14 - Amarah Ethan.

2014 Kata
Max dan Shila baru saja selesai berdansa. Keduanya kembali ke tempat di mana mereka sebelumnya berkumpul dengan Fiona. "Max, Fiona ke mana ya? Kok enggak ada si?" Shila seketika panik saat tidak melihat keberadaan Fiona, sementara ponsel dan tas milik Fiona masih berada di atas meja. "Mungkin Fiona pergi ke toilet. Fiona tidak akan pergi tanpa membawa tas juga ponselnya, kan?" Dengan perasaan ragu, Shila mengangguk. Ucapan Max memang benar, Fiona tidak akan pergi tanpa membawa tas juga ponselnya. "Sebaiknya kita duduk, dan tunggu Fiona kembali." Max menuntun Shila untuk duduk, dan setelah itu, Max juga duduk tepat di samping Shila. Shila mulai mengamati suasana di sekelilingnya, berharap jika ia melihat keberadaan Fiona. Tak terasa, 10 menit sudah berlalu sejak Max dan Fiona kembali duduk, tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda dari Fiona. "Max, kenapa Fiona belum juga kembali?" tanya Shila yang sekarang mulai terlihat cemas sekaligus juga khawatir. Sama seperti Shila, Max juga mulai cemas. "Ayo kita cari Fiona. Kamu pergi periksa toilet, dan aku akan mencari Fiona di sini." "Baiklah." Shila tidak menolak rencana Max. Shila pergi menuju toilet, sementara Max mulai mencari Fiona di antara para tamu yang memenuhi ballroom. "Max!" Max menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap sang Mommy yang baru saja memanggilnya. "Mom," sapanya. "Kamu sedang mencari siapa, Max?" Sejak tadi, Shela sudah memperhatikan Max, dan Shela tahu jika saat ini, Max sedang mencari seseorang, tapi siapa? "Max, sedang mencari Fiona, Mom." "Fiona?" "Iya, Mom. Apa Mommy melihat Fiona?" Max kembali menatap ke sekelilingnya, berharap jika ia menemukan keberadaan Fiona, karena ia tidak akan pernah bisa tenang sebelum melihat Fiona dengan mata kepalanya sendiri. "Mommy tidak melihat Fiona, Max." Sejak tadi, Shela sibuk menyapa para tamu yang hadir, dan ia tidak melihat Fiona. "Lalu, apa Mommy melihat Dominic?" Max mulai berpikir jika Dominiclah yang sudah membawa pergi Fiona. "Dominic?" "Iya, apa Mommy melihatnya?" Sekarang Max bukan hanya mencari Fiona, tapi juga mencari Dominic. Perasaannya bisa sedikit lega jika ia melihat Dominic, setidaknya pikiran buruknya tentang Dominic yang membawa Fiona pergi tidak terbukti benar. Shela menggeleng. "Mommy juga tidak melihat Dominic." Jawaban Shela membuat Max panik. Kepanikan yang tergambar di raut wajah Max disadari oleh Shela. "Ada apa, Max? Apa kamu berpikir jika Fiona dibawa pergi oleh Dominic?" "Kemungkinannya tidak kecil kan, Mom?" Max malah balik bertanya. "Max, Fiona tidak ada di toilet," ucap Shila yang baru saja kembali dari toilet. "Fiona juga tidak ada di sini, Shila." "Terus Fiona pergi ke mana? Fiona enggak akan pergi begitu saja, Max. Apalagi tanpa membawa tas juga ponselnya." Sekarang Shila benar-benar panik. Shila takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada sang sahabat. "Mommy akan memberitahu Daddy." Tanpa menunggu tanggapan dari Max juga Shila, Shela pergi meninggalkan keduanya, lalu menghampiri sang suami. Shela memberitahu Alexius tentang hilangnya Fiona, serta kemungkinan keterlibatan Dominic dalam hilangnya Fiona. *** "Eungh...." Fiona melenguh, mulai sadar dari efek obat bius yang beberapa menit lalu Dominic berikan. Fiona mencoba untuk menggerakan kedua tangannya, tapi tidak bisa. Perlahan tapi pasti, kelopak mata Fiona terbuka, saat itulah Fiona melihat kedua tangannya terikat oleh dasi. Fiona mencoba untuk melepaskannya, namun sayangnya tidak bisa. Ikatan dari dasi tersebut terlalu kuat, jadi sulit ia lepaskan. "s**t!" Umpat Fiona ketika usahanya untuk melepaskan kedua tangannya dari dasi tersebut tidak kunjung berhasil. "Kenapa ikatannya begitu kuat?" "Kamu sudah bangun, Baby." Fiona terkejut. Fiona menoleh, saat itulah Fiona melihat Dominic yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan bathrobe putih. Fiona seketika panik, dan tahu apa yang baru saja terjadi padanya. Sekarang Fiona ingat ketika Dominic membiusnya. "Jangan mendekat, Dominic!" Teriak Fiona yang sekarang di landa rasa panik, juga takut. Dominic mengabaikan larangan yang Fiona berikan. Dominic terus melangkah mendekati Fiona yang sekarang sedang duduk di atas tempat tidur. "Jangan mendekat!" Peringat tegas Fiona. Fiona benar-benar akan memukul Dominic menggunakan pas bunga yang saat ini ia pegang jika Dominic terus melangkah mendekatinya. Sayangnya, Dominic sama sekali tidak takut dengan larangan yang Fiona berikan. Fiona akan memukul Dominic, namun sayangnya, Dominic berhasil menahan pukulan Fiona, dan saat itulah pas bungan yang Fiona pegang terjatuh membentur lantai, sampai akhirnya hancur berkeping-keping. "Plak!" Dominic baru saja menampar wajah kanan Fiona. Dominic seorang pria, jadi meskipun pelan, tamparannya terasa sangat kuat. Saking kuatnya tamparan Dominic, wajah Fiona sampai berpaling, bahkan kini sudut bibirnya sedikit berdarah. Tamparan dari Dominic mengejutkan Fiona. Fiona shock, sama sekali tidak menyangka jika dirinya akan ditampar oleh Dominic. "Jangan macam-macam Fiona, karena aku tidak akan segan-segan untuk melakukan hal yang lebih menyakitikan dari tamparan tadi!" Dengan tegas, Dominic memberi Fiona peringatan. "Sekarang sebaiknya kamu minum." Dominic meraih gelas yang ada di nakas, memberikan gelas tersebut pada Fiona. Fiona menggeleng, menolak untuk meminum air pemberian Dominic. Fiona yakin jika air tersebut sudah Dominic campur dengan obat-obatan yang pasti akan sangat merugikan dirinya jika sampai air tersebut masuk ke dalam tenggorokannya. Penolakan dari Fiona membuat Dominic marah. "Minum," desis Dominic sambil mencengkram kuat mulut Fiona sampai akhirnya terbuka lebar. Dominic memaksa Fiona untuk meminum air tersebut. Fiona memberontak, tapi tenaganya tidak sebanding dengan Domini. Sebenarnya Fiona menguasi bela diri, hanya saja, situasi dan kondisi saat ini tidak mendukung, terlebih tadi Dominic sudah membius Fiona, membuat Fiona lemas tak bertenaga. Dominic berhasil memaksa Fiona meminum air yang sudah ia beri obat. Obat yang Dominic masukkan bukan sembarang obat, tapi obat perangsang dengan dosis cukup tinggi. "Sekarang kita tunggu sampai obatnya bereaksi, Baby," bisik Dominic tepat di depan bibir ranum Fiona. "To-tolong, lepaskan aku Dominic," ucap Fiona memelas. Fiona tahu jika Dominic tidak akan melepaskannya, tapi Fiona tetap berharap kalau Dominic mau melepaskannya. "Sebentar lagi kamu akan memohon untuk aku sentuh, Baby, bukan memohon untuk aku lepaskan," ucap Dominic sambil tersenyum devil. Tangan kanan Dominic terangkat, membelai kulit wajah Fiona yang sangat halus. "Obat apa yang kamu masukkan ke dalam minuman tadi, Dominic?" Perasaan Fiona seketika panik. "Coba kamu tebak, obat apa yang aku masukkan ke dalam minuman kamu, hm?" Fiona menggeleng, menolak untuk menjawab pertanyaan Dominic, karena Fiona memang tidak tahu, obat apa yang tadi Dominic masukkan ke dalam minumannya. Dominic mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Fiona. "Aku tidak akan memberitahu kamu obat apa yang tadi aku masukkan ke dalam minuman kamu, Fiona." Dominic akan mencium wajah Fiona, tapi dengan cepat, Fiona menghindarinya. Fiona tidak akan membiarkan Dominic menyentuhnya. Tidak akan pernah! Lagi-lagi penolakan Fiona membuat Dominic emosi, tapi kali ini Dominic memilih untuk diam, tidak melampiaskan emosinya pada Fiona. Dominic tidak mau melihat Fiona kesakitan. Dominic pergi meninggalkan Fiona, dan memilih untuk duduk di sofa dengan posisi membelakangi Fiona. Dominic akan menunggu obat tersebut bekerja, dan setelah itu, ia akan bersenang-senang dengan Fiona. "Ethan, to-tolong," ucap Fiona dengan air mata yang semakin deras mengalir membasahi wajahnya. Sekarang Fiona benar-benar berharap jika akan ada orang yang datang menyelamatkannya dari pria b******k di hadapannya ini. Fiona memilih untuk diam. Fiona tidak mau memancing emosi Dominic dengan cara mengatakan kata-kata makian. Fiona takut jika Dominic malah akan semakin melukainya, atau yang lebih parah, mungkin akan membunuhnya. Posisi Ethan sudah dekat dengan lokasi hotel yang Q kirimkan ketika Q menghubungi Ethan. "Iya, Q," sapa Ethan sesaat setelah mengangkat panggilan dari Q. "Saya sudah sampai di hotel, Tuan Ethan." Bukan hanya Q yang sudah sampai di hotel tersebut, tapi 2 orang yang Steven kirimkan juga sudah sampai di sana. "Apa kamu sudah tahu di kamar mana Dominic dan Fiona berada?" "Sudah, Tuan Ethan." Awalnya pihak resepsionis tidak mau memberitahu Q di kamar mana Dominic berada, tapi begitu Q mengeluarkan pistol, dengan kata lain, mengancam sang resepsionis, resepsionis tersebut akhirnya memberitahu Q di kamar mana Dominic berada. "Bagus, saya juga sudah sampai di hotel." Q menoleh ke belakang, saat itulah ia melihat mobil milik Ethan berhenti tepat di depan loby hotel. Q menghampiri Ethan yang kini melangkah mendekatinya. "Di mana Dominic berada?" tanya Ethan tidak sabaran seraya mengeluarkan pistol dari punggungnya. Q menyebutkan di lantai mana Dominic berada. "Kita berpencar, ok." Ethan takut kalau Dominic kabur, jadi Ethan mau setiap anak buahnya berpencar, menutup jalan Dominic untuk kabur. "Kalian berjaga di loby." Ethan menunjuk Reid, Nico, dan Mark, setelah itu menunjuk Marco, Dante, dan Calvin. "Sedangkan kalian pergi ke basement." Reid, Nico, Mark, Marco, Dante, dan Calvin pun berpencar sesuai arahan dari Ethan. Sementara Q dan Livy mengikuti Ethan. Saat ini mereka bertiga sudah berada di dalam lift. "Apa pihak resepsionis memberikan kunci kamar Dominic?" "Tentu saja, Tuan." Q meraih key card tersebut dari dalam saku celananya, memperlihatkannya pada Ethan. "Bagus, Q." Tak lama kemudian, mereka sampai di lantai tujuan mereka. Q menempelkan key card tersebut pada alat pemindai, dan tak lama kemudian, pintu terbuka. Suara bip dari pintu yang terbuka di dengar oleh Dominic, juga Fiona. Saat ini Dominic sudah berada di atas tubuh Fiona. Dominic baru saja akan menyentuh Fiona. Dominic terkejut, begitu juga dengan Fiona. Jika Dominic panik, maka lain halnya dengan Fiona yang sekarang berharap jika akan ada orang yang menolongnya. Dengan cepat, Dominic menuruni tempat tidur, bergegas meraih pistol yang ada di laci nakas, kemudian memaksa Fiona untuk menuruni tempat tidur. "Cepat berdiri," ucap Dominic panik. Fiona berdiri di depan Dominic, dan ujung dari pistol yang Dominic pegang kini berada di pelipis kanan Fiona. Tubuh Fiona bergetar hebat karena takut. Ini kali pertama Fiona berada dalam situasi serta kondisi mencekam seperti sekarang ini, jadi wajar saja jika Fiona benar-benar ketakutan. "Siapa orang yang berani-beraninya masuk ke kamar gue," desis Dominic penuh emosi. Dominic kesal karena kesenangannya baru saja diganggu. Ethan, terlebih dahulu memasuki kamar, di susul Q yang berada di belakangnya, dan Livy yang berada di paling belakang. Dominic tak bisa menutupi keterkejutannya begitu melihat siapa orang yang baru saja memasuki kamar hotelnya. "Ethan," gumamnya tanpa sadar. "Dominic," desis Ethan tajam. "Sialan! Ternyata gue memilih wanita yang salah." Dominic yakin jika wanita yang saat ini ada dalam kuasanya adalah wanita yang sangat berarti bagi Ethan. Ethan tidak mungkin mau repot-repot mendatanginya jika wanita yang ia culik tidak spesial atau berarti. "Gue enggak akan minta dua kali, sekarang sebaiknya lo lepaskan Fiona." Tanpa pikir panjang, Dominic melepaskan Fiona, mendorong Fiona ke depan. Livy memeluk Fiona yang langsung menangis histeris dalam pelukannya. "Sekarang kamu aman, Fiona," bisik Livy. "Pilihan yang bagus, Dom." Jika Dominic tidak mau melepaskan Fiona, maka Ethan tidak akan segan-segan untuk menembak Dominic. Ethan tahu kalau Dominic tidak akan menembak Fiona. Alasannya tentu saja karena trauma yang sebelumnya Dominic alami. Ethan menghampiri Dominic, dan langsung merebut pistol yang Dominic pegang, melemparkan pistol tersebut ke lantai. Ethan langsung melayangkan pukulan pada perut Dominic, dan kuatnya pukulan dari Ethan berhasil menjatuhkan Dominic. Ethan menindih Dominic, meninju wajah Dominic menggunakan kedua tangannya. Dominic mencoba untuk melawan Ethan, tapi Ethan tidak memberi kesempatan bagi Dominic untuk balik menyerangnya. Fiona menutup kedua telinganya ketika mendengar rintihan kesakitan dari Dominic. "Ethan, stop!" Livy berteriak, meminta supaya Ethan berhenti untuk memukul Dominic. Sayangnya, larangan yang Livy berikan tidak membuat Ethan berhenti memukul Dominic. Ethan terus menghajar Dominic, menyalurkan amarahnya. "b******k! Berani-beraninya lo menyentuh Fiona!" Ethan terus memukul Dominic sambil mengumpati Dominic. Dominic meminta maaf, tapi Ethan tidak memperdulikan permintaan maaf dari Dominic. "Ethan, kita harus membawa Fiona pergi, dia ketakukan!" Teriakan Livy kali ini berhasil menghentikan amukan Ethan. Ethan menyingkir dari atas tubuh Dominic yang sudah babak belur, sekaligus lemas tak berdaya. "Q, hubungi orang tua Dominic, lalu beritahu mereka perbuatan apa yang sudah anaknya lakukan!" Perintah tegas Ethan. "Baik, Tuan Ethan." Q menuruti perintah Ethan, dan langsung menghubungi orang tua Dominic. Ethan menghampiri Fiona yang masih menangis dalam pelukan Livy. Livy melepaskan pelukan Fiona, lalu bergeser, memberi Ethan ruang untuk melihat Fiona. "Apa kamu terluka?" Ethan memeriksa keadaaan Fiona guna memastikan jika Fiona dalam keadaan baik-baik saja, dan tidak terluka. Amarah Ethan kembali memuncak begitu melihat sudut bibir Fiona lebam, dan sedikit berdarah. Bukannya menjawab pertanyaan Ethan, tangisan Fiona malah semakin menjadi. "Tenanglah, Fiona, sekarang kamu baik-baik saja. Tidak akan ada lagi pria yang bisa menyakiti kamu." Ethan bisa melihat betapa takutnya Fiona saat ini. "Sebaiknya kita segera bawa Fiona pergi, Ethan." Ethan mengangguk, lalu menggendong Fiona, bergegas membawa Fiona keluar dari dalam kamar hotel, di ikuti oleh Livy yang berjalan tepat di belakang Ethan, sementara Q tetap bersama Dominic. Setelah menghubungi orang tua Dominic, Q memanggil ambulans untuk membawa Dominic ke rumah sakit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN