Sebenarnya, Valeria sendiri tidak tahu apa yang membuatnya menyebutkan nama Melvin. Padahal, jelas-jelas laki-laki di depannya ini adalah Marvin. Penampilan keduanya saja sudah berbeda. Laki-laki di depannya ini lebih modis dan tidak sederhana seperti Melvin. Belum lagi motor Ninja berwarna hitam yang tadi dikendarai oleh laki-laki itu. Melvin tidak pernah mengendarai motor. Dia selalu mengendarai mobil dengan menggunakan jasa seorang supir. Hanya Marvin lah yang selalu menggunakan motor kalau ingin pergi kemanapun.
Kini, Valeria bisa melihat kegugupan yang terlukis jelas di wajah Marvin. Kenapa hanya karena dia memanggil Marvin dengan sebutan Melvin membuat wajahnya begitu tegang? Pun dengan kedua mata Marvin yang kini menatapnya tanpa berkedip. Keduanya saat ini masih saling tatap dalam diam. Valeria berusaha menembus dunia Marvin melalui kedua matanya. Berusaha mencari tahu apakah laki-laki ini memang si tukang tindas sialan tersebut ataukah Melvin.
Tetapi, kalau benar yang di depannya ini adalah Melvin, mengapa laki-laki itu harus berpenampilan seperti Marvin? Tidak tahukah Melvin bahwa dirinya sangat kesal dan gondok setengah mati pada saudara kembarnya tersebut?
“Gu—gue Marvin!” seru laki-laki itu tiba-tiba. Tegas dan lantang, meskipun agak sedikit terbata. “Gue Marvin Radityan, bukan Melvin Raditya si cupu jelek itu! Lagian, lo bego atau t***l? Atau percampuran diantara keduanya? Apa lo nggak bisa melihat kalau penampilan gue begini keren? Emangnya, si Melvin itu bisa berpenampilan seperti ini?” Marvin tertawa mengejek dan mendengus. Dicengkramnya dagu Valeria hingga gadis itu setengah mati berusaha mengenyahkan tangan Marvin dari dagunya. “Sadar diri, cewek galak! Sampai kapanpun, Melvin akan tetap berpenampilan menyedihkan seperti biasanya. Lagipula, dia nggak suka naik motor!”
Dengan satu sentakan keras, Valeria menyingkirkan tangan Marvin dari dagunya. Gadis itu kemudian mengusap dagunya dengan kasar, seolah mengusir ribuan debu dan kuman yang mungkin saja ditularkan oleh Marvin melalui tangannya. Kemudian, ditatapnya dengan tajam Marvin yang saat ini sedang bersedekap sambil mengangkat satu alisnya. Wajahnya benar-benar terlihat songong dan nyolot di kedua mata gadis itu.
Benar juga. Kenapa dia bisa-bisanya menyangka bahwa yang berdiri di depannya ini adalah Melvin? Melvin jelas jauh lebih baik daripada si b******k ini!
“Anggap aja gue barusan lagi nggak waras karena udah menyangka lo adalah Melvin,” ucap Valeria dingin. Disipitkannya mata dan ditatapnya Marvin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu kembali ke wajah laki-laki itu. “Terus, kenapa lo nolongin gue barusan, hah?”
“Cih! Ditolong bukannya terima kasih malah bentak-bentak orang seenak jidat!” Marvin menyentil kening Valeria, membuat gadis itu melotot ganas dan meninju ulu hati laki-laki tersebut hingga Marvin membungkukkan tubuhnya dan terbatuk.
“Makanya, jangan pernah nyari masalah sama gue!” omel Valeria sambil mendengus. “Gue nggak akan pernah berterima kasih sama lo, meskipun lo udah nolongin gue. Paham?”
“Dasar cewek bar-bar!” gerutu Marvin sambil menegakkan tubuhnya. “Gue emang sebal sama lo, tapi, gue nggak akan belagak buta ketika ngeliat cewek lagi digangguin sama cowok, paham?” Marvin menarik napas panjang dan melirik Valeria jengkel. “Lagian, seperti yang gue bilang tadi. Gue mau bertamu ke rumah teman gue yang kebetulan ada disekitar daerah ini dan ngeliat lo.”
“Mau sok jadi pahlawan kesiangan rupanya.” Valeria mencibir dan mengacungkan tinjunya ke arah Marvin. “Dengar, ya, Mar... sampai kapanpun, lo nggak akan pernah terlihat seperti malaikat di kedua mata gue, ngerti lo? Melvin benar-benar sial punya kembaran iblis macam lo!”
“Ya... ya... ya... Whatever,” ucap Marvin sambil mengibaskan sebelah tangannya. “Tau gitu, gue biarin aja lo ‘dihabisin’ sama ketiga berandal tadi. Udah, ah, gue cabut! Lama-lama disini bisa bikin gue gila.”
Marvin memutar tubuhnya dan bergegas menuju motor Ninja hitamnya. Laki-laki itu menaiki motor dan mengenakan helm lantas langsung menyalakan mesin. Digasnya motor tersebut dengan gila-gilaan hingga membuat asap mengebul ke udara dari knalpot motor tersebut. Marvin membuka kaca helm-nya dan mengedipkan sebelah matanya ke arah Valeria sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut.
“Aneh...,” gumam Valeria seraya menatap motor Ninja Marvin yang mulai menjauh. “Kenapa gue bisa nganggap dia Melvin, tadi, ya? Tapi... gue benar-benar kayak lagi ngerasa di dekat Melvin tadi, bukan Marvin.”
###
Motor Ninja hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah. Melvin memarkir motor tersebut dengan asal dan langsung masuk kedalam rumah. Di ruang tamu, Melvin bisa melihat Marvin sedang duduk berselonjor sambil menonton acara bola di televisi dengan malas. Melvin berjalan menuju dapur, mengambil sebotol air mineral dingin dan berjalan ke arah sofa lantas menjatuhkan pantatnya di atas kaki Marvin.
“p****t lo nggak dikasih mata, ya, Vin?” tanya Marvin dengan nada menggerutu. Melvin mengangkat tubuhnya sedikit agar saudara kembarnya itu bisa menarik kedua kakinya. Melihat wajah tegang dan gugup Melvin, Marvin kontan mengerutkan kening dan mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersila. “Kenapa lo? Kayak habis liat hantu begitu....”
“Gue ketemu Valeria tadi, pas gue mau ke rumah Roni! Gue lupa kalau rumah Roni itu satu daerah sama rumah Valeria.”
“Terus? Masalahnya apa?” tanya Marvin heran. “Sejauh ini, gue nggak nangkap adanya masalah di cerita lo barusan.”
“Gobloooook!” seru Melvin mangkel sambil menoyor kepala Marvin. Membuat laki-laki itu melongo maksimal dan mengerucutkan bibirnya. “Lo lupa? Di kampus, gue itu culun, dodol! Cupu! Lo nggak liat penampilan gue sekarang? Hah? Gue mirip sama lo!”
“Lah... kita, kan, emang mirip, Vin... orang kita kembar.” Marvin menjawab santai sambil merebut botol air mineral yang dipegang Melvin.
“Kuya banget, sih, nih orang! Kenapa lo sebegitu dodolnya mengingat otak lo encer dan selalu jadi juara dua setelah gue di SMA dulu!” gerutu Melvin sambil menarik napas panjang. “Marvin sayaaaang... Valeria itu taunya gue culun. Cupu! Tadi, dia emang manggil gue dengan sebutan ‘Marvin’ sewaktu gue datang buat nolongin dia. Tapi, pas gue udah mau pergi, tau-tau dia manggil gue ‘Melvin’.”
“Terus masalahnya apa, sih, Vin?” tanya Marvin jengkel. Kesal juga dia dengan kepanikan Melvin saat ini. “Toh, lo bisa meyakinkan dia kalau lo itu adalah gue. Beres, kan?”
“Tadi... gue emang udah nyangkal, sih. Gue bilang kalau gue Marvin Radityan, bukan Melvin Raditya. Gue berusaha semaksimal mungkin bikin dia percaya kalau gue adalah lo dengan cara bersikap jerk ke dia. Gue sampai nyentil kening dia dan cengkram dagu dia. Duh... bego banget gue! Semoga dia nggak kenapa-napa akibat ulah gue barusan.”
“Ya elah, cuma disentil kening sama dicengkram dagu doang, sih, nggak akan bikin dia babak belur. Gue malah berharap lo nampar dia atau semacamnya.” Melihat tatapan garang yang dipancarkan oleh Melvin, Marvin berdecak jengkel dan bangkit berdiri. “Oke... oke... gue nggak akan pernah nyakitin teman mungil lo itu. Santai aja....”
Setelah meninggalkan Melvin yang masih termenung di tempatnya, Marvin mengunci diri didalam kamar. Dia kesal sekali dengan Valeria karena gadis itu adalah gadis pertama yang berani melawannya. Disaat semua gadis berlomba-lomba untuk merebut perhatiannya, Valeria justru mengajaknya perang. Dia juga masih ingat ketika Valeria mempermalukannya di depan para mahasiswa lain saat dia sedang mengomeli salah satu mahasiswa yang tidak sengaja bersenggolan dengannya. Saat itu, Valeria memakinya dan menamparnya.
Marah? Sudah pasti!
Makanya, dia nggak akan pernah sudi mendapatkan adik ipar macam gadis galak itu. Kalau bukan karena Melvin, Marvin mungkin sudah menampar dan mengerjai gadis itu.
###
Keesokan harinya, Valeria berjalan disepanjang koridor kampus bersama Nabila. Mereka berdua sibuk membicarakan mengenai tugas yang diberikan oleh salah satu dosen killer yang harus dikumpulkan esok lusa. Kalau tugas yang diberikan oleh dosen tersebut mudah dan gampang, mungkin Valeria dan Nabila tidak akan bersungut-sungut ria saat ini. Masalahnya, tugas essai itu benar-benar menguji kadar kesabaran semua mahasiswa dan sudah dipastikan akan membuat otak mendadak konslet ketika mulai mengerjakan tugas tersebut.
Ngomong-ngomong soal Nabila, gadis itu adalah teman dekat Valeria di kelas juga di kampus setelah Melvin. Gadis berkerudung dengan sikap yang sangat feminin. Senyumnya lembut, tatapan matanya ramah. Hidungnya tidak pesek, tetapi juga tidak mancung. Bibirnya cukup berisi meskipun terkesan mungil. Sikap yang benar-benar bertolak belakang dengan Valeria. Makanya, kadang teman-teman sekelas mereka bingung, mengapa orang setomboy dan secuek Valeria bisa klop dengan gadis semanis dan sefiminin Nabila.
Yah... mungkin, Nabila itu penyeimbang bagi Valeria. Kadang, Nabila memang akan selalu mengomel kepada Valeria kalau gadis itu mulai lupa dengan kodratnya sebagai seorang perempuan.
“Gimana kalau kita minta tolong sama Melvin aja?” tanya Nabila tiba-tiba memberi usul. “Dia termasuk mahasiswa yang pintar, kan? Buktinya, tiga kuis pertama berhasil dilahap sama dia dengan nilai A plus.”
Melvin? Benar juga! Kenapa Valeria bisa lupa kalau dia mempunyai teman yang berotak sangat encer seperti Melvin, ya? Tapi...
“Ngomong-ngomong soal Melvin, gue belum liat dia seharian ini, deh. Lo juga sadar, kan, kalau dia nggak ikut kelas pertama tadi?”
Setelah mengerutkan kening sejenak, Nabila mengangguk menyetujui ucapan Valeria. Dilihatnya Valeria kini berdecak dan mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kampus. Kemudian, gadis tomboy itu melirik jam tangan hitam yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya.
“Apa dia sakit, ya?” gumam Valeria cemas. Tidak biasanya Melvin tidak masuk kuliah tanpa pemberitahuan sebelumnya. Bukannya apa-apa, tetapi, Melvin dan Valeria sudah sepakat akan selalu memberi kabar kalau salah satu diantara mereka ada yang tidak bisa masuk kuliah karena suatu alasan.
“Kenapa nggak lo coba tanya Marvin aja?” usul Nabila sambil tersenyum geli. Nabila sangat tahu bahwa Valeria itu anti dengan yang namanya Marvin. Sangat... sangat anti! Valeria bahkan pernah berkata bahwa seandainya saja dia bisa mengirim Marvin ke Gaza dan menyuruh tentara Israel untuk membunuh laki-laki itu langsung di tempat.
“Like that gonna happen!” dengus Valeria langsung. “Lagian, Marvin, kan, jurusan perpajakan. Dia nggak akan mungkin tau kemana perginya Melvin.” Dia kembali mengedarkan tatapan matanya dan berhenti pada satu titik. Tepatnya di daerah pelataran parkir. Dari tempatnya berdiri, Valeria dan Nabila memang bisa melihat pelataran parkir dan gerbang kampus karena posisi mereka yang akan menuju ke sekretariat guna mencari tahu apakah dosen selanjutnya sudah datang atau tidak.
Bukan seseorang yang baru saja turun dari motor Ninja hitam itulah yang membuat Valeria terpaku di tempat, melainkan orang yang baru saja keluar dari pintu belakang sebuah mobil Alphard. Mobil yang diketahui oleh Valeria sebagai mobil keluarga Melvin. Dan laki-laki yang turun dari pintu belakang Alphard tersebut memanglah Melvin. Melvin yang kini berdiri berhadapan dengan Marvin dan tengah berdiskusi.
Melvin yang berpenampilan seperti Marvin!
Tidak ada kacamata baca yang begitu tebal bertengger manis di pangkal hidungnya. Tidak ada kemeja dengan kancing yang terkunci sampai ke leher. Tidak ada kemeja yang dimasukkan kedalam sebuah celana bahan. Tidak ada sepatu pantofel. Tidak ada potongan rambut yang menjadi khas seorang Melvin. Melvin yang sekarang dilihat oleh Valeria adalah Melvin yang memakai jaket kulit berwarna hitam, dipadu dengan jeans dongker dan sepatu kets. Rambutnya terlihat sedikit berantakan—entah memang disengaja atau tidak—dan hal itu membuat Melvin tampak keren dan modis!
Melvin versi Marvin!
Astaga! Bahkan Valeria tidak bisa membedakan yang mana Marvin dan yang mana Melvin kalau saja dia tidak melihat laki-laki yang berhadapan dengan Melvin itu baru saja turun dari atas motor. Yang artinya adalah, Marvin yang memakai jaket jeans biru, sedangkan Melvin, seperti yang sudah di deskripsikan sebelumnya, memakai jaket kulit hitam. Dan yang membuat Valeria lebih terbelalak lagi adalah... ada sebatang rokok terselip di bibir Melvin!
Ya Tuhan!
“Bil...! Nabila!” teriak Valeria sambil mengguncang bahu Nabila dengan kuat. Gadis berkerudung yang sedang membaca sesuatu di ponselnya itu tersentak dan menatap Valeria dengan kening berkerut. “Kenapa, sih, Val? Sakit badan gue, tau!”
“Itu! Itu!” seru Valeria lagi sambil menoleh ke arah Valeria. “Melvin! Dia ngerokok! Dan penampilannya berubah! Dia jadi kayak Marvin!”
“Hah? Masa? Mana? Mana?”
Valeria menunjuk ke arah pelataran parkir sambil menoleh. Nabila ikut menoleh dan mengerutkan keningnya. Dia tidak melihat adanya Melvin disana. Yang dia lihat hanyalah Marvin yang sedang merokok sambil menatap ke arah mereka berdua dengan tatapan tajam. Melihat itu, Valeria jadi melongo. Mobil Alphard yang tadi dilihatnya pun sudah tidak ada lagi. Kemudian, Valeria bisa melihat Marvin mendengus dan memperagakan adegan membuang ludah lantas langsung pergi meninggalkan pelataran parkir.
“Lo mengkhayal, ya, Val? Itu Marvin, kali. Bukan Melvin.” Nabila menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Sebegitu cemasnya, ya, lo sama Melvin? Maaf, Val... bukannya gue menghina. Tapi, lo tau sendiri kalau Melvin itu penampilannya beda sama Marvin.”
Ucapan Nabila barusan tidak dipedulikan oleh Valeria. Dia sangat yakin kedua matanya masih berfungsi dengan normal. Tidak minus apalagi katarak. Dia sangat yakin bahwa dia melihat Melvin dengan penampilan yang berbeda beberapa saat yang lalu.
###
Didalam mobilnya, Melvin menghela napas panjang. Laki-laki itu sudah merubah penampilannya menjadi Melvin yang biasa. Dia terlambat bangun sehingga tidak bisa mengikuti kelas pertama dan lupa memberi kabar pada Valeria. Saat tadi dia datang ke kampus, dia belum sempat merubah penampilan. Dia baru akan mengganti pakaiannya ketika melihat Marvin baru saja memarkir motornya di sebelah Alphard milik keluarganya.
Melvin keluar dari dalam mobil dan berdiri berhadapan dengan Marvin. Dia menyalakan api pada sebatang rokok dan mulai menghisapnya. Marvin berkata bahwa dia akan pulang terlambat malam ini karena ada urusan dan lain sebagainya. Melvin hanya mendengarkan dalam diam dan mengomentari apa yang perlu untuk dikomentari. Sampai tiba-tiba, Marvin menyikut lengannya dengan wajah tegang dan menunjuk ke kejauhan dengan dagunya.
Tubuh Melvin membeku ketika melihat Valeria sedang mengguncang tubuh gadis berkerudung di sebelahnya yang Melvin kenali sebagai Nabila. Laki-laki itu langsung menyerahkan rokok yang dihisapnya kepada Marvin dan langsung masuk kedalam Alphard tersebut. Dia segera menyuruh Pak Pram—supir pribadinya—untuk mengeluarkan Alphard ini dari area kampus secepat mungkin.
Dan, disinilah dia sekarang. Di dekat kampus dan masih berada didalam mobilnya. Hampir saja dia tertangkap basah oleh Valeria. Entah gadis itu sudah berhasil melihatnya atau belum. Yang jelas, dia harus menyiapkan sebuah skenario seandainya gadis itu sempat melihatnya.
Dengan sikap yang terlihat seperti seorang yang benar-benar tertindas, Melvin berjalan dengan kepala yang tertunduk dan menatap sekelilingnya dengan tatapan takut. Didekapnya tiga buku tebal juga sebuah novel klasik. Dia memakai kemeja berwarna hijau bergaris yang seperti biasa, dimasukkan kedalam celana bahan warna hitam dan memakai ikat pinggang yang menyatu sampai ke bahu. Kacamata tebal itu bertengger di pangkal hidungnya yang sesekali merosot ke bawah. Dia berjalan ke arah kelasnya dan melangkah menuju kursi yang diduduki oleh Valeria.
“Hai, Val,” sapa Melvin sambil tersenyum. Valeria menoleh dan balas tersenyum lembut. Gadis itu melirik tiga buku tebal yang ditaruh Melvin di atas meja dan bergidik ngeri.
“Ya ampun, Vin... lo nggak gila, apa, tiap hari baca yang begini terus?”
“Kalau mau pintar, ya harus begini, Val.” Melvin terkekeh geli.
“Oh iya... kelas pertama tadi, lo kenapa nggak hadir? Nggak ngabarin gue, pula.”
“Maaf... gue terlambat bangun. Semalam nonton bola sampai larut. Pas sadar, nggak taunya udah jam setengah empat dan gue langsung tidur.” Melvin membenarkan letak kacamatanya dan tersenyum ke arah Nabila yang berada di sebelah Valeria. “Hai, Bil.”
“Hai, Vin,” balas Nabila ramah. “Lo tau, nggak? Tadi, Valeria berhalusinasi liat elo. Katanya, penampilan lo berubah. Jadi mirip Marvin! Padahal, yang dia lihat tadi emang beneran Marvin.”
“Oh ya?” Melvin langsung menatap Valeria yang ditanggapi dengan mengangkat bahu tak acuh. “Kok bisa?”
“Nggak tau juga. Yang jelas, gue benar-benar ngeliat elo tadi. Meskipun nggak terlalu jelas dan yakin juga, sih. Lo lagi ngobrol sama Marvin. Dan penampilan lo benar-benar beda. Benar-benar sama kayak Marvin. Gue aja sampai nggak bisa ngenalin.”
“Mungkin hanya perasaan lo aja, Val... gue baru datang, kok, sedangkan Marvin udah dari pagi ngilang. Itu kata pembantu gue, loh, ya! Ya ampun... kalau penampilan gue sampai kayak si Marvin, berarti, dunia bentar lagi kiamat, Val.”
Nabila dan Melvin terkekeh geli sementara Valeria hanya terdiam. Karena sudah terlalu dekat dengan Melvin, Valeria jadi merasa seperti terkoneksi dengan laki-laki itu. Perasaannya saat ini, sama seperti perasaannya semalam. Ketika Marvin menolongnya dari tiga pemuda berandal yang berniat mengganggunya. Perasaan yang tenang dan damai, juga nyaman. Hal yang membuat Valeria memanggil Marvin dengan sebutan Melvin semalam.
“Lo... semalam jalan-jalan di daerah rumah gue, nggak, Vin?”
Pertanyaan Valeria itu membuat Melvin terdiam. Laki-laki itu menatap Valeria tepat di manik mata. Ada atmosfer berbeda yang tercipta diantara keduanya. Membuat Nabila mengerutkan kening dan secara bergantian menatap kedua orang tersebut.
“Nggak. Semalam gue di rumah terus. Kenapa?” tanya Melvin setelah jeda beberapa saat. Kemudian, laki-laki itu menjentikkan jarinya di depan wajah Valeria. “Soal semalam yang Marvin nolongin lo, ya?”
“Lo tau?” tanya Valeria sambil mengerjapkan kedua matanya.
“Iya... Marvin cerita semalam sama gue pas dia pulang ke rumah. Dia bilang dia habis ketemu teman mungil gue yang galak. Pas gue tanya siapa, dia malah jawab, ‘emangnya siapa lagi, sih, yang sudi temenan sama lo selain Valeria?’, gitu.”
“b******k banget emang tuh orang!” gerutu Valeria sambil berdecak jengkel. “Mentang-mentang dia punya banyak konco, terus dia bisa seenaknya aja, gitu, ngehina lo?! Padahal, lo kembarannya sendiri!”
“Hahahaa... udah biasa, kok.” Melvin menarik napas panjang dan menatap Valeria dengan tatapan lembut. “Yang penting, lo baik-baik aja sekarang. Dia bilang dia nolongin lo waktu lo mau dijahatin sama orang. Nah, lo bisa liat sendiri, kan? Marvin itu sebenarnya baik.”
“Dia emang nolongin gue, tapi dia juga cengkram dagu dan nyentil kepala gue!”
“Soal itu... gue atas nama dia minta maaf yang sebesar-besarnya sama lo, Val.” Melvin menarik napas panjang dan menyentuh dagu Valeria dengan hati-hati. Jarak keduanya saat ini begitu dekat hingga Valeria bisa merasakan degupan jantungnya yang mulai meliar. Kenapa tiba-tiba saja dia merasa gugup dan deg-degan? “Dagu lo nggak luka, kan?”
Gelengan kepala Valeria membuat Melvin menghela napas lega dan tersenyum kecil seraya mengangguk. “Maafin kembaran gue, ya, Val? Manusia, kan, nggak ada yang sempurna.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Melvin merenung. Memikirkan bagaimana jika Valeria mengetahui semuanya. Mengetahui kalau dia hanya berpura-pura berpenampilan dan bersikap seperti orang yang tertindas. Mengetahui bahwa dia sama brengseknya dengan Marvin. b******k dalam artian suka merokok dan minum-minum. Tetapi, dia tidak pernah mengikuti jejak Marvin yang suka ganti-ganti pacar alias playboy. Batas kenakalannya hanya sampai dua tahap itu saja.
Apakah Valeria akan menerima alasannya? Apakah Valeria akan memaafkannya? Atau... Valeria justru akan membencinya? Dan menganggapnya lebih b******k daripada Marvin?
But... nobody’s perfect, right?
###
Ada sebuah ruangan yang sudah tidak terpakai lagi. Dulunya, itu adalah ruangan musik. Valeria selalu datang kesana kalau dia ingin menyendiri dan menjernihkan pikiran karena masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Saat ini, dia memang tidak mempunyai masalah apapun, namun dia sangat terganggu dengan keganjilan yang dirasakannya mengenai Melvin.
Laki-laki itu seperti menyembunyikan sesuatu.
Pintu ruang musik tersebut terbuka dan Valeria membeku di tempat. Gadis itu melihat Marvin sedang duduk di tepi jendela sambil menghisap rokoknya. Sadar bahwa ada yang masuk kedalam ruangan, Marvin menoleh dan mengangkat satu alisnya ketika dia menatap Valeria yang berdiri di ambang pintu.
“Sorry, gue pikir nggak ada orang disini,” ucap Valeria dengan nada dingin. Gadis itu memutar tubuh dan bersiap untuk pergi.
“Tunggu!” seru Marvin keras. Laki-laki itu menyentil rokoknya keluar jendela dan langsung menghampiri Valeria yang kini sudah memutar kembali tubuhnya untuk menatap Marvin. “Gue udah mau pergi, kok. Lo kalau mau disini, silahkan aja.”
Oke! Apakah ruangan ini ada setannya? Karena, dari nada bicara Marvin barusan, bisa dipastikan bahwa laki-laki itu sedang kerasukan. Tidak biasanya Marvin akan berkata dengan nada pelan. Biasanya, laki-laki itu akan berbicara dengan nada keras dan lebih menyerupai bentakan kalau berhadapan dengan dirinya. Yah, meskipun suaranya pelan, tapi, Valeria masih bisa menangkap nada dingin pada suara laki-laki itu.
“Makasih buat yang semalam.” Valeria memantapkan hati untuk mengucapkan kalimat tersebut ketika Marvin melewatinya. Keduanya saling menoleh dan Marvin mengerutkan kening. “Maaf... semalam tingkah gue kurang aja ke lo, padahal lo udah nolongin gue.”
“Soal semalam?” tanya Marvin dengan nada heran. “Memangnya, ada apa dengan semalam?”
Kening Valeria kontan berkerut. Kenapa Marvin justru bertanya ada kejadian apa semalam? Bukankah laki-laki itu sudah menolongnya tadi malam? Baru saja Valeria akan membuka mulut untuk kembali berbicara, ketika tiba-tiba raut wajah Marvin terlihat tegang dan detik berikutnya, dia terkekeh. Agak gugup sebenarnya. Seperti yang Valeria lihat tadi malam.
“Oh... yang semalam? Hahahaha... gue udah lupain kejadian semalam. Jadi, nggak usah berterima kasih!”
“Kejadian apa tepatnya?” tanya Valeria dan gadis itu bisa melihat tubuh Marvin menjadi semakin tegang.
“Hah? Oh... itu... kejadian soal... semalam, kan? Yah, pokoknya itulah.” Marvin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan berdeham keras. “Gue cabut dulu.”
Sepeninggal Marvin, Valeria terpekur di tempatnya berdiri. Tadi, Melvin bercerita bahwa dia sudah mengetahui tentang kejadian semalam dari Marvin. Sekarang, Marvin bersikap seolah dia sama sekali tidak mengalami kejadian semalam. Itu berarti hanya ada sebuah kemungkinan...
Yang semalam menolongnya bukanlah Marvin Radityan, melainkan Melvin Raditya!