Apakah Jasad Mentari?

1027 Kata
PoV Langit. Kepalaku rasanya berputar membaca isi berita di situs online itu. Aku ingin memastikan sendiri siapa wanita itu. Apakah dia Tari? Entah mengapa aku merasa berdosa sekali jika itu Tari. Andai saja aku mengantar dia ke rumah orang tuanya maka ini tidak akan terjadi padanya. "Langit, ada apa? Kok tergesa?" tanya Ibu memasuki rumah. Dia membawa tas belanjaan yang banyak. Aku mendesah melihat kelakuan ibu. Katanya Tari pemalas dan tukang gosip namun mengapa seminggu setelah Tari pergi rumah bagaikan kapal pecah. Aku gak tahu lagi menggambarkan rumah ini. Pakaian kotor sudah menumpuk. Akibat Intan memasukkan pakaian kelewat banyak dalam mesin cuci tiga hari yang lalu. Mesin cuci jadi rusak dan mereka sekarang bingung hendak mencuci pakaian. Belum lagi piring kotor dan rumah berantakan serta sampah yang banyak akibat Ibu dan adik-adikku lebih senang pesan makanan dari pada memasak. Sejujurnya aku menyesal Tari pergi dari rumah. Mengapa yang kudengar tidak seperti yang kulihat? Tuhan, kalau sampai wanita yang bunuh diri itu Tari, maka aku sangat berdosa sekali padanya. "Ibu aku mau cari Tari," kataku bergegas menuju mobil. Ibu mengerutkan dahi. Dia kemudian meletakkan tas belanjaannya. "Ngapain kamu cari wanita mandul itu? Langit, Ibu mau kenalkan kamu sama anak teman Ibu. Dia itu janda kaya. Gimana kamu mau? Hidup kita gak akan susah lagi kalau ber-besan dengan teman Ibu wanita kaya itu," ucap Ibu dengan wajah berbinar nya. "Ibu, aku belum pikirkan lagi masalah menikah. Aku pokoknya mau lihat wanita yang diberita itu Tari apa bukan, Bu!" "Berita apaan sih?" tanya Ibu bingung. Intan memasuki rumah setelah seharian sekolah, katanya dia ikut ekskul. Entah benar apa tidak ? Semoga saja dia tidak bohong seperti Ibu berbohong tentang kelakuan Tari. "Eh, Mas Langit. Aku udah baca berita online kayaknya Mbak Tari mati bunuh diri deh. Pakaian nya sama kayak Mbak Tari waktu diusir itu," katanya menimpali. Aku mendesah pasrah dan wajah Ibu berbinar. "Alhamdulillah, bagus. Berarti kamu cerai mati sama dia langit dan gak perlu keluar uang buat mengurus ke Pengadilan Agama," ucap Ibu gembira, aku terkejut pada sikap Ibu. "Astagfirullah, Bu. Ibu sadar apa yang Ibu ucapkan. Ibu gak pantas bicara begitu. Ibu gak kasihan sama dia. Selama ini dia yang melayani kita, Bu. Tetapi Ibu selalu bilang dia pemalas. Lihatlah rumah kita begitu kotor dan berantakan setelah Tari pergi." "Oh, kamu mau bela wanita mandul dan miskin itu. Ingat Langit, kamu punya pekerjaan bagus. Apa gak malu kamu punya istri jelek, miskin dan mandul pula!" ucap Ibu tak berperasaan. "Terserah Ibu! Aku mau ke rumah sakit dan lihat apakah wanita itu Tari atau bukan!" kataku beranjak pergi. Kutinggalkan Ibu dan Intan yang merasa senang dengan kematian Tari. Aku berdoa semoga wanita itu bukan Tari. Maafkan aku, Tari. Tetapi kamu wanita kuat. Selama ini kamu disakiti dan aku tak pernah serius mendengar keluh kesah mu. Padahal hatimu begitu rapuh. Teringat kembali kebersamaan dengan Tari selama tiga tahun. Alangkah bodohnya aku. Apakah dia tidak berarti bagiku sehingga dengan tega ku talak dia demi kebahagiaan Ibuku? Mungkin inilah jawaban Tuhan mengapa selama ini belum menitipkan kami anak. Tuhan lebih tahu kalau Tari menderita. Aku menyesal Tari. Setiap hari kamu layani ku sepenuh hati. Sekarang aku bingung udah gak ada kamu. Bahkan kakiku kamu cuci kan kalau mau naik ketempat tidur bila kotor, sebagai bakti kamu sebagai istri padaku. Telingaku kamu bersihkan setiap tiga hari sekali. Mengapa karena hasutan Ibu, aku terlena tidak melihat kebaikan kamu, Tari. Maafkan aku, istriku. ** Aku sampai di rumah sakit. Secara tergesa aku berlari ke bagian administrasi. Aku bertanya perihal wanita yang mati bunuh diri. Aku yakinkan petugas kalau aku adalah suaminya. Kemudian salah satu pria berpakaian medis dengan masker diwajahnya membimbingku ke salah satu ruangan di bagian rumah sakit itu. Jantungku berdegup tak karuan saat aku akan berjumpa jasad wanita dalam situs berita itu. Aku merapal doa sebanyak-banyaknya semoga bukan Tari, istriku. Allah, dia sudah ku talak dan mantan istriku. Maafkan kebodohan ku, Tari. "Apakah ini barang-barang istri Bapak?" tanya petugas yang menjaga diruang mayat. Ku perhatikan dengan seksama. Ada ikat rambut, sebuah Bros, tali pinggang, sepatu, kaus kaki, baju seluruh pakaian lengkap diperlihatkan padaku. Ikat rambut sepertinya bukan milik Tari. Namun Bros itu adalah milik Tari, serta pakaiannya memang benar milik istriku Tari. Dia berkata kalau Bros itu adalah pemberian almarhum ayahnya. Gamis lusuh itu juga benar-benar milik Tari. Aku merasa sangat shock di sana. "Ini milik istri saya, Pak," kataku dengan suara bergetar. Petugas itu dengan wajah datar menyuruhku tunggu. Setelah seluruh berkas ku isi dan aku sudah tak sabar melihat Tari. Saat itu hatiku kacau balau dan aku menangis. Aku merasa berdosa karena sudah menyia-nyiakan wanita sebaik Tari. Saat aku sedang menunggu kedatangan jenazah Tari. Secara cepat aku dihampiri oleh dua orang yang baru datang. "Langit. Dasar pembunuh!" Plak! Sebuah tamparan keras melayang di wajahku. Aku tersentak kaget. Rupanya Ibu Tari dan Halim, abangnya sudah di sana. "Mana anakku?" tanyanya dengan suara keras. Dia menangis sejadinya. "Kamu apakan adikku, Langit?" tanya Halim juga dengan suara meninggi. "Aku ... Aku ...." Aku bingung hendak menjawab. Tetapi, aku juga heran dari mana Ibunya tahu kalau jasad Tari ada di sini, gosip memang cepat menyebar. "Jawab, Langit!" Paksa Ibunya memandang aku sengit. "Eh, apa-apaan ini. Kenapa kalian serang anak saya." Ibuku beserta Mira rupanya menyusul kesini. Aku mendesah sudah pasti akan terjadi keributan di rumah sakit. "Dasar keluarga pembunuh! Kalian sudah berencana menyingkirkan anak saya!" kata Ibu Tari histeris. Dia menangis dan berteriak-teriak sehingga menjadi pusat perhatian sebagian orang. "Heh, gak usah nuduh. Anakmu yang bunuh diri!" balas Ibuku dengan cibiran. "Sudah, sudah. Kalian bisa diam gak?" jawabku akhirnya. Aku sudah pusing mendengar pertengkaran mereka. "Kamu berani membentak padahal adikku sudah tak bernyawa!" kata Halim geram padaku. "Aku tahu aku bersalah. Aku minta maaf," ucapku memandang keluarga Tari. Aku tahu mereka sangat terpukul atas kejadian yang berat ini dikarenakan kesalahanku dan keluargaku. Percekcokan kami terhenti setelah petugas memanggil dan mempersilahkan kami melihat jasad itu. Aku dengan gemetar sudah tak sabar untuk melihatnya. Begitupun mereka semua. Kulihat jasad yang sudah kaku. Alangkah malangnya jika itu Tari. Dengan kain berwarna putih jasad itu menutupi seluruh bagian tubuhnya. Aku memberanikan diri membuka kain yang menutupi kepalanya dengan tangan yang bergetar. Kami semua begitu terkejut melihat ... Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN