6- Rutinitas Mahasiswa

1506 Kata
Katanya keluarga adalah orang yang akan selalu ada untukmu apapun keadaanmu. Katanya keluarga akan selalu ada di masa- masa terburukmu dan berusaha menguatkanmu. Namun yang Dihyan rasakan dari keluarga besarnya tak seperti itu. Bibi, paman hingga para sepupunya seolah menumpukan beban mereka di pundaknya. Dulu ketika ibu masih hidup, beliau adalah wanita pekerja keras. Dia bekerja dimana pun agar bisa mendapatkan uang. Terlebih keluarga besarnya banyak yang tidak bekerja, alhasil mereka hanya bisa untuk terus meminta tanpa tahu lelahnya ibu kala itu. Lalu sekarang, ketika ibunya tiada... bukannya mereka sadar diri dan mencari pekerjaan demi menghidupi diri mereka, tapi malah mencoba mencari celah agar Dihyan mau menghidupi mereka seperti yang ibunya lakukan. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka. Apa mereka pikir ia yang mendapat beasiswa kuliah di Ceredia lalu seketika menjadi milyarder? Apa mereka pikir berkuliah itu menghasilkan banyak uang? Dimana hati nurani mereka pada anak yatim piatu sepertinya? “ Dihyan, kau baik- baik saja?” tanya Varan saat melihat Dihyan duduk di atas ranjangnya dengan kedua tangan yang memegangi kepala. Dihyan menoleh pada Varan yang baru saja masuk ke dalam kamar mereka. Pria itu biasa melakukan olahraga di sore hari sebelum akhirnya mandi dan beribadah seperti biasa. Ada sudut ruangan khusus di kamar ini yang Varan sulap sebagai tempat ibadahnya. Walau kelihatan urakan, nyatanya Varan adalah pria yang taat pada Tuhannya. Ia pun hanya mengangguk. “ Oh ya. Selain kuliah, kau ada rencana apa lagi?” tanya Varan kembali. “ Entahlah. Aku belum memikirkannya. Menurutmu bagaimana?” Varan tampak berpikir, pria itu memilih duduk di pinggir ranjangnya yang hanya berjarak dua meter dari ranjang milik Dihyan. “ Karena asrama ini bebas, tentu harus kita manfaatkan. Seperti kerja paruh waktu misalnya. Bagaimana menurutmu?” “ Kerja paruh waktu? Kau tahu dimana kita bisa melakukannya?” tanya Dihyan yang tiba-tiba mendapat pencerahan. Walau ia tidak bisa menghidupi keluarganya di Abadher, setidaknya ia bisa mengirim sedikit uang pada mereka. Ya hanya sedikit, ia ingin mereka bisa berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka. Toh ia hanyalah manusia yang mungkin suatu saat bisa pergi, lalu jika ia telah tiada juga... apa mereka akan membiarkan diri mereka menjadi gelandangan? “ Ada.” Varan menjentikkan jarinya seolah mengingat sesuatu. “ Ada sebuah toko buku di dekat sini yang cukup ramai dan butuh karyawan baru. Tapi bekerja di toko buku bukanlah keahlianku.” Ia menggoyang- goyangkan jarinya. “ Tapi sepertinya pekerjaan itu cocok untukmu.” Ia memperhatikan Dihyan yang kelihatan jauh lebih tertarik dengan deretan buku baru dibanding dirinya. Satu- satunya buku yang ia suka hanyalah komik. Sementara buku pelajaran kuliahnya saja sangat sangat terpaksa ia baca. “ Kau bisa mengantarku ke sana?” tanya Dihyan penuh harap. Varan mengangguk, tidak kelihatan keberatan sama sekali. “ Tentu saja. Aku kenal pemiliknya, dia pasti senang kubawakan karyawan baru.” “ Terima kasih.” Varan beranjak dari tempatnya dan berjalan ke sudut ruangan khusus tempat ibadah. Pria itu membakar garu dan mulai beribadah seperti biasa. Dia mengangkat garu setinggi kepalanya dan terlihat serius dalam berdoa, lalu menurunkan sedikit garu itu sembari memanjatkan doa- doa. Garu adalah media untuk menyampaikan permohonan pada Tuhan. Kepulan asap dari garu yang dibakar dipercaya akan sampai pada Tuhan dan Dewa-dewa untuk dikabulkan. “Ketika mengangkat garu itu, kami berdoa. Nanti asap- asap itu akan sampai pada Tuhan dan Dewa- dewa.” Itu yang dikatakan gurunya Dihyan dulu saat di Abadher. Tata cara mengangkat garu pun berbeda- beda. Dalam menghadap Tuhan, garu diangkat lebih tinggi, biasanya sampai di atas kepala. Sementara, dalam membuat permohonan pada Dewa, garu biasanya diangkat lebih rendah. Tentu karena kedudukan Tuhan lebih tinggi dibanding para Dewa. Dihyan bukannya tidak taat beribadah. Namun ia lebih suka beribadah di kuil. Walau beribadah dimana pun sama saja yang penting niat dan khusyuknya. Bahkan ia suka pergi ke kuil bersama Fredella ataupun Zafhira ketika sahabatnya itu sedang tidak sibuk. Pria itu pun memalingkan wajahnya, menatap ke arah jendela yang dibiarkan terbuka. Langit jingga masih menampakkan diri karena memang ini masih termasuk musim panas sehingga siang hari terasa jauh lebih lama. Memang negaranya adalah negara tropis yang berarti hanya punya dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Namun di salah satu daerah di ujung Convodia, warganya masih dapat menikmati salju. Yang tentu saja tidak akan bisa dirasakan masyarakat di kota ini. Tempat itu letaknya jauh bermil-mil dari sini dan dekat perbatasan dengan negara sebelah. Tak ayal Dihyan pun ingin sekali ke sana suatu saat nanti. “ Nanti setelah makan malam kita ke toko buku itu ya,” ucap Varan yang ternyata sudah selesai beribadah. “ Baiklah.” ....................  Berbeda dengan Dihyan yang memilih kuliah jurusan teknik mesin, Fredella memilih untuk masuk ke kampus kedokteran. Selain keluarga besarnya beberapa ada yang menjadi dokter, ia pun memiliki cita-cita sebagai dokter juga. Walau waktunya pasti akan banyak tersita untuk kuliah dan praktikum di dalam laboratorium. Tampak membosankan bagi seorang Zafhira yang memilih untuk mendalami beragam les akting dan dance-nya. Tapi tetap saja Zafhira adalah sahabat terbaiknya dan akan selalu ada untuknya. Walau Zafhira seharusnya tinggal di apartemen ini juga karena mereka membayar biaya sewanya bersama, tapi nyatanya gadis itu jarang sekali ada di sini. Pertama, karena Zhafira tahu jika Fredella akan sibuk dengan kuliah kedokterannya dan jarang di rumah. Kedua, karena Zhafira sendiri pun juga sibuk dengan beragam les akting dan dance-nya sehingga tinggal di rumahnya jauh lebih tepat. Mengingat tempat latihannya sangat dekat dengan rumah sahabatnya itu. Belum lagi ayahnya Zhafira yang ingin melihat langsung perkembangan anak perempuannya sebelum akhirnya dia bisa debut di Convolywood. Bukan hanya sekedar menjadi model majalah atau video klip musik, tapi menjadi peran utama sebuah film. Itulah cita- cita Amir—ayah Zhafira. Pria paruh baya itu ingin semua anaknya bisa terjun ke dunia hiburan. Tok tok tok! Fredella menatap pintu apartemennya yang diketuk dari luar. Biasanya jika Zhafira akan menginap di sini, wanita itu akan mengabarinya lebih dulu. Ia pun beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu. Ia mengintip dari lubang khusus untuk melihat siapa yang datang. Namun yang dilihatnya hanya sebuah tangan yang memegang buku novel dari penulis favoritnya. Walau ragu, ia akhirnya membuka pintu itu untuk melihat siapa yang datang. “ Dihyan?” Fredella terlihat kaget sekaligus senang dengan kehadiran kekasihnya. “ Hai Varan!” Ia juga menyapa teman sekamar Dihyan. Ini kali kedua mereka bertemu setelah makan malam itu. “ Hai!” Varan terlihat memperhatikan apartemen Fredella, kelihatan sekali mencari seseorang. “ Zhafira sedang tidak di sini. Dia lagi persiapan untuk pemotretan di Venedia,” ucap Fredella mengerti siapa yang tengah Varan cari. Dihyan menyikut pinggang Varan agar temannya ini bisa bersikap sopan sedikit. “ Ayo masuk.” “ Tidak perlu.” Dihyan menggelengkan kepalanya lalu menyerahkan novel yang dibawanya ke Fredella. “ Ini untukmu. Mulai besok aku bisa bekerja paruh waktu di toko buku dekat sini. Jadi mungkin kita bisa lebih sering bertemu, itupun jika kuliahmu tidak padat.” Fredella tersenyum senang menerima novel dari penulis favoritnya. Dihyan memang tahu semua kesukaannya dan untungnya mereka berdua memang satu frekuensi, sama- sama suka buku. “ Terima kasih. Yakin tidak mau mampir?” “ Tidak usah. Nanti kemalaman,” ucap Varan sembari tersenyum sopan. “ Baiklah, kami pamit dulu. Jangan lupa makan malam,” ucap Dihyan seraya mengusap puncak kepala Fredella sebelum pergi, membuat wajah gadis itu bersemu. “ Hati-hati. Ini sudah malam.” “ Tenang saja. Kami pria kok!” Varan menepuk dadanya dengan angkuh. Dihyan memutar bola matanya dengan malas lalu menarik Varan agar segera pergi dari sana. “ Pacarmu itu pasti pintar sekali ya.” Varan mulai bicara lagi. Dia memang tipe orang yang suka bicara tentang apapun. Bahkan sepertinya semua pertanyaan di dalam kepalanya akan pria itu ungkapkan sendiri tanpa perlu ditebak. Ia menebak seperti itu karena tahu Fredella kuliah jurusan kedokteran. Baginya, semua orang yang bisa masuk kampus kedokteran pasti memiliki otak encer. “ Tidak lebih pintar dariku.” Dihyan tersenyum tipis sembari terus berjalan menyusuri trotoar yang tidak bisa dibilang bersih. Beberapa sampah berserakan dan juga beberapa tunawisma tampak tertidur di emperan toko. Walau Ceredia adalah ibukota negara Convodia, tapi tak menutup kemungkinan jika kemiskinan masih banyak di sini. Sehingga tindakan kriminalitas pun juga banyak terjadi. Jangan bayangkan ibukota dengan gedung- gedung pencakar langit, trotoar yang bersih atau jalanan yang bebas dari kemacetan. Semua itu tidak ada di sini. Memang ada beberapa gedung tapi tak semegah gedung- gedung dari negara lain yang lebih maju. Negaranya masih termasuk dalam negara berkembang dan masih akan terus berusaha berkembang lebih baik lagi. Maka dari itu, jalan di malam hari seperti ini sangat tidak baik terutama bagi kaum wanita. “ Sombong sekali. Kalau kau lebih pintar darinya kenapa nggak masuk kedokteran juga?” “ Simpel saja. Karena aku ingin menjadi insinyur, bukan dokter.” Dihyan menatap Varan dengan yakin. Varan memutar bola matanya dengan malas. “ Terserah deh. Aku ingin segera sampai di asrama. Udara malam ini sangat tidak baik.” Ia memeluk dirinya sendiri. “ Angin malam di musim kemarau memang seperti ini.” Dihyan menatap langit dengan taburan bintang yang sangat cantik. Hari- harinya masih panjang di kota ini dan ia akan berusaha melaluinya sebaik mungkin, demi mencapai cita-citanya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN