05 - Pria b******k.

1666 Kata
Ethan meraih rokok yang ada di saku celananya, lalu mengamit ujung rokok tersebut di antar bibirnya sebelum akhirnya membakar rokok tersebut dengan api. Ethan menyandarkan punggungnya di kursi, lalu memutar kursi tersebut menghadap ke arah dinding kaca yang memperlihatkan keindahan kota London. Merokok adalah salah satu cara Ethan untuk menenangkan dirinya sendiri di saat dirinya sedang merasa resah juga gelisah, atau bahkan ketika tengah di landa stres, baik itu stres ringan atau pun stres berat. "Fiona," gumam Ethan untuk yang kesekian kalinya. Ethan sudah mencoba berulang kali untuk tidak memikirkan Fiona, tapi semakin ia mencoba untuk menghilangkan Fiona dari pikirannya, justru dirinya malah semakin memikirkan wanita itu. Lamunan Ethan tentang Fiona di buyarkan oleh suara ketukan pintu yang di susul dengan suara Marco. "Masuk!" Ethan memberi izin Marco untuk memasuki ruang kerjanya. "Ada apa, Marco?" tanya Ethan tanpa berbalik menghadap Marco. Ethan masih sibuk menghisap rokok. "Nona Madeline sudah datang, Tuan Ethan," jawab Marco yang saat ini sudah berdiri tepat di belakang Ethan. "Ah jadi dia sudah datang," gumam Ethan sambil mengepulkan asap rokok ke atas. 4 jam sudah berlalu sejak Ethan menghubungi Madeline, dan Madeline baru saja tiba sekarang. "Ethan!" Madeline yang baru saja memasuki ruang kerja Ethan langsung berteriak memanggil Ethan. Ethan berbalik menghadap Marco juga Madeline yang kini melangkah mendekati Ethan dengan penuh semangat. "Kenapa lama sekali?" "Lain kali, jangan minta aku buat datang secara mendadak, minimal 5 jam sebelumnya, kamu telepon aku dulu." "Jangan sok sibuk Madeline." "Tapi aku memang sibuk, Ethan." Ethan tidak menanggapi lagi ucapan Madeline. Ethan tahu kalau Madeline tidak akan pernah mau mengalah, jadi sebaiknya dirinya yang mengalah. Berdebat dengan Madeline tidak akan pernah ada habisnya. Ethan berdiri, lalu mematikan rokok yang baru habis setengah. "Ayo kita pergi," ucap Ethan sambil melangkah keluar dari ruang kerja. Madeline dan Marco mengikuti langkah Ethan. Madeline berlari menyusul Ethan, lalu menggandeng tangan kanan Ethan. "Kita mau pergi ke mana?" "Pergi ke luar." Ethan menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Madeline. Ethan menatap ke arah lift yang baru saja terbuka. Fiona terkejut ketika melihat Ethan, lebih terkejut lagi ketika melihat Ethan tidak sendiri, tapi bersama seorang wanita yang baru pertama kali ini ia lihat. Fiona lebih terkejut lagi saat melihat betapa mesranya kedua orang tersebut. Bukan hanya Fiona yang terkejut, tapi Madeline juga terkejut. Madeline menatap Ethan dengan kening yang berkerut dalam. "Ethan, dia siapa?" tanyanya pelan. "Kenapa bangun, Fiona?" Bukannya menjawab pertanyaan Madeline, Ethan malah bertanya pada Fiona yang saat ini sudah berada di luar lif. "Aku haus." Fiona terbangun karena haus. Tadi Fiona lupa membawa air minum ke kamarnya, jadi mau tidak mau, Fiona harus turun ke dapur untuk mengambil air minum. Setelah menjawab pertanyaan Ethan, Fiona berlalu pergi menuju dapur. Fiona sama sekali tidak berniat untuk menyapa Madeline. Ethan berbalik menghadap Marco. "Marco, tolong ambilkan kunci mobil milik Fiona." "Baik, Tuan Ethan." Marco bergegas mengambil kunci mobil milik Fiona. Tak lama kemudian Marco kembali. Marco segera menyerahkan kunci mobil tersebut pada Ethan. Ethan kembali melanjutkan langkahnya begitu juga dengan Madeline yang sejak tadi menggandeng mesra tangan Ethan. Ethan meminta Marco untuk tidak mengikutinya, jadi Marco hanya mengantar kepergian Ethan dan Madeline sampai depan lift. Ting! Lift yang Ethan dan Madeline naiki sudah tiba di basement. Ethan menekan kunci mobil milik Fiona untuk mengetahui di mana letak mobil tersebut. Ethan bernafas lega ketika tahu jika letak mobil Fiona tak jauh dari lift. Ethan melepaskan tangan Madeline yang sejak tadi menggandeng tangan kanannya, lalu meminta Madeline memasuki mobil. "Masuklah Madeline." "Eh, kamu enggak mau bukain pintunya buat aku?" tanya Madeline sambil bersedekap. "Enggak usah manja, buka sendiri, kamu kan punya tangan, dua lagi." Ethan menyahut sesaat sebelum memasuki mobil. Madeline mendengus sambil menghentakkan kaki kanannya. "Kenapa dia enggak bisa romantis sih?" keluhnya. "Kamu mau ikut atau enggak?" Teriak Ethan yang saat ini sudah duduk di balik kursi kemudi. "Iya, iya, aku ikut." Madeline lalu memasuki mobil. "Pakai sabuk pengamanannya?" "Ka–" "Pakai sendiri, Madeline. Aku lagi nyetir." Ethan tahu, pasti Madeline akan memintanya untuk memasangkan sabuk pengamanannya. Madeline mendengus, lalu memasang sendiri sabuk pengamanannya. "Siapa wanita tadi, Ethan?" Tadi Ethan belum menjawab pertanyaannya, jadi Madeline kembali bertanya. Madeline tidak akan bisa tenang sebelum rasa penasarannya hilang. "Namanya Fiona." "Nama lengkapnya, Ethan." "Nama lengkapnya adalah Fiona Caitlyn Mackenzie." "Fiona Caitlyn Mackenzie? Namanya seperti tidak asing?" gumam Madeline dengan kening yang kini berkerut dalam. Madeline merasa jika dirinya pernah mendengar nama tersebut di suatu tempat, tapi Madeline tidak bisa mengingat di mana dirinya mendengar nama tersebut. "Bukankah banyak orang yang memiliki nama seperti itu?" Ternyata gumaman Madeline di dengar oleh Ethan. "Benarkah?" Madeline menatap bingung Ethan. Ethan mengangguk. "Jadi, kita mau pergi ke mana?" Madeline mengamit tangan kiri Ethan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu kiri Ethan. "Apa kita akan pergi ke hotel?" Madeline menatap Ethan dengan mata berbinar, bahkan senyum tak pernah luntur dari wajah cantiknya. "Siapa yang bilang kalau kita mau ke hotel?" tanya Ethan dengan raut wajah bingung. Ethan merasa jika dirinya tidak pernah mengatakan pada Madeline jika mereka akan pergi ke hotel. Raut wajah Madeline berubah masam. Madeline menjauhkan wajahnya dari Ethan. "Lalu kita akan pergi ke mana jika bukan ke hotel?" tanyanya merajuk, bahkan kini bibir merah merona Madeline sudah manyun. "Nanti kamu juga akan tahu Madeline, sekarang diamlah." "Baiklah," lirih Madeline. Ethan diam, begitu juga dengan Madeline. Ethan fokus menyetir, sementara Madeline fokus bermain ponsel. Madeline tiba-tiba berhenti bermain, ponselnya, dan kini atensinya kembali tertuju pada Ethan. "Aku mau bertanya, apa boleh?" "Tentu saja, silakan." "Ini tentang Fiona." Entah kenapa, Madeline begitu tertarik pada Fiona. Ada sesuatu dari diri Fiona yang membuat Madeline begitu tertarik, dan Madeline akan mencari tahunya. "Kenapa dengan Fiona?" Ethan sadar jika Madeline tertarik pada sosok Fiona karena itulah dirinya sama sekali tidak merasa keberatan, dan akan terus menjawab semua pertanyaan Madeline. Madeline adalah tipe orang yang sangat sulit sekali untuk di dekati, tapi jika sudah tertarik pada seseorang, maka Madeline akan berusaha keras untuk bisa dekat dengan orang tersebut. Jika sudah seperti itu, maka Madeline akan menganggap orang tersebut sebagai orang penting dalam hidupnya, tak segan-segan untuk melindungi orang-orang yang disayanginya, sekalipun nyawa sebagai taruhannya. "Siapa dia, Ethan?" "Dia teman Livy, Madeline." Ethan tidak akan memberitahu Madeline tentang siapa sebenarnya Fiona. Menurut Ethan, semakin banyak orang yang tahu tentang jati diri Fiona yang sebenarnya, maka itu hanya akan semakin menyulitkannya. Jika seandainya nanti jati diri Fiona yang sebenarnya terungkap, maka Ethan akan bisa langsung tahu siapa yang menyebarkannya, tapi jika ada banyak orang yang mengetahui jati diri Fiona, maka dirinya akan kesulitan untuk mencari tahu siapa yang menyebarkannya. "Teman Livy?" "Iya, dia teman Livy, kenapa?" "Di mana Livy mengenal Fiona, Ethan?" "Untuk masalah itu, sebaiknya kamu tanya langsung pada Livy, Madeline." Ethan sudah memberitahu Livy tentang apa yang harus Livy katakan pada orang lain jika ada orang yang bertanya tentang siapa Fiona. "Ah, baiklah, nanti aku akan bertanya pada Livy. Sepertinya Fiona jauh lebih muda ketimbang Livy, benar begitu?" "Iya, Fiona jauh lebih muda dari Livy." "Apa pekerjaan Fiona?" "Dia belum bekerja, sekarang dia masih kuliah." "Ah, dia masih kuliah. Kuliah jurusan apa?" "Kedokteran." "Apa? Kedokteran?" Tanpa sadar, Madeline berteriak. Teriakan Madeline mengejutkan Ethan. Ethan menatap tajam Madeline, dan saat itulah Madeline tahu kalau dirinya harus meminta maaf. Jika tidak segera meminta maaf, mungkin Ethan akan menghukumnya dengan cara yang paling sadis. "Maaf, Ethan, aku tadi terlalu terkejut," ucap Madeline sambil tersenyum lebar. "Jadi doa ingin menjadi, Dokter." "Iya, dia ingin menjadi seorang dokter." Ethan melirik Madeline, dan saat ini Madeline sedang tersenyum lebar. "Kenapa, Madeline?" Madeline menggeleng. "Tidak apa-apa, hanya saja sepertinya kita berdua akan akrab. Ethan sontak tertawa begitu mendengar ucapan penuh percaya diri Madeline. Ethan yakin jika Fiona akan sulit untuk Madeline dekati. Ethan jadi tidak sabar untuk melihat cara Madeline mendekati Fiona. Kira-kira, apa yang akan Madeline lakukan untuk mendekati Fiona? Sepertinya Fiona sama dengan Madeline, sulit untuk di dekati jika tidak tertarik terlebih dahulu pada orang tersebut. Bukankah itu artinya, Madeline dan Fiona sangat cocok? Sama-sama sulit di dekati, jika tidak tertarik terlebih dahulu. Tak sampai 15 menit kemudian, mobil yang Ethan kendarai sampai di tempat tujuan. "Ethan, untuk apa kita ke sini?" Madeline menatap bingung Ethan ketika tahu ke mana Ethan membawanya. "Nanti kamu juga akan mengetahuinya, Madeline, jadi berhentilah bertanya." Madeline kesal, tapi tak membantah ucapan Ethan. Madeline memilih diam, dan terus mengikuti Ethan yang sekarang sudah keluar dari dalam mobil. *** Setelah mengambil air minum, Fiona kembali ke kamar. Saat ini Fiona sedang duduk bersila di sofa sambil menonton televisi. Jika sudah terbangun, biasanya Fiona akan sulit untuk kembali tidur, karena itulah Fiona menonton televisi. "Bukankah semua pria memang b******k!" Fiona terus menggerutu, dan gerutuan yang baru saja Fiona ucapkan adalah untuk Ethan. Brengsek, itulah kata pertama yang ada dalam pikira Fiona ketika melihat Ethan bersama wanita yang tidak di kenalnya. Padahal beberapa jam lalu, Ethan baru saja menciumnya, lalu sekarang, Ethan malah mesra "Kamu yang bodoh, Fiona!Seharusnya, tadi kamu tampar wajah Ethan, bukannya malah diam seperti orang bodoh!" Fiona kembali menggerutu, kali ini menyalahkan dirinya sendiri yang tadi hanya bisa diam saja ketika Ethan menciumnya. "Sialan!" Fiona berteriak sambil melemparkan bantal yang sejak tadi ada dalam pangkuannya ke bawah. Fiona kesal pada Ethan, tapi lebih kesal pada dirinya sendiri. "Dasar pria b******k!" Fiona membekap mulutnya ketika sadar jika dirinya baru saja berteriak. Fiona takut jika teriakannya di dengar oleh para penghuni kamar yang lain. "Eh tapi kan kamar ini kedap suara," gumamnya dengan perasaan lega. Kamar milik Fiona dan Livy memang kedap suara, berbeda dengan kamar yang lainnya, karena itulah tadi Fiona bisa mendengar suara dari wanita yang sedang memadu kasih entah dengan siapa. "Siapa ya wanita yang tadi bersama dengan Ethan?" Kening Fiona mengkerut sebagai pertanda jika saat ini Fiona sedang berpikir dengan keras. "Apa jangan-jangan suara tadi itu adalah suara wanita tadi?" Fiona seketika mengingat suara desahan wanita yang beberapa jam lalu ia dengar. "Akh!" Fiona berteriak, marah pada dirinya sendiri yang terus memikirkan tentang Ethan juga wanita yang tadi bersama dengan Ethan. Fiona menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. "Lupakan tentang mereka berdua, Fiona, dan fokuslah pada diri kamu sendiri."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN