BAB 2 – Merindukan Kitab

1178 Kata
Suara pemuda itu sangat merdu dan mendayu ketika mulai melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an. Anak-anak yang tadinya ribut, tiba-tiba bersikap tenang. Mereka duduk dan mendengarkan bacaan Azzam dengan khidmat. “Shadaqallahul ‘Azhim.” Azzam mengakhiri bacaannya dan diikuti oleh anak-anak didiknya. “Masyaa Allah ustaz, kenapa suara ustaz merdu sekali, Bayu ingin punya suara indah seperti suara ustaz.” Bayu mengutarakan kekagumannya kepada Azzam. “Bisa, asal Bayu berlatih setiap hari dan selalu menambah hafalan Bayu setiap hari juga.” Azzam menyemangati anak didiknya. “Maaf, Azzam, buku apa ini? mengapa kitab ini ada disini?” Seorang imam masjid menegur Azzam. “Owh, maaf ustaz, itu buku teman saya tadi tertinggal di atas bus. Saya berniat mengembalikannya nanti,” jawab Azzam dengan ramah. “Maaf, tolong singkirkan kitab ini Azzam. Atau masukkan ke dalam tasmu atau simpan di mana saja. Jangan sampai anak-anak melihatnya.” Sofyan—Imam masjid—memberikan perintah kepada Azzam. “Thoyyib (baik) ustaz, maafkan saya.” Azzam segera bangkit dan mengambil kitab itu. Azzam memasukkannya ke dalam tas miliknya. “Bagus kalau begitu. Sebentar lagi asar, bersiaplah untuk azan,” perintah Sofyan lagi. “Thoyyib ustadz ... oiya anak-anak, segera kemas perkakas masing-masing ya. Sebentar lagi kita akan melaksanakan shalat asar. Pergilah berwudu dengan bergantian, jangan berebutan.” Azzam memberikan perintah kepada anak didiknya secara halus. “Thoyyib ustaz ...,” jawab anak-anak itu hampir bersamaan. Azzam bangkit dan berjalan menuju tempat berwudu. Setelah mensucikan diri dengan air wudu, Azzam mengumandangkan Azan. Suaranya menggema di sekeliling area masjid. Siapa pun yang mendengar suara Azzam, pasti akan terkesima. Suara yang sangat indah, merdu dan mendayu. Setelah menyelesaikan tugasnya di masjid, ia pun kembali ke kediamannya untuk beristirahat. Banyak tugas yang sudah menunggu Azzam. Pemuda itu harus segera menyelesaikan tesisnya karena Azzam ingin menyelesaikan S2-nya tahun ini. Ia ingin segera mendapatkan pekerjaan yang lebih baik setelah ini. Sesampai di rumah kontrakannya, Azzam mengeluarkan Alkitab dan buku yang ia baca—buku tentang Rasulullah. Pemuda itu kemudian berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Selepas membersihkan diri, Azzam kembali membaca bukunya dengan santai di teras depan rumahnya. “Assalamu’alaikum,” sapa seorang pemuda, dia adalah Iqbal—teman satu kampus yang berasal dari Pontianak. Iqbal merantau ke tanah melayu deli untuk menimba ilmu di sini dan saat ini Iqbal dan Azzam tinggal berdua di rumah kontrakan yang sama. “Wa’alaikumussalam ... baru pulang, Bal,” jawab Azzam ramah. “Iya.” Iqbal menjawab seraya masuk ke dalam rumah kontrakan mereka. Sementara Azzam tetap melanjutkan kegiatannya membaca buku. “Zam, apa ini?” Sedikit berteriak, Iqbal menemui Azzam di teras rumah sembari membawa Alkitab  yang ia temukan di tas meja. “Owh, itu Alkitab. Seseorang meninggalkannya di atas bus. Bus yang sama denganku tadi siang,” jawab Iqbal santai. “Iya, aku tau kalau ini Alkitab, tapi kenapa kamu bawa pulang?” Iqbal masih memegangi buku suci itu. “Aku akan mengembalikannya nanti kepada pemilik kitab itu.” “Owh ... aku pikir kamu akan mempelajari kitab ini. syukurlah, maafkan aku kalau sudah salah paham.” Iqbal duduk di sebelah Azzam, ia masih memegangi kitab itu. “Aku ingin mengembalikannya, tapi aku belum tahu mau mengembalikan kemana, aku bahkan belum membukanya sama sekali.” Azzam menghentikan aktifitas membacanya dan berbincang dengan Iqbal. “Jadi kamu tidak tahu siapa pemilik kitab ini?” “Tahu, seorang wanita. Aku tidak sengaja menabraknya ketika di atas bus, dan wanita itu tidak sengaja meninggalkan kitab sucinya ketika ia meninggalkan bus.” “Kamu yakin, dia tidak sengaja?” “Yakin, karena aku lihat wanita itu sangat khusyuk membaca kitab ini ketika berada di atas bus.” “Owh, baiklah, aku akan kembalikan kitab ini ke tempat tadi.” Azzam menggangguk. Hari sudah mulai senja. Matahari sudah hampir tenggelam. Langit cerah kini menyisakan pias-pias cahaya berwarna jingga. Azzam bangkit dari duduknya, masuk ke dalam rumah, kemudian bersiap hendak pergi ke masjid. “Bal, nggak ke masjid?” Azzam menyapa Iqbal yang tengah menatap gaway. “Iya, ayuk kita bareng.” Kedua pemuda rantau itu meninggalkan rumah kontrakan menuju rumah Allah. - - - Mentari gelisah, gadis itu masih memikirkan alkitab miliknya. Sudah pukul sembilan malam, namun gadis itu masih belum mampu untuk memejamkan mata. Mentari mengambil sebuah figura yang ia pajang di atas nakas di dalam kamarnya.  Netra Mentari berkaca-kaca, ia sangat merindukan sosok yang ada di figura tersebut. Seorang pria senja yang menggunakan pakaian khas batak, tengah menggendong seorang gadis manis saat perayaan natal sembilan belas tahun silam. Gadis lima tahun itu ialah dirinya. Gadis yang telah di beri amanah oleh sang pria senja untuk menjaga serta mengamalkan isi Alkitab pemberiannya. Mentari begitu mencintai sang kakek. Semenjak ia terlahir ke dunia, dirinya tidak pernah lepas dari rangkulan sang kakek. Bahkan tidur pun, Mentari kecil pasti selalu dalam dekapan kakeknya. Pria senja selalu menyanyikan lagu rohani sebagai pengantar tidur, hingga Mentari kecil terlelap, nyenyak. Netra indah itu pun akhirnya tak kuasa menahan gejolak di hatinya. Netra abu-abu itu akhirnya mengeluarkan aliran bening yang deras, diiringi oleh isakan-isakan ringan. Mentari memeluk figura itu, erat. Ia sangat merindukan sosok kakeknya yang hangat, bijaksana dan penyayang. “Tari rindu oppung ... hiks ... hiks ... maafkan Tari yang tidak bisa menjaga amanah oppung ....” Gadis itu masih nelangsa. Artha yang sedari tadi memperhatikan putrinya, tak kuasa menahan sesak di dadanya. Wanita itupun ikut terbawa suasana. Berkali-kali ia menyeka air mata yang mengalir lewat pipi yang mulai keriput. Artha juga sangat merindukan sosok ayahnya yang sangat bijaksana dan penyayang. Artha kemudian menghampiri Mentari, memasukkan tubuh mungil Mentari ke dalam dekapannya. Mencium lembut puncak kepala putrinya. “Sabar lah kau nak, oppungmu sudah bahagia di surga. Ia sudah bersama Tuhan. Jangan kau ratapi lagi oppungmu yang sudah pergi.” Artha mencoba menghibur putrinya, walau ia sendiri juga merasakan kesedihan yang sama. “Alkitab Tari mak ... hanya itu kenangan oppung yang tersisa, kenapa harus hilang. Sembilan belas tahun, Tari sudah menjaga amanah oppung dengan baik, tapi mengapa sekarang harus hilang. Oppung pasti marah, karena Tari tidak mampu menjaga satu-satunya harta berharga peninggalan oppung.” Gadis itu masih terisak-isak. “Sudahlah, janganlah kau bebani pikiranmu dengan hal itu. Bukankah kau tidak sengaja.” “Tapi—.” “Tidurlah, nak. Kalau memang masih rezeki kau, pasti nanti alkitab itu akan kembali, percayalah.” Mentari mengangguk. Figura itu kembali ia letakkan di atas nakas di samping ranjangnya. Mentari kembali mengusap pipinya yang basah dengan ke dua telapak tangannya. “Semoga ada orang baik yang menemukan alkitab Tari mak. Lalu orang itu bersedia mengembalikannya.” Tari menatap lembut netra ibunya. “Apakah kau ada buat alamat atau nomor telepon kau di sana.” “Tidak mak, Tari hanya menuliskan nama gereja tempat Tari biasa mengajar anak-anak di hari Minggu.” “Ohya ... semoga saja nanti ada orang baik yang akan mengembalikan alkitab itu. Sekarang tidurlah, bukankah besok kau harus bekerja.” Mentari mengangguk. Artha meninggalkan putrinya yang masih nelangsa sendirian di kamar. Wanita itupun berlalu ke kamarnya sendiri, menata hati karena rindu kepada sosok ayah terbaiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN