Dia, Talia Vesper.
Talia duduk di sudut ruang istirahat rumah sakit, wajahnya tertunduk, bahunya bergetar halus. Matanya terasa panas, tapi ia menolak mengeluarkan suara. Air mata jatuh satu per satu, membasahi punggung tangannya yang mengepal di pangkuan.
Baru saja, ia mendapat kabar dari ibunya bahwa kakaknya kembali membicarakan dirinya—atau lebih tepatnya, mengejeknya.
"Dokter kok masih sendiri? Gak takut kesepian tua nanti?"
Bukan sekali dua kali kakaknya melontarkan kata-kata seperti itu. Bukan sekali dua kali pula keluarganya ikut mengamini seolah hidupnya memang kurang sempurna hanya karena ia belum menikah.
"Kamu kerja terus, kapan mau nikah? Mau jadi dokter terus sampai tua?"
Pertanyaan yang terus diulang-ulang, seolah pilihannya untuk berkarier adalah sebuah kesalahan. Seolah ia telah gagal sebagai perempuan hanya karena tidak memiliki pasangan.
Talia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia mengusap air mata dengan ujung lengan jas dokternya, lalu menatap pantulan dirinya di cermin kecil yang tergantung di dinding. Mata yang biasanya tajam kini tampak lelah, sembab, dan merah.
Sejak kecil, ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya, Rangga. Kakaknya punya bisnis besar, istri cantik, dan anak-anak yang lucu. Sementara dirinya? Hanya seorang dokter spesialis penyakit dalam yang menghabiskan waktu lebih banyak di rumah sakit daripada di rumah.
Orang-orang hanya melihat hasil akhirnya saja. Tidak ada yang tahu betapa sulitnya perjalanan yang ia tempuh untuk sampai di titik ini. Betapa ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk waktu, kehidupan pribadi, dan bahkan impiannya sendiri demi menyelesaikan pendidikan kedokterannya.
Sementara Rangga bisa sukses dengan usaha keluarga yang diwariskan ayah mereka, Talia harus berjuang sendiri. Ia kuliah kedokteran dengan beasiswa, bertahan dengan uang seadanya, dan bekerja keras siang malam. Semua itu demi meraih gelar dokter, sesuatu yang sejak kecil telah menjadi cita-citanya.
Tapi sekarang? Semua yang ia capai terasa sia-sia ketika keluarganya terus menganggap dirinya belum cukup berhasil hanya karena belum berkeluarga.
Ia berusaha mengabaikan suara-suara itu, tapi kali ini, kata-kata Rangga benar-benar menusuk hatinya.
Terdengar suara pintu terbuka. Talia buru-buru menghapus sisa air mata dan berusaha terlihat normal.
“Talia?”
Sebuah suara familiar membuatnya menoleh. Seorang perawat berdiri di ambang pintu, raut wajahnya sedikit khawatir.
“Dokter Talia, ada pasien baru di IGD. Kayaknya kasusnya lumayan serius.”
Talia menarik napas panjang, menguatkan diri. Ia tidak punya waktu untuk larut dalam kesedihan. Pasien membutuhkan dirinya.
“Baik, saya ke sana.”
Dengan cepat, ia bangkit dari duduknya, merapikan jasnya, dan melangkah keluar dari ruang istirahat. Sejenak, ia menekan perasaan yang berkecamuk di hatinya.
Di luar sana, ada nyawa yang perlu ia selamatkan. Dan untuk sementara waktu, itu lebih penting daripada luka yang ia simpan sendiri.
Lorong rumah sakit masih ramai meski malam semakin larut. Talia berjalan cepat ke ruang Instalasi Gawat Darurat, berusaha mengalihkan pikirannya dengan fokus pada pekerjaannya. Begitu ia tiba, seorang dokter jaga langsung menghampirinya.
“Dok, pasien laki-laki usia 34 tahun, kecelakaan motor. Luka di bagian kepala, tekanan darah mulai menurun. Tadi sempat kehilangan kesadaran sebentar.”
Talia mengangguk cepat. “CT scan sudah dilakukan?”
“Sedang antre, Dok. Tapi dari hasil pemeriksaan awal, ada kemungkinan trauma kepala ringan.”
Talia segera menghampiri pasien di ranjang. Laki-laki itu masih sadar, tapi wajahnya tampak pucat. Ada luka di pelipisnya, dan darah telah mengering di sudut bibirnya.
“Pak, bisa dengar suara saya?” tanyanya dengan suara lembut namun tegas.
Laki-laki itu menoleh perlahan, matanya sedikit menyipit menahan nyeri. "Bisa, Dok..."
“Baik, saya dokter Talia. Saya akan memeriksa kondisi Bapak. Ada yang terasa sangat sakit?”
“Kepala saya... pusing.”
Talia mengangguk, memeriksa pupilnya dengan senter kecil. Responsnya masih normal, tapi ia tetap harus memastikan tidak ada cedera serius.
Saat ia menyentuh pergelangan tangan pasien untuk mengecek denyut nadinya, laki-laki itu tiba-tiba tertawa kecil.
"Ada apa?" Talia mengernyit, bingung.
"Gak apa-apa, Dok," ujarnya lemah, masih tersenyum. "Saya cuma kepikiran... Gimana kalau dokter cantik kayak Anda ini yang jadi jodoh saya?"
Talia langsung mendengus, menahan tawa kecil. "Bapak masih sempat bercanda, berarti kondisinya gak terlalu buruk."
Beberapa perawat yang berada di sekitar ikut tersenyum mendengar candaan pasien itu. Tapi Talia tetap profesional, melanjutkan pemeriksaan dengan fokus.
Di dalam hatinya, ia sedikit lega. Pasien seperti ini—yang masih bisa bercanda di tengah rasa sakit—biasanya memiliki semangat hidup yang tinggi.
Setelah beberapa menit, ia menyelesaikan pemeriksaan dan memberikan instruksi kepada perawat.
"Pastikan observasi setiap jam. Begitu hasil CT scan keluar, segera kasih tahu saya."
"Baik, Dok."
Talia melangkah keluar dari ruang IGD dengan sedikit lebih ringan. Setidaknya, pekerjaannya malam ini bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari beban yang ia rasakan sebelumnya.
Namun, saat ia mengecek ponselnya, ada satu pesan baru dari ibunya.
Jangan pulang telat lagi. Rangga bilang kamu terlalu sibuk sampai lupa keluarga. Kapan kamu pikirin masa depan?
Talia menggigit bibirnya. Rasa perih di dadanya kembali datang.
Dengan napas panjang, ia mengunci layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku jas dokter.
Ia tidak ingin memikirkan itu sekarang. Tidak malam ini. Tidak saat ia baru saja sedikit merasa lebih baik.
Untuk saat ini, ia hanya ingin fokus menjadi dokter.
Talia menekan ponselnya lebih erat di dalam saku jasnya. Ia tahu kalau membaca ulang pesan dari ibunya hanya akan membuat hatinya semakin sesak. Kata-kata Rangga sudah cukup menyakitkan, dan ibunya malah mengulangnya lagi.
"Kapan kamu pikirin masa depan?"
Seolah semua yang ia lakukan selama ini bukan bagian dari masa depannya. Seolah hidupnya akan berakhir sia-sia hanya karena ia memilih untuk fokus menjadi dokter lebih dulu daripada membangun keluarga.
Ia menghela napas panjang. Tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang.
"Dokter Talia?"
Sebuah suara memanggilnya, membuatnya segera menegakkan tubuh. Seorang perawat datang dengan berkas hasil CT scan pasien kecelakaan tadi.
"Ini hasilnya, Dok. Ada sedikit pendarahan di bagian frontal, tapi dokter radiologi bilang masih dalam kategori ringan."
Talia menerima berkas itu dan memeriksanya dengan cermat. Ia mengangguk pelan. "Baik. Untuk sementara observasi ketat, kalau ada perubahan kondisi, segera laporkan ke saya."
"Baik, Dok."
Perawat itu pergi, dan Talia melirik jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. Ia seharusnya istirahat, tapi entah kenapa pikirannya masih penuh dengan suara-suara dari keluarganya.
Akhirnya, ia berjalan ke pantry rumah sakit untuk membuat kopi. Mungkin dengan kafein, ia bisa mengusir sedikit kegelisahannya.
Pantry rumah sakit tidak terlalu ramai. Hanya ada satu dokter muda yang sedang duduk sambil membaca jurnal di sudut ruangan. Talia membuka lemari kecil, mengambil cangkir, dan menuangkan kopi instan ke dalamnya.
Saat ia menekan tombol dispenser untuk menuangkan air panas, seseorang masuk ke pantry.
"Begadang lagi, Dok?"
Talia menoleh dan melihat Dr. Herry, salah satu dokter spesialis bedah di rumah sakit ini. Pria itu berdiri di ambang pintu, menyeringai kecil sambil melipat tangan di depan d**a.
Talia hanya tersenyum tipis. "Sepertinya begitu. Banyak kasus malam ini."
Herry mengambil satu cangkir dan berdiri di sampingnya. "Kamu selalu begini. Sibuk kerja sampai lupa istirahat."
Talia terkekeh pelan. "Namanya juga dokter, Dr. Herry."
Herry menyesap kopinya dan menatap Talia dengan serius. "Aku bukan bicara soal kerjaan. Aku bicara soal hidupmu, Tal. Kamu gak capek terus-terusan seperti ini?"
Talia mengerutkan kening, tidak menyangka Herry akan menyinggung hal itu. "Maksudmu?"
"Aku tahu kamu dokter yang hebat. Semua orang di rumah sakit ini juga tahu. Tapi aku juga tahu kamu jarang punya waktu buat diri sendiri. Bahkan kalau ada yang ngajak kamu makan bareng aja, kamu sering nolak."
Talia tersenyum hambar. "Aku cuma sibuk."
Herry menghela napas. "Atau kamu memang sengaja menyibukkan diri biar gak punya waktu buat mikirin hal lain?"
Talia terdiam. Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya.
Herry melanjutkan, "Aku dengar dari salah satu perawat kalau kakakmu sering mengejek pilihan hidupmu."
Talia tersentak. "Kamu dengar dari siapa?"
Herry mengangkat bahu. "Rumah sakit ini kecil. Gosip menyebar lebih cepat daripada infeksi."
Talia mendesah, menyesap kopinya. "Aku sudah terbiasa, Herry."
"Terbiasa bukan berarti baik, Tal."
Herry menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya malam ini, Talia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Kota Palembang di malam hari tampak begitu tenang, kontras dengan pikirannya yang penuh gejolak.
"Aku hanya ingin diakui, Herry." ucapnya lirih. "Di mata keluargaku, aku selalu salah. Mereka selalu bilang aku terlalu sibuk, terlalu mandiri, terlalu banyak menuntut dari hidup. Padahal, aku hanya ingin sukses dengan caraku sendiri."
Herry mendengarkan dengan sabar.
"Aku mengorbankan banyak hal untuk jadi dokter. Aku melewatkan banyak momen keluarga, kehilangan banyak waktu dengan teman-teman, bahkan hubungan percintaanku hancur karena ini. Tapi tetap saja, mereka hanya melihat satu hal yang kurang: aku belum menikah."
Talia tertawa kecil, tapi suaranya penuh kepedihan. "Seakan semua yang aku capai gak ada artinya kalau aku gak punya suami."
Herry meletakkan cangkirnya di meja dan menatap Talia dengan serius.
"Dengar, Tal. Hidup ini bukan tentang memenuhi ekspektasi orang lain. Kamu sudah melakukan yang terbaik, dan itu cukup. Kamu cukup."
Talia tertegun. Ia sudah lama tidak mendengar kata-kata seperti itu.
"Dan soal menikah..." Herry menyeringai kecil. "Kamu tahu kan, kamu gak harus buru-buru? Kadang orang yang tepat datang di waktu yang tak terduga."
Talia mengangkat alis. "Kamu ngomong kayak gitu karena kamu sendiri masih jomblo, kan?"
Herry tertawa. "Bisa jadi. Tapi serius, Tal. Jangan biarkan omongan orang lain merusak apa yang sudah kamu bangun."
Talia menatap cangkir kopinya, merenungkan kata-kata Herry.
Mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan.
Mungkin, ia tidak sendiri dalam perjuangannya.
Dan mungkin, ia masih punya waktu untuk mencari kebahagiaannya sendiri—dengan atau tanpa pernikahan.
Talia hampir saja menyemburkan kopinya ke arah muka Herry kalau saja ia tidak buru-buru menelannya. Ia terbatuk kecil, mencoba menguasai diri, sementara Herry malah tertawa puas melihat reaksinya.
"Astaga, Herry!" Talia menatap pria itu dengan ekspresi campuran antara kesal dan tak percaya. "Kamu serius?"
Herry mengangkat bahu dengan santai, masih dengan senyum jahil yang menghiasi wajahnya. "Tentu saja. Aku tahu kamu sudah trauma sama kencan buta yang terakhir itu, tapi percayalah, kali ini aku jamin dia gak boti."
Talia mendecakkan lidah. "Kamu benar-benar harus berhenti menjodoh-jodohkanku, deh. Aku gak butuh itu."
Herry menyandarkan tubuhnya ke meja, melipat tangan di depan d**a. "Ya tapi coba dipikir, Tal. Kamu kan terlalu sibuk kerja. Kalau bukan aku yang bantu nyari, kapan lagi kamu bakal ketemu seseorang?"
Talia menghela napas panjang, meletakkan cangkir kopinya ke meja. "Herry, aku gak mau pacaran cuma karena tekanan keluarga atau omongan orang. Aku gak mau merasa harus menikah hanya untuk membuktikan sesuatu."
Herry mengangguk pelan. "Aku paham itu. Tapi, siapa tahu kalau kamu membuka hati sedikit, mungkin aja kamu ketemu seseorang yang cocok?"
Talia tertawa kecil, meski matanya sedikit melembut. "Kamu ini kayak sales aja, berusaha ngejual sesuatu ke aku."
Herry tertawa juga. "Hey, aku cuma mau kamu bahagia. Aku tahu kerja jadi dokter itu melelahkan, apalagi kamu sering dapat shift panjang. Setidaknya kalau kamu punya seseorang di sampingmu, kamu gak harus melalui semua ini sendirian."
Talia menatap pria di depannya. Ia tahu Herry benar, meski ia tak mau mengakuinya. Terkadang, di malam-malam yang sunyi setelah semua pasien tertidur, setelah semua kerja kerasnya di rumah sakit, ia sering merasa kosong.
Tapi apakah memiliki pasangan benar-benar jawabannya?
Ia tidak yakin.
"Aku tahu kamu niatnya baik, Herry." Talia akhirnya berkata. "Tapi aku masih belum siap. Aku masih ingin fokus di karierku dulu. Lagi pula, aku gak mau memulai hubungan hanya karena merasa kesepian."
Herry mengangguk, kali ini dengan ekspresi lebih serius. "Fair enough. Aku cuma berharap kamu gak nutup diri sepenuhnya. Karena jujur aja, Tal, kamu terlalu baik buat terus sendirian."
Talia menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Terima kasih sudah peduli. Tapi untuk sekarang, kopi ini lebih dari cukup buatku."
Herry terkekeh dan mengangkat cangkir kopinya. "Baiklah, Dokter Talia. Kalau gitu, kita bersulang aja. Untuk kerja keras, kopi, dan kehidupan yang masih penuh kejutan."
Talia mengangkat cangkirnya juga, menyentuhnya dengan cangkir Herry, sebelum menyesap isinya perlahan.
Mungkin ia masih sendiri.
Mungkin ia masih berusaha menemukan jalannya sendiri.
Tapi malam ini, dengan seorang teman baik di sampingnya, ia merasa tidak terlalu sendirian.
***