Kembali Bertemu

1676 Kata
Sepuluh tahun kemudian. Terik matahari tidak menghalangi Ana untuk datang ke kampus. Hari ini adalah hari Jumat yang berarti seharusnya ia tidak ada kelas. Namun, entah kenapa dosen mendadak mengadakan kuis yang membuat para mahasiswa mengeluh tidak suka. Jakarta adalah kota yang dipilih Ana untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Terlalu beresiko mengingat begitu cerobohnya dia. Namun dengan tekad dan kemauan, akhirnya orang tua Ana rela melepaskan anaknya untuk hidup mandiri, jauh dari kota asalnya. Kadang kemandirian akan menumbuhkan rasa kedewasaan. Prinsip itulah yang dipegang Ana sehingga dia memilih untuk hidup sendiri. Sekarang Ana dapat merasakan sendiri bagaimana sulitnya hidup dengan uang jatah bulanannya. Kadang jika tidak bisa menahan diri, maka di akhir bulan dia akan berpuasa. Namun Ana tidak menyesal, dia malah menikmatinya. Menikmati hidup dengan menambah banyak pengalaman. "Permisi, Pak. Maaf saya telat." Ana tersenyum konyol menatap dosen yang tengah membagikan selembaran. "Jam berapa ini? Saya sudah kasih waktu setengah jam buat anak yang sering telat kayak kamu gini, tapi masih telat juga," celetuk dosen yang membuat Ana menunduk pasrah. "Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa Ana ucapkan untuk saat ini. "Ya sudah, masuk sana. Lain kali jangan seperti itu, coba hargai waktu." Ana tersenyum dan mengangguk semangat. "Siap, Pak! Terima kasih." "Nanti malam jangan lupa kamu kirim artikel berita tentang perang di Timur Tengah." Langkah Ana terhenti dan menatap dosen bingung. "Maksudnya, Pak?" "Kamu saya kasih tugas, buat artikel berita tentang perang di Timur Tengah. Satu saja tapi pakai bahasa inggris." Ana mendadak lemas mendengar itu. Dia pikir dosen akan berbaik hati karena membiarkannya masuk. Namun tetap saja hukuman akan dia dapatkan. Seharusnya dia berhati-hati dengan dosen satu ini, mengingat begitu banyak kejutan yang membuat mahasiswa mendadak pusing seperti ini. *** Kantin tidak terlalu sesak saat ini mengingat jika bukan lagi jam makan siang. Hari yang menjelang sore hanya menyisakan beberapa manusia yang tengah menikmati waktu luang bersama teman. "Mbak Ida, pecel satu ya, Mbak. Lauknya telur aja, sayurnya dikit, nasi sama togenya banyakin biar subur, jangan lupa kerupuknya. Minumnya es teh ya, es-nya banyakin. Nggak pake lama dan terima kasih." Ana memesan makanannya dalam satu tarikan nafas. "Makan modal 15 ribu aja banyak mau," protes Ally pada Ana. "Namanya juga tanggal tua." "Ya udah, Mbak. Aku samain aja makanannya," ucap Ally mengikuti Ana. Ana melirik sahabatnya dengan sinis. Perasaannya tidak begitu baik sejak tadi. Memang sedikit menyebalkan mempunyai sahabat seperti Ally, tapi mau bagaimana lagi, sepertinya hanya dia yang mau berteman dengan orang konyol sepertinya. Satu suapan pertama Ana sudah kembali tersenyum lebar. Memang makanan adalah kelemahannya. Dia begitu menyukainya sampai bisa melupakan harga dirinya sendiri. Makanan sederhana seperti inilah yang membuatnya teringat akan ibunya. Hanya dengan makanan, Ana merasa dekat dengan keluarganya. Jika dulu Ana merasa biasa jika tidak menghabiskan makanan, tapi untuk sekarang dia mencoba untuk merubah itu. Entah kenapa melihat sesendok nasi yang tersisa saja membuatnya sedih. Itulah yang membuat berat badannya naik tiga kilo dalam beberapa bulan terakhir ini. Setidaknya jauh dari rumah membuat Ana sangat menghargai sesuatu yang datang di hidupnya. Dia menganggapnya sebagai pelajaran berharga yang tidak akan dia dapatkan di tempat lain. "Ana!" Ana mengangkat kepalanya dan menatap Sarah yang memanggilnya. "Ada apa, Kak?" tanya Ana memakan suapan terakhir makanannya. "Kamu hari senin ada kelas nggak?" "Ada tapi pagi. Kenapa?" "Kamu gantiin Mas Adit besok Senin ya, buat liputan acara seminar di Fakultas Bisnis." Ana terdiam dengan bingung, sebenarnya dia sedikit malas karena minggu kemarin dia sudah menjadi tim kreatif di acara musik. "Kan minggu kemarin aku udah ngisi program, Kak. Yang lain deh ya," ucap Ana memohon. Selain karena malas, tugas yang menumpuk harus segera diselesaikan. "Nggak ada yang bisa, Na. Kakak-kakak juga pada PKL nanti. Udah kamu aja ya, lumayan loh bisa masuk seminar gratis, nambah ilmu juga. Mau ya?" Ana terdiam sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal. Dia juga tidak enak jika menolak Sarah yang merupakan seniornya di Lab TV. "Aku jadi apa? Terus pembicaranya siapa?" tanya Ana pada akhirnya. "Kamu jadi campers, nggak susah kan? Pembicaranya pembisnis sukses, masih muda, ganteng lagi. Seneng deh kamu liat yang bening-bening." Ana mengangguk mengerti. "Ya udah aku mau, Kak. Kabarin aja besok waktunya. Oke." "Oh siap, makasih ya, Na." Ana hanya mengangguk dan menatap Ally yang menatapnya bingung. "Tugasmu apa kabar nanti?" Ana mengangkat bahunya acuh, "Gampang lah, aku kan pinter.. kalau kepepet.” "Yakin banget kamu, tugas lagi banyak-banyak-nya nih." "Biarin, enak besok nggak masuk kelas." Ana hanya tertawa dan meninggalkan Ally ke tempat parkir. Dia harus pulang sekarang. Mengerjakan semua tugasnya sebelum tugas lainnya mulai berdatangan. Saat sedang memasang helm, Ally datang dengan banyak camilan di kantong plastik yang dia bawa. "Aku ikut ke kos ya? Males pulang aku." Tanpa menunggu jawaban, Allly langsung duduk di atas motor membuat Ana menggelengkan kepalanya pasrah. Ally adalah satu-satunya teman yang dekat dengannya sejak pertama kali masuk kampus. Sebenarnya Ana mempunyai banyak teman, tapi hanya Ally yang selalu ada di sampingnya. Percayalah, setelah Ana kuliah dan hidup sendiri, dia menyangkal habis-habisan tentang kehidupan anak kuliahan di FTV. Dia tidak merasakan kebahagiaan yang sama dengan apa yang mereka rasakan. Mungkin Ana belum merasakan padatnya jadwal karena masih semester awal tapi dia yakin suatu saat nanti perpustakaan akan menjadi destinasi favoritnya. *** Ana membuka pintu aula Fakultas Bisnis dengan cepat. Dia melirik jam tangan sebentar dan kembali berjalan. Dia terlambat, lebih tepatnya kesiangan. Terlihat sudah banyak kru TV kampus yang sedang menyiapkan alat untuk liputan nanti. Tadi Sarah juga sudah menghubunginya berkali-kali untuk melakukan briefing terlebih dahulu sebelum liputan jam 9 nanti. "Pagi, Kak Sarah," sapa Ana memperlihatkan senyum polosnya. Sarah hanya melirik Ana sebentar dan mendengus jengkel, "Udah sana ke Bang Alex," ketusnya. "Maaf deh, belum mulai juga kan? Semalem aku habis begadang nonton film. Film itu tuh yang lagi rame, bagus banget kak sumpah! Masa ya si-" "Udah! Nggak usah spoiler kamu ya!" Ana hanya terkekeh mendengarnya. Dia dan Sarah memang termasuk movie addict, mereka selalu sharing tentang film-film terbaru. "Katanya mau briefing dulu? Ayo, aku udah siap nih." Tarikan pelan pada rambutnya membuat Ana menoleh ke belakang, "Briefing-nya udah selesai dari tadi. Nggak liat jam kamu? Udah jam setengah 9 juga baru dateng." Ana meringis begitu melihat ketua lab TV yang sudah berada di belakangnya. "Hai, Bang. Udah sarapan?" tanya Ana mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Kenapa baru dateng?" Alex bertanya lembut. "Begadang, Bang. Nonton Film katanya. Padahal semalem aku juga begadang melototin rundown tapi nggak telat juga," sahut Sarah ketus. "Jangan marah-marah dong, Kak. Nanti keriput." "Udah-udah, jangan ribut terus. Ana kamu pegang Cam 1 ya, sana cek kameramu dulu." "Siap, Bos!" *** Ana memfokuskan kamera pada MC yang sedang berbicara di panggung. Acara sudah dimulai dan aula terlihat seperti pelangi dengan warna almamater dari berbagai universitas yang berbeda-beda, tapi tetap yang paling mendominasi adalah almamater kampusnya. "Mari kita sambut Bapak Davinno Rahardian!" Suara tepuk tangan langsung memenuhi aula, terdengar juga suara teriakan wanita dan siulan. Ana sempat bingung dengan kehebohan yang terjadi tapi setelah melihat pria berjas naik ke atas panggung. Dia mulai mengerti kenapa para mahasiswi terlihat sangat bersemangat. Ana menatap pria di atas panggung itu dengan mata yang tak berkedip. Jika ketampanan Alex termasuk di atas rata-rata maka pria yang berdiri dengan gagah di sana sudah berada di level tertinggi, setinggi langit. "Sungguh dahsyat ciptaanmu, Tuhan!" ucap Ana cukup keras, sedetik kemudian dia merasakan gulungan kertas yang mendarat di kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Sarah, dia mengingatkan Ana untuk diam. Bisa saja suaranya akan bocor ke dalam rekaman video nanti. Benar apa yang dikatakan Sarah, pembicara kali ini benar-benar sangat istimewa. Tidak heran jika tiket terjual habis dengan sangat cepat. Ana terdiam memperhatikan pria yang sedang berbicara itu. Setelah dipikir-pikir, Ana akan sedikit menurunkan tingkat ketampanannya karena pria itu terlihat sangat serius dan tidak menunjukkan senyumnya sedikitpun. *** Seminar telah selesai sejak 15 menit yang lalu. Kru TV kampus juga sudah mengangkut alat-alat untuk dikembalikan ke studio. Ana dan kru lainnya sedang makan sekarang. Mereka mendapatkan jatah nasi kotak dari pihak penyelenggara. "Eh, Pak Davinno tadi pidatonya keren banget ya." "Pidatonya yang keren apa orangnya?" "Ya orangnya, dong." "Emang Pak Davinno ganteng banget tadi, wibawanya dapet. Jadi pingin gigit." Ana terbatuk saat mendengar ucapan sekelompok wanita di belakangnya. Memang benar, kesan pertama yang dia lihat dari Davinno Rahardian adalah tampan, bahkan sangat tampan tapi ketampanan itu sedikit berkurang karena wajah datarnya. "Aku udah selesai, pulang dulu ya, Kak." "Aku antar ya, Na." Tiba-tiba Alex menawarkan diri. Ana menggeleng cepat, "Nggak usah, Bang. Habisin aja makannya." "Aku udah selesai kok, dianter aja ya?" "Kosku deket, Bang. Depan kampus lagi. Aku juga bawa motor. Duluan ya." Ana berjalan ke arah tempat parkir sambil memainkan ponselnya. Ketika akan menyeberang jalan, tanpa dia sadari sebuah mobil muncul dari tikungan dan akan menabraknya, tapi itu tidak terjadi karena mobil berhenti secara mendadak dan membuatnya terkejut. Jantung Ana berdetak dengan kencang. Dilihat kakinya yang gemetar. Bagaimana tidak? Jika bagian depan mobil bahkan sudah menyentuh kakinya. Ana merasa bersyukur saat mobil itu tidak menabraknya tadi. Aku belum mati kan? "Dek? Adek nggak papa?" Ana masih diam. Dia terlalu terkejut dengan peristiwa yang baru saja terjadi. "Aku masih hidup kan, Pak?" "Iya Dek, masih hidup. Lain kali kalau nyeberang hati-hati ya, jangan main HP terus. Bahaya, jadi rusak kan HP-nya." Ana hanya bisa mengangguk dengan pelan. "Edo! Kasih kartu namaku. Kita harus ke kantor sekarang!" ucap seseorang dari dalam mobil. "Ini kartu nama bos saya, nanti HP-nya diganti. Lain kali hati-hati ya." Pria bernama Edo itu kembali masuk ke dalam mobil. Ana melangkah mundur, bermaksud memberi jalan pada mobil itu untuk lewat. Sebelum itu dia mengambil ponselnya terlebih dahulu yang sudah tergeletak mengenaskan di atas aspal. Saat mobil melaju di depannya, Ana melihat pria yang menjadi pembicara seminar tadi sedang duduk dengan gaya angkuhnya. Pria itu menatap Ana dengan lekat dan begitupun sebaliknya. Ana tidak tahu kenapa waktu seolah telah berhenti. Mereka saling bertatapan sampai mobil itu mulai menjauh. Ana menyentuh dadanya yang berdetak dengan cepat. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba dadanya terasa sesak. Debarannya berbeda dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Saat menatap mata tajam itu, Ana merasa bahwa hatinya yang kosong telah terisi kembali. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN