Kenangan

1977 Kata
Dia, Raisa Elio. Raisa menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Jemarinya masih terpaku di atas layar, enggan bergerak, seolah dengan tidak menyentuhnya, pesan itu akan menghilang begitu saja. Tapi tentu saja tidak. Tulisan itu masih di sana, terpampang jelas di layar: Raisa, aku mau ngundang kamu ke pernikahanku. Semoga bisa datang, ya. Dan di bawahnya, sebuah gambar undangan digital dengan nama pengantin yang tertulis rapi. Nama yang dulu sempat ia bayangkan akan berdampingan dengan namanya di atas pelaminan. Nafasnya terasa berat. Ia menelan ludah, mencoba menahan perasaan yang tiba-tiba menghantam dadanya. Sesak? Jelas. Satu tahun. Sudah satu tahun sejak mereka berpisah. Dan sekarang, mantannya ini akan menikah dengan orang lain. Begitu cepat. Jadi selama ini, apakah ia hanya sebuah jeda? Tempat persinggahan sebelum lelaki itu akhirnya menemukan seseorang yang lebih pantas dijadikan istri? Raisa tersenyum miris. Perihnya terasa dalam. Tapi sudahlah. Ia tidak akan menangis. Tidak lagi. Ia menarik napas panjang, menekan tombol daya, dan membiarkan layar ponsel itu meredup. Lupakan. Ada hal yang lebih penting untuk ia lakukan saat ini. Matanya kembali beralih ke ruangan di sekelilingnya. Kosan kecil yang selama ini ia tinggali di Jakarta sudah setengah kosong. Beberapa kardus besar tertata di sudut kamar, siap dikirim ke Palembang. Lemari pakaian yang sebelumnya penuh, kini hanya menyisakan beberapa potong baju yang akan ia bawa dalam koper. Dia akan pulang. Setelah bertahun-tahun merantau di ibu kota, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke tempat asalnya. Bukan ke rumah orang tuanya, karena mereka sudah tidak tinggal di sana lagi. Ayah dan ibunya kini bekerja dan menetap di Riau, meninggalkan rumah lama mereka yang kini akan menjadi tempat tinggal Raisa seorang diri. Lucu juga. Selama ini, ia selalu menghindari pulang. Selalu punya alasan untuk tetap di Jakarta—entah itu pekerjaan, hubungan, atau sekadar rasa enggan untuk kembali ke kota yang penuh kenangan lama. Tapi kini, Jakarta tidak lagi punya alasan untuk menahannya. Pekerjaan? Sudah beres. Setelah bertahun-tahun bekerja di sebuah konsultan arsitektur di Jakarta, akhirnya ia diterima menjadi dosen CPNS di Universitas Sriwijaya, Palembang. Sebuah tawaran yang dulu tidak pernah terpikirkan olehnya. Tapi kini, itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa punya arah baru dalam hidupnya. Hubungan? Sudah selesai. Bukti nyatanya ada di layar ponsel tadi. Teman-teman? Punya hidup masing-masing. Dan Raisa? Ia hanya ingin memulai sesuatu yang baru. Di tempat yang lama. Ia menghela napas, lalu mulai merapikan barang-barang kecil yang tersisa di meja. Buku, pernak-pernik, dan foto-foto yang sempat ia pajang di kamar ini. Tangannya sempat berhenti di atas sebuah bingkai kecil. Foto dirinya dan lelaki itu. Kenangan yang dulu indah, kini terasa seperti beban. Dengan pelan, ia melepaskan foto itu dari bingkainya, merobeknya menjadi dua, lalu membuangnya ke tempat sampah tanpa ragu. Sudah cukup. Hari ini, ia benar-benar akan mengakhiri semua yang lama. Besok, ia akan kembali ke Palembang. Meninggalkan semuanya di belakang. Dan mungkin, di sana, ia bisa menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih baik. "Lo Beneran Balik, Ya?" Shinta bersedekap di ambang pintu kosan Raisa, menatap sahabatnya dengan tatapan penuh selidik. Perempuan itu baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer kerja dengan ID card yang tergantung di lehernya. Matanya sedikit menyipit, jelas memperlihatkan ketidakpercayaan. "Lo beneran balik ke Palembang?" tanyanya lagi, kali ini lebih tegas. Raisa, yang sedang duduk di lantai sambil menata buku ke dalam kardus, hanya menghela napas. Ia tahu pertanyaan itu akan muncul cepat atau lambat. "Ya," jawabnya singkat, tanpa menoleh. Shinta masuk, menurunkan tasnya ke sofa kecil di sudut ruangan, lalu menjatuhkan dirinya di sebelah Raisa. Ia menyandarkan kepala ke tembok, menghela napas dalam. "Serius, Sa? Maksud gue... lo tuh udah nyaman di Jakarta. Karier lo bagus. Lo kerja di konsultan arsitektur besar, gaji tinggi, proyek lo banyak. Gimana ceritanya lo tiba-tiba mau jadi dosen? Gajinya jauh banget, lho," katanya, masih tak percaya. Raisa tersenyum tipis. Ia paham maksud Shinta. Dari luar, kepindahannya ke Palembang memang terdengar seperti kemunduran. Semua orang tahu kalau gaji dosen CPNS tak seberapa dibandingkan pekerjaannya sekarang. Apalagi, selama ini Raisa dikenal sebagai orang yang cukup mapan. Ia memang tinggal di kosan kecil, tapi bukan berarti hidupnya pas-pasan. Shinta tahu betul kalau aset Raisa itu banyak, hanya saja perempuan itu tak pernah pamer atau membicarakannya. "Bukan cuma soal gaji, Shin," ujar Raisa akhirnya, suaranya terdengar lebih lirih. Shinta meliriknya, menunggu lanjutan kalimatnya. Jujur, mood Raisa sedang hancur sejak membaca undangan tadi. Ia tak pernah menyangka kalau mantannya akan menikah secepat ini. Satu tahun. Itu waktu yang sangat singkat untuk seseorang yang pernah bilang ingin membangun masa depan bersamanya. Dulu, ia pikir kembali ke Palembang bisa menjadi awal baru. Bahkan sempat ada keinginan kecil dalam hatinya untuk menemui mantannya, berbicara, mungkin saja memperbaiki hubungan. Tapi kenyataan berkata lain. Kini, semuanya sudah terlambat. Lelaki itu telah memilih jalannya sendiri. Dengan orang lain. Dan Raisa? Ia tak punya pilihan selain tetap kembali ke Palembang. "Lo yakin enggak ada alasan lain selain pekerjaan?" suara Shinta memecah lamunan. Raisa terdiam. Haruskah ia jujur? Mengatakan kalau salah satu alasan ia ingin pulang adalah karena hatinya masih berharap? Tapi harapan itu sekarang sudah tak ada gunanya. "Ada banyak alasan, Shin," jawabnya akhirnya, memilih untuk tak terlalu dalam membahasnya. "Gue cuma... pengen mulai sesuatu yang baru." Shinta menghela napas, lalu meraih kaleng soda di atas meja, meneguknya perlahan. "Yaudah, kalau lo udah yakin. Gue enggak bakal nahan," katanya akhirnya. "Tapi janji satu hal." "Apa?" "Kalau suatu hari nanti lo nyesel, atau lo butuh tempat buat lari sebentar, Jakarta masih di sini. Gue juga masih di sini." Raisa tersenyum, matanya sedikit memanas. "Thanks, Shin." Dan untuk pertama kalinya sejak membaca undangan tadi, hatinya terasa sedikit lebih ringan. *** Dua Hari Kemudian. Pagi itu, Raisa berdiri di depan kosannya yang kini kosong, menatap pintu kayu yang telah terkunci rapat. Koper hitam besar berdiri tegak di sampingnya, siap menemani perjalanannya kembali ke Palembang. Ia menarik napas dalam, membiarkan udara pagi Jakarta memenuhi dadanya untuk terakhir kali sebelum ia benar-benar pergi. Ini dia. Akhirnya. Setelah bertahun-tahun tinggal di sini, hari ini ia benar-benar akan meninggalkan tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bukan hanya sekadar tempat tinggal, tapi saksi bisu perjalanan panjangnya. Kos kecil ini bukan sekadar tempat ia beristirahat, melainkan ruang di mana ia pernah menangis semalaman karena skripsinya ditolak dosen pembimbing. Tempat di mana ia pernah begadang berhari-hari menyelesaikan proyek kantor, bertahan di tengah kerasnya dunia arsitektur. Tempat di mana ia jatuh cinta, berharap, dan pada akhirnya patah hati. Dan sekarang, semua itu hanya akan menjadi kenangan. Ia mengangkat koper dan berjalan menuju mobil yang akan mengantarnya ke bandara. Sopir taksi online membantunya memasukkan koper ke bagasi, sementara ia sendiri masih menyempatkan diri melihat ke belakang sekali lagi, seolah ingin mengingat setiap detail kecil yang pernah ada di sini. Sudahlah, Raisa. Ini bukan waktunya untuk sentimentil. Ia masuk ke dalam mobil, menutup pintu, dan membiarkan dirinya tenggelam dalam diam sepanjang perjalanan. Bandara Soekarno-Hatta pagi itu cukup ramai. Ia berjalan melewati terminal dengan langkah perlahan, menyeret koper di belakangnya sambil sesekali mengecek ponsel. Ada beberapa pesan masuk di grup w******p teman-teman SMA-nya. Raisa, kamu udah denger kabar Akbar, kan? Gila sih, cepet banget nikahnya. Kamu gimana, Sa? Baik-baik aja?" Matanya menatap pesan-pesan itu tanpa ekspresi. Jari-jarinya bergerak cepat, hanya membalas dengan emoji senyum dan jawaban singkat. Iya, udah tahu. Selamat buat dia. Selesai. Tak perlu basa-basi. Tak perlu drama. Padahal, kalau mereka benar-benar mengenalnya, mereka pasti tahu kalau ia tidak baik-baik saja. Ya, rencana balikan dengan mantan sudah gagal total. Ia memang tidak pernah mengatakannya dengan lantang, tapi dalam hatinya, ia sempat berharap pulang ke Palembang bisa menjadi awal baru. Ia pikir mungkin, hanya mungkin, ia dan Akbar bisa memperbaiki semuanya. Tapi ternyata, takdir berkata lain. Minggu ini, lelaki itu akan menikah dengan orang lain. Dan Raisa? Ia hanya bisa pergi, meninggalkan semua harapan bodohnya di belakang. Teman-teman SMA-nya mungkin berpura-pura peduli, tapi ia tahu mereka tidak pernah benar-benar tulus. Sejak dulu, ada saja yang iri padanya—entah karena prestasinya, pekerjaannya, atau kehidupannya yang terlihat sempurna dari luar. Jika mereka menanyakan kabarnya sekarang, bukan karena mereka benar-benar ingin tahu, tapi lebih kepada kepuasan melihatnya kalah. Gila ya, Raisa yang dulu selalu terlihat hebat, ternyata juga bisa ditinggal nikah. Ia tersenyum miris. Tapi sudahlah. Ia bukan gadis SMA yang masih peduli dengan omongan orang. Sekarang, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah melangkah ke depan. "Selamat tinggal, Jakarta," gumamnya pelan, sebelum akhirnya berjalan menuju gate keberangkatannya. Raisa memejamkan mata begitu duduk di kursinya di dalam pesawat. Ia menghela napas panjang, berusaha mengusir perasaan berat yang masih menggantung di dadanya. Tapi percuma. Begitu matanya terpejam, justru kenangan yang selama ini coba ia kubur kembali menyeruak ke permukaan. Ingatan tentang Akbar. Lelaki yang pernah mengisi hari-harinya sejak SMA, yang pernah membuatnya yakin bahwa cinta pertama bisa bertahan selamanya. Dulu, mereka adalah pasangan yang banyak diidolakan teman-teman mereka. Raisa yang pintar dan ambisius, Akbar yang kalem dan setia. Sejak SMA, Akbar selalu ada untuknya—menjadi teman diskusi, menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat setiap kali ia meraih prestasi, menjadi orang yang selalu mendukung impian-impiannya. Tapi waktu mengubah segalanya. Tiga tahun lalu, Akbar sudah ingin menikahinya. Bukan sekadar rencana, lelaki itu bahkan sudah berbicara dengan keluarganya dan siap melamar. Saat itu, Raisa baru saja menyelesaikan tahun pertama program S2-nya dan masih sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai arsitek di sebuah konsultan ternama di Jakarta. Menikah? Rasanya jauh sekali dari pikirannya saat itu. Bukan hanya karena kesibukan dan ambisinya yang masih ingin dikejar, tapi juga karena ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Raisa tahu, Akbar belum benar-benar mandiri. Lelaki itu ingin menikah bukan karena sudah siap secara mental dan finansial, melainkan lebih karena teman-temannya sudah menikah lebih dulu. Saat itu, Akbar baru bekerja satu tahun di Palembang, di sebuah kantor konsultan lingkungan yang kecil. Gajinya tak seberapa, belum punya rumah, bahkan kendaraan pun masih hasil pemberian orang tua. Ketika membicarakan pernikahan, Akbar mengatakan bahwa semua biaya akan ditanggung oleh orang tuanya. Dan hal itu membuat Raisa semakin ragu. Ia tahu, kehidupan setelah menikah tidak akan selalu mulus. Akan ada banyak tantangan, banyak ujian yang mengharuskan mereka bertahan dan berjuang bersama. Tapi bagaimana bisa ia yakin kalau Akbar mampu menjadi tempat bersandar, jika selama ini lelaki itu masih terlalu banyak bergantung pada keluarganya? Raisa tidak ingin menikah hanya karena cinta. Ia ingin seseorang yang bisa ia andalkan, seseorang yang bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga, bukan hanya seorang kekasih yang setia. Jadi saat Akbar melamarnya, ia meminta lelaki itu bersabar. "Setelah aku lulus S2," begitu jawabnya. Akbar setuju, meski Raisa tahu ada kekecewaan di matanya. Tapi setelah Raisa akhirnya menyelesaikan S2-nya, masalah lain muncul. Akbar kembali menagih janjinya. Ia ingin kepastian. Tapi entah kenapa, setiap kali pembicaraan itu muncul, Raisa selalu menghindar. Ia terus menunda memberikan jawaban, membuat Akbar semakin merasa bahwa Raisa tidak benar-benar ingin menikah dengannya. Dan akhirnya, Akbar menyerah. Lelaki itu yang memutuskan hubungan mereka. Saat itu, Raisa tidak menahannya. Bukan karena ia tidak mencintai Akbar, tapi karena jauh di dalam hatinya, ia masih belum yakin. Akbar adalah orang yang selama ini ia sayangi, tapi ia belum melihat sosok lelaki itu sebagai seseorang yang bisa ia percayakan masa depannya. Selama ini, mereka bersama hanya karena cinta. Tapi pernikahan butuh lebih dari itu. Kini, duduk di kursi pesawat yang sebentar lagi akan membawanya kembali ke kampung halamannya, Raisa bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang salah. Karena pada akhirnya, meski ia merasa telah memilih jalan yang benar, tetap saja ada rasa sesal yang tak bisa ia abaikan. Mungkin ia seharusnya memberi Akbar kesempatan. Mungkin ia seharusnya lebih terbuka, mengutarakan kegelisahannya, bukan malah menghindari pembicaraan serius. Tapi semua sudah terlambat. Akbar akan menikah minggu ini, dan Raisa bahkan tidak tahu siapa perempuan yang akhirnya menjadi pilihan lelaki itu. Ia tak berani mencari tahu. Karena ia takut, mengetahui kenyataan itu hanya akan membuatnya semakin hancur. Raisa menghembuskan napas pelan. Apa pun yang terjadi, ia harus melangkah ke depan. Masa lalu tak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa ia genggam. Dan untuk itu, ia harus berdamai dengan hatinya sendiri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN