BAB 8

1994 Kata
Semakin beranjak siang, makin banyak tamu yang datang. Salwa dan Athan sampai tidak bisa membicarakan apapun lagi selain mengucapkan terima kasih kepada para undangan yang silih berdatangan. Salwa menerka berapa lama ia sudah berdiri, kini kakinya mulai pegal dan tubuhnya gerah meski gaun yang ia kenakan didesain longgar dan berbahan lembut tetap saja terasa lengket oleh keringat. Salwa mengibaskan tangan kepanasan, "Berapa banyak kamu mencetak undangan?" "Bukan aku," kata Athan sama lelahnya. Salwa menatap Athan, "Jadi?!" Dari ekspresi suaminya Salwa bisa menebak siapa dalang penderitannya. Dua orang yang menjodohkan keduanya. "Seingatku kita berencana, acara ini selesai sebelum dzuhur." "Sepertinya Mama kita mulai pikun," timpal Athan masam. Salwa tersenyum, ekspresi Athan yang menunjukkan tidak suka itu sedikit membuatnya lega bahwa lelaki tersebut tidak ikut dalam merencanakan penderitaannya hari ini. Athan mengahadap Salwa, dia menunjukkan jam tangannya. "Em, sebentar lagi dzuhur. Aku tinggal sebentar ya?" Salwa bekernyit dahi, "Masih sekitar 30 menit dzuhur." "Gerah. Aku bukan membicarakan pakaian ini," jelasnya sungguh-sungguh. "Aku perlu mandi sebelum berangkat ke masjid." Salwa tidak mudah percaya, tapi Athan tidak menampakkan tanda sedang bercanda. Kalau Salwa membantah, ia akan terlihat aneh karena melarang seorang muslim melaksanakan kewajibannya. "Bb-baiklah." Tiba-tiba Athan tersenyum lebar, "Ada apa dengan ekspresimu? Biasanya kamu tidak pernah gagap." Salwa merengut, "Sedikit terenyuh." "Bukan terpesona?" goda Athan. Salwa tertawa palsu, "Bukan sama sekali. Masuklah," usirnya cepat. Athan berdiri, "Kamu juga wajib sholat, SAYANG." Salwa mendelik, ia akan membantah saat Athan melirik orangtua mereka yang curi dengar. Salwa tersenyum malu-malu, bersandiwara, "Tentu saja." Athan mendekatkan wajahnya, Salwa hampir mendorong lelaki itu tapi segera ingat keadaan sekitarnya. Athan berbisik, "Kamu cantik." Salwa tidak tersenyum, ia malah bingung melihat Athan berjalan ke arah rumah dengan langkah pasti. Cara Athan membisikkan pujian itu membuat Salwa bergidik seram. Penilaian Salwa tentangnya tidak salah, Athan aneh. +++ Wajah Salwa masam, rencananya untuk bertindak seperti Athan gagal oleh larangan Mama. Padahal ia juga ingin mandi, juga ingin protes kepada para orangtua yang membuatnya hanya mempersiapkan satu gaun. Salwa melihat Athan kembali ke rumah dengan jubah putihnya dan peci. Tidak ada yang memperdulikan kedatangannya, bahkan mungkin para undangan tidak pernah berpikir seorang mempelai pria akan meninggalkan pengantinnya saat acara pernikahan berlangsung. Salwa gelisah menunggu Athan kembali duduk di sebelahnya. Sekarang pikiran negatif Salwa sedang menggerutu bahwa lelaki itu sengaja mengulur waktu menyiksanya. "Mau ke toilet?" tanya Mama menengur putrinya. Salwa menggeleng. "Terus?" Salwa geram ingin mencurahkan semua kekesalannya, tapi ia menahan diri saat melihat Athan berjalan mendekat. "Sholat, Salwa mau sholat dulu Ma." "Kenapa lagi? Merindukan aku lagi?" goda Athan benar-benar dengan senyum lebar dan dilihat Mama Salwa. Salwa merengut, ia abaikan Athan yang kembali menghempaskan diri di sebelahnya. Mama Salwa tersenyum geli melihat Salwa membuang muka dari Athan. "Salwa sudah makan?" tanya Athan penuh perhatian. Salwa tidak menjawab. Belum saatnya menunjukkan keinginan hatinya sekarang, belum juga satu hari status pernikahan mereka. Salwa berharap pada dirinya untuk menahan kekesalannya dulu sampai nanti malam, sepanjang malam ia akan terkurung untuk menceramahi Athan tentang peraturan pernikahan mereka. Batas sentuhan, batas campur urusan dan batasan-batasan lain yang bisa menjamin Salwa seutuh semula saat sebelum pernikahan mereka. Athan tiba-tiba berbisik, "Aku ke toilet dulu." "Hei, jangan coba-coba kabur," seru seorang dari tamu yang baru masuk. "Bagaimana bisa kamu menikah tanpa mengundang kami?" Athan tersenyum paksa. "Mama pasti yang membocorkan semuanya," keluhnya pelan. "Mereka rekan kerjamu?" Salwa pikir sikap mereka terlalu santai untuk teman biasa. Mereka tentu bertemu sangat sering. "Ya. Dan kupikir malam ini bisa tidur di hotel dengan alasan bekerja," bisik Athan pelan. "Sekarang aku ragu." Salwa tersenyum menyambut tamu itu. Mungkin alasan senyumnya karena rencana Athan yang terkesan mulia. Teman kerja Athan tampak rapi, dan anehnya berwajah tengil. Pasti satu diantara dua hal, Athan jadi aneh karena berteman dengan mereka, atau malah sebaliknya. "Diam-diam ternyata kamu punya kekasih yang cantik sekali. Jadi, sekarang kamu membuktikan bukan gay." "Sayang sekali," sahut yang paling gemulai di antara mereka. Salwa tersenyum geli. "Terima kasih sudah datang." "Kami menyiapkan kamar khusus untuk kalian di hotel. Jangan menyiakan kesempatan ini," kata mereka sambil berkeling usil kepada Salwa. "Kalian memang yang terbaik. Tanpa diundangpun kalian datang," ucap Athan setengah sinis sambil tersenyum. "Mama mengundang kami," tunjuknya pada ibu mertua Salwa yang sibuk menyapa tamu lain. "Yang menikah aku, harusnya aku..." Mereka tertawa saat Athan menggeleng pasrah. "Beliau Mama terbaik." "Kategori Mama idaman," balas mereka semangat. "Yah, begitulah. Silakan menikmati hidangan. Kali ini gratis," kata Athan riang. "Kami tidak akan meragukan rasanya." Salwa baru kali ini melihat Athan bersikap sesantai sekarang. Bagi Salwa, Athan dan rombongan kerjanya terlihat normal jika disandingkan bersama orang gila. Athan melirik jam lagi, sementara Salwa merasakan betisnya mungkin akan luruh. "Kapan ini akan selesai," keluhnya tanpa ditutup-tutupi. Undangan masih tetap berdatangan, dan makanan terus disajikan. "Sebentar lagi pasti selesai. Mama bilang sebelum 'asar. Kalau Salwa lelah masuk saja dulu." Salwa bertambah merengut saat cahaya kamera menangkap sosoknya. "Kini kita tidak bisa merahasiakan ini dari siapapun. Besok aku akan mematikan ponsel." "Maaf." "Aku tahu kamu tidak bisa disalahkan dalam hal ini," kata Salwa bijak namun setengah hati. Salwa meluruskan kakinya hingga gaun itu tersibak sedikit. Kaki Salwa terbungkus kaos kaki, auratnya tidak terbuka tapi Athan segera membungkuk untuk merapikannya."Terima kasih," kata Salwa lelah. Andai ia sedang dalam suasana hati baik, tentu itu akan sedikit menyenangkan. Kecuali bayangan Zian yang tiba-tiba muncul lagi memperburuk perasaannya. "Aku hanya memberi saran. Masuklah, kalau kamu tidak bermaksud pingsan di sini. Makan, sholat dan istirahatlah," bujuk Athan lembut. Salwa akhirnya berdiri dan berjalan ke kamar. Ia menaikkan gaunnya tanpa ragu. Ia bersyukur mendesain gaun yang tidak terlalu lebar. "Salwa ganti baju dulu, Ma." "Tapi acaranya belum selesai." "Biar Athan yang menerima tamu undangannya Ma," sahut Athan sambil tersenyum. Salwa segera menghempaskan tubuh di kasurnya. Ia menyingkirkan bunga-bunga hiasan tak berguna itu dari spreinya. Sesi foto yang Meta paksakan untuk membahagiakan para Mama, tapi Salwa yakin itu hanya keusilan Meta semata. Yang sedang Salwa pikirkan muncul. "Kak..." Salwa segera menjawab, "Aku tidak sanggup lagi." "Aku bawakan minum," Meta masuk dan menyodorkan. "Mama dan Tante Rika sepertinya mengundang semua orang." Salwa tidak ingin membahas hal yang memancing emosinya. "Bisa kamu keluar. Aku ingin tidur." "Jangan tidur sekarang. Apa kata Mama dan Tante kalau Kakak tidur sekarang?" "Lalu aku harus bagaimana?!" keluhnya kesal. Salwa sudah menururti banyak keinginan mereka, dan ia hanya ingin istirahat sebentar. "Mendampingi Bang Athan, mungkin. Dia di posisi yang sama dengan Kakak." Salwa apatis, "Dia kan laki-laki." "Tapi dia juga yang mengepalai langsung semuanya, menyiapkan semua bumbu sampai semua bahan jadi hidangan dalam acara itu." Meta berdecak pinggang, "Apa Kakak tidak bersimpati?" Salwa diam beberapa detik. "Dia yang menyuruhku masuk. Dia yang menawarkan diri untuk memasak." Meta menyerah. Sekali Kakaknya membantah, maka percuma mengetuk pintu nuraninya untuk peduli. "Baiklah. Kakak istirahatlah," kata Meta sambil menutup pintu. Salwa tidak ingin peduli, tapi ia memikirkannya juga. Athan melakukan semuanya, jelas sekali karena dia memang menyukainya. Untuk apa Salwa merasa bersalah. Salwa menutup matanya, ia langsung terlelap hanya untuk beberapa saat. Ia terbangun lagi saat suara Mama memanggilnya dan menguncang tubuh lelahnya. Salwa merengek di balik selimut. "Apa yang akan Mama mertuamu katakan kalau melihat ini?!" Salwa membuka mata malas, "Salwa lelah." "Semua orang mencarimu. Dan haruskah Mama jawab kamu tidur? Di hari spesial ini?" Itu pertanyaan yang sangat jelas. "Salwa memang tidur Ma." "Salwa..." Suara Athan terdengar menyela bersama ketukan pintu. "Kamu sudah baikan?" "Belum," jawabnya lemas. Salwa terdengar merengek sambil memasang telinga. "Ada apa?" "Tidak apa-apa, istirahatlah," katanya masih dengan nada peduli. "Mama dengar. Biarkan saja Salwa istirahat Ma. Dia sudah berdiri seharian ini gara-gara undangan yang Mama sebarkan terlalu banyak. Sekali ini bisa tidak Mama yang mengalah." Suara kesal, putus asa yang memohon. Salwa tidak bisa membayangkan wajah tampan Athan akan berkerut untuk tidak menunjukkan perlawanannya kepada Sang Mama. Salwa juga memberikan lirikan menuduh kepada Mamanya sendiri hingga beliau mengerjap lalu menunjukkan senyum tak berdosa singkat. "Mandiri apanya. Berdiri begitu saja sudah capek," balasan Tante Rika yang keji untuk didengar. Salwa bisa melihat raut wajah Mamanya yang terdiam. Salwa yakin wanita tua pengacau itu benar-benar punya keterampilan bagus sebagai pemancing amarah. Salwa bangkit, kemudian mencuci wajahnya dan mengenakan lagi gaun pengantinnya. "Salwa?" panggil Mama heran. Salwa segera menyapukan bedak dan lipstiknya. Seadanya saja. "Salwa mau ke mana?" "Ke kursi Salwa," jawabnya cepat. Secepat langkahnya meninggalkan Mama dan melewati mertuanya. Salwa menatap Tante Rika sekilas. Salwa kembali duduk di samping Athan. "Aku sanggup. Hanya berdiri seharian. Dua hari pun Salwa mampu." Athan tersenyum. "Mamaku punya obat ampuh dalam kata-katanya," katanya sedikit mencondongkan tubuh kepada Salwa. "Lidahnya berbisa. Mematikan." Athan mengelus pelan punggung Salwa dengan senyum geli, "Sudah, sudah. Karena memilih berdiri di sini daripada kamar yang nyaman. Bisakah kamu tersenyum?" "Terserah padaku," tolak Salwa ketus. "Baiklah. Nanti gambarmu akan terlihat jelek." "Tidak usah bicara padaku." Athan mengangguk pelan-pelan seperti orang mengantuk, tetap tenang dengan kejadian sekitarnya. Dan Salwa tahu dirinya mulai nyaman dengan cara Athan yang tidak terganggu, setidaknya kalau bersama Athan menghadapi dua Mama menyebalkan Salwa bisa menetralisir kemungkinan mengeluarkan bantahannya, demi umur panjang orangtua mereka. Undangan mulai berkurang, sebagian besar sudah berduyun meninggalkan kavling tenda. Salwa sudah setengah bermimpi ingin berguling di tempat tidurnya, sementara Athan bersikap normal di sisinya. Athan masih tersenyum, ramah dan tidak berbicara kepada Salwa, dia sedikit bercakap dengan Mama Salwa, tapi Salwa sendiri tidak peduli dengan yang mereka bicarakan sambil tersenyum hangat seperti itu. Salwa tidak ingin berbasa-basi apapun lagi. Selesai acara ia langsung ke kamarnya berganti baju. Sekarang Meta menawarkan bantuan dengan senyum bahagia yang terlihat dialah pengantinnya bukan Salwa. "Nanti kalo Meta menikah Kakak harus membuat gaun yang bagus juga untuk Meta secara khusus." "Insyaallah." "Kalian akan tidur satu kamar malam ini. Ini bukan bagian dari rencana Mama ataupun Tante Rika," katanya dengan nada perintah seolah sedang menasehati adik kecil yang nakal. "Aku tahu." "Tapi memang berlebihan, jika beberapa keluarga inti dari Bang Athan langsung pulang sore ini sementara kita tahu perjalanan dari sini ke Toboali itu menghabiskan setidaknya tiga jam." Salwa tidak ingin membantah. "Iya. Aku mau tidur." "Lagi? Sebentar lagi maghrib Kak." "Aku tahu, hanya meluruskan punggung sesaat," kata Salwa berdalih. "Kamu bantu cuci piring saja sana." Meta merengut, "Kenapa Meta selalu dapat bagian mencuci piring, padahal hari ini Meta sudah cantik sekali, dengan songket ini." Salwa berhasil tersenyum, "Kalau kamu tidak mau jadi tukang cuci piring, ya jadi pengantinnya. Kakak jamin tidak siapapun akan menyuruh Meta mencuci piring." "Kakak, Meta akan menyelesaikan kuliah dulu," katanya sambil keluar. Saat Salwa ingin memejamkan matanya, ketukan lagi terdengar. "Kenapa lagi Meta?" tanya Salwa risih. "Ini aku." Salwa duduk setengah hati, ia segera memakai jilbab instan. Salwa tahu pintu itu tidak dikunci, tapi sepertinya Athan sengaja menunggu izinnya. "Masuklah. Ada apa?" Athan berdiri dengan wajah tersenyum yang lelah. "Aku mau mandi. Sebentar lagi maghrib, sementara yang lain juga sedang..." "Sesekali meninggalkan sholat kan bisa," potong Salwa sambil berusaha tidak marah. "Bisa, tapi tidak boleh. Hukumnya jelas," balas Athan serius. "Salwa, sholat itu penghubung seorang hamba dengan Tuhannya. Kalau perkara wajib saja bisa ditawar seperti itu..." "Cukup. Terserah apa yang mau kamu lakukan. Jangan bicara padaku." Salwa kembali merebahkan punggungnya dan menarik selimut. Athan melewatinya santai. Salwa menutup mata supaya tidak bisa melihat yang Athan lakukan, tapi ia bisa mendengar suara air berguyur. Lalu suara air dan suara air lagi. Salwa membuka mata dan bergegas keluar kamar. Ia tidak mungkin berniat tinggal sementara lelaki itu akan berganti pakaian. Salwa coba berlindung dengan masuk ke kamar Meta, tapi aromanya benar-benar seperti kue. Salwa tidak mungkin meminta kamar Mama Papa untuk istrahat. Jadi akhirnya ia hanya bisa menunggu di depan TV. Beberapa saat kemudian Salwa bisa mencium aroma minyak wangi yang berbeda dari yang biasa Papa gunakan. Lalu ia melihat Athan dengan penampilan taatnya. Kemudian Papa juga ikut menyebarkan bau. Mereka sepertinya akan menuju masjid. Salwa langsung berpindah ke kamarnya lagi tanpa niat menyapa. Salwa ragu, tadi ia punya niat melewatkan maghrib, tapi kalimat Athan terakhir membuatnya segera beranjak. Bisa dan boleh itu berbeda. Salwa bisa menganggap Athan bukan teman, tapi ia tidak boleh menunjukkannya di depan Mama. Salwa boleh membenci Zian, tapi ia belum bisa menghilangkan semua perasaannya dalam sekejap. +++
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN