Solusi

1922 Kata
Usai menitipkan si Jingga pada satpam rumah Dinda. Dia berjalan menyusuri gelapnya malam, selangkah demi selangkah terasa sangat lambat. Untungnya jarak rumahnya yang tidak terlalu jauh membuatnya berani berjalan ditengah kegelapan seperti sekarang. Angin berdesis menusuk pori-pori kulitnya, Nayna menutup kepalanya dengan hoodie, kedua tangannya dilipat di bawah d*da. Air mata kembali meluncur saat dia mengingat kembali kebenaran yang ditutupi Aksa darinya. Setetes demi setetes air jatuh ke permukaan bumi. Kakinya mulai merasakan basah pada permukaan Aspal yang di pijaknya. Namun, dia belum berkeinginan untuk mempercepat langkahnya, dia tetap berjalan santai saat hujan lebat mulai membasahi seluruh bajunya hingga terasa sampai mengenai kulit bagian dalamnya. Pertahanan tubuh Nayna runtuh seiring kepercayaannya terhadap Aksa. Dia duduk sembari menengadah ke langit. “Bang Aksa jahat …,” teriakannya bersahutan dengan angin dan gelegar petir, mendadak Nayna menjadi orang yang paling berani di malam gelap seperti ini. Aksa mondar mandir tak tenang. “Kamu nggak ada niat cari adek kamu?” tanya Nova. Aksa menatap ibunya tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. “Udah telepon Anita aja, siapa tahu Nayna ada di sana,” ucap Aydan tenang. Nova mendial nomor adiknya. Dia mendekatkan benda pipih itu ke telinganya, tepat di nada sambung keempat terdengar Anita menyapanya, [Halo] “Teh, Nayna ada di sana nggak?” [Udah pulang.] “Hah … kapan?” [Udah ada sejaman lah, Kenapa, Dek?] “Aduh, ya udah deh makasih.” Nova mengakhiri panggilannya. Dia sampai lupa tak menjawab pertanyaan kakaknya itu. “Gimana, Ma?” tanya Aydan. “Udah pulang, Pa, sejam yang lalu,” Nova makin panik. Tak pernah Nayna pergi sendiri di malam selarut ini, apalagi hujan lebat dan petir menggelegar. “Kamu Aksa, kelewatan.” Aydan marah pada anak sulungnya itu. “Maaf, Pa. Aksa kira kejadiannya nggak bakal kayak gini.” Aydan menggelengkan kepalanya. “Adik kamu udah gede, nyesel mama ngasih tanggung jawab sepenuhnya sama kamu,” ucap Nova berderai air mata. Tak selamanya hubungan adik-kakak berjalan dengan mulus, selalu ada perdebatan atau hal-hal kecil yang membumbui ikatan persaudaraan itu, hanya dengan kekuatan cinta yang akan mengembalikan semuanya. “Maaf Ma …,” sesal Aksa. “Papa sama mama tahu kamu ingin yang terbaik buat Nayna, tapi kamu terlalu mengendalikan hidup Nayna, biarlah dia memilih jalannya sendiri,” ujar Aydan. “Kita harus percaya padanya bahwa dia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,” lanjutnya. “Iya Pa, Aksa menyesal. Aksa janji nggak akan banyak ngatur hidup Nayna lagi, apapun pilihan Nayna, Aksa bakalan dukung.” “Mana diluar hujan makin gede, Pa.” Nova membuka gorden, dia melihat anak gadisnya berjalan di tengah derasnya hujan. Dia segera membuka pintu, “Sayang, kamu nggak apa-apa, ‘kan?” Nayna mengangguk. “Aksa ambil handuk!” pekik Nova. “I-Iya.” Aksa berlari. Aydan mengedarkan pandangannya. “Sayang, kok kamu ujan-uajanan, si Jingga kamu tinggal di mana?” “Di rumah Dinda,” gumam Nayna. “Ini handuknya, Ma.” Aksa melihat wajah sendu Nayna. Ternyata efek dari ketidak jujurannya sedahsyat itu. Nayna melepaskan hoodie yang menutupi kepalanya. Kemudian Nova mengusap kepala anaknya dengan handuk. “Sayang kamu ganti baju, takutnya kamu masuk angin,” ucapnya. Nayna berjalan gontai. Meninggalkan jejak dengan air yang terus mengucur dari pakaian basahnya. Dia masuk kedalam kamarnya. Dia tak pedulikan Aksa saat Aksa memanggil namanya untuk meminta maaf. “Tunggu besok, Nak,” ucap Aydan sembari menepuk pundak Aksa. *** Dingin bersarang di tubuh Nayna sejak semalam, dia menggigil, selimut ditarik hingga menutup kepalanya yang terasa berat. Matanya berkunang-kunang. Satu selimut masih dirasa belum cukup karena dingin masih terasa menusuk. Dia menekan tombol enter, pesan terkirim pada Agatha, “Gue nggak masuk kuliah, gue sakit.” Kemudian dia meletakkan ponselnya asal. Walaupun ponsel terdengar berdering beberapa kali, dia tak ingin menerima panggilan mendesak sekalipun. Dia yakin tubuhnya panas, tapi yang dirasakan justru sebaliknya. “Sayang, ada Dinda ....” Suara Nova terdengar mendengung di telinganya. Nayna tidak kuat untuk menjawab panggilan mamanya, kerongkongannya bahkan terasa sangat kering. Perlahan pintu terbuka dan deritnya terasa memekik ditelinga Nayna, padahal semua orang mendengarnya biasa saja, lagi pula semua engsel pintu rumah Aydan masih kokoh, buktinya beberapa kali Aksa hendak mendobrak, engsel tak kunjung lepas dari tempatnya.  “Sayang, kok belum bangun?” Nova duduk ditepi ranjang, sementara Dinda berdiri. “Nay, gue bawa si Jingga tuh, lu mau kuliah nggak?” “Gue sakit, Din.” Suara Nayna bergetar akibat tubuh yang menggigil. Kepalanya yang kian berdenyut membuat Nayna malas membuka mata.  Nova meletakkan telapak tangan di atas kening Nayna. “Iya dia panas.” “Lu demam, ya Nay?” Dinda merasa bersalah karena dia membiarkan Nayna pulang sendiri menembus gelapnya malam dan derasnya hujan. “Tante, aku nggak bisa lama-lama, soalnya ada kelas pagi.” “Iya nggak apa-apa, hati-hati.” “Nay lu cepet sembuh, nanti gue balik lagi ke sini.” Nayna tak menjawab hanya terdengar suara deru napas yang memburu dibalik selimut. “Aku pamit, ya Tante. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Aksa berdiri di depan pintu melihat Nayna yang berbalut selimut, sementara ibunya terlihat sangat panik. Dinda yang berjalan ke arahnya, berpamitan. Aksa berkata namun terdengar berbisik, “Gue anter.” “Ma, Aksa berangkat.” Aksa mendekat dan mengecup punggung tangan ibunya. Dia tak berpamitan pada Nayna yang dia tahu tidak akan mengindahkan panggilannya. Aksa kemudian pergi meninggalkan Nayna dan ibunya. Dia berniat mengantar Dinda untuk mengorek informasi dari sepupunya itu tentang apa yang terjadi pada Nayna semalam. *** Nayna merasakan suhu tubuhnya mulai membaik, walaupun kepalanya masih terasa berat, dia memaksa bangkit dan berjalan menuruni anak tangga, seharian hanya berbaring membuatnya merasa tidak nyaman. Nayna duduk di depan televisi di ruang keluarga, kakinya ditekuk ke atas sofa. Tiba-tiba Aksa datang dan duduk di sebelahnya. “Abang minta maaf …,” lirih Aksa tanpa basa-basi. Namun, permintaan maaf Aksa tak membuat adiknya itu menoleh. “Sebenarnya abang udah janji sama Gibran buat nggak nyeritain ini ke kamu, karena Gibran takut kamu sedih dan jadi benci sama diri kamu sendiri, dia tidak ingin menularkan pikiran negatifnya pada orang yang dia takuti.” Nayna menoleh. Mata sendunya menatap Aksa, sementara pikirannya melayang menerka-nerka jika memang Gibran mengatakan hal itu.  Aksa menarik napas. “Abang tahu, abang ngerti penyebab kemarahan kamu. Tapi, abang harap kamu juga ngerti, yang sudah terjadi biarkanlah terjadi, yang penting sekarang kamu sudah tahu.” Nayna masih mendiamkan Aksa. Kali ini kemarahan Nayna sulit disembuhkan, kekecewaannya terasa begitu mendalam. “Soal tempat gym itu, Gibran memang setiap hari datang ke sana, sebagai pengalihan dari tekanan pikirannya. Tempat gym itu isinya memang para pria, tapi jangan salah paham, yang datang ke sana pria-pria yang memang punya masalah seperti Gibran, ada yang memiliki phobia sosial, bahkan ada juga yang memiliki phobia seperti Gibran.” Nayna masih bergeming, entah penjelasan seperti apa yang dia mau. Aksa memang selalu sabar menghadapi perempuan manja seperti Nayna. “Soal Oji, Iya … Abang akui, Oji memang opsi kedua setelah Gibran, awalnya kan ….” Aksa terdiam sejenak. “Oke begini, abang jelasin dari awal deh. Dari awal kepulangan Gibran dari New york.” Aksa menarik napas, mencari ancang-ancang untuk menjelaskan semuanya. “Jadi, waktu itu abang niat kenalin kamu ke Gibran itu, buat jodohin kamu sama dia, karena abang yakin Gibran itu bisa bahagiain kamu, tapi, sialnya abang lupa kalau dia punya phobia.” Mulut Nayna terkunci rapat, tapi hatinya tersenyum. Jika boleh jujur Nayna bahagia kalimat itu keluar dari mulut Aksa. Aksa membuangnya napas kasar. “Soal phobia Gibran, abang udah tahu itu dari dulu, dia punya traumatis yang disebabkan oleh ibunya dan ibu tirinya. Setiap dia melihat wanita yang menurutnya cantik dan menarik seolah itu telah membuka luka lama di hatinya. Sejak kecil Gibran selalu mendapat perlakuan kasar dari ibunya, dan entah untuk alasan apa ibunya pergi meninggalkan Gibran. Kamu tahu, dari usia sepuluh tahun hingga saat ini dia nggak pernah ketemu ibunya lagi. Dua tahun setelah kejadian itu, om Harry nikah lagi. Istri barunya cantik loh, baik, sayang lagi sama Gibran. Tapi, setelah Gibran membalas rasa sayang tante Mayang, tante Mayang malah mematahkan perasaan itu, Gibran melihatnya menusuk om Harry dengan pisau dapur. Nggak sampai di situ … Gibran dikurung di dalam lemari, untungnya sebelum Gibran benar-benar kehabisan udara, tante Susan--mamanya Anya--datang bawa polisi untuk nolongin mereka,” tutur Aksa. Sepanjang Nayna mendengar cerita dari Aksa tentang Gibran, hatinya merasa teriris, dia tak berhenti mencucurkan air mata. Aksa tahu Nayna memiliki perasaan yang halus, dia terlalu sensitif itulah sebabnya dia menyembunyikan semua itu dari Nayna. “Dek, sini abang peluk.” Aksa merengkuh tubuh Nayna dan memeluknya. Nayna sudah mulai luluh dengan semua penjelasan Aksa. Tubuhnya dipeluk Aksa dari samping, tapi tangannya memeluk lutut. Nayna menyeka air matanya, pelukan Aksa terasa menenangkannya. “Denger! mulai dari sekarang, abang nggak akan ikut campur tentang kehidupan pribadi kamu, abang akan dukung semua yang menurut kamu benar,” ucap Aksa sembari mengusap puncak kepala Nayna. “Kehidupan pribadi?” Nayna mendongak menatap Aksa. “Maaf ya, Dek. Sebenarnya abang yang nyuruh Dewa buat mutusin kamu.” “Haahhh …,” Nayna memekik sambil menjauhkan tubuhnya dari Aksa. Dia kemudian memukul abangnya itu dengan bantal sofa. Aksa lalu menahannya dengan kedua tangan. “Abang bilang kamu tertekan menjalin hubungan dengannya, jadi kalau dia benar-benar sayang dia harus rela melepaskanmu demi kebahagian kamu,” ucap Aksa diiringi tawa. “Jahat!” Nayna terus memukuli Aksa dengan bantal. “Tapi, kamu harus dengar alasan sebenarnya.” Nayna menghentikan Aksinya. “Padahal abang mau jodohin kamu sama Gibran, tapi karena itu nggak mungkin jadinya sama Oji aja.” “Nggak! Nggak mau,” pekik Nayna. “Aku mending balikan lagi sama Dewa.” “Harus mau.” “Nggak! nggak mau, tadi kan udah janji.” Nayna mengerucutkan bibirnya sembari melipat tangannya di bawah d*da. “Iya deh iya. Abang janji.” “Cieee … udah baikan.” Tiba-tiba Dinda berdiri di depan mereka. Dia datang untuk menepati janjinya pada Nayna. “Sini, Din!” Nayna dan Aksa beringsut memberi tempat untuk Dinda duduk ditengah diantara mereka. “Nay, soal yang kemarin gue udah punya ide.” Dinda menatap Nayna di sebelahnya. “Apa?” “Soal apa nih?” tanya Aksa penasaran. “Nanti juga tahu,” ucap Nayna. “Jadi gini, kak Gibran kan takut cewek cantik. Gimana kalau kita rubah Nayna jadi jelek.,” ucap Dinda antusias. “Nggak, gue nggak setuju, nanti adek gue patah hati.” “Cuma sampai wisuda kok. Iya kan, Nay?” Nayna mengangguk yakin. “Nggak, nggak boleh. Resikonya gede,” sergah Aksa. “Tapi Bang, aku janji deh, aku bakal tanggung konsekuensinya sendiri.” “Nggak!” bentak Aksa. “Bang!” Nayna menatap tajam Aksa, seolah dia ingin mengingatkan lagi tentang janji Aksa beberapa saat lalu. “Tapi ini bahaya, kalau sampai dia tahu, taruhannya gue, persahabatan gue,” terang Aksa. “Aku janji ini hanya agar kak Gibran bantuin untuk menyelesaikan tugas akhir aku.” Nayna memohon. “Kalau udah beres aku akan menghilang,” lanjutnya. Terdengar begitu enteng tapi sebenarnya hati Nayna begitu berat saat mengucapkan kata 'menghilang'.  “Deeekkk!” “Bang ….” Aksa mengusap kasar wajahnya, ide gila Dinda membuatnya frustasi. “Kalau penyamaran gagal, skripsian gagal, gue nggak mau ikut campur, tanggung semuanya sendiri.” Aksa berdiri meninggalkan kedua gadis itu. “Iya, makasih, Abang,” teriak Nayna karena Aksa yang mulai menjauh dari mereka. Dia cekikikan bersama Dinda. Karena selalu ada solusi dan hikmah di balik masalah peliknya. Nayna bahagia dia menghambur memeluk sahabat sekaligus sepupunya itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN