Mereka pun menuju tempat yang dimaksud Alvaro. Sebuah tempat yang nyaman untuk dibuat ngobrol, apalagi kalau bukan taman kampus. Kebetulan di taman itu ada beberapa bangku yang ditata berhadap-hadapan. Itu sudah cukup untuk dibuat duduk oleh mereka bertujuh.
"Cepat cerita!" perintah Nanda. Ia memang terkesan galak di dalam keadaan tertentu.
"Galak amat sih, Nan," ucap Alvaro.
"Biarin," jawab Nanda.
"Oke. Sebelumnya aku minta kalian untuk mendengarkan ceritaku dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."
"Kayak teks proklamasi aja," sahut Ihsan.
"Diem dulu!" ucap Alvaro.
"Iya, silahkan dilanjut!"
"Hufff... kemarin aku lihat hantu," kata Alvaro dengan dramatis.
Semuanya menatap Alvaro dengan raut wajah konyol. Mungkin mereka menunjukkan kekecewaan dengan apa yang dikatakan Alvaro barusan.
"Itu cerita?" tanya Delia.
"Iya lah," jawab Alvaro santai.
"Itu ma pemberitahuan," kata Ocha.
"Hahhh... sama aja lah," ucap Alvaro.
"Emmm... kamu beneran lihat hantu?" tanya Reyhan.
"Iya Rey," jawab Alvaro.
"Bentuknya gimana?" tanya Ocha.
"Ya gak serem sih sebenarnya, cuma hantu bungkus," jawab Alvaro dengan santai.
"Pocong?" tanya semuanya hampir berbarengan.
"Ya iya, masa tuyul," kata Alvaro.
Sejenak, mereka semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Memang butuh waktu untuk mempercayai cerita dari Alvaro.
"Memang, gimana alur kejadiannya?" tanya Delia.
Alvaro pun menceritakan semua kejadian yang ia alami kemarin, kecuali soal ia yang minta tidur ditemani oleh ayah dan ibunya serta tentang mimpi dia malam itu. Semuanya pun mengangguk-angguk mengerti, kecuali Nanda yang terlihat seakan-akan tak mempercayai cerita Alvaro sedikitpun.
"Halu tu," ucap Nanda.
"Nda, kamu bisa nggak sedikit saja menghargai cerita orang lain?" tanya Delia.
"Hufff... hantu itu tidak ada. Itu semua terjadi karena pikiran kita mengarah ke wujud hantu tersebut, sehingga terjadilah halusinasi," kata Nanda.
"Tapi tidak semua berasal dari halusinasi, ada juga yang beneran ada," sangkal Ocha.
"Kalian kenapa sih, ngeyel banget kalau dikasih tahu?"
"Ya karena kami benar," jawab Ocha cepat.
"Woi, kalian kenapa sih malah berantem? Kita ini sahabat, sahabat dari kecil. Hanya karena perbedaan pendapat seperti ini kalian saling berselisih? Dari dulu kita bertujuh ini selalu bersama. Jangan pernah ada yang memutuskan ikatan ini! Apalagi hanya karena hal-hal kecil. Buang ego kalian jauh-jauh! Bersatulah demi menjadikan ikatan persahabatan ini lebih dan lebih kuat lagi!" ucap Alvaro panjang lebar.
Delia, Ocha dan Nanda tertunduk ketika seorang Alvaro Aditama tiba-tiba menjelma menjadi penasehat yang sangat bijak. Mereka bertiga tahu betul dengan situasinya. Kalau Alvaro sudah seperti itu, itu tandanya dia sedang serius. Hal itu juga terlihat jelas dari raut wajahnya yang mendadak berubah.
Karena kejadian itu pula Alvaro tidak melanjutkan ceritanya lagi. Ia tidak mau memancing pertengkaran antara kelompok yang percaya pada hal mistis dan juga yang tidak percaya dengan mistis.
***
Malam hari yang cerah, tiada setitik awan pun yang terlihat di langit malam. Sang bulan membulat sempurna, pertanda bahwa itulah yang disebut dengan purnama. Kumpulan bintang-bintang kecil berlomba-lomba mempertontonkan sinarnya. Semua terlihat sangat indah. Namun mungkin dari sekian banyak bintang yang bersinar, akan ada satu bintang yang paling indah.
Pukul 22:30 malam....
Alvaro, Ihsan, Reyhan dan Imam baru saja selesai menonton pertandingan sepak bola di sebuah lapangan yang letaknya lumayan jauh dari rumah mereka berempat. Karena jarak yang lumayan jauh itu pula, mereka harus menempuhnya dengan naik motor. Alvaro berboncengan dengan Imam, sedangkan Ihsan dan Reyhan membawa motor sendiri-sendiri.
Motor mereka terus melaju menembus gelapnya malam. Di sisi kanan kiri hanyalah rerimbunan pepohonan dan semak belukar. Tak ada satupun lampu jalanan yang ada di jalan itu. Penerangan hanya mereka peroleh dari sorot lampu motor mereka.
Imam dan Alvaro melajukan motornya di posisi yang paling depan, Reyhan di tengah dan Ihsan yang berada di paling belakang. Sayup-sayup dari arah belakang terdengar suara teriakan seseorang yang begitu menggema.
"Woi, tunggu! Motorku gak bisa melaju cepat, nih!"
Sontak, Alvaro yang posisinya diboceng oleh Imam pun menoleh ke belakang, begitu juga dengan Reyhan yang berada di belakangnya. Alvaro langsung menyuruh Imam dan Reyhan untuk mengurangi kecepatan motor agar si peneriak yang tidak lain adalah Ihsan bisa menyusul.
Ihsan pun akhirnya bisa menyusul. Suara motornya terdengar sudah menyalip motor Reyhan dan kini suaranya terdengar hampir sejajar dengan motor yang ditumpangi oleh Alvaro dan Imam. Ketika Ihsan melajukan motornya lebih cepat lagi, Alvaro menoleh ke arah Ihsan yang posisinya sudah sejajar dengannya. Saat dia menoleh, betapa terkejutnya ia. Ia melihat sesosok wanita berdaster putih dengan rambut gimbal sedang membonceng di motor Ihsan. Lebih parahnya lagi, wajah wanita itu hancur dengan darah yang yang mengalir deras.
Alvaro langsung menutup matanya karena kaget. Bagaimana tidak kaget, melihat sesuatu yang menyeramkan tepat di depan matanya langsung. Untungnya, mata sosok wanita itu tertutup oleh rambut gimbalnya yang terurai ke depan.
"Gila! Lambat banget nih laju motorku," ucap Ihsan.
"Ya udah, kamu duluan aja!" perintah Imam.
Ihsan pun melajukan motornya untuk mendahului motor yang ditumpangi Imam dan Alvaro. Sepertinya Imam tak menyadari kehadiran sosok wanita yang membonceng di belakang Ihsan, begitu juga dengan Reyhan. Hanya Alvaro lah satu-satunya orang yang melihat sosok menyeramkan itu.
"Tenang Alvaro! Ini hanya halusinasi. Ini hanya ilusi," ucap Alvaro dalam hati.
Ia mengucek-ucek matanya untuk memastikan apa yang dilihatnya itu benar-benar nyata atau hanya halusinasinya saja. Namun berapa banyak pun dia melakukan hal itu, tetap saja sosok menyeramkan itu masih ada di belakang Ihsan.
Alvaro sengaja tidak memberitahukan hal itu pada siapapun. Ia takut jika mereka tahu, konsentrasi berkendara mereka akan hancur, dan alhasil akan terjadi hal yang sangat tidak diinginkan.
Alvaro terus mengintip sosok perempuan itu dari belakang bahu gempal milik Imam. Ia tak berani memandangnya langsung. Ia takut jika seandainya tiba-tiba sosok perempuan itu menoleh ke arahnya dan menunjukkan wajah menyeramkannya, atau lebih parahnya lagi kalau sosok itu menyerangnya.
Beberapa lama kemudian, Alvaro melihat dengan jelas sosok perempuan berdaster putih itu terbang dan menjauhi motor Alvaro. Alvaro bergidik ngeri ketika mendengar suara tawanya. Namun lagi-lagi, sepertinya hanya dia yang mendengarnya. Kalaulah ia sedang sendirian, mungkin ia sudah pingsan dari tadi. Untungnya dia bersama banyak teman dan posisinya juga tidak sedang menyetir.
"Sepertinya aku harus membiasakan diri untuk melihat mereka. Namun apakah aku bisa? Biar bagaimanapun juga harus aku akui bahwa aku sangat takut dengan hal begituan," ucap Alvaro dalam hati.
Alarm spesial kepunyaan semesta telah berbunyi. Suaranya begitu menggema di seluruh penjuru wilayah, seakan-akan dia ingin memberitahukan bahwa dialah sang penguasa alam raya. Padahal ia hanyalah seonggok daging kecil yang terkadang berakhir di atas piring.
Matahari bersinar dengan cerah. Ia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sangat berharga di mata dunia. Ia dengan sinar terangnya telah mengubah kegelapan menjadi cahaya terang benderang.
Alvaro berjalan pelan menyusuri jalan menuju kampusnya yang berhiaskan bunga-bunga indah di kanan dan kiri jalanan. Ia seperti seorang tamu penting yang kehadirannya telah ditunggu-tunggu. Hanya saja ada yang kurang, yaitu tidak ada karpet merah untuk tempat ia berjalan serta pengawal yang berada di belakangnya.
"Oi Alvaro!" teriak seseorang dari kejauhan.
"Apaan?" tanya Alvaro.
"Sini!"
Alvaro pun berjalan dengan malas ke arah sang pemanggil. Ia melihat ada beberapa orang di sana selain orang yang memanggilnya itu.
"Ada apa?" tanya Alvaro lagi.
"Gak, cuma nyapa aja. Silahkan ke sana lagi!" jawabnya.
Alvaro mencoba menahan amarahnya. Rasanya ia benar-benar ingin menghantamkan kepalan tangannya ke wajah orang itu, tapi untungnya, orang itu adalah sahabatnya sendiri yang tidak lain adalah Ihsan Nur Alam atau yang akrab dipanggil Ihsan.
"Bercanda, Bro. Gitu aja nangis," ejek Ihsan.
"Berantem yuk! Mumpung belum masuk," tantang Alvaro.
"Eits, sabar Bro!" kata Ihsan.
"Heh, dasar penakut," umpat Alvaro.
"Eh, Delia. Ikut aku yuk!" ajak Alvaro seraya menarik tangan Delia.
Nampak wajah Delia yang mendadak memerah. Entah karena malu ataupun perasaan yang lainnya. Delia memang sudah sejak lama menyukai Alvaro, tapi ia tak tahu perasaan lelaki yang dicintainya itu kepadanya. Masalahnya, lelaki yang bernama Alvaro itu tak pernah peka dengan perasaan cinta wanita cantik itu. Apakah Alvaro juga punya perasaan yang sama atau hanya menganggap Delia sebagai sahabatnya saja?
"Eh, mau dibawa ke mana tuh anak orang?" tanya Reyhan.
"Pacaran," jawab Ardi asal. Namun hal itu semakin membuat wajah Delia memerah.
"Cieee...."
Alvaro mengajak Delia ke suatu tempat. Sebuah tempat yang terlalu biasa mereka datangi ketika di kampus, apalagi kalau bukan taman kampus. Alvaro dan Delia duduk berdampingan di sebuah bangku taman layaknya 2 insan yang sedang berpacaran, padahal mereka hanyalah sepasang sahabat yang seharusnya tak boleh ada ikatan cinta di antara mereka.
"Mau ngomong apa, Al?" tanya Delia membuka pembicaraan.
"Aku-aku gak tahu Del, harus mulai dari mana," jawab Alvaro.
"Dari mana aja Al, terserah kamu," kata Delia.
"Sebenarnya, malam harinya setelah aku melihat sosok pocong itu, aku didatangi oleh Lio di mimpiku. Ia meminta tolong kepadaku agar aku bisa mengungkap kasus kematiannya dan menangkap si pembunuh itu," ucap Alvaro panjang lebar.
"Apa? Lio datang ke mimpi kamu? Kenapa kemarin kamu gak cerita?" tanya Delia.
"Heh, percuma saja Del. Pasti mereka akan sulit untuk mempercayainya. Lagipula, aku pun masih ragu soal kebenaran mimpi itu," jawab Alvaro.
"Hmmm... lalu bagaimana?" tanya Delia.
"Khusus untuk hal ini, aku tidak mau dulu menceritakannya kepada yang lain. Aku gak mau ada perpecahan di antara mereka, karena mistis itu tidak semua orang mempercayainya. Kalau untuk hal yang lain, okelah. Aku sangat percaya kalau sahabat akan selalu mempercayainya, tapi untuk hal ini aku tidak yakin mereka akan percaya. Saat ini yang bisa kupercayai cuma kamu. Apakah kamu mau membantuku menyelesaikan misi ini?"
Delia terdiam sejenak. Ia sebenarnya agak tersanjung dengan kata-kata Alvaro yang menyatakan hanya dialah satu-satunya orang yang bisa Alvaro percayai. Namun di sisi lain ia juga teramat takut kalau harus berhadapan dengan hal-hal mistis.
"Aku... aku... baiklah, aku mau bantu kamu," kata Delia.
Tanpa pikir panjang, tiba-tiba Alvaro memeluk Delia dengan erat sembari mengucap terima kasih. Delia terlalu nyaman berada di pelukan Alvaro sehingga ia enggan untuk melepaskannya.
"Al, aku mau nanya," ucap Delia sesaat setelah Alvaro melepaskan pelukannya.
"Nanya apa, Del?"
"Sebenarnya kau anggap aku ini apa?" tanya Delia.
Alvaro menarik napas panjang kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Mungkin baginya pertanyaan Delia itu cukup aneh.
"Sahabat," jawab Alvaro singkat.
"Beneran? Nggak ada perasaan lain, gitu?" pancing Delia.
"Enggak," jawab Alvaro cepat.
"Yakin?" tanya Delia.
"Iya Del," jawab Alvaro.
"Hmmm... ya sudahlah," ucap Delia pasrah.
***
Malam harinya, Alvaro dan Delia pun mendatangi tempat di mana si Lio itu terbunuh. Mereka sengaja pergi ke sana pada malam hari supaya bisa mendapat petunjuk yang lebih jelas lagi. Ya, mereka mengharapkan arwah Lio datang lagi dan memberi Alvaro petunjuk.
"Apa aku gak salah lihat? Tempat ini terlihat seperti kerajaan makhluk tak kasat mata saja," gumam Alvaro dalam hati.
Bukannya melihat arwah Lio, Alvaro malah melihat sosok-sosok lain yang jauh lebih menyeramkan daripada arwah Lio. Sosok-sosok itu terdiri dari beberapa jenis, ada yang cuma kepala saja, tapi sangat besar, ada yang tanpa kepala, pocong, kuntilanak, dan masih banyak lagi. Alvaro sebenarnya sudah tak kuat berada di tempat itu. Ingin sekali ia mengatakan hal itu pada Delia, tapi ia tak mau melihat gadis cantik yang berada di sampingnya itu takut.
"Del, apapun yang terjadi, jangan jauh-jauh dari aku!" perintah Alvaro. Dia melihat seolah-olah para penghuni tempat itu tidak suka dengan kehadirannya dan Delia.
"Memangnya kenapa Al?" tanya Delia sedikit takut.
"Gak ada apa-apa. Aku cuma takut kejadian yang dialami Lio terulang kembali," jawab Alvaro santai.
Ia kemudian melanjutkan langkahnya untuk mencari sesuatu. Entah sesuatu itu apa, yang pasti dia terus-terusan menghadap ke bawah tanpa menghiraukan makhluk-makhluk mengerikan itu. Delia juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Alvaro.
"Al, apa nggak percuma kita mencari petunjuk di sini?" tanya Delia tiba-tiba.
"Setiap kejadian pasti meninggalkan bekas," jawab Alvaro santai.
Hampir bersamaan dengan ucapannya barusan, indra pengelihatannya menangkap bercak darah yang menempel di rumput. Ia pun kemudian menyentuh rumput tersebut dan sesuatu tiba-tiba terjadi padanya. Dari pengelihatannya, ia disuguhkan kembali detik-detik sebelum Lio terbunuh sampai benda tajam itu menusuk perut Lio dan akhirnya terlempar jauh ke semak-semak.
Alvaro tersadar kembali dengan napas yang terengah-engah. Ini adalah kali kedua Alvaro menyaksikan temannya terbunuh. Meski hal itu hanya seperti siaran ulang, tapi bagi Alvaro, meski hal itu diulang sebanyak ribuan kali pun, hasilnya tetap sama saja.
"Ada apa Al?" tanya Delia dengan panik.
Alvaro tak menjawab langsung pertanyaan Delia. Ia berlari kecil ke suatu tempat yang ia yakini akan ada petunjuk selanjutnya. Delia juga mengikuti Alvaro dari belakang.
"Akhirnya ketemu," ucap Alvaro seraya menyingkap rimbunnya semak-semak itu.