Aku Hamil Anakmu

2497 Kata
Mobil Bastian baru saja memasuki pekarangan rumahnya, kemudian ia langsung keluar dari dalam mobil tersebut usai memarkirkannya sembarangan. Langkah Bastian terlihat lebar, ia melangkah seperti seseorang yang tengah diburu oleh sesuatu. Saat masuk ke dalam rumah, pandangan Bastian pun seketika itu beredar, mencari sosok istrinya yang entah ada di mana. “Tania,” Suara Bastian menggema berat. Ia terus melangkah menyusuri setiap ruangan tapi sama sekali tidak menemukan keberadaan Tania. Sampai kemudian, pandangan Bastian tertuju pada lantai atas rumahnya. Kamar. Bastian menebak kalau mungkin saja Tania ada di dalam kamar mereka. Kemudian, dengan segera Bastian pun bergegas melangkahkan kakinya menapaki setiap anak tangga. Sesampainya di depan kamar, Bastian langsung membuka pintu itu dengan raut wajahnya yang jelas sekali tampak gelisah. “Tania,” lirih Bastian saat ia mendapati istrinya tengah mengemasi semua pakaian dan seolah akan pergi dari rumah. “Apa yang kamu lakuin?” tanyanya, langsung melangkah mendekati Tania, mencekal tangan istrinya itu dan menatap sang istri lekat. Dan saat itulah Bastian melihat wajah Tania tampak dibanjiri oleh air mata. “Lepas,” ujar Tania sembari menarik tangannya dari cengkeraman Bastian. “Jangan sentuh aku,” tegasnya. Bastian terdiam, ia menebak jika Tania pasti sudah tahu tentang perselingkuhannya. “Apa Kak El kasih tahu kamu sesuatu?” tanya Bastian, menatap istrinya itu dengan raut cemas. “Kak El?” Tania bingung, ia tidak mengerti dengan maksud Kak El yang memberitahunya sesuatu. Tapi kemudian, pikiran Tania menebak, apakah nomor asing yang mengirimkan video perselingkuhan Bastian itu adalah kakak iparnya? “Kak El kirimin kamu foto enggak?” Bastian kembali bertanya. “Foto?” Sejenak Bastian merenung, ia kemudian menatap istrinya itu dengan sorot teduhnya. Tangannya lalu bergerak menangkup pipi Tania, mengusap jejak air mata Tania yang masih singgah di pipi istrinya itu. “Jadi Kak El enggak kirim kamu apa-apa?” ujar Bastian. “Terus kenapa kamu nangis dan enggak mau aku sentuh? Kamu marah karena apa?” tanyanya dengan nada suara yang mengalun lembut. Ah, benar-benar buaya yang pandai bertingkah. Tania menghela napasnya berat. Ia memang tidak tahu menahu soal kakak iparnya—El. Tapi, tentang alasan dia marah, tentu saja sudah sangat jelas karena video yang dilihatnya. Tania kemudian menepis tangan Bastian dari pipinya, tak mau sedikit saja kulitnya disentuh oleh suaminya itu. “Jangan sentuh aku,” ulang Tania, menatap suaminya nyalang. “Kenapa? Kenapa aku enggak boleh sentuh kamu, aku ini suami kamu, Tania,” ujar Bastian. “Kita sudah menikah selama enam tahun, dan selama itu kamu enggak pernah masalah kalau aku sentuh kamu di mana pun,” lanjutnya. “Iya, dan sekarang aku nyesel karena aku dengan bodohnya mau disentuh sama pria seperti kamu. Harusnya dulu aku dengerin kata ibuku, harusnya aku enggak nikah sama kamu,” tandas Tania. Bastian tercenung. “Maksud kamu apa?” “Aku nyesel nikah sama laki-laki kayak kamu, Bastian,” kesalnya, penuh emosi dan luka. Bastian mengembuskan napasnya berat, lalu menatap istrinya itu tegas. “Kamu kasih tahu aku, aku salah apa sama kamu, Tania?” tanya Bastian, yang masih belum sadar diri kalau Tania sudah tahu segalanya. “Kamu masih tanya kesalahan kamu apa? Harusnya kamu lebih tahu daripada aku,” tukas Tania. Bastian terdiam untuk beberapa saat. Kini ia yakin kalau Tania memang sudah tahu tentang perselingkuhannya. “Jadi kamu udah tahu?” tanya Bastian. “Tega kamu, Mas,” ucap Tania dengan matanya yang tampak berkaca-kaca. “Siapa yang kasih tahu kamu?” Tania tidak menjawab, dia memilih untuk menunjukkan langsung video yang masih tersimpan miris di dalam galeri handphone-nya. Bastian yang melihat video itu tampak sangat terkejut, bahkan bukti perselingkuhannya ini lebih gila daripada yang El tunjukkan padanya saat di kantor tadi. “Aku mau kita cerai,” ujar Tania, usai menunjukkan video itu pada Bastian. “Setelah kita resmi bercerai, kamu bisa bebas nikahi wanita itu,” lanjutnya. “Tania, kamu tenang dulu, aku bisa jelasin semuanya ke kamu, aku bisa jelasin fakta di balik video itu,” kata Bastian. Sepertinya si b******k Bastian sudah terpikirkan sebuah alasan untuk menampik fakta perselingkuhannya. Dia benar-benar ingin mengelabui Tania dengan segala cara agar wanita itu tetap menjadi miliknya seorang. “Jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas, Mas. Kamu selingkuh dengan wanita lain dan bahkan ngelakuin perbuataan tabu seperti itu,” cakap Tania, suaranya bergetar di tengah-tengah tangisan pilunya. “Kalau memang kamu cinta sama dia, dan dia bisa kasih kamu keturunan. Aku bakal ikhlasin kamu sama dia, Mas. Silakan kamu nikah sama dia, tapi sebelumnya ceraikan aku dulu,” timpalnya. “Aku dijebak, Tania,” sergah Bastian, menatap istrinya itu dengan raut serius. Sebuah ekspresi palsu yang ia tampilkan untuk memanipulasi istrinya. Tania terdiam, hatinya mulai tergoyahkan. Inilah kebodohan terbesar dari sosok Tania. Dia mudah percaya dengan orang lain, bahkan sekalipun orang itu sudah membuatnya merasa tersakiti, Tania selalu saja dengan mudahnya membuka pintu maafnya. Bahkan Tania tak sungkan untuk selalu memberikan kesempatan kedua bagi setiap orang yang telah berbuat salah padanya. Tania adalah orang yang sangat naif, apalagi pada sosok Bastian yang telah hidup bersamanya selama enam tahun ini. “Dijebak?” Sesuai harapan Bastian, Tania benar-benar langsung percaya padanya. “Aku bisa kasih buktinya, dan aku bakal jelasin semuanya sampai kamu percaya sama aku,” cakap Bastian. Tania mengembuskan napasnya pelan, perlahan ia mulai termakan oleh tipu daya suaminya itu. “Oke, aku akan dengerin penjelasan kamu,” ujar Tania, ia kembali melunak. Ah, betapa bodohnya perempuan satu ini. “Sebelumnya, aku mau tanya sama kamu, selain video itu ... apa ada video lain atau foto lain yang dikirim ke kamu?” tanya Bastian, ingin memastikan seberapa jauh Tania mengetahui perselingkuhannya. “Cuma video itu aja, dan itu pun dikirim sama nomor yang enggak aku kenal,” terang Tania. Mendengar keterangan istrinya itu, kini Bastian semakin yakin dengan alasan yang sudah ia rangkai di dalam kepalanya untuk membohongi Tania. “Kamu dikirimin video itu dari nomor asing?” “Iya,” jawab Tania. “Itu salah satu bukti kalau aku dijebak,” terang Bastian, memulai alibinya. “Jadi wanita di dalam video itu adalah mantan aku, dia mantan kekasihku dulu saat aku masih SMA. Beberapa hari yang lalu aku enggak sengaja ketemu sama dia, terus dia curhat tentang suaminya yang kasar dan jahat sama dia. Aku yang kasihan akhirnya selalu turuti kemauan dia setiap kali dia ajak aku ketemu. Sampai kemudian, malam itu aku tiba-tiba dihubungi sama dia, dia bilang kalau dia lagi dianiaya sama suaminya, jadi aku tanpa pikir panjang langsung dateng ke apartemennya, dan ternyata pas sampai di sana, dia sama sekali enggak kenapa-kenapa. Setelah itu dia suntikin aku sesuatu, setelah menerima suntikan itu, aku enggak inget apa-apa lagi,” papar Bastian. “Dan cairan yang dia suntikan ke tubuh aku itu adalah obat perangsang, dan buat aku tanpa sadar ngelakuin hal yang kamu lihat di video itu. Lalu paginya, dia ancam aku, kalau aku enggak kasih dia sejumlah uang yang dia mau, dia bakal sebarin video itu, dan kamu orang pertama yang bakal dia kirimin video itu,” lanjut Bastian, menatap istrinya dengan raut berpura-pura sedih. Tania diam menyimak dengan khidmat. Dari raut wajahnya, sudah jelas sekali kalau dia terpengaruh dengan cerita yang baru saja Bastian uraikan padanya. “Sayang, aku enggak mungkin selingkuh di belakang kamu. Bahkan sekalipun kamu enggak bisa kasih aku keturunan, aku enggak bakal duain kamu. Dan aku enggak mau kamu terluka apalagi kecewa sama aku. Jadi jangan pernah bilang cerai lagi di depan aku, aku enggak mau kamu pergi dari sisi aku, kamu milik aku, Tania,” kata Bastian, mengusap pipi istrinya yang masih tampak sembab. “Apa aku bisa pegang kata-kata kamu itu, Mas?” lirih Tania. “Aku enggak bohong, Sayang. Kamu bisa pegang kata-kata aku,” lirih Bastian, sungguh dia adalah buaya hidung belang yang pandai sekali berakting. Tania menghela napasnya pelan, lalu ia mengusap bekas air matanya yang masih tersisa di wajah. “Oke, aku kasih kamu kepercayaanku. Aku harap kamu enggak akan kecewain aku lagi,” cakap Tania, sangat naif dan benar-benar bodoh. Tidakkah dia sadar kalau suaminya itu sudah sangat keterlaluan dan benar-benar telah melewati batasan? Ayolah, Tania. Bastian bukanlah pria baik seperti yang kamu pikirkan. Andaikan kamu sadar itu. *** El meletakkan kasar pisau dapurnya, ia benar-benar tidak bisa fokus memasak karena terus terpikirkan soal Tania. Isi kepalanya terus bertanya-tanya, apakah Tania baik-baik saja. Dan untuk yang kesekian kalinya, El mengembuskan napasnya berat. Dia sungguh terlihat seperti seseorang yang dipenuhi beban pikiran. “Chef? Chef kenapa? Dari tadi saya lihat Chef kayak lagi pikirin sesuatu,” cakap seorang wanita, dia adalah seorang pegawai di salah satu restoran milik El. El yang sejak tadi kalut dengan dunianya sendiri pun tersentak sadar, ia lantas menatap si pegawai wanita itu. “Chef, sayurannya ....” si pegawai wanita bernama Miya itu memandang miris pada sayuran yang dipotong El. Sayuran itu tampak dipotong berantakan dan sangat tidak beraturan, sungguh hasil yang tidak mencerminkan karya seorang El yang merupakan chef terkemuka di daerah Jakarta dan sekitar. El awalnya tidak sadar dengan hasil tangannya itu. Tapi, saat ia mengikuti arah pandang Miya, dia cukup terkejut, lalu menghela napasnya berat. “Tolong kamu bereskan ini, saya harus pulang,” ujar El, kemudian melepaskan apronnya dan melangkah keluar dari area dapur restoran, dia pergi untuk menenangkan pikirannya yang penuh dengan kekhawatirannya pada Tania. *** Terlihat seorang wanita—Intan—masuk ke dalam kafe, pakaiannya yang terkesan mahal membuatnya terlihat paling menonjol di antara pengunjung kafe lainnya. Apalagi langkahnya yang terlalu aneh membuat Intan tanpa sadar telah menjadi buah bibir oleh hampir semua pengunjung kafe yang melihatnya. Kenapa wanita itu berjalan seperti bebek yang dikejar musang? Sangat aneh. Kemudian, Intan berhenti di salah satu meja kafe, di sana dia duduk dengan tenang, tersenyum anggun layaknya seorang putri kerajaan. Beberapa saat setelah dia duduk, seorang pelayan kafe mendekatinya, menanyakan menu yang ingin Intan pesan. Dua minuman pun dia pesan tanpa melihat buku menu terlalu lama. Usai menyebutkan pesanannya, si pelayan kafe melangkah pergi dan meninggalkan Intan yang sepertinya tengah menunggu seseorang. Detik jam terus berjalan, sesekali Intan terlihat menatap jam tangannya yang bermerek mahal. Sudah beberapa menit berlalu, tapi pria yang tadi pagi mengajaknya bertemu sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya. “Kenapa lama banget sih Bastian datengnya?” keluh Intan, ia merasa sedikit kesal. Terlebih lagi menunggu adalah hal yang paling dia benci. “Permisi, Mbak. Ini pesanannya.” Seorang pelayan membawakan dua minuman yang beberapa saat lalu telah Intan pesan. Intan pun menatap pelayan itu sekilas dan menerima pesanannya tanpa mengucapkan apa pun pada si pelayan kafe. Sungguh tidak memiliki etika yang baik. Bukankah seharusnya dia mengucapkan setidaknya kata ‘terima kasih’? Tapi tidak dipungkiri jika Intan bersikap sombong dan angkuh seperti itu adalah hal yang wajar, karena sejak kecil dia selalu hidup mewah dalam lingkup keluarga yang serba ada, dia sama sekali tidak pernah merasakan susah apalagi kerasnya kehidupan. Bahkan di saat perusahaan suaminya—Dimas—hampir bangkrut, dia masih asyik berfoya-foya dan menikmati kehidupan tanpa memikirkan hari esok ataupun masa depannya. Ya, sebab itulah Intan tumbuh tanpa empati yang meluap-luap. Usai si pelayan kafe itu pergi, Intan tampak mengecek ponselnya, membaca pesan yang dikirimkan oleh Bastian tadi pagi. “Aku enggak salah tempat kok,” gumam Intan. “Jamnya juga bener,” lanjutnya. “Intan.” Suara itu langsung membuat Intan mendongak. Dia menatap Bastian yang baru saja tiba. Saat melihat sosok Bastian, entah kenapa Intan merasa jantungnya berdebar aneh, bahkan debarannya lebih kencang daripada saat dia berada di dekat Dimas. Apakah kini dia telah memiliki segenggam perasaan tersembunyi untuk Bastian? “Maaf aku telat datengnya,” ujar Bastian. Intan mengurai senyum terbaiknya. “It’s okey, enggak masalah,” kata Intan. “Kamu udah dateng dari tadi?” tanya Bastian seraya duduk dan menatap dua minuman yang sudah Intan pesan. “Maaf kalau aku udah buat kamu nunggu lama,” lanjutnya. Intan tak menanggapi, dia hanya tersenyum tipis mendengar perkataan mantan kekasihnya itu. “Em, karena kamu udah lama tunggu aku, jadi aku enggak akan basa-basi lagi,” cakap Bastian. “Jadi, alasan aku minta ketemu sama kamu, aku mau kasih tahu kamu kalau hubungan gelap aku sama kamu cukup sampai di sini, aku enggak bisa lanjutin perselingkuhan ini lagi,” tuturnya. Intan mengernyit, padahal sudah jelas kalau dia pasti tahu alasan kenapa Bastian memutuskan hubungan gelap mereka. Namun, Intan cukup heran karena ini bukan yang dia harapkan dan pikirkan. Dia tidak berpikir kalau Bastian akan menyerah padanya begitu saja. Apalagi berdasarkan tebakan Intan, rumah tangga Bastian dengan istrinya harusnya sudah kandas karena video yang dia kirimkan kemarin. “Kenapa tiba-tiba mau mengakhiri semua kebahagiaan ini, Bas?” tanya Intan, menampilkan raut sedihnya. “Aku nyaman sama kamu, Bas. Dan aku sayang sama kamu,” timpalnya. “Aku juga nyaman sama kamu, aku juga seneng setiap kali ketemu kamu, Intan. Tapi istri aku udah tahu kalau aku selingkuh sama kamu. Dia bahkan sampai mau pergi dari rumah dan minta cerai sama aku,” jelas Bastian. Intan menahan senyum jahatnya. “Jadi, rumah tangga kamu sama istri kamu udah kandas?” tanya Intan, berpikir kalau rencananya ternyata berhasil. Namun, Bastian meresponsnya dengan gelengan kepala, hal itu tentu membuat Intan mengerutkan keningnya bingung. “Untungnya dia percaya sama aku waktu aku kasih alasan kalau aku dijebak sama kamu. Dan dia kasih kesempatan kedua buat aku,” terang Bastian. Intan tersenyum miris. Sekarang dia benar-benar penasaran, seperti apa sosok Tania yang merupakan istri Bastian. Sungguh betapa sabarnya wanita itu dan betapa bodohnya dia karena sudah mau ditipu oleh seorang Bastian. “Jadi karena dia kasih kesempatan kedua buat kamu. Kamu mau berhenti selingkuh?” Bastian mengangguk pelan. “Kemungkinan seperti itu,” jawabnya. “Kemungkinan?” Intan ingin sekali tertawa. Ya, dia tahu kalau hobi selingkuh yang dimiliki Bastian tidak mungkin dengan mudahnya lenyap begitu saja. “So, kalau kamu ada peluang untuk selingkuh lagi, kamu bakal selingkuh?” tanyanya. Bastian terdiam. Dia ingin berkata tidak, tapi otaknya yang begitu kotor dan buruk benar-benar telah mempengaruhinya. “Aku bakal tunggu kamu punya peluang buat selingkuh lagi, Bas,” cakap Intan. Bastian masih diam. Ia belum memberikan responsnya. Intan yang melihatnya pun lantas bertindak. Ia menyentuh tangan Bastian yang ada di atas meja, mengusap tangan itu penuh makna. “Maaf,” lirih Bastian, segera menarik tangannya dari sentuhan Intan. “Jangan ajak aku untuk selingkuh di belakang istriku lagi,” tolaknya. Intan yang merasa tertampar oleh penolakan Bastian pun terlihat kesal. Dia tidak terima dengan penolakan itu. Dan semua ini bukanlah seperti yang dia harapkan. ‘Oke, kalau memang kamu enggak bisa aku dapetin pakai rencana A. Maka aku akan menggunakan rencana B yang udah aku siapin untuk kamu, Bastian.’ Batin Intan berbicara sangat licik. “Kamu mau tinggalin aku?” tanya Intan. “Maaf,” ucap Bastian, hanya kata itu yang bisa dia berikan. Kemudian, Bastian pun bangkit dari duduknya. “Aku harus pergi, aku takut ada yang melihat kita di sini,” lanjutnya, bersiap untuk lenyap dari pandangan Intan. “Kamu enggak bisa tinggalin aku, Bas,” cegah Intan. “Aku hamil,” ujarnya dengan senyum liciknya yang tersembunyi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN