Luna menghela napas panjang, menatap lurus ke arah jalanan yang perlahan mereka lewati. Suara mesin mobil menyatu dengan suara lalu lintas siang itu, sementara dua orang sahabatnya di kursi belakang justru terkekeh kecil, saling melempar candaan ringan seakan tak baru saja membongkar luka-luka mereka di ruang konseling tadi. Tawa mereka bukan tawa lepas—ada getir yang tersembunyi di sela-selanya. Namun bagi Luna, itu lebih dari cukup. Karena sebelumnya, mereka bahkan tak sanggup tertawa sama sekali. Hari ini adalah hari yang berat. Tapi juga hari yang penting. Luna masih menggenggam erat setir mobil, tak ingin melepaskan fokusnya meski pikirannya ikut melayang pada percakapan yang tadi terdengar saat mereka bergantian masuk ke ruang psikiater. Ia tahu betul, betapa sulitnya membuat Mira

