25 - Penyesalan Fiona.

2010 Kata
Livy duduk di sofa dengan perasaan resah sekaligus juga gelisah. Alasan Livy merasa resah dan gelisah adalah karena Fiona. "Fiona ke mana sih?" Untuk kesekian kalinya Livy mengeluh karena Fiona yang tak kunjung mengangkat panggilannya. "Apa makan malamnya dengan Calvin belum selesai? Tapi ini sudah lebih dari 2 jam." Terhitung sudah 3 kali Livy menghubungi Fiona, dan Fiona belum juga mengangkat panggilan dari Livy, atau balik menghubungi Livy. Pada akhirnya, Livy memutuskan untuk menghubungi salah satu pengawal Fiona, Cindy dan Evelyn. Saat Cindy tidak mengangkat panggilannya, maka Livy pun beralih untuk menghubungi Evelyn. Livy bernafas lega ketika Evelyn akhirnya mengangkat panggilannya. "Halo, Nona Livy." Evelyn terlebih dahulu menyapa Livy. "Di mana posisi kalian?" "Saya dan Cindy baru saja tiba di apartemen, Nona. Ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?" "Kalian sudah tiba di apartemen siapa?" Livy mengedarkan pandangannya ke segala penjuru apartemen, dan ia sama sekali tidak melihat Cindy ataupun Evelyn? Atau keduanya masih berada di tempat parkir? "Di apartemen kita sendiri, Nona. Nona Fiona pulang bersama Tuan Ethan, jadi kita tidak kembali ke apartemen, Nona." "Apa?" Spontan, Livy berteriak. "Fiona pulang bersama Ethan?" tanyanya memastikan. Teriakan Livy mengejutkan Evelyn. "Iya, Nona. Nona Fiona pulang bersama Tuan Ethan." "Ok, terima kasih." Tanpa menunggu tanggapan dari Evelyn, secara sepihak, Livy mengakhiri panggilan tersebut. Livy lalu menghubungi Ethan, namun sayangnya, nomor Ethan tidak bisa dihubungi. Livy mencoba kembali menggelar Fiona, dan sekarang, nomor Fiona juga malah tidak bisa dihubungi. "Kira-kira, ke mana Ethan membawa Fiona pergi?" Livy terus menebak, kira-kira ke mana Ethan membawa Fiona pergi. "Apa Ethan membawa Fiona pulang ke mansion?" Livy baru saja akan menghubungi Q ketika ada pesan masuk dari sang adik, Ethan. Ethan memberi tahu Livy kalau saat ini, Fiona bersamanya, dan mereka berada di mansion. Ethan meminta supaya Livy tidak cemas, ataupun khawatir, karena Ethan berjanji, Ethan tidak akan menyakiti Fiona. Ethan juga meminta supaya besok pagi, Livy datang ke mansion. "Anak itu benar-benar menyebalkan," gerutu Livy yang tentu saja tertuju untuk Ethan. Livy tidak membalas pesan Ethan, dan setelah tahu jika Fiona bersama Ethan, Livy sama sekali tidak merasa tenang. Livy malah merasa semakin cemas, juga takut. Malam sudah larut, dan Livy juga merasa sangat lelah, karena itulah Livy memutuskan untuk tidak pergi ke mansion Ethan. Livy akan pergi besok pagi, tidak malam ini. *** Keesokan paginya. Ethan terbangun karena mendengar suara Fiona yang terus mengigau. Tadi malam, setelah menangis selama berjam-jam, Ethan kembali tidur di ranjang yang sama dengan Fiona. Ethan memeluk Fiona, dan Fiona sama sekali tidak menolak pelukan Ethan, karena saat itu, Fiona sudah tertidur. "Fiona." Ethan memanggil Fiona sambil mengguncang pelan kedua bahunya. Fiona terus mengigau, membuat Ethan panik. Ethan terus memanggil Fiona sambil mengguncang bahunya sampai pada akhirnya, Fiona terbangun dari tidurnya. "Tenanglah, Fiona," ucap Ethan ketika melihat betapa paniknya Fiona. Fiona menarik dalam nafasnya, merasa lega ketika tahu kalau apa yang baru saja ia alami hanyalah mimpi buruk. "Kamu mimpi buruk." Ethan mengucapkan pernyataan, bukan pertanyaan. "Iya," balas singkat Fiona sambil kembali memejamkan kedua matanya. Tangan kanan Ethan terulur, menyeka keringat yang membasahi kening Fiona. "Apa setiap malam kamu selalu bermimpi buruk, Fiona?" tanyanya sendu. "Apa itu penting?" Fiona menjawab pertanyaan Ethan dengan pertanyaan. Saat kedua matanya terpejam, bayangan ketika dirinya mengalami keguguran kembali terlintas dalam benak Fiona. "Iya, itu sangat penting." Ethan menyahut tegas. "Itu sama sekali tidak penting, Ethan," sahut lirih Fiona sambil berbalik memunggungi Ethan. Setelah itu, Fiona merasakan pergerakan dari balik punggungnya. Fiona tahu kalau Ethan baru saja menuruni tempat tidur. Fiona pikir, Ethan akan pergi meninggalkannya sendiri, tapi ternyata Fiona salah, karena sekarang Ethan malah sudah berdiri tepat di hadapannya. Mata Fiona memang terpejam, tapi Fiona bisa merasakannya karena tubuh Ethan menghalangi pencahayaan yang mengarah langsung padanya. Ethan berjongkok tepat di hadapan Fiona. Ethan meraih kedua telapak tangan Fiona, kemudian menggenggamnya dengan erat. Fiona tidak menolak. Fiona membiarkan Ethan menggenggam erat kedua tangannya. Perlahan tapi pasti, kelopak mata Fiona terbuka. Fiona diam, menunggu Ethan berbicara. Ethan menatap lekat Fiona, begitu juga sebaliknya. Fiona sedang mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya saat ini ada dalam pikiran Ethan. "Ethan, apa kamu mencintai aku?" Pertanyaan tersebut hanya bisa Fiona ucapkan dalam hati. Fiona tidak mampu untuk mengatakannya secara langsung pada Ethan, karena Fiona takut jika jawaban yang Ethan berikan malah akan melukai perasaannya. "Fiona." Ethan akhirnya bersuara setelah cukup lama terdiam. "Iya." Fiona menyahut lirih panggilan Ethan. "Maaf." Untuk kesekian kalinya Ethan meminta maaf. "Berhentilah meminta maaf, Ethan." Kali ini nada bicara Fiona berubah menjadi sangat tegas. "Ethan, apa boleh aku bertanya?" Fiona sengaja mengalihkan pembicaraan. Fiona tidak mau Ethan terus meminta maaf padanya, karena ketika membahas kejadian tersebut, Fiona selalu merasa hatinya sakit dan dadanya sesak. "Kamu mau tanya apa?" "Apa arti kebersamaan kita beberapa bulan yang lalu?" Fiona menatap lekat kedua mata Ethan, dan Fiona bisa melihat betapa terkejutnya Ethan begitu mendengar pertanyaannya. Bukan hanya itu, Fiona juga bisa merasakan, betapa tegangnya tubuh Ethan saat ini. Bukannya menjawab pertanyaan Fiona, Ethan malah menunduk, tidak berani menatap Fiona yang terus menatapnya. "Seharusnya aku tidak bertanya." Fiona berdecak, menyesal karena sudah bertanya. Fiona menarik kedua tangannya yang masih Ethan genggam, dan apa yang Fiona lakukan, mengejutkan Ethan. Fiona bangun dari tidurnya, dan di saat yang bersamaan, Ethan juga berdiri. "Fiona, apa kamu mencintainya?" Satu detik kemudian, Ethan menyesal karena sudah mengajukan pertanyaan tersebut. Fiona mendongak, menatap Ethan dengan raut wajah bingung. "Maksudnya?" "Apa kamu mencintai Calvin?" Ethan akhirnya memperjelas maksudnya. "Mencintai Calvin?" Ulang Fiona shock. "Iya, apa kamu mencintai dia?" "Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Fiona menatap Ethan dengan kening yang kini penuh kerutan. "Fiona, bisa tidak, jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?" Ethan kesal karena Fiona malah balik bertanya tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaannya. "Aku mencintai Calvin atau tidak, itu bukan urusan kamu, Ethan," balas ketus Fiona sambil menatap tajam Ethan. Ucapan Fiona membuat Ethan kesal, meskipun Ethan tahu jika apa yang Fiona katakan memang benar. "Jadi ... kamu mencintainya?" Ethan tidak akan menyerah sebelum mendapatkan jawabannya. Fiona beringsut menuruni tempat tidur, dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tak berbobot Ethan. "Fiona, kamu mau ke mana?" Ethan menahan kepergian Fiona dengan cara mencekal pergelangan tangan kanan Fiona. Fiona menatap tangan Ethan yang mencekal pergelangan tangannya, sebelum akhirnya menatap Ethan. "Lepasin!" pinta tegas Fiona. "Jawab dulu pertanyaan aku, kamu mau pergi ke mana?" Ethan membalas dengan sama tegasnya. Fiona mendengus, dengan sekali sentakan, berhasil melepas tangannya dari cekalan Ethan. Setelah itu, Fiona berlalu pergi dari hadapan Ethan. "Fiona!" "Aku mau mandi, dan bersiap kembali ke apartemen." Fiona akhirnya menjawab pertanyaan Ethan. Sebenarnya Fiona tidak akan mandi, Fiona hanya akan membasuh wajahnya supaya terlibat jauh lebih segar. "Mulai hari ini, kita akan tinggal di sini, Fiona." Fiona menghentikan langkahnya, dengan cepat berbalik menghadap Ethan. "Maksud kamu apa, Ethan?" tanyanya sambil memasang raut wajah datar. "Mulai hari ini, kita akan tinggal di mansion ini, Fiona." Ethan mengulang ucapannya, kali ini dengan penuh penekanan. "Apa aku tidak salah dengar? Kita?" Ulang Fiona dengan nada mengejek. "Kamu tidak salah dengar, Fiona. Aku, kamu, dan Livy, mulai hari ini, kita akan tinggal di mansion ini." Keputusan Ethan sudah bulat, dan Ethan tidak akan membiarkan siapapun menentangnya, sekali pun itu adalah sang kakak, Livy, "Aku enggak mau. Aku akan tetap tinggal di apartemen." Tanpa banyak berpikir, Fiona menolak untuk tinggal di mansion. "Sayangnya apartemen itu akan aku jual, Fiona." Ethan terpaksa berbohong, karena sebenarnya Ethan sama sekali tidak berniat untuk menjual apartemen tersebut. Fiona sama sekali tidak terkejut begitu mendengar jawaban Ethan. Fiona sudah bisa menduganya. "Kalau begitu, jangan jual apartemen itu sampai aku mendapatkan apartemen baru." Tanpa menunggu tanggapan dari Ethan, Fiona bergegas pergi memasuki kamar mandi. Fiona tidak mau berlama-lama berdua dengan Ethan, karena itulah, Fiona hanya akan membasuh wajahnya, setelah itu ia akan langsung kembali ke apartemen. Ethan mengejar Fiona, dan berhasil menahan pintu kamar mandi yang baru saja akan Fiona kunci. "Buka pintunya!" Perintah tegas Ethan. Fiona menggeleng, menolak untuk membuka pintunya. "Enggak mau!" "Buka, Fiona," ucap Ethan penuh penekanan. Fiona tetap kekeh pada pendiriannya, menolak untuk membuka pintu kamar mandi. Fiona tidak mau Ethan memasuki kamar mandi. Ethan mendengus, kesal karena Fiona tidak mau menuruti kemauannya. Ethan terus mendorong pintu kamar mandi supaya terbuka, dan begitu juga dengan Fiona yang terus mendorong supaya pintu kamar mandi tertutup. Aksi saling dorong mendorong tersebut akhirnya dimenangkan oleh Ethan. Ethan berhasil memasuki kamar mandi, dan Fiona hampir saja terjatuh karena kuatnya dorongan yang Ethan berikan. Ethan langsung berlari mendekati Fiona, tapi Fiona menghindari Ethan. "Keluar, Ethan!" Fiona menunjuk pintu kamar mandi yang sekarang sudah tertutup rapat. "Apa kamu lupa di mana kita saat ini, Fiona? Sekarang kamu ada di mansion aku, dan ini adalah kamar aku." "Baiklah kalau begitu, biar aku yang keluar." Dengan cepat, Fiona keluar dari kamar mandi, dan Ethan mengikuti langkah Fiona dari belakang. Fiona baru saja akan membuka pintu kamar ketika Ethan tiba-tiba mengangkat tubuhnya, lebih tepatnya menggendongnya ala brydal style. Fiona terkejut, dan seketika langsung memberontak, meminta supaya Ethan menurunkannya. Sayangnya, teriakan dan berontakan yang Fiona lakukan hanya Ethan anggap sebagai angin lalu. "Ethan, turunin!" Untuk kesekian kalinya Fiona kembali berteriak, sampai Fiona merasa tenggorokannya sakit, mengingat dirinya sudah banyak berteriak. Ethan akhirnya menurunkan Fiona, lebih tepatnya menghempaskan tubuh Fiona ke atas tempat tidur. Ethan tahu kalau Fiona pasti akan bangun dari tempat tidur, jadi dengan cepat, Ethan menaiki tempat tidur, lalu memposisikan tubuhnya di atas tubuh Fiona. Ethan menahan kedua tangan Fiona, menghentikan aksi memberontak yang Fiona lakukan. "Lepasin aku, b******k!" Teriak Fiona sambil menatap tajam Ethan. Emosi sudah menguasai diri Fiona. "Aku enggak mau lepasin kamu lagi, Fiona," balas Ethan lirih. "f**k you!" Fiona akhirnya mengumpati Ethan. Ethan sama sekali tidak terkejut dengan umpatan yang baru saja Fiona berikan. Ethan juga tidak marah, itu karena Ethan tahu ia memang pantas mendapatkan itu semua. "Aku tahu aku b******k, Fiona. Aku tahu kalau aku jahat. Aku tahu ka–" "Aku membenci kamu, Ethan," lirih Fiona, memotong ucapan Ethan yang belum selesai. "Aku benar-benar sangat membenci kamu," lanjutnya. "Aku tahu, Fiona," balas lirih Ethan dengan pandangan yang kini berubah sendu. Hatinya berdenyut nyeri ketika, dan dadanya terasa sakit juga sesak saat melihat tatapan yang Fiona berikan padanya. Tatapan yang penuh sekali dengan kebencian, juga amarah. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan supaya tatapan itu tidak Fiona berikan lagi padanya?" Dalam hati, Ethan mulai bertanya-tanya, tentang apa yang harus ia lakukan supaya Fiona tidak lagi membencinya? "Aku menyesali semua yang pernah kita berdua lakukan." Fiona akhirnya mengutarakan isi hatinya yang sudah sejak lama dipendamnya. Fiona tidak bisa menyangkalnya lagi. Fiona teramat sangat menyesali semua yang pernah terjadi antara dirinya dan Ethan. Penyesalan itulah yang membuat Fiona membenci dan menyalahkan dirinya sendiri. Pengakuan Fiona barusan berhasil membuat rasa sakit dan sesak di hati juga d**a Ethan semakin terasa menyakitkan. "Aku sama sekali ti–" Lagi-lagi ucapan Ethan terpotong oleh Fiona. "Aku tidak sepenuhnya menyalahkan kamu, Ethan, karena itu semua terjadi karena kesalahan aku sendiri. Aku benci sama diri aku sendiri yang bisa dengan mudah membiarkan kamu menyentuh aku. Aku seperti w************n yang haus akan sentuhan dari seorang pria." Fiona tersenyum, tapi di saat yang bersamaan, kesedihan terlihat jelas di kedua matanya yang kini mulai memerah. "Kamu bukan w************n, Fiona." Ethan sama sekali tidak pernah menganggap jika Fiona adalah w************n. "Aku tahu, kalau aku bukan w************n, Ethan, karena aku hanya bersikap murahan sama kamu, tidak pada pria lain." Ucapan Fiona semakin menyayat hati Ethan. "Maaf, maaf karena sudah membuat kamu berpikir jika kamu adalah w************n, Fiona." Ethan menyesal, sangat menyesal. Ethan sama sekali tidak menyangka, jika sikapnya akan membuat Fiona berpikir jika Fiona adalah w************n. "Tolong, tolong kembalikan senyum aku yang dulu, Ethan," pinta Fiona memelas. Fiona memejamkan kedua matanya yang sudah penuh dengan linangan air mata, dan begitu matanya terpejam, air matanya pun jatuh membasahi pipinya. Sampai detik ini, Fiona memang masih tersenyum, bahkan masih sering tertawa, tapi tawa dan senyum Fiona saat ini tidak bisa lagi setulus sebelumnya. Senyum dan tawa Fiona saat ini penuh dengan kepalsuan. Fiona mulai menangis, begitu juga Ethan. "Ma-maaf, Fiona." Ethan terus meminta maaf di sela isak tangisnya. Ethan tidak bisa mengabulkan permintaan Fiona. Ethan tidak bisa memutar kembali waktu yang sudah berlalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN