas genggaman tangan Melvin. Nabila yang melihat itu hanya bisa mendesah panjang dan memainkan kedua matanya, membuat Valeria melemparkan timun yang berada dalam kotak makanannya.             “Ternyata, saudara Ichsan bukanlah bunuh diri... dia... dibunuh,” lanjut inspektur Prabowo lagi. Semua orang langsung terperanjat. “Saat ini, kami masih berusaha mencari si pelaku. Kemungkinan besar pelaku adalah salah satu mahasiswa disini. Pada tambang yang melilit di leher saudara Ichsan ternyata tidak memiliki sidik jari si pelaku. Sepertinya, si pelaku begitu cerdik dan menggunakan sarung tangan.” Inspektur Prabowo menarik napas panjang. “Maka dari itu, apabila diantara kalian ada yang mengetahui sesuatu, seperti siapa saja orang-orang yang mempunyai masalah dengan korban, harap beritahu pihak kepolisian segera.”             Tiba-tiba, terdengar suara teriakan keras. Disusul kemudian seorang mahasiswa jatuh begitu saja dari atas kursinya. Laki-laki itu mengalami kejang-kejang dan banyak sekali cairan putih keluar dari dalam mulutnya. Kedua tangannya mencengkram lehernya kuat-kuat dan mata laki-laki itu melotot hebat. Semua mahasiswa langsung berteriak dan menjauh dari laki-laki tersebut. Melihat hal tersebut, inspektur Prabowo bersama anak buahnya langsung berlari ke arah laki-laki itu dan berusaha untuk menolongnya. Namun, dia berhenti bergerak beberapa detik berikutnya. Tidak perlu seorang dukun untuk mengetahui bahwa laki-laki itu sudah meninggal dunia.             “Ada yang mengenalnya?” tanya inspektur Prabowo.             “Rudi... Rudi Jaelani. Mahasiswa semester tiga.” Seorang mahasiswi menjawab dengan nada gemetar. Dia berpelukan dengan temannya dan menangis ketika melihat jasad Rudi.             Inspektur Prabowo hanya bisa menghembuskan napas berat dan segera memanggil ambulance. Sementara itu, Inggit terlihat sangat frustasi. Gadis itu menggelengkan kepalanya dan bergegas lari keluar dari auditorium.             Inggit terus berlari dan berlari. Airmatanya mulai mengalir. Dia tidak peduli dengan tatapan heran yang dilayangkan oleh orang-orang disepanjang koridor. Dia harus menyelamatkan dirinya. Harus. Ketika Inggit sudah berada diluar gedung kampus, suara klakson mobil yang terdengar begitu keras membuat Inggit membeku. Gadis itu sudah pasti akan langsung dihantam oleh bemper mobil sedan yang melintas dengan cepat itu kalau saja sebuah tarikan keras pada lengannya langsung menarik tubuhnya ke tempat yang aman.             “Lo pasti tau sesuatu, kan?” tanya Marvin keras. Laki-laki itu bukannya menanyakan keadaan Inggit saat ini, tetapi justru mengguncang tubuh Inggit. “LO TAU SESUATU, KAN?!”             “DIAM! DIAM! DIAAAAM!!!” Inggit menutup kedua telinganya rapat-rapat. Gadis itu mendongak dan bertemu mata dengan Marvin. Laki-laki itu memang sengaja mengejar Inggit saat melihat gadis itu berlari seperti kesetanan keluar dari auditorium. “Gue nggak tau apa-apa, Mar... gue nggak tau... please, jangan paksa gue....”             Tanpa pikir panjang, Marvin langsung merengkuh tubuh Inggit dan mendekapnya dengan erat. Dibiarkannya Inggit menangis hebat di d**a bidangnya. Laki-laki itu menatap sekelilingnya dengan tatapan waspada.             Kalau memang Inggit mengetahui sesuatu, berarti... gadis ini dalam bahaya! ### Didalam bilik toilet, seseorang sedang tertawa pelan. Tawa yang lagi-lagi terdengar sangat berbahaya. Seringai liciknya mulai nampak. Sebuah foto dikeluarkan dari dalam tasnya dan diberi tanda silang dengan spidol warna merah. Tanda silang yang begitu besar. Kemudian, foto tersebut dirobeknya hingga serpihannya berterbangan. Dia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin dan lagi-lagi tertawa.             Sungguh t***l mahasiswa yang bernama Okan itu. Mahasiswa yang bertugas menjadi panitia divisi kesejahteraan. Mahasiswa yang bertugas membagikan makanan kepada para peserta seminar. Dengan mudahnya, dia mempengaruhi Okan dengan mengatakan bahwa Rudi hanya memakan makanan khusus. Makanan yang tentu saja sudah dia belikan dan diberi racun mematikan. Tidak lupa dia memakai sarung tangan saat menaruh racun tersebut dan saat memberikannya pada Okan. Setelah memperlihatkan foto Rudi kepada Okan, dia pun pergi ke tempat duduknya.             Sangat menyenangkan ketika melihat tubuh Rudi mengalami kejang-kejang. Puas rasanya ketika melihat kedua mata Rudi yang melotot hebat. Kali ini, dia mengeluarkan tiga lembar foto. Ah, dia lupa bahwa dia sudah menambahkan dua foto baru. Foto yang diambilnya secara diam-diam dari bagian akademik. Foto dua orang mahasiswi saat mereka masih memakai seragam putih abu-abu yang sudah dia cari identitas dan semua informasi yang berkaitan dengan keduanya.             Valeria Fransesca dan Inggit Gina Desita.             “Dua kelinci mungil yang cantik,” ucap orang tersebut dengan nada rendah dan berbahaya. Diusapnya foto Valeria dan Inggit yang sedang tersenyum itu. “Setelah gue berhasil melenyapkan tiga orang lagi, giliran kalian berdua akan tiba. Gue akan memulainya dari lo, Inggit... karena lo sudah tau identitas gue!”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN