COPY RIGHT:
Heart is Never Wrong
©Evathink
Cerita ini adalah fiktif.
Bila ada kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Penulis tidak ada niat untuk menyinggung siapapun.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetakan, fotokopi, mikrofilm, VCD, CD - Rom, dan rekaman suara) tanpa izin penulis.
Hak Cipta dilindungi undang-undang
All right reserved
-----------------------
-----------------------
Prolog
Vivian menginjakkan kaki di lantai gedung bandara internasional dengan perasaan lega luar biasa. Sudah lima tahun ini ia menuntut ilmu di Korea dan hanya pulang sebentar saat liburan. Rasa rindu untuk bertemu keluarga dan sahabat, juga mencicipi kuliner khas tanah air, begitu kuat menggelitik hatinya.
Vivian melangkah keluar dari gedung bandara sambil membawa koper, berdiri di antara orang-orang yang menunggu jemputan. Dari jauh, ia melihat sahabatnya, Karin, berjalan ke arahnya bersama seorang pria yang sangat tampan, yang spontan membuat dadanya berdebar halus.
“Vivian!” Karin memeluk Vivian dengan wajah ceria.
Vivian menerima pelukan Karin, lalu cipika-cipiki dengannya.
“Kangen banget, Vi,” kata Karin sambil melepas pelukan dan menggenggam erat jari-jemari Vivian.
Vivian tersenyum pada Karin. Ia juga rindu luar biasa pada sahabatnya yang satu ini. Selama ia di Korea, mereka memang jarang berkomunikasi. “Kamu makin cantik, Rin,” puji Vivian sungguh-sungguh.
Karin terlihat lebih dewasa dibandingkan lima tahun lalu, wajahnya masih secantik dulu dengan rambut lurus sebahu berwarna hitam gelap.
“Kamu yang makin cantik. Sudah mirip artis Korea,” puji Karin ceria.
Vivian tersenyum tipis menanggapi pujian Karin. Ya. Korea memang sudah mengubahnya. Penampilannya sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. Dandanannya cenderung mirip artis Korea, dengan rambut panjang berwarna cokelat kemerahan yang bagian bawahnya berbentuk ikal. Dan yang lebih mendukung adalah, wajahnya yang oriental.
Vivian melirik pria yang berdiri di samping Karin.
Karin yang melihat itu, segera menggamit lengan tunangannya. “Kenalkan, Vi, ini tunanganku, Freddy.”
Vivian tersenyum dengan d**a berdebar menyambut uluran tangan Freddy.
“Freddy.”
“Vivian.”
Hati Vivian bergetar lembut saat Freddy tersenyum padanya.
Freddy bertubuh tinggi atletis dengan wajah yang sangat tampan. Mata cokelatnya bersinar hangat saat ia tersenyum. Sepasang alis yang tebal dan sempurna, juga rambut cokelat kemerahan yang tersisir rapi membuat ia begitu memesona.
“Ayo.”
Suara Karin membuyarkan keterpesonaan Vivian. Ia segera menarik tangannya dari jabatan Freddy. Dengan wajah memerah, ia tersenyum pada Karin.
Freddy mengambil koper Vivian dan menyimpannya di bagasi mobil mewahnya.
Vivian dan Karin masuk ke dalam mobil. Karin duduk di kursi bagian depan di samping Freddy, sedangkan Vivian mengambil tempat persis di belakang Karin. Tidak lama kemudian, mobil mulai bergerak meninggalkan bandara. Sesekali mata Vivian dan Freddy bertemu lewat kaca spion yang terdapat di atas dashboard mobil dan membuat d**a Vivian kembali berdebar halus.
“Sudah jam satu siang, Vi, kita makan dulu, ya?” tanya Karin sambil menoleh pada Vivian di belakangnya.
“Boleh juga, Rin. Siang begini masih ada nasi lemak?”
“Nasi lemak jam segini sudah kurang segar, Vi. Bagaimana kalau kita makan otak-otak cumi-cumi?”
“Boleh. Mau benget!” Vivian tersenyum ceria. Teringat otak-otak cumi-cumi dan ikan tenggiri yang sangat ia sukai. Sudah lima tahun berlalu, Karin masih saja ingat makanan kesukaannya.
Vivian menatap ke depan, Sekilas masih bisa ia lihat Freddy yang tersenyum sambil menatapnya lewat kaca spion di dalam mobil. Vivian kembali terpesona oleh senyum hangat itu. Dan sekali lagi dadanya berdebar lembut.
***
Freddy mengulum senyum. Hatinya bergetar halus saat pertama kali bertemu Vivian, sahabat tunangannya. Wajah Vivian yang cantik seolah langsung menyihirnya, membuat matanya tak mau beranjak dari wajah itu.
Sebenarnya bukan wajah cantik Vivian yang membuatnya tertarik, tapi ada sebuah getar aneh yang menyentuh hatinya secara tiba-tiba, getar yang sudah lama tidak pernah lagi mengetuk pintu hatinya.
Freddy menatap Vivian dan Karin yang terlihat mengobrol sangat akrab. Senyum Vivian yang sangat manis menggoda membuatnya terpesona.
“Jadi, mau minum apa?”
Suara Karin membuyarkan lamunan Freddy.
“Jus sirsak tanpa es dan susu.”
“Jus sirsak tanpa s**u dan es.”
Jawaban yang benar-benar persis keluar dari bibir Freddy dan Vivian.
Freddy dan Vivian saling tatap. Freddy tersenyum pada Vivian yang wajahnya sudah terlihat merona.
“Wah, minuman kesukaan kalian sama,” kata Karin dengan suara datar. Sama sekali tidak merasa terganggu dengan kesamaan minuman kesukaan Freddy dan Vivian.
Freddy tersenyum tipis. Ia menatap Vivian yang terlihat salah tingkah. Sungguh, ia tidak menyangka jika minuman kesukaan mereka bisa benar-benar sama. Apa ini merupakan pertanda? Pertanda bahwa...
Tiga puluh menit kemudian pelayan datang menghidangkan dua porsi otak-otak ikan tenggiri dan cumi-cumi. Menyusul kepiting saos padang dan udang goreng mayones, berikut sayur capcay. Semua terlihat begitu menggoyang lidah.
“Ayo, Vi, kita makan. Kamu pasti kangen pada semua masakan ini,” kata Karin dengan senyum tak lepas dari wajah.
“Kangen banget,” jawab Vivian ceria sambil sekilas melirik Freddy.
Freddy tersenyum tipis dan mereka mulai makan. Sepanjang acara makan siang berlangsung, ia justru lebih banyak memperhatikan Vivian dibandingkan tunangannya sendiri. Jika boleh jujur, Vivian sudah mencuri perhatiannya dari pertemuan pertama mereka tadi.
Vivian yang selalu tersenyum ceria telah menghipnotisnya, membuatnya seketika melupakan kenyataan bahwa ia sudah bertunangan.
***
“Mami, Papi!” teriak Vivian ceria begitu kakinya melangkah memasuki rumah mewah milik orangtuanya.
“Hei, akhirnya Manis-ku pulang.”
Vivian tersenyum lebar mendengar kalimat sambutan itu. Ia langsung berlari kecil dan memeluk tubuh gagah Andros, kakak laki-lakinya.
“Kangen,” ucap Vivian menggebu-gebu. Ia bergelayut manja di lengan Andros setelah melepas pelukannya.
“Ya, makanya jangan mau kuliah jauh-jauh, kan jadi kangen,” gerutu Andros dengan suara pura-pura tidak senang.
Vivian merengut. “Mana Mami dan Papi? Vivi kangen,” kata Vivian manja sambil celingak-celinguk menatap seisi ruangan.
Seketika matanya berbinar senang saat melihat kedua orangtuanya sedang melangkah turun dari tangga lantai atas rumah mewah mereka.
“Mami, Papi, Vivi kangen!” teriak Vivian sambil berlari kecil untuk memeluk orangtuanya.
“Mami juga kangen, Sayang,” bisik Ny. Henry sambil memeluk Vivian dengan sangat erat.
“Kamu sudah persis artis Korea, Sayang,” celetuk Henry ceria.
Vivian melepas pelukan ibunya dan tersenyum ceria pada ayahnya, lalu memeluknya erat-erat.
“Kan enggak lucu, Pi, kalau Vivi tinggal lima tahun di Korea, pulang-pulang masih kayak dulu.” Vivian tersenyum senang.
Ia menggandeng tangan kedua orangtuanya untuk duduk di sofa ruang keluarga.
“Bagaimana rasanya pulang ke rumah?” tanya Andros iseng sambil duduk di salah satu sofa di depan Vivian.
Vivian tersenyum lebar. “Yang pasti luar biasa menyenangkan, kakakku sayang.”
Andros dan orangtuanya tertawa kecil menyambut jawaban Vivian. Tentu saja luar biasa menyenangkan. Apa ada yang lebih menyenangkan selain pulang ke rumah setelah lima tahun tinggal di negeri orang?
***
Love,
Evathink
(IG/Youtube/Play buku/k*********a: evathink)
*jangan lupa Follow juga akun Dreame & Innovel saya, ya teman2, agar kalian mendapat notif dari saya.
btw, please komen dan sentuh love-nya, teman2. Love dan komen dari kalian, sangat berarti untuk saya. Terima kasih.