Bab 1: Insiden Paling Memalukan

1212 Kata
Febri duduk sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya. Sesekali dia meneguk minuman cokelat yang ada di tangannya dan menikmati perlombaan piala bergilir bulu tangkis yang diadakan oleh anak OSIS di sekolahnya, SMA Harmony Internasional Surabaya. “Febri...!”  Pemilik nama tersebut menoleh ke kanan.  Febri bukanlah cewek yang populer, dia cukup pendiam di kelas dan berbicara seperlunya saja. Dia juga tidak terlalu pintar, hanya saja dapat diandalkan dalam pelajaran Bahasa Inggris. Febri tidak terlalu cantik jika dibandingkan dengan cewek-cewek lainnya yang melakukan perawatan ekstrem sehingga kulit di wajahnya jauh lebih putih dibanding kulit di lehernya. Matanya cokelat ditutupi oleh kacamata, berkulit kekuningan, hidung tidak terlalu mancung, dan tingginya sekitar 153 cm.  “Apa?” tanya Febri kembali menghadap ke perlombaan bulu tangkis. Senyumnya tersungging lebar sambil kembali menatap salah satu panitia OSIS perlombaan bulu tangkis. Rambut hitam sepundaknya bergerak sesuai irama angin.  “Nggak pa-pa. Kok tumben mau nonton bulu tangkis? Biasanya langsung cus ke perpustakaan kalo lagi ada acara sekolah gini.”  Erina juga ditakdirkan sama seperti Febri, tidak populer dan tidak cantik. Bahkan keberadaan mereka berdua ini seolah seperti bayangan bagi siswa lainnya. “Bosen aja. Hampir semua buku di perpus udah gue baca. Kecuali semua hal yang berbau Fisika.”  Oh, satu hal lagi. Mereka berdua benci Fisika. “Haha, gue rasanya udah pengin mati aja ngeliat Fisika,” tawa ringan keluar dari mulut Erina. “Oh ya, lo entar pulang?” tanya Febri sambil mengaduk-aduk minumannya. “Ya kali gue nginep di sini. Tapi mungkin agak telatan, soalnya bakal ada rapat OSIS pulang sekolah. Lo ngangkot aja lagi ya?” “Dasar lo sok sibuk.” Febri memutar bola matanya dan kembali menatap salah satu panitia OSIS yang sedang asyik berbincang dengan temannya. Ia tersenyum malu seketika dan memalingkan wajahnya ke samping. “Apaan senyum-senyum kayak gitu? Kesambet?” Erina memandang sahabatnya itu. Masih dengan keadaan tersenyum malu, Febri menoleh. “Enggak, nggak pa-pa.”  Erina mengangkat satu alisnya, curiga. “Yaudah gue balik dulu, nanti bisa berabe dimarahin senior OSIS kalo ketahuan kabur. Dah.” Erina melangkah jauh meninggalkan Febri sambil menggelengkan kepala melihat tingkah aneh sahabatnya barusan.  Febri menghela napas panjang. Tribun tempat Febri duduk dan menyaksikan perlombaan bulu tangkis ini terdapat beberapa pengurus OSIS yang duduk beberapa tingkat di atas Febri. Mereka asyik berbincang sambil memantulkan bola basket, sehingga, getarannya sangat terasa oleh Febri.  Cewek itu menggeram kesal dalam hati dan memutuskan untuk mendongak, melihat siapa yang memantulkan bola basket di atas tempat duduk tribun. Saat kepalanya menengadah—bagai jiwa yang belum terkumpul sepenuhnya—sebuah bola basket terjun dengan indah mencium puncak kepala Febri. “Awas...!” “Aw!” jerit Febri spontan menyentuh keningnya hingga menjatuhkan minuman cokelat yang ada di tangannya.  Beberapa orang langsung mendatangi Febri, termasuk tersangka oknum yang menyebabkan semua ini terjadi. Febri masih menyentuh keningnya yang terasa nyut-nyutan itu. Matanya setengah terbuka, pandangannya kabur, dan kurang dari tiga detik cewek itu pingsan. . === . Bunyi bising memekakkan telinga Febri bersamaan dengan dibukanya kedua mata. Pandangannya tak lagi buram seperti tadi, hanya saja pandangannya kini serba putih. Ia mengucek kedua matanya dan mengerjapkannya beberapa kali. Dilihatnya ada seseorang mengenakan seragam putih dengan simbol plus di lengannya, dan ada dua orang lagi yang menunggu di depan, entah siapa itu. Buram. “Sudah baikan? Apa yang sakit? Pusing?” tanya seseorang dengan seragam putih yang ia rasa itu adalah salah satu dokter UKS. Febri menarik napas lalu mengangkat pelan kepalanya. “Udah mendingan, kok. Terima kasih, Dokter.” Dokter itu pun tersenyum lalu berjalan keluar ruangan dan berbicara pada dua orang tersebut. Salah satunya lalu menoleh ke arah Febri dan langsung berjalan mendekatinya. Semakin dekat semakin membuat penglihatan Febri lebih jelas. Dia adalah seorang cowok dengan seragam olahraga yang menandakan bahwa dia juga salah satu siswa dari SMA Harmony Internasional. Mukanya terlihat merah dan terdapat beberapa bulir keringat yang masih membasahi pelipisnya. Seragamnya juga terlihat basah. Tunggu, wajahnya tampak familier.... Ah, dia! Cowok blasteran Pakistan yang sempat menyapa Febri di lorong kemarin. Hari Minggu. “Em, gimana? Sori, tadi gue nggak sengaja mantulin bola basket terlalu keras. Sekali lagi gue minta maaf,” kata cowok itu dengan nada penuh rasa bersalah. Ia terus menggigit bibir bawahnya dan menggaruk tengkuknya. Sepertinya ia bingung apa yang harus dilakukan. “Iya, gue udah nggak pa-pa, kok,” ujar Febri tersenyum tipis walau perasaannya sedang dongkol. Ia lalu mengumpat dengan bergumam kecil, “Emang lo pikir jidat gue ini ring basket apa?” “Apa?” tanya cowok di depannya membuat Febri gelagapan sendiri. “E-enggak, kok,” jawab Febri dengan cengiran. Cowok itu mengangguk beberapa kali, lalu menghela napas panjang. “Gue Dimas. Kayaknya lo nggak kenal gue. Yaudah kalo gitu gue balik duluan, ya. Kalo ada apa-apa tinggal ke ruang OSIS aja, gue full day ada di situ. Sekali lagi, sori ya.” Febri mengangguk menatap cowok itu melangkah keluar ruangan bersama dengan satu temannya lagi. Ketika Febri menatap kepergian Dimas, tak sengaja matanya justru bertabrakan dengan mata cowok itu. Bukan. Bukan Dimas, melainkan cowok yang membuat Febri mampu tersenyum sepanjang hari, cowok yang mampu membuat Febri merasa menjadi cewek yang paling beruntung kalau bisa berada di dekatnya, cowok yang membuat Febri rela datang ke sekolah di hari Minggu. Namun sayang, cowok itu membalas tatapan Febri dengan raut datar dan dingin. Saat itu juga badan Febri serasa disengat air es. “Gitu banget ngeliatinnya....” Febri mendesah sedih lalu membiarkan tubuhnya kembali berbaring di atas ranjang UKS.  Walau baru ditatap dingin dan datar oleh cowok itu, tidak membuat hati Febri berhenti berteriak kegirangan. Tak lama kemudian, saat mata Febri mulai terpejam, ketukan langkah kaki terdengar semakin jelas di UKS ini. Membuat Febri mau tak mau menunda waktu istirahatnya. Ia berusaha mengangkat kepala dan menggeser tubuhnya menjadi posisi duduk. Dilihatnya seorang cewek yang sangat ia kenal tampak khawatir dan segera berlari masuk ke ruangan Febri. “Ya Gusti, Febriiii!!! Kok lo bisa masuk UKS, sih? Apa yang sakit? Kayaknya kita harus ke UGD sekarang deh. Gue telponin nyokap lo, ya—“ Tuk! Febri menyentil pipi Erina yang membuatnya meringis. Selalu seperti ini. Hal yang kecil selalu dibuat heboh oleh Erina. Sikap berlebihannya terkadang membuat Febri jauh lebih pusing dibanding harus menyelesaikan soal fisika. “Kan lebay. Gue tadi cuma ketiduran di lapangan indoor,” potong Febri. “Pingsan lo bilang tidur?” Wajah Febri yang awalnya datar menjadi lebih datar lagi. Ia tidak berniat untuk berdebat lebih lama dengan sahabatnya ini. Embusan napas terdengar dari mulut Erina. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, lalu kembali menatap Febri. “Kelas yuk.” Febri mendecak sebal. Sedang sakit begini justru diajak ke kelas. Dasar sahabat tidak punya hati. Menyebalkan. “Ngapain?” “Ya nggak pa-pa, anak-anak pada ngumpul di sana. Mereka juga khawatir sama lo.” Febri langsung menggelengkan kepala. Ia lebih memilih untuk tetap berada di ruang UKS ini, itung-itung modus pengin tidur. Erina mengangguk mengerti. Mungkin sahabatnya ini memang butuh istirahat atau bisa dibilang modus pengin tidur. Erina lalu menepuk pundak Febri. “Yaudah, gue duluan, karena tugas belum selesai. Lo get well soon. Nanti gue mampir ke sini lagi.” “Sana, hus!” Febri tertawa sambil mengusir Erina. Setelah sahabatnya itu pergi, Febri kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata sesaat sebelum dilihatnya ada seseorang yang sedang mengintip dari luar ruangan UKS.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN